4. Permintaan Tolong
Bagi seorang Arkanantara Galxy, dikerubuni cewek-cewek tanpa tahu tempat itu sudah biasa. Semenjak dua tahun lalu, saat dia pertama kali terkenal dan memiliki ribuan pengikut di semua medsos, jangankan diserbu, dikasih "kado" pun sudah biasa. Dari yang baik sampai yang rada mengganggu pikiran. Kado undangan bertuliskan namanya dan si pengirim salah satu contohnya.
Awalnya dia berdiam di Surabaya, bersama ayahnya yang kini sudah menikah lagi dan pindah ke luar negri. Dia memutuskan pindah ke Bandung sebulanan lalu dan memilih SMAN 189 Bandung sebagai sekolahnya. Selain karena merupakan salah satu SMA favorit, di sekolah tersebut juga ada saudara kembarnya yang sudah terpisah lima tahun lamanya. Satu hal yang tak dia sangka, Dika ternyata bisa dikatakan nerd. Yeah, mainnya sama buku, habitat di perpustakaan, sudah begitu senang mengenakan jaket bahkan kacamata. Padahal, wajah keduanya tak jauh beda. Jadi, jika saja Dika bisa membuka dirinya, pasti saat ini mereka sudah jadi duo king handsome di sekolah.
Anehnya lagi, Dika memaksanya untuk tidak mengungkap bahwa mereka satu sekolah. Namun, dia mengerti sekarang, bahwa saudaranya itu paling anti jadi pusat perhatian.
Arka merasakan punggungnya ditepuk seseorang. Dia menoleh, sementara Pak Rudi tengah menerangkan past future tense sebagai pengingat materi kelas sebelas.
"Apa?" Arka berkata pelan dengan alis terangkat.
Raden mengeluarkan sebuah gulungan kecil berpita pink. Lalu diserahkan pada Arka sembari menggeser badan. Seorang cewek berkucir dua dadah-dadah ke arahnya.
"Oh, thanks." Arka paham dan langsung mengedipkan sebelah mata. Cewek yang dikedipi nyaris saja pingsan karena tiba-tiba merasa sesak dengan jantung berpacu cepat.
Kado kelima pagi ini. Arka memberikannya pada Treya yang sebangku dan bertugas sebagai manajer KW-nya.
Tak lama, Pak Rudi mengakhiri pelajaran karena jam istirahat sudah tiba. Semua siswa di kelas XII-IPS 1 menghela napas lega. Terutama Arka yang langsung mengecek ponsel untuk melihat seberapa banyak keramaian di semua sosmednya.
"Ada endorse." Dia menghela napas lagi setelah membaca sebuah pesan dari akun ollshop di Instagram.
"Wih, duit lagi dong," sahut Ben.
"Duit mulu lo," cibir Raden.
"Masalahnya, gue lagi gak ada ide buat bikin kontennya. Kan harus cakep tuh," keluh Arka. Ketiga temannya mengangguk setuju.
"Eh, ya, ini kado-kado dari fans lo gimana?" Treya malah mengalihkan pembicaraan.
"Tar masukin ke mobil aja. Atau kalo lo mau, ambil aja," jawab Arka seraya kembali fokus ke ponsel.
Treya bersorak dan segera memilih dari kelima kado. Dua temannya tak mau kalah. Mereka akhirnya jadi rebutan. Kebetulan merebutkan kado yang sama. Kado dengan hiasan bungkus hijau lumut.
"Kalian berisik banget," omel Arka. Dia jadi tidak fokus membalas pesan. "Ngeributin apaan sih?"
"Tau nih mereka. Main rebut aja," lapor Treya dengan mulut manyun.
Arka pun mengambil alih benda yang diributkan. Kado itu lalu dibukanya. Tampak kotak hitam putih dengan tulisan jam bermerk.
"Mahal, Bro," ujar Treya. Matanya membola, bahkan mulutnya ikut-ikutan menganga.
"Gila, sih." Sahutan dari Raden terdengar setengah berbisik. Nyaris tak terdengar karena suasana kelas masih berisik. Terutama dari cewek-cewek yang tengah menggunjingkan Arka dan merasa beruntung satu kelas dengan idola.
Arka meneruskan membuka kotak jam tersebut. Ucapan teman-temannya benar, itu jam mahal. Jam perpaduan hitam dan coklat tua bermerk Police.
"Ini tadi dari siapa?" Arka menoleh pada ketiga temannya yang saling pandang.
"Tadi siswi kepang dua, bocahnya kecil, keknya anak kelas sepuluh," jawab Raden.
"Tapi kayanya gak mungkin itu dari dia. Secara tampilannya aja nerd gitu," sahut Ben.
"Bisa aja, kan? Kayak di film atau novel-novel, cewek nerd, tapi aslinya kaya raya." Treya ikut menimpali.
"Halah, korban drama!" cibir Ben dan Raden.
Arka sendiri hanya tertawa singkat melihat kelakuan teman-teman barunya itu. Dia lalu berpikir sendiri.
"Ngantin aja, yuk! Mikirin siapa pengirim jam tangan ini dalam keadaan laper, enggak bakal bener." Raden bangkit lebih dulu. Disusul Ben dan Arka. Sementara Treya masih merapikan bekas kado dan mengamankan jam tangan mahal itu ke tasnya sebagai tempat sementara---atau bisa saja selamanya karena dia berharap bisa memiliki benda itu.
Tengah asyik bercanda santai di koridor, lalu menuruni anak tangga, langkah keempat cowok yang sering menjadi perhatian utama itu terhenti.
"Malam Minggu gue tunggu di Meizon Cafe." Arabelle sengaja berdiri tepat di tengah tangga, mendahului kaum cewek barbar yang tadi hampir berdebat dengannya dan memilih minggir.
"Kayanya gak perlu deh. Cuma buang-buang waktu doang jalan sama lo," sahut Arka.
Arabelle sudah menduga ini akan terjadi, pun kado jam tangan tangan yang baru dibelinya beberapa hari lalu, jika tidak diberi melalui perantara, mungkin akan ditolak juga.
"Yuk, cabut!" ajak Arka sembari berjalan.
Raden dan Ben langsung melompat ke depan saat kerumunan siswi tadi menyerbu Arka. Salah satunya Amanda yang masih setia dengan modus vlogger-nya. Namun, mereka tak bisa menghentikan langkah Arka yang terus mengarah ke kantin. Keributan itu malah mengejarnya dan membuat suasana semakin riuh. Perhatian seisi kantin tertuju padanya.
Arka duduk di salah satu meja yang sudah kosong. Dia cuek saja saat terus-menerus difoto dari sembarang arah. Dia iseng membuka YouTube di ponsel, lalu menemukan sebuah video di beranda. Dia lalu menontonnya. Namun, karena sekitar berisik, suaranya jadi tidak terdengar. Beruntung, di saku baju Raden terlihat ada earphone.
"Den, pinjem earphone lo dong," kata Arka agak berteriak.
Raden langsung menyetujui dan memberikannya sebelum pergi untuk memesan.
"Btw, lo pesen apa?" tanya Raden setelah mengingat pesanan dua sahabatnya.
"Samain aja sama lo," jawab Arka. Dia menerima earphone, lalu memasangnya segera.
Video itu kembali diputar dari awal.
"Hai, hai, Guys. Di sore yang cerah ceria ini, aku bakal bahas review novel yang lagi booming. Wow, wow! Pasti kalian udah enggak asing dong, secara novel ini lagi best seller loh ...."
Arka fokus memperhatikan. Pembawaan si pengisi membuat konten itu menarik. Cowok berhidung mancung itu bahkan tak sadar menonton sampai habis. Lalu, merasa iri dan minder sendiri melihat betapa kerennya vlog tersebut. Pikiran itu segera dibuang jauh. Dia tidak boleh insecure, harus tetap bersyukur, supaya hidupnya mujur.
"Nontonin apaan nih, sampe fokus gitu?" sindir Raden yang sudah datang membawakan pesanan.
"Ada deh." Arka menutup beranda YouTube dan beralih fokus ke teman-temannya. "Kayaknya gue ada ide."
Ketiga temannya saling lirik. "Ide apaan?" Mereka kompak bersuara.
***
Sejujurnya Arabelle muak menghadapi cowok yang sok jual mahal, tetapi sudah jelas dia harus membuang perasaan itu jauh-jauh jika tidak ingin kalah. Kekalahan itu menyakitkan, apalagi sama musuh bebuyutan.
Dia berpikir keras sembari menghabiskan teh botol di warung depan sekolah. Nongkrong sendiri, kebetulan pacar dan gengnya sedang absen datang. Dia harus segera menemukan ide buat bikin Arka menyetujui ajakannya malam Mingguan di kafe.
Meizon cafe, salah satu kafe mahal di Dago Pakar. Sudah gitu, merupakan tempat favorit buat nongkrong sama pasangan. Apalagi yang kurang? Bahkan Arabelle sudah siap dompet untuk membayar semua biaya jalan mereka.
Andai saja, dia tidak perlu sikap sok manis demi menarik perhatian seorang Arkanantara Galaxy, sudah sejak kemarin melancarkan aksi kasar bahkan pemaksaan. Kan, dua hal itu mudah saja baginya.
Arabelle beranjak, meski dia tak tahu harus pergi ke mana sekarang, dia memutuskan kembali ke sekolah. Walau masih badmood karena kejadian tadi, dia harus sedikit memaksa diri supaya tidak kalah satu langkah dari musuh.
Dia memelankan langkah saat melihat cowok berjaket biru dongker yang berjalan ke arahnya. Senyuman sinis menyungging indah. Di hatinya ada sedikit dendam terhadap cowok menyebalkan dan sok misterius itu. Di tangannya, teh botol masih sisa setengah. Sebuah kebetulan.
"Ups, sorry, gue gak sengaja." Dia berujar datar setelah cowok itu mendekat dan berhasil disiram tepat pada buku di tangannya.
Arabelle lalu pergi begitu saja. Meninggalkan si cowok yang kini sudah terbakar amarah.
***
Cewek sombong itu namanya Arabelle Kiyoko. Anak kelas XI-IPS 4. Adek kelas, tapi songongnya kaya orang kaya berkesal. Kok bisa, sih aku satu sekolah sama manusia kaya gini, batin Dika yang hanya menatap kosong lembaran novel di tangannya. Dadanya naik turun cepat, sesekali diberi jeda dengan tarikan dan embusan kencang.
Wajah cewek yang menyiram novelnya dua hari lalu masih terbayang jelas. Dia tak mengira jika pertemuan di hari pertama sekolah semester baru, menciptakan tragedi paling menyebalkan dalam hidup.
Dia suka buku dan baginya buku adalah segalanya. Dia selalu merawat semua buku-buku itu dengan baik, bahkan tak membiarkannya kotor sedikit pun. Lalu selumbari, seorang cewek nekat---dan dengan tidak sopan---menyiramkan teh ke novel yang baru saja dibelinya.
Sudahlah, dia kelewat kesal dengan cewek itu. Makannya, sejak kejadian siang itu, dia memutuskan untuk tidak berkeliaran sembarangan. Dia lebih memilih diam di perpustakaan atau kelas saat jam kosong tiba. Lebih aman.
Seseorang tiba-tiba saja duduk di sampingnya.
"Lo, kan, saudara gue yang paling ganteng, Dik." Arka nyeletuk tanpa basa-basi lagi. "Nah, lo coba cek ponsel gue nih."
Dika merasa curiga sebelum menuruti permintaan adiknya---dia lahir 5 menit lebih dulu dari Arka---dan benar saja. Di beranda WatshApp Arka, terdapat satu kolom pesan dari nomor yang tak dikenal sejumlah ratusan.
+62857 ....: Gue tunggu di Meizon Cafe.
"Lo, kan yang udah ngasih nomor gue ke dia, dan gue yang nanggung akibatnya. Nah, gue gak mau tuh nanggung sendirian. Pusing pala gue ngadepin cewek macam nih orang. Jadi, lo bantuin gue, ya?" Arka menatap lekat wajah Dika. Wajahnya merengut, alisnya bertaut, bibir mungilnya melengkung ke bawah. Dia sudah bertekad akan mempertahankan ekspresinya sampai Dika menyetujui.
"Tapi, kan ... argh! Kamu kenapa ke sini juga, sih? Tar ada yang liat gimana?" Dika celingukan. Dia tidak tenang, walau posisinya di pojok belakang perpustakaan, tetap saja merasa ngeri.
"Enggak penting. Intinya lo bantuin gue, ya? Atau ... lo rela liat gue pindah lagi ke Surabaya?" ancam Arka yang membuat Dika melotot.
"G-gak boleh. Kamu gak bisa pindah ke Surabaya." Dika menggeleng cepat. Hatinya seketika bertambah semakin kacau. Dia tidak mau kehilangan lagi. Kehilangan itu menyakitkan.
"Tapi di sini juga gue kesiksa sama cewek ini, Ka." Arka masih berekspresi sama. Malah ditambah dua kali lipat. Membuat Dika tak berani menatapnya, tetapi di sisi lain juga ingin karena takut kehilangan lagi.
"Lo mau, ya?" tanya Arka untuk yang terakhir kali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top