3. Kembaran
Arka mengerutkan kening saat ada pesan masuk dari nomor tak dikenal di WatshApp-nya.
+62857 ....: Hai, malam Minggu jalan, yuk!
Syukur kalau chat-nya baik-baik atau sekadar say hi. Lah ini? Arka merengut kesal sekaligus penasaran. Masalahnya, kontak WA-pribadinya jarang diketahui orang-orang. Selama ini pun untuk kepentingan kerja, dia memakai nomor WA cadangan.
"Siapa, sih?" ketusnya kesal. Hendak membalas, tetapi urung karena itu bukan solusi baik. Jadi, dia hanya membaca isi pesan tersebut.
"Kenapa cemberut?" tanya cowok yang baru saja selesai mandi.
"Ada yang chat gue. Mana ke nomor pribadi lagi," jawab Arka. Dia meletakkan ponsel dan berbalik menatap saudara kembarnya.
"Oh," sahut Dika--saudara kembar Arka--dengan santainya. Dia lalu menghampiri meja belajar setelah memakai baju ganti.
"Lo yang ngasih, kan?" tebak Arka. Dia asal menduga. Namun, rupanya cowok yang lebih pendek satu senti darinya itu menyembunyikan sesuatu.
Cowok yang wajahnya begitu mirip dengannya itu tampak menahan senyum, sebelum akhirnya berkata, "Dua hari lalu ada cewek aneh dan nyebelin yang ngusik aku. Dia minta nomor hape kamu, yaudah aku kasih."
"Astaga!" Arka meremas rambutnya gemas sampai membuat Dika terheran. "Kenapa enggak lo kasih nomor gue yang satunya? Ini gimana kalau dia spam, terus nelpon-nelpon, atau kirimin foto aneh-aneh? Astaga, gila aja, Mahardika Galaxy! Untung lo kembaran gue, kalo gak ... hiiiih!"
"Lah, aku, kan gak tahu dan enggak punya," jawab Dika apa adanya.
"Dikaaaa!" jerit Arka sembari melesat menerjang tubuh saaudaranya. Mereka terhempas ke kasur. Arka begitu buas menggelitiki pinggang Dika, membut perkelahian itu tak imbang karena digelitik adalah kelemahan Dika.
"Ya ampun, kalian! Udah gede masih aja kaya bocah." Wanita empat puluhan muncul di depan pintu dengan napas memburu. Tadi dia baru saja pulang kerja, mendengar keributan dari arah kamar anak-anaknya, sontak saja dia terkejut dan segera berlari untuk mengecek situasi.
Arka menghentikan serangannya dan bangkit lebih dulu. Sementara Dika tampak kelelahan karena terus tertawa. Namun, ekspresi wajahnya berubah datar dan kesal, terutama tatapannya yang begitu tajam ke arah Arka.
"Dia nih, Ma. Kasih nomor pribadiku ke sembarang orang. Kan bahaya," adu Arka. Dia langsung bersembunyi di balik tubuh sang mama saat melihat Dika bersiap menyerang.
"Aku, kan gak punya nomor dia, Ma. Lagian aku dipaksa-paksa," sahut Dika ikut-ikutan mengadu.
Wanita single mom itu hanya geleng-geleng. Pusing sendiri karena menjadi penengah di situasi gaduh antara Arka dan Dika yang terus berusaha saling serang.
Sejak kepindahan Arka---anak satunya---hari-harinya selalu dipenuhi hal seperti ini. Ada aja hal yang diributkan, ada aja bahan buat bahan mainan. Dia maklum saja karena kedua anak tampannya terpisah lama. Lebih tepatnya semenjak perceraiannya dengan sang suami lima tahun lalu. Arka dibawa suami ke luar kota, terpaksa terpisah dari Dika yang saat itu hanya bisa menangisi kepergian saudara kembarnya sampai sakit berhari-hari.
"Duh anak Mama, ya." Kedua tangan wanita yang biasa dipanggil Mega itu akhirnya berhasil menangkap pipi gembil Arka dan Dika. Sehingga, kegaduhan pun mereda. Kedua anaknya pura-pura mengaduh kesakitan.
"Kalian daripada berantem gini, mending makan sama Mama, yuk! Tapi, tungguin, Mama belum mandi. Oke?" Mega menatap geli kedua anaknya.
"I-iya, Ma. Tapi ini ... adududuh. Sakit, Ma," erang Arka dengan suara cukup kencang.
"Dia bohong, Ma. Apaan, akting tuh. Aku yang lebih sakit, Ma," rengek Dika.
Mega segera melepas cubitan gemas di pipi anaknya. Dia lalu pamit keluar setelah mengacak rambut Arka dan Dika.
"Mamahku romantis banget," ungkap Arka dengan suara tertahan.
"Itu mamaku wei! Enak aja," serobot Dika yang bersamaan melancarkan serangan balasan kepada Arka.
Arka mengaduh saat pinggangnya digelitiki. Dia menjerit-jerit dan melompat menahan geli.
"E-eh! Btw btw, i-itu siapa yang lo kasih nomor WA gue?" tanya Arka di sela tawa.
"Fans-mu. Cewek songong, judes, dan sinting." Dika meredakan serangan. Dia sudah lelah.
"Hah? Sinting? Judes? Songong?" cecar Arka. Dia duduk di samping Dika yang lebih dulu merebahkan diri di kasur.
"Iya. Itulah aku males kalau harus pansos kayak kamu. Selama ini nutupin diri dengan segala cara, masih tetep ketahuan. Ngeri loh ngelihat kamu tiap mau ke mana-mana harus dikawal. Mana diserbu cewek barbar. Nyaman apa gitu?" Dika menghela napas, lalu menoleh pada Arka yang di saat bersamaan balas menatapnya.
"Nyaman ajalah. Mereka enggak barbar, tapi gak sabar ketemu cowok ganteng kayak gue," jawab Arka diakhiri tawa penuh kesombongan.
Dika membuang muka malas.
***
Amanda melangkah penuh yakin menuju gerbang sekolah. Menurut perhitungan, Arka biasanya datang 5 menitan lagi. Setelah dua hari kemarin percobaannya gagal, maka kali ini harus berbuah manis. Sebenarnya nasib serupa pun menimpa ketiga temannya. Usaha mereka berujung sia-sia. Sudah bisa dipastikan kalau Arka ternyata tipe yang sulit didapatkan. Yah, selebgram, kan? Namun, dia tidak boleh menyerah, justru harus lebih semangat dan kreatif dalam menentukan taktik. Pasti ada satu dua celah. Sambil menyelam minum air. Siapa tahu, kan, kelak akan ada "kisah selanjutnya" dari keisengan taruhan itu, bak di FTV atau novel-novel romance yang selama ini dia baca.
Sesuai perhitungan, terdengar keributan dari arah gerbang sekolah. Amanda mengangkat tongsis dan memulai acara vlog-nya. Dia bercakap-cakap cukup lama, sebelum akhirnya Arka semakin mendekat dan nyaris menabraknya lagi.
"Kak Arka! Nge-vlog bareng, yuk!" Suara cempreng Amanda yang sengaja dinaikkan beberapa oktaf, begitu kontras di antara keramaian.
Arka menoleh, mengangkat alis, dan menatap penuh arti. Dia tak menjawab, malah segera berbalik, kemudian melanjutkan perjalanan.
Di kejauhan, ternyata Arabelle menyimak kejadian tadi. Dia mendengkus marah. Rupanya, saingannya bukan yang biasa saja, melainkan Amandan Lanika, rival sekaligus saudari tiri. Orang di daftar pertama yang harus dia musnahkan segera.
***
Pelajaran bahasa Indonesia berjalan lancar, Amanda dan siswa lain di kelas XI-IPS menyimak khusyuk semua materi yang diterangkan guru berjambang tipis dan bertubuh tinggi di depan papan tulis. Materi yang tengah dibawakan adalah puisi sebagai salah satu karya fiksi.
"Jadi, anak-anak. Di akhir pertemuan pertama kita, Bapak ingin melihat kemampuan berpuisi kalian dengan sebuah tugas. Buatlah sebuah puisi bertema dan genre bebas, minimal 4 paragraf. Tugas dikumpulkan di pertemuan kedua kita. Dan yang paling bagus, akan Bapak pajang di dinding mading sekolah."
Mendengar penuturan Pak Caca, seisi kelas pun menampakkan beragam reaksi: ada yang senang, sedih, kecewa, atau biasa saja.
Pak Caca menutup pertemuan dan beberapa saat kemudian keluar kelas. Tak lama, Bu Heni sebagai guru mata pelajaran sosiologi, memasuki kelas. Ini pertemuan pertama mereka, jadi guru berkacamata persegi dengan fostur langsing itu terlebih dahulu mengucap kata-kata sambutan.
Pelajaran pertama mengenai hubungan sosial dan konflik-konflik di dalamnya. Guru satu ini memang lihai dalam menyampaikan materi, tampak seisi kelas begitu menikmati, bahkan dua jam pelajaran tidak terasa sudah habis saja.
Sementara di kelas XI-IPS 2, Arabelle mati-matian menahan kantuk yang membuatnya terpaksa berulang menguap. Dia bosan, pelajaran matematika sungguh memusingkan.
Waktu istirahat hanya tersisa 10 menitan lagi, tetapi rasanya sejam. Arabelle akhirnya memainkan ponsel secara sembunyi-sembunyi. Kebetulan bangkunya di pojok ruangan, terhalang siswi berbadan besar pula. Jadi, lumayan startegis.
"DITOLAK SELEBGRAM, APA KABAR NIH MANTAN ARTIS NGETOP KITA? ARABELLE KIYOKO."
Arabelle mendelik saat iseng membaca artikel terbaru di Roomphits.
"Sialan!" desisnya tanpa sadar. Dia terus membaca artikel sampai habis. Sungguh, dia begitu marah saat menemukan beberapa kalimat yang benar-benar hoax dan fitnah. Terutama bagian ditolak, dikacangin, dan nasib sial.
Sisil bener-bener minta gue kasih pelajaran! Batin Arabelle kelewat sabar.
Dia menutup beranda website, lalu beralih pada aplikasi Instagram.
@Arabellekiyoko: Gue bayar lo berapa pun asal mau ngelaksanain tugas gue dengan baik.
"SUDAH SEPERTI FTV! ARKANANTARA GALAXY JATUH MENIMPA SEORANG CEWEK. SIAPA DIA?"
Arabelle membaca artikel kedua. Setelah selesai, dia tampak mengepalkan tangan, serta pundaknya naik turun akibat napasnya yang memburu.
Bel pertanda istirahat berbunyi. Arabelle memasukkan ponsel ke saku bajunya sebelum ikut beranjak keluar kelas bersama siswa lain. Dia masih harus menyelesaikan misinya. Segera. Sebelum ditikung musuhnya.
Ternyata, setelah memaksa cowok aneh untuk meminta nomor WA Arka, tidak membuat nasibnya mudah menaklukan Arka. Malah tadi malam, WatshApp-nya diblokir. Bagi Arabelle, Arka itu sok jual mahal sekali. Tampangnya padahal tidak tampan-tampan amat baginya. Arka cuma menang di gaya saja.
Arabelle menghela napas, dia menunggu di bibir tangga penghubung lantai dua dengan lantai dasar yang langsung mengarah ke kantin.
Dia akhirnya melihat tanda-tanda keberadaan Arka. Namun, ada manusia yang paling dihindarinya di muka bumi, Amanda, yang entah tengah apa karena hanya memainkan ponsel sedari tadi.
Dia merasa akan kalah satu langkah lagi. Itu jelas tidak bisa dibiarkan!
***
Arabelle agak mengendap saat membuka pintu rumah. Ini pukul delapan malam, belum terlalu larut. Namun, jika ingat ada "pria itu" di rumah, maka mau tak mau Arabelle harus berada di rumah sebelum "dia" pulang.
"Anak sama ibu sama saja. Hobinya keluyuran! Dari mana saja kamu? Main sama pria hidung belang? Apa gak cukup uang yang saya kasih, hah!"
Sayang, ternyata Arabelle kalah cepat. Tampak pria tambun berkaus hijau tosca, berkacak pinggang di bibir tangga menyambut kepulangannya.
Arabelle mendesis, selalu saja kalimat cacian itu yang keluar dari mulut "ayahnya".
"Saya kerja siang malam, saya rela banting tulang demi membesarkanmu, yang kamu ini siapa saya? Saya selama 16 tahun merawat kamu cuma karena kasihan. Lalu, ini balasan kamu, hah? Mau bikin saya malu?" cecar pria dengan panggilan Renal. Matanya menatap nyalang, napasnya memburu. Suasana vila berlantai dua di kawasan Dago Village itu mendadak tegang.
Arabelle menggeratkan gigi. Tangannya mengepal bulat. Detik itu juga dia ingin pergi seandainya jalannya tidak dicegat Renal.
"Anak sialan!" hardik Renal saat akhirnya melihat Arabelle berlari kencang, melewatinya tanpa sepatah kata. Terdengar derap langkah yang diakhiri suara keras dari bantingan pintu.
"Anak tidak tahu tata krama! Menyesal saya membesarkannya," keluh Renal yang masih di puncak emosi.
"Sabar, Mas. Arabelle itu masih remaja. Masih perlu bimbingan." Wanita cantik dengan rambut yang selalu dibiarkan tergerai serta bibir tak luput dari polesan lipstik, mengelus pelan pundak Renal.
Emosi Renal perlahan mereda. Dia menatap lembut dan tersenyum ke arah sang istri yang baru dinikahi beberapa bulan lalu.
***
Arabelle sangat membenci keluarga. Iya, jika menurut artikel yang tak sengaja dibaca, keluarga adalah ikatan penuh cinta dan rumah ternyaman, jelas berbeda makna dengannya. Apa itu keluarga? Saat ibunya pergi tanpa menyisakan secercah kasih sayang, saat ayahnya mau merawat tetapi dalam keadaan terpaksa. Itukah keluarga?
"Kak Daffi, Bel kangen ...." Arabelle melirih dengan dada yang berangsur sesak. Amarah bercampur rindu mengisi setiap rongga, membuat gumpalan kabut kesedihan terproduksi baik di kedua netra belonya. Namun, bulir-bulir air mata mati-matian dia tahan. Dia harus kuat. Dia tidak boleh lemah.
Kehidupan di rumah ini sudah bak neraka, sayangnya dia sudah terbiasa karena ada janji yang harus ditepati. Menghadapi pria seperti Renal saja sudah membuatnya habis kesabaran, lalu sekarang ditambah dua wanita pencari perhatian yang membuatnya tambah muak.
Lihat aja, gue bakal hempasin lo berdua dari rumah ini. Gue bakal hancurin kebahagiaan kalian. Gue bakal buka kedok kalian! Arabelle membatin.
***
Arka seperti biasa datang disambut antusiasme para fans yang langsung berebut meminta foto atau berusaha menyentuhnya. Dia hanya tersenyum saja, sesekali melambai dan membalas ucapan para fans yang semakin hari kian banyak. Hingga, dua cewek yang diingatnya baik menyeruak kerumunan. Mereka adalah si cewek vlogger dan si pemaksa. Arka tak tahu dan malas mencari tahu siapa nama keduanya. Tidak penting.
"Kak Arka, aku minta foto dong!" teriak Amanda sembari mengacungkan tongsisnya.
Arka menyetujui saja. Dia bahkan agak bergeser dan bersiap akan bergaya di depan kamera. Namun, urung karena terjadi sebuah tragedi.
Amanda terhempas ke lantai, disusul tong sampah yang tumpah. Kebetulan, ada beragam cairan berbau busuk di dalamnya. Sehingga, tamat sudah nasib Amanda. Dia duduk bersimpuh dengan pakaian basah akibat tertumpah cairan dari tong sampah.
Seketika kerumunan menyeruak, beberapa langsung mengumpat atau mual di tempat. Arka sendiri untung sempat menghindar, hanya Ben saja yang kena celana bagian bawahnya.
Wajah Amanda merah padam. Malu dan kesal tertahan. Membuatnya tak berkutik dan bergeming. "Tidaaak!" jeritnya disertai tangis yang seketika pecah.
Mampus! Dia jadi pusat perhatian sekarang. Lihat saja, beberapa siswi langsung iseng merekam, disaksikan Arka pula.
Arabelle tertawa pelan penuh kemenangan.
***
Amanda menghempaskan tisu yang ke sekian, lalu mengambil lembar baru untuk membersihkan wajah bulatnya.
"Sialan! Aku malu banget!" Dia sedari tadi terus mengulang kalimat sama. Jika saja keadaannya tidak genting, mungkin Mey-Mey, Dara, dan Vita akan langsung mengungkapkan keluhan.
Bagaimana tidak, kejadian tadi pagi sangat-sangat membekas dan tersimpan kekal di ingatan. Dia jatuh, tertimpa sampah, di depan gebetan. Lengkap sudah. Apa kabar image-nya sekarang? Bahkan, jangan-jangan dia sudah jadi hot topics dan jadi bahan bully-an orang-orang.
Bel berbunyi. Mereka mendesah pasrah. Seragam Amanda basah, rambutnya juga. Jika memaksakan ke kelas, Pak Elan pasti menegur dan Amanda berakhir di lapangan sekolah. Bisa saja tetap di kelas tetapi dalam keadaan memalukan.
"Kalian ke kelas aja deh. Bilangin ke Pak Elan, aku izin. Terserah alasannya mau apa." Amanda kembali membuang tisu bekas ke tong sampah. Dia lalu mengibas-ngibaskan tangan ke muka, berharap meredakan hawa panas yang sedari tadi belum mereda.
"Ya sudah deh." Setelah berujar, Dara lebih dulu keluar. Disusul Mey-Mey dan terakhir Vita yang sempat mengelus pundaknya.
Amanda pun sendirian. Menatap lekat pantulan diri di cermin yang begitu berantakan. Dia merenung sebentar. Kejadian tadi pagi bukan ketidaksengajaan karena dia merasa tubuhnya didorong kencang. Lalu ....
"Astaga! Ternyata dia!" Amanda mengepalkan tangan saat ingat di TKP ada Arabelle, musuh sekaligus saudari tirinya. Tidak salah lagi, pasti Arabelle pelakunya.
Amanda kembali menarik tisu secara asal dan membersihkan wajahnya untuk yang terakhir. Dia keluar, celingukan sebentar untuk memastikan situasi. Dia sudah bertekad akan mencari Arabelle. Masalah seperti ini sudah tidak bisa dibiarkan.
Kebetulan sekali, saat tengah merapat ke dinding dekat tangga, Amanda melihat Arabelle berjalan santai ke atap sekolah. Amanda mendengkus dan segera menyusul. Dia mengendap, berharap pergerakanya tidak terlihat dari ruang guru yang kebetulan bersebrangan hanya saja berada di lantai dasar. Yang di lantai dua hanya berupa kelas XI-IPA 1. Amanda sempat melihat guru-guru tengah sibuk menerangkan, jadi dia aman dan segera kabur ke lantai tiga.
Di lantai tiga juga aman karena yang bersebrangan dengan tangga menuju rooptof adalah perpustakaan dan ruang lab komputer. Sementara di sepanjang koridor tak ditemui siapa-siapa.
Sebetulnya percuma saja dia mengendap karena di tiap tangga, terpasang satu CCTV. Beruntungnya hal itu sudah diketahui sejak lama, jadi sedari tadi, Amanda terus menutupi wajahnya.
Tiba di rooptof. Amanda bisa langsung menemukan Arabelle yang tengah duduk santai di bibir gedung yang menghadap ke lapangan belakang sekolah.
"Woi!" Amanda sudah tidak bisa sabar lagi.
Mendengar teriakan seseorang, Arabelle menghentikan acara "nongkrongnya". Dia berdiri dan melompat ke dekat sumber suara. Dia lalu menatap sinis.
"Gue bikin rugi lo apa? Sampe lo permaluin gue di depan umum?" Napas Amanda memburu. Dia begitu tak ingin berbasa-basi dengan model manusia semacam Arabelle.
"Lo bikin hidup gue gak asyik," jawab Arabelle yang kini menyilangkan tangan di dada.
Amanda mendengkus. "Lo mau gue bikin malu kaya tahun lalu lagi?" Dia tertawa sumbang.
"Coba aja kalau lo bisa." Dijawab santai demikian, Amanda semakin kesal saja. Dia tak menyahut dan membiarkan desau angin mengisi suasana.
"Gue nantang lo buat dapetin Arka duluan. Siapa yang kalah, dia harus minggat dari rumah tanpa bawa barang berharga satu pun!" kata Arabelle setelah membiarkan jeda sekitar satu menitan.
"Oh, lo nantangin gue? Oke. Gue setuju. Dan kalau lo kalah, lo juga harus milih minggat dari rumah tanpa bawa barang berharga satu pun, atau jadi babu gue seumur hidup!" balas Amanda dengan nada penuh penekanan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top