21 -- Beban masa lalu
Ara masuk ke kamar penginapan mereka, lalu buru-buru memasukan semua bajunya ke dalam koper.
Beberapa lama kemudian setelah Ara menutup koper dan bersiap untuk membawanya keluar dari kamar, Najwa dan Naura datang ke kamar itu.
Wajah Ara yang biasanya nampak putih bersih, kali ini terlihat memerah karena menangis.
"Ra, lo mau ke mana!" ucap Naura sambil melepaskan koper yang sedang di pegang Ara dengan paksa.
"Gue mau pergi, mulai detik ini kalian nggak usah urusin hidup gue lagi!" tepis Ara sambil mengambil kembali koper yang terlepas dari tangannya.
"Lo mau pergi, Ra? Silahkan, tapi lo harus balikin gelang gue dulu!" ucap Najwa sambil menahan lengan Ara.
Ara tertawa kecil. "Gelang? Gelang lo yang mana?"
"Heh! Lo nggak usah sok lupa, ya!" sentak Najwa yang hendak mendaratkan sebuah tamparan pada Ara karena geram. Hal itu terhenti karena Naura langsung menarik tubuh Najwa agar sedikit menjauh dari Ara.
"Udah lah, Naj," pintaNaura.
"Hah?! Enak aja lo bilang udahlah udahlah, lo nggak mikir, Nau? Hidup Rey dalam bahaya saat ini dan pengkhianat ini malah nyuri satu-satunya cara buat nyelametin Rey. Lo nggak khawatir?! Rey dari kemaren nggak balik balik, Nau!!" bentak Najwa seraya melirik Ara dengan sinis.
"Heh!! Lo nggak usah sok suci ya, Naj! Sok-sokan mau nyelametin Rey, lo pikir, lo siapa?! Gue nggak percaya kalo lo sekarang jadi manusia sebaik ini. Rey siapanya lo sampek lo mau ngorbanin hidup lo sendiri demi bantu dia?" Balas Ara sambil tertawa remeh.
"ARA!!"
Najwa reflek menampar Ara karena emosi yang sudah tak bisa lagi dia tahan.
"Lo mukul gue untuk nyuruh diam, kenapa? Takut kalah debat sama gue? Bisanya lo cuma gini? Nampar gue pas lo udah nggak punya kata-kata lagi buat ngelawan perkataan gue," ejek Ara sembari menyentuh pipi kirinya yang terasa panas karena tamparan Najwa.
"Ra, gue nggak suka diri lo yang ini, Ra! Cuma gara-gara Ando0 lo berubah total kaya gini, kalo lo mau detik ini juga, gue bisa nikahin lo sama Ando!" ucap Najwa yang sudah sangat bingung dengan jalan pikiran Ara yang berubah dengan sangat cepat.
Seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat sampah, kemudian menganga tak percaya.
"Hah?! Gila banget tu Najwa, kalo Ara bilang mau gimana?" keluh Ando.
"Diem lo!" tegur Zulfan sambil menjitak kepala Ando.
"Lo pikirin deh, kalo detik ini juga gue nikah sama Ara. Gimana gue nanti?"
"Ya emang kenapa kalo lo nikah sama Ara detik ini juga, salah?"
"Ya nggak salah juga sih, cuman gue mau pesta yang besar, gue mau ngundang semua mantan gue ke pernikahan gue. Kalo langsung nikah detik ini, ya gue ngak siap lah, Fan!"
"Iya-iya, sekarang diem dulu! Entar kita malah ketahuan kalo sedang ngumpet di sini," pinta Zulfan.
Sementara itu ...
"Gue nggak akan nikah sama Ando hanya karena lo yang ingin nikahin gue dengan dia, Naj! Gue nggak sepicik yang lo pikirin. Lo pikir gue berubah hanya karena Ando? NGGAK!! Gue berubah itu karena kalian yang selama ini nggak pernah lihat perasaan gue dan itu nggak hanya sekali, BERKALI-KALI!!"
"TERSERAH! tapi yang penting ekarang, lo balikin gelang gue, setelah itu lo silahkan pergi ke mana pun lo mau dan jangan kembali ke kehidupan gue dan Naura lagi!"
Ara tertawa kecil. "Gelangnya udah gue buang, lo nggak bakal bisa dapetin gelang itu lagi dan Rey ngak akan kembali ke sini lagi!"
"Maksud lo?!!" bentak Najwa yang ingin maju untuk menampar Ara lagi. Namun karena pelukan Naura begitu erat, Najwa kesulitan untuk memukul Ara.
"Cuman gelang gak berguna gitu aja lo perdebatin, Naj? Gue bisa bikin sepuluh bahkan lebih! Lo pikir yang selama ini ngajarin lo Fisika dan Kimia siapa? Gue 'kan? Dari SMA gue yang ngajarin lo, tapi yang kepilih buat ikut Olimpiade SAINS siapa? Elo Naj dan gue dapet apa?" ungkit Ara pada Najwa.
"Jadi selama ini lo iri sama gue, Ra? Kenapa lo nggak bilang waktu dulu kalo lo mau mewakili sekolah kita dalam Olimpiade SAINS, yang gue lihat lo malah ketawa ketawa dan bahagia saat gue bisa dapet juara 1 Olimpiade."
"Cih, juara 1! Lo pikir lo juara satu karena siapa? Dan lo pikir semudah itu untuk tersenyum dan ikut bahagia ketika lo mewakili Olimpiade SAINS, itu pelajaran yang gue suka, Naj! Lo tau sendiri gue suka banget pelajaran itu dan gue udah bercita-cita buat ikut Olimpiade SAINS. Lo tau itu, tapi kenapa lo ambil kesempatan gue? Lo bilang dulu nggak suka Kimia, tapi kenapa lo bisa kepilih untuk ikut Olimpiade SAINS, Naj?"
Tangis Ara sekarang pecah ketika dia harus mengingat kembali masa kelamnya dulu. Begitu juga dengan Najwa dan Naura yang ikut menangis karena rasa bersalah yang tak bisa di perbaiki lagi. Ara sudah terlanjur berubah dan itu masalahnya sekarang.
"Kenapa lo nggak bilang dari dulu, Ra?" ucap Najwa lirih.
"Kalian jahat!!" sentak Ara di sela tangisnya.
"Ra ..."
Naura mendekati Ara dan berusaha untuk menenangkannya.
"Maafin gue dan Najwa, Ra! Gue bakal ngelakuin apa pun demi lo, maafin gue, Ra," ucap Naura sambil berusaha untuk memeluk Ara yang terus menghindar.
"CUKUP!!" teriak Najwa yang kemudian kembali berdiri sambil menyeka air matanya dengan kasar.
"Gue akui gue salah, tapi gue nggak sepenuh nya salah! Kesalahan itu ada juga pada diri lo. Lo nggak berani buat ngomongin sesuatu yang nggak lo suka pada kita, lo ingin kita nebak perasaan lo? Seriously? Kita berdua itu bukan Bella yang bisa nebak perasaan orang dengan mudah, Ra!!"
Najwa menyibak rambut, kemudian berkacak pinggang. "Gue akui lo adalah orang yang paling pintar di antara kita bertiga, tapi lo juga adalah orang yang paling pengecut di antara kita bertiga. Lo cuma berani di belakang doang, lo pikir kita tau hal yang lo pikirin di belakang? NGGAK!! Kita nggak tau, Ra. Lo tau, Ra? Kadang-kadang seseorang harus berbicara sejujurnya, walau itu bukan hal yang dia suka. Lo ingin kita peduli, tapi lo bertingkah seakan-akan lo baik-baik aja!!"
"Ngak usah sok tau lo, Naj" sanggah Ara lirih.
Najwa tertawa kecil. "Lo bilang apa tadi, Ra? Lo bilang, lo bisa bikin sepuluh bahkan lebih untuk bikin gelang itu? Ayo coba buat sekarang, emang lo bisa? Nggak Ra, semua itu nggak semudah ucapan lo. Gelang itu dirancang oleh seseorang yang berasal dari dimensi lain dan gue butuh waktu lima tahun SENDIRIAN untuk nyari semua komponen yang nggak ada di zaman kita. Lo tahu? Gue bahkan harus nerima pertunangan dengan Kevin ketika sebentar lagi gue bakal pulang. Dia ngancem buat dateng ke sini dan bunuh satu-persatu orang yang gue sayang TERMASUK BUNUH LO JUGA. LO PIKIR ITU HAL YANG MUDAH?!!"
Ara terdiam ketika mendengar ucapan Najwa.
"Gue bener-bener nggak kenal lo lagi, Ra! Ternyata sisi buruk lo lebih mengerikan dari yang gue duga!"
"Lo pikir lo ngak berubah, Naj? Lo sendiri juga berubah, Naj! Lo bantuin Rey karena lo suka dia, 'kan?!"
Najwa tersenyum tipis sambil menatap Ara yang juga ikut berdiri. "Iya Ra, lo betul, gue suka sama Rey sejak pertama gue ketemu dia di rumah Ando, tapi itu bukan alasan gue buat bantu dia. Gue hanya tidak ingin dia ngalamin hal sama dengan yang gue alami saat di sana."
.
.
.
.
"Ternyata persahabatan cewek itu lebih ruwet daripada persahabatan kita ya, Ndo!" ucap Zulfan dengan perasaan yang sedih.
Karena tak mendapatkan jawaban dari Ando, Zulfan kemudian menoleh ke belakang dan mendapati Ando yang sedang menangis sambil menonton pertengkaran ketiga sahabat yang ada di dalam kamar.
"Lebay lo," ejek Zulfan sambil menyikut Ando.
"Adegan ini mengandung bawang, Fan dan gue nggak bisa nahan air mata saat gue lihat hal ini," keluh Ando.
"Ini semua 'kan sumber permasalahannya berawal dari lo, Ando!" ucap Zulfan enteng.
"Iya, Fan, sekarang gue terima kalo lo ngomong gitu dan gue juga terima kalo lo sama Naura. Lo emang lebih baik dari gue, Fan, " ucap Ando lirih.
"Haduh! Kenapa lagi ni anak?" keluh Zulfan sambil menepuk jidat karena bingung dengan kelakuan Ando yang selalu saja aneh.
Zulfan menatap miris Ando dan memilih kembali fokus untuk mendengarkan perdebatan antara ketiga sahabat itu.
Ara kemudian pergi sambil membawa kopernya dan pergi tanpa sepatah kata. Gadis itu mungkin sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan Ara, sementara Naura dan Najwa nampak terdiam di tempat dengan pikiran masing-masing.
Melihat 'drama' yang sudah selesai, Ando dan Zulfan pun ikut pergi dari tempat itu untuk kembali ke kamar. Mereka berjalan dengan langkah yang hati-hati agar Najwa dan Naura tak menyadari keberadaan mereka yang sedari tadi sudah menguping perdebatan ketiga sahabat itu.
.
.
.
Kevin datang secara tiba tiba ke kamar Rey setelah seharian dia membuntuti pemuda itu. Dia ingin memastikan apakah hal yang diucapkan Rey pada Delina, benar atau tidak.
Kevin kemudian mengikat tubuh Rey dengan tali bermuatan listrik yang bisa ia buat dengan mudah. Rey yang sedang tidur, lantas tersentak kaget saat melihat listrik melingkari tubuhnya. Tubuh serasa sakit karena terkena sengatan dari ikatan itu dan membuatnya reflek berteriak keras.
Ansabella, Raksa, dan Syam, yang mendengar teriakan itu, lantas segera keluar dan menghampiri sumber suara. Mereka terkejut ketika melihat tubuh Rey yang terlilit oleh ikatan listrik yang di berikan Kevin. Raksa berusaha menghentikan dan berusaha melawan kekuatan kevin, namun justru Raksa sendirilah yang terpental oleh kekuatan Kevin.
"RAKSA!!" teriak Syam sambil menangkap tubuh Raksa.
Setelah melihat Rey yang tak lagi berdaya, Kevin langsung melepaskan ikatannya dan memilih untuk pergi. Sebelum pergi, dia sempat menoleh ke arah Rey yang justru tersenyum kecil padanya.
"Kau tak pernah berubah sedikit pun, Rey. Kau hanya salah memilih seseorang untuk kau percaya."
Ansabella kemudian mendekati Rey yang masih sadar, namun dengan tubuh yang begitu lemah.
"Rey ..."
Rey tersenyum tipis, lalu menyentuh pipi Ansabella ketika melihat pendar berwarna kuning pucat dari mata robot itu.
"Aku tidak apa-apa, Bel. Kevin datang hanya karena sedang ingin menguji sikapku saja. Jangan mengkhawatirkan diriku," ucap Rey lirih.
"Kekuatan Kevin bertambah begitu besar, Delina. Entah karena hal apa apa yang sampai membuat dirinya begitu kuat seperti sekarang!" keluh Raksa setelah memulihkan dirinya dengan cara menyuntikkan serum pemulih tenaga.
"Kita harus memusnahkan Kevin secepatnya, kalau tidak dia bisa mencelakan siapa saja yang dia inginkan," sambung Bella seraya menggenggam tangan Rey dengan khawatir.
Rey ingin mencegah apa yang Bella katakan, tapi tubuhnya bahkan terasa sangat lemah sampai bicara sepatah kata pun sulit. Kevin memang sudah sangat berbahaya dengan kekuatan yang dia miliki sekarang, tapi Kevin yang Rey tahu, bukanlah robot gila yang akan melakukan apapun tanpa menganalisis konsekuensi dari perbuatannya. Robot itu diciptakan dengan kasih sayang dan Rey tahu jika robot itu masih memiliki secercah kebaikan.
"Tapi kenapa Kevin masih saja melepaskan Rey? Apa dia sedang mencoba untuk mempermainkan kita semua?" tanya Syam bingung.
"Rey adalah sahabat Kevin di masa lalu, dia tidak bisa menghabisi sahabat yang pernah ia sayangi dengan cara yang seperti ini. Hari ini dia hanya mengikat Rey dengan listrik yang cukup tinggi, tapi untuk selanjutnya, tidak ada yang bisa menduga hal apa yang akan dia lakukan pada kita," jelas Ansabella.
Syam mengangguk paham. "Oke, jadi mulai hari ini juga, kita harus menyusun strategi yang lebih matang untuk memusnahkan kevin. Dia sudah sangat kuat sekarang," usul Syam yang di setujui oleh Ansabella dan Raksa.
Rey menatap Ansabella dengan khawatir, lalu menoleh ke arah dua pria yang ada di depannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
.
.
.
.
Ara sedang menangis di bangku taman yang pernah ia datangi bersama Ando beberapa waktu lalu. Suasana taman itu cukup sepi sekarang bahkan hanya ada Ara seorang di sana dan karena itulah Ara memilih taman itu untuk menenangkan diri.
"Kenapa nangis?"
Ara terkejut ketika ada seseorang yang menegurnya.
"Elo?! Ngapain lo di sini? Bagaimana bisa lo dateng ke sini?" tanya Ara dengan kesal.
"Hah? Ra, lo ini masih bego aja ternyata! Gue bisa kemana pun kalo gue mau!"
Ara mendengkus kesal saat mendengar jawaban dari Kevin. Iya, seseorang itu adalah Kevin.
"Kenapa lo nangis?"
"Bukan urusan lo!"
"Sini cerita ke gue aja."
"Idih, aneh lo!"
"Yeee, malah dibilang aneh, nangis itu gimana sih rasanya, Ra?" tanya Kevin penasaran.
"Rasa Melon!"
"Serius Ra, gue ini sedang nanya."
"Emang lo nggak pernah sedih terus nangis gitu?"
"Gue pernah sedih, tapi gue nggak pernah bisa buat ngeluarin airmata seperti yang lo lakuin sekarang."
Kevin reflek menghapus sisa airmata di pipi Ara dan membuat gadis itu mematung.
Jika dilihat dari jarak yang dekat seperti saat ini, Kevin terlihat ampan juga. Dia terlihat seperti Zulfan dengan pesona yang sedikit mirip dengan Ando.
"Lo kelihatan cantik, Ra kalo sedang diam gini," puji Kevin saat menatap Ara yang terdiam.
Ara mengedipkan mata setelah mendengar komentar Kevin dan hal itu pula yang membuat lamunannya buyar begitu saja.
'Huh! Untuk apa gue suka dengan Kevin, jika dia hanya menyukai Najwa saja,' ucap Ara dalam hati.
"Semua orang memang selalu mengakui kecantikan dan kepintaran gue, Vin."
"Hmm ... Elo emang nggak pernah mau kalah ya, Ra," decak Kevin heran.
"Gue nggak akan kalah dari lo yang hanya seorang robot, wleee ... ." ledek Ara sambil menjulurkan lidah dan membuat ekspresi wajah yang konyol.
Mata Kevin berpendar biru terang. "Mau gue tunjukin kekuatan gue lagi?" tanyanya.
"Et et et, nggak perlu, gue udah tau dan terima kasih!"
Canda dan tawa Ara tercipta kembali saat ia berada di dekat Kevin, namun apakah hal itu akan bertahan lama?
*****
Hai guys, aku kembali lagi 😊
Maap yak kalo kemarin kita nggak up bab baru 😅
Kuy, nikmatin aja bab baru ini. Moga kalian suka 😊
Jangan lupa untuk kasih vote dan coment sebanyak-banyaknya, ya 😘
Love by Gadistina to all readers 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top