08 -- Kecurigaan
Rey, Zulfan, dan Ando, keluar dari laboratorium Mama Ririn. Rey membuka pintu untuk keluar dari ruangan itu dan mendapati Bi Siam yang sedang berdiri tepat di samping pintu.
"Bi ...," ucap Rey yang terlonjak kaget.
Bi Siam pun ikut kaget saat Rey membuka pintu.
"Hay, Bibi, dah lama kita nggak ketemu!" sapa Ando dengan riang.
Rey menatap Bi Siam dengan penuh kecurigaan. Mungkinkah dia harus mencurigai wanita itu?
"Bi, Bibi ngapain di sini?" tanya Rey dengan wajah yang terlihat bingung.
"Em anu ..., itu ...," jawab Bi siam dengan gugup.
"Bibi dengerin omongan kita di dalam?" tebak Rey serius.
Bi Siam menunduk dan terlihat gugup saat Rey berbicara dengan nada serius untuk pertama kalinya.
Mama Ririn kemudian keluar dari laboratorium untuk mengetahui alasan apa yang membuat anaknya masih saja berdiri di depan pintu.
"Ada apa, Rey?" tanya Mama Ririn bingung.
"Ini Mah, Bi siam tiba-tiba datang ke sini. Pas aku tanya, dia justru gugup dan tak menjawab pertanyaanku!" ucap Rey tanpa menoleh ke arah Mama Ririn.
Mama Ririn lantas menoleh ke arah Bi Siam yang terlihat menundukkan kepalanya. Wanita itu tersenyum kecil, lalu menghampiri Bi Siam.
"Nggak usah gugup kali, Bi, Rey 'kan udah kaya anakmu sendiri. Kita berdua yang ngerawat Rey sejak dia baru lahir, 'kan? Jadi, kalo Rey terlihat aneh, tegur dia juga, Bi," kata Mama Ririn yang terdengar menyemangati Bi Siam.
"Mah, untuk saat ini kita nggak bisa percaya sama siapa pun. Mamah sendiri 'kan yang bilang, kalau pelakunya adalah orang terdekat kita? Jadi, aku sendiri harus mencurigai banyak orang yang dekat dengan Papah, selama beliau masih hidup," sanggah Rey.
Mama Ririn tersenyum tipis ketika melihat Rey yang berubah dengan cepat setelah mengetahui sebagian fakta dari kasus pembunuhan ayahnya.
"Nyonya, ini ponsel Nyonya. Dari tadi bunyi terus. Sepertinya Nyonya melupakan ponsel itu dan meletakkannya di atas sofa ruang tengah," ucap Bi Siam seraya meyodorkan ponsel tipis berwarna hitam kepada pemiliknya.
"Eh iya, Bi, tadi ketinggalan di sana, ya?" ucap Mama Ririn sambil menerima ponsel hitam itu.
"Iya, Nyonya, dari tadi bunyi terus, saya pikir ada telepon yang penting," jelas Bi Siam.
"Yaudah, mamah angkat telepon dulu, ya!" ucap Mama Ririn yang kemudian meninggalkan Bi Siam dan ketiga pemuda itu.
"Jadi, Bibi beneran nggak denger apapun yang tadi kami bicarain?" tanya Rey untuk memastikan.
Bi Siam menggeleng cepat. "Bibi tadi baru datang dan pas mau ngetok pintu laboratorium, eh udah lebih dulu di buka sama kamu," jelas Bi Siam meyakinkan.
"Memangnya ada apa?" ucap Bi Siam balik bertanya.
"Nggak ada apa-apa sih, Bi. Maafin Rey yang udah curiga sama Bibi, ya!" jawab Rey yang merasa bersalah karena sudah mencurigai Bi Siam tanpa bukti yang jelas.
"Iya, nggak papa, Rey, tadi Bibi cuma kaget aja," ujar Bi siam sebelum pergi dari depan laboratorium.
Rey, Zulfan, dan Ando, lalu melangkah menuju kamar Rey dengan pemikiran yang bercabang-cabang.
Ando langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur, sedangkan Zulfan memilih merebahkan dirinya di sofa dekat jendela kamar, lalu Rey sendiri justru duduk di kursi belajar sambil menatap satu persatu foto masa kecilnya. Dia mengambil album foto itu dari ruang kerja Papa Brasdan.
"Gue jadi kangen sama Papah," ucap Rey tiba-tiba.
"Bulan depan 'kan papah lo pulang, Rey. Lo bisa peluk dia sepuasnya," respon Ando dengan enteng.
Rey mendengkus kesal, lalu menoleh ke arah Ando yang terlihat sedang menatap langit-langit kamar.
"Lo jangan mancing emosi gue deh, Ndo!" sergah Rey kesal.
Ando tersenyum kecil dan menatap Rey secara sekilas. "Meskipun Papah lo udah ngak ada, tapi lo masih punya robot yang berperan sebagai papah lo!" jelasnya dengan nada bicara yang terdengar semakin lirih.
"Perasaan, lo dari kemaren bilang enak enak mulu deh, Ndo!" omel Zulfan.
"Lo tau sendiri 'kan, Ndo. Gimana keadaan Papah setelah kecelakaan. Dia berubah drastis dan gue nggak tahu sama sekali tentang kebenaran ini," jelas Rey sedikit sedih.
"Terus, setelah kejadian ini, lo bakal gimana pas ketemu dengan robot itu?" tanya Zulfan penasaran.
"Entahlah Fan, gue sendiri juga bingung! Karena yang sekarang gue tau, gue udah nggak punya Papah lagi," ucap Rey pasrah.
"Rey, sini deh," ajak Ando sambil mendekati Zulfan yang masih duduk di sofa dekat jendela.
Rey lantas mendekati Zulfan dan Ando dengan wajah yang bingung.
"Rey, coba lo lihat kumpulan bintang yang ada di luar!" pinta Ando.
Rey mengerutkan kening karena bingung, namun tetap menurut pada perintah Ando. Dia menatap langit di malam hari kebetulan terlihat cerah karena dihiasi oleh banyak bintang.
"Lo percaya nggak Rey? Kalo Papah lo udah jadi bintang di sana!" tutur Ando sambil tersenyum lebar.
Ando bisa terlihat sangat dewasa, jika sudah berurusan dengan hal yang berkaitan dengan kenangan masa lalu. Itu sering terjadi ketika dia sedang mengenang Almarhum Papanya yang telah meninggal ketika Ando masih berusia sembilan tahun.
"Entahlah ...," jawab Rey sambil memperhatikan kumpulan bintang dari jendela kamarnya.
"Gue sih nggak percaya dengan hal begituan!" ucap Zulfan sambil menoleh ke arah kedua sahabatnya yang fokus memandangi bintang.
"Lo belum pernah kehilangan seseorang di dalam hidup lo, Fan. Lo masih punya orang tua yang lengkap, masih punya kakak, adik, nenek, dan kakek. Lo juga tajir, lo punya segalanya!" ucap Ando ketika merasa kalau Zulfan meremehkan dirinya.
"Sudahlah, Ndo. Semua hal yang lo sebutin tuh hanyalah sebuah titipan aja agar kita bisa bersyukur, lagian lo juga masih punya Tante Joe yang selalu ada buat lo," ucap Rey menenangkan.
"Lo juga punya kita yang akan selalu ada buat lo," sambung Zulfan sambil merangkul Ando.
Ando lantas menghapus air matanya dan tersenyum haru.
"Ini bukan waktunya kita untuk bersedih hati, sekarang kita harus fokus untuk mencari Delina. Kita harus menemukan dia," ucap Ando sambil menyemangati kedua sahabatnya.
"Tapi kita harus cari dalang dari permasalahan ini dulu, Ndo!" tolak Rey.
Ando tersenyum tipis, "nggak ada salahnya kalo kita coba nemuin Delina dulu, Rey, kita selesain masalahnya satu-persatu," sanggahnya.
Zulfan tersenyum, lalu menepuk bahu kedua sahabatnya.
"Kita rancang sekali lagi rencana itu esok hari saja, hari sudah semakin larut dan kita juga harus segera tidur. Kita tak boleh lupa dengan tugas yang sedang menanti kita di kampus. Ayo tidur!!"
Ketukan dari balik pintu tiba-tiba terdengar dan membuat ketiga pemuda itu terdiam secara bersamaan.
"Masuk aja," ucap Rey dengan sedikit ngegas.
"Rey, ini Mamah bawain roti dan susu hangat supaya kalian bisa lebih nyenyak untuk tidur," tutur Mama Ririn ketika masuk di kamar Rey.
"Wah, kebutulan banget nih. Ando laper tante!" sambut Ando dengan antusias.
"Rey, Mamah tau, kamu memang sangat ingin untuk segera menemukan pembunuh dan pengacau kehidupan kita, tapi kamu juga nggak bisa untuk menuduh orang dengan tiba-tiba, Rey. Itu dapat membuat orang lain menatapmu sebagai seseorang yang buruk. Belum lagi, jika orang yang kamu tuduh itu memanglah pelakunya, dia bisa aja menyusun strategi baru untuk menghapus jejak kejahatannya, Rey!" terang Mama Ririn dengan lembut.
"Mamah harap, kamu, Zulfan, maupun Ando, ketika kalian memutuskan untuk terlibat dalam penyelidikan ini, Mamah harap kalian harus lebih berhati-hati dalam menghadapi situasi dan jangan terburu-buru ketika kau sedang menghadapi sesuatu yang masih belum terbukti kebenarannya. Carilah bukti sebanyak-sebanyaknya, baru kalian bisa menangkap pelaku itu dengan penuh keyakinan," saran Mama Ririn.
Ketiga pria itu mengangguk paham dan tersenyum lebar secara bersamaan.
.
.
.
Flashback
"Ini di mana?" tanya Najwa ketika melihat tempat yang asing di matanya.
"Seperti yang kamu tahu, Delina, kamu sedang berada di masa depan dan kita sedang berusaha untuk memperbaiki tubuh robotmu," jelas Raksa dengan wajah yang datar.
"Haduh, udah gue bilang kalau gue itu bukan Delina, gue itu Najwa!" jelas Najwa dengan kesal.
"Apa kecelakaan itu telah membuat kamu rusak sampai separah ini?" tanya Kevin dengan khawatir.
Najwa mendelik kesal ketika mendengar ucapan Kevin.
"Astaga!! kecelakaan apa, sih?!! Gue itu kemarin sedang ikut camp bareng teman teman gue di pantai. Kenapa kalian masih tidak percaya dan bilang kalo gue baru aja kecelakaan?!" jelas Najwa yang sudah semakin stres.
Raksa menghela napas, lalu memutuskan untuk mengambil memori yang ada di tubuh Delina. Pria itu mengikat rambut Delina dan segera mencari-cari di mana letak tombol yang biasanya ada di leher sebelah kanan robot AI.
Kelakuan Raksa yang ganjil membuat Najwa menatap pria itu dengan emosi.
"LO MAU APAIN GUE, HAH?! KENAPA LO SENTUH-SENTUH LEHER GUE SAMPEK KAYAK GITU, SIH?! SINGKIRIN TANGAN LO, MESUM!!" teriak Najwa sambil meronta-ronta untuk berusaha melepaskan rantai di kedua tangan dan kakinya.
Raksa menghentikan acara 'mencari tombol' dan menatap Najwa dengan bingung.
"Sepertinya, peng-upgrade-an kemarin, benar-benar sudah membuat Delina jadi berubah total. Aku bahkan kesulitan untuk menemukan tombol agar bisa mengambil memori otaknya untuk aku bersihkan. Virus yang menyerang sistem tubuh Delina sepertinya sudah terlalu banyak dan menyebar sampai ke mana-mana," ucap Raksa dengan kalut.
Najwa mengerutkan dahi karena bingung dan semakin heran dengan kelakuan ketiga pria aneh di depannya. Gadis itu melihat ke sekelilingnya dengan horor.
'Apa aku akan dijadikan sebagai bahan dari percobaan para ilmuwan gila?' ucap Delina dalam hati.
*****
Halo hai, Readers, gimana nih puasanya? Masih semangat, 'kan?😍
Apa pun keadaan kalian saat ini, terus semangat ya ...😉
Masih penasaran dengan cerita ini nggak?😋😅
Semoga jawabannya adalah ... iya 🤣
Btw, jangan lupa untuk tinggalkan jejak dengan Vote dan komennya ...😊
Karena bagi kami, satu vote maupun komen kalian, sangat berarti untuk kami ...😎
Love by Gadistina to all readers 💕💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top