Chapter 36
Najwa sedang duduk santai di balkon sambil memandangi langit malam.
"Najwa!" panggil Rey.
Rey baru datang seraya membawa dua gelas teh jahe hangat dan sepiring roti selai kacang.
"Rey, aku baru menyadari kalo langit malam di sini begitu indah, ya?"
"Hem, begitulah ... ."
"Emmm ... Rotinya enak banget, Rey. Kamu sendiri yang buat?" puji Najwa sambil menikmati roti selai kacang yang dibawa Rey.
"Beneran muji atau ada maunya?" tanya Rey sambil terkekeh kecil.
"Hahaha ... Cuma ada maunya, ya beneran muji lah, Rey. Masa iya sama pacar mujinya cuma ada maunya!" balas Najwa.
"Iya cantik ... ."
"Sebenarnya aku alergi sama kacang, Rey. Kalo makan sesuatu yang berhubungan sama kacang pasti jerawat di mukaku langsung muncul," curhat Najwa tiba-tiba.
"Yaudah, jangan dipaksain buat makan, sini biar aku ganti sama selai stroberi. Mau nggak?" ucap Rey yang kemudian beranjak dari kursi.
"Eh jangan, aku suka selainya, Rey!"
"Katanya alergi!" Rey menoleh dan memasang wajah yang heran.
"Ya emang kenapa kalo alergi? 'Kan tadi aku cuma cerita. Apa kamu nggak mau ya kalo aku jerawatan? Takut aku jelek, ya?" goda Najwa.
Rey pun menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tersenyum kaku.
"Bercanda kali, Rey!" kata Najwa seraya tersenyum manis, ia tak tega melihat kekasihnya salah tingkah karena keusilannya.
"Enggak kok, Naj. Mau kamu jelek atau cantik, kalau aku udah suka sama kamu, mau gimana lagi?"
Najwa kembali tersenyum manis, lalu mendekati Rey dan menyandarkan kepalanya di bahu Rey.
"Besok kita pulang, Naj." ucap Rey tiba-tiba.
"Ternyata tempat ini enak juga ya, Rey. Pertama kali aku dateng ke sini, aku takut banget, tapi setelah lama kenal tempat ini, aku jadi terbiasa."
"Tempat ini juga yang buat aku berani ngungkapin perasaan aku ke kamu." sambung Rey.
"Aku jadi kangen mamah, Naj."
Najwa menoleh ke arah Rey. "Mamah kamu udah tenang di langit, Rey!"
Rey menghela napas dan menatap Najwa sambil tersenyum. "Maksud aku robot Mamah Ririn, entah mengapa selama ini aku tak pernah merasakan kalau dia adalah robot. Dia begitu menyayangiku persis seperti mamah menyayangiku, mereka sama sekali tidak ada bedanya."
"Kamu menyayanginya, Rey?"
"Iya, sayang sekali, meskipun dia robot, tapi dia sama persis dengan mamah. Jauh berbeda dengan Robot Papah Brasdan." Rey diam sejenak setelah menjelaskan soal robot yang menyerupai mamahnya.
"Kamu tau, Naj? Mamah selalu tanya kapan aku punya pacar dan kalo mamah lihat kamu, pasti dia seneng banget!" sambung Rey seraya tersenyum lebar ketika mengingat keinginan Robot Mamah Ririn yang kini telah ia penuhi.
"Besok, kita langsung pergi ke rumah kamu atau ke Jogja dulu, Rey?"
"Ke Jogja dulu lah, Naj. Kita kabarin Ando, Zulfan, dan Naura dulu baru kita bareng bareng pulang dan kamu ikut aku buat aku kenalin ke mamah."
"Pasti Ando, Zuldan, dan Naura khawatir banget sekarang karena kita nggak bisa kasih kabar ke mereka."
Rey mengedikan bahu tak peduli. "Biarin aja mereka penasaran."
"Jahat kamu, Rey" ucap Najwa sambil menggelengkan kepalanya karena gemas dengan ucapan Rey.
"Sebenarnya kasihan juga mereka karena harus terlibat sama masalah ini. Menurutmu gimana, Naj?"
"Mereka 'kan sahabat kamu, jadi mereka siap bantuin apapun demi sahabatnya. Naura juga sama kayak Ando dan Zulfan. Dia juga rela bantu gue banyak."
"Bisa aja!"
"Oh ya, Rey, kalau kamu sayang banget sama robot mamah kamu, yaudah biarin aja dia di rumahmu jadi kamu masih bisa merasa kalau mamah kamu masih hidup."
"Gak bisa gitu, Naj. Bella sudah cerita tentang semuanya. Kalau dia dan Raksa akan ikut kita pulang untuk bawa robot mamah dan papah ke sini, Bella juga bilang kalau robot itu akan dinonaktifkan."
"Tapi kenapa Rey? Robot mamah kamu 'kan baik, kenapa harus dinonaktifkan?"
"Robot tetaplah robot, Naj, meskipun aku sayang dengan robot mamah, tapi aku nggak bisa ngebiarin hal itu setelah tau kalau mamah aku udah meninggal. Mamah tetaplah mamah, Naj dan robot hanyalah robot."
"Tapi apa bedanya, Rey? Selagi robot itu buat kamu nyaman dan bahagia dengan keberadaan robot itu, bukankah itu nggak papa?"
Rey lalu beranjak dari kursi dan tersenyum lembut pada Najwa. "Tetap aja, Naj. Aku nggak mau lagi nyiptain kepalsuan dalam hatiku. Seperti yang sudah kita lihat, robot punya efek negatif dan positif. Dua duanya mempunyai mempunyai pengaruh yang besar, Naj. Yang baik belum tentu selalu baik dan yang jahat bukan berarti selalu jahat. Selagi mereka punya jiwa perasa, kita nggak akan bisa nebak perasan mereka, Naj. Seperti Kevin contohnya, dia bisa membunuh tuannya sendiri tanpa kita bisa baca perasaannya.
"Aku sempat berpikir Naj. Coba aja papah nggak nyiptain robot untuk menjadi temanku, pasti sampai sekarang papah masih hidup mamah juga. Kevin bawa dua orang dari masa depan yang tanpa sengaja udah bawa MadCow-30 dan itulah awal mula dari permasalahan kita. Kesalahpahaman dan obsesi menjadi bumbu yang membuat kehidupan kita jadi seperti ini."
"Kau benar, Rey. Ketika kita terlalu banyak mencurahkan perasaan pada sesuatu, semuanya jadi berantakan."
"Karena itu aku nggak mau ngambil resiko lagi. Mulai sekarang, aku tidak akan berhubungan dengan robot lagi, aku hanya ingin hidup normal."
"Aku dukung pendapatmu, Rey," ucap Najwa.
"Makasih Naj, aku berharap kalo kamu akan selalu menemaniku untuk menghabiskan sisa hari hariku."
Najwa beranjak dari kursi. "Iya Rey, aku juga berharap begitu. Semoga kita bisa selalu bersama sampai maut memisahkan."
Rey tersenyum tipis sambil mengelus rambut Najwa. Pemuda itu kemudian duduk kembali dan menarik Najwa untuk ikut duduk di sampingnya. "Ayo Naj, habiskan tehnya terus kita tidur."
Najwa menggelengkan kepala."Aku udah kenyang, Rey!"
Rey menyodorkan gelas yang berisi teh sambil tersenyum manis. "Habiskan tehnya, Naj. Kamu tau, Naj? Air bersih di sini sedang langka dan karena itu Syam serta Raksa bekerja keras untuk nyari terobosan baru demi kelangsungan hidup orang banyak.
"Kevin selama ini memberi janji pada mereka untuk mengatasi masalah ini dan masih gagal hingga sekarang. Sumber air di sini banyak yang mengering, jadi jangan buang buang air."
"Iya, iya aku tau, aku lebih dulu datang ke sini daripada kamu. Nih, aku habisin." ucap Najwa seraya meneguk habis teh yang disodorkan Rey.
"Rey, bahasa kita kok jadi formal gini, ya?" ucap Najwa sambil meletakkan gelas.
"Bukan bahasa formal, tapi bahasa cinta, Sayang. Kamu nggak suka?"
Pipi Najwa memerah karena malu. "Ya nggak gitu juga, cuma aneh aja gitu."
"Nggak aneh kok, nanti lama lama kamu juga terbiasa. Emang aneh sih kalo orang yang dulunya suka ngomong ngegas, sekarang berubah jadi lembut." ledek Rey.
"Enak aja, aku selalu ngomong lembut kali, mana pernah aku ngegas," timpal Najwa dengan wajah yang cemberut.
"Iya Sayang, aku cuma bercanda, kok," ucap Rey sambil mengacak rambut Najwa dengan lembut.
Najwa tersenyum malu dan menundukkan saat mendengarkan ucapan Rey yang sederhana, namun terdengar manis.
.
.
.
.
"Ndo, ini panggilan dari mamahnya Rey hari ini ke hape gue udah sampe 99 kali. Masa iya masih nggak gue angkat?" keluh Zulfan sambil mondar mandir dan menimang ponselnya.
"Yaudah, sini gue yang angkat!" pinta Ando.
"Mau ngomong apa lo?"
"Hihh terserah gue lah, kenapa jadi lo yang sewot?"
"Gak usah ngegas juga kali, Ndo!"
"Yaudah, nggak usah minta saran gue lagi kalo gitu." ucap Ando sambil memasang wajah yang terlihat menggelikan di mata Zulfan.
"Aishhh, yaudah nih, tapi kalo ada masalah lagi, gue ngak ikutan ya!" Zulfan menyerahkan ponselnya pada Ando.
"Ehem ehem!" Ando menetralkan suaranya sebelum menjawab panggilan dari Mamah Ririn.
"Halo, Tante Ririn?" ucap Ando dengan santai.
"Zulfan, kenapa panggilan dari tante nggak di angkat angkat, sih? Dari kemarin tante telfonin kamu. Tante 'kan jadi khawatir, Fan. Hapenya Rey juga nggak aktif, kalian kenapa sih, Fan? Kapan kalian pulang? Ini papahnya Rey udah di jalan dan sebentar lagi sampai rumah."
"Maaf tante, ini Ando, hapenya Zulfan ketinggalan di penginapan dan baterainya juga belum sempat di cas tadi malem. Zulfan sama Rey lagi pergi riset ke sebuah sekolah di sini, Tante dan mereka sengaja nggak bawa hape juga," jelas Ando dengan lancar.
"Kok, bisa nggak bawa handphone sih, Ndo? Ini tante ada hal penting yang harus di bicarain sama Rey!"
"Anu Tante ..."
"Anu apa, Ndo?"
"Anu Tante, kalo misal tante ada yang harus di bicarain sama Rey, tante kasih tau Ando aja, nanti biar Ando sampein."
"Nggak Ndo, pokoknya nanti kalo kamu ketemu Rey, suruh dia buat langsung pulang ya, Ndo. Ada hal yang harus tante omongin secara langsung sama dia."
"Oke Tante ..."
"Inget ya Ndo, kalau Rey besok masih aja nggak pulang juga, tante yang akan ke sana."
"Ah, iya, Tante!"
Panggilan pun selesai dan membuat Ando menarik napas banyak-banyak.
"Lo ngapain sih, Ndo? Pake iya iya mulu, kalo Rey nggak balik besok gimana? Tante Ririn pasti nggak main-main untuk datang ke sini!" omel Zulfan setelah Ando mematikan panggilan.
"Please deh, Fan, tadi tuh Tante Ririn udah ngomel-ngomel, jangan lo tambahin juga, kali! Syukur juga gue udah angkat panggilan dari dia, kalo nggak dia bakal neror lo terus, Fan," keluh Ando yang kemudian berbaring di kasur, lalu menutup mata dan kedua telinganya dengan bantal agar tak mendengar ocehan Zulfan lagi.
Zulfan kemudian mendengkus kesal karena tak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Ando. Pemuda itu lantas duduk di kursi dan kembali mengecek skripsinya.
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top