Chapter 3


Setelah selesai bersiap-siap, Rey segera mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja belajar dan buru-buru turun ke bawah untuk sarapan.

Melihat anaknya turun dengan setengah berlari dan melewati dua sampai tiga tangga secara sekaligus, Mama Ririn sejenak menghentikan aktivitasnya mengoles selai kacang di atas roti tawar, lalu memperhatikan Rey sampai anak itu berdiri tepat di depan mata dan mengecup keningnya, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya untuk mengoles selai kacang yang tadi sempat ia hentikan.

"Kebiasaan deh, Rey, kalo jalan, nggak pernah pelan pelan, kalo kamu jatoh gimana?" omel Mama Ririn.

Rey tersenyum tipis, "Buktinya, Rey, nggak pernah jatoh, 'kan, mah?" sanggah Rey seraya mencomot roti yang berisi selai kacang yang baru saja Mama Ririn taruh di atas piring milik Rey.

"Ngejawab mulu, deh," Ririn mencubit pipi Rey hingga membuatnya mengaduh kesakitan.

"Aish ..., Iya, Mah, iya, ampun ...," keluh Rey sambil mengelus pipi kirinya terasa sedikit ngilu.

"Berhenti bertingkah kekanak-kanakan, Rey," tegur Papa Brasdan seraya melipat koran yang baru saja ia baca.

Rey mengiyakan teguran Papa Brasdan dan duduk di meja makan dengan tenang.

Rey tak berani untuk menatap wajah Papa Brasdan, apalagi jika harus bertatapan secara langsung dengannya. Bagi Rey, pria itu sangat keras untuk mendidiknya, jika sedikit saja, Rey melakukan kesalahan, maka ia harus bersiap-siap untuk menerima sebuah pukulan.

"Kamu mau tambah lagi rotinya, Mas?" tanya Mama Ririn yang berusaha untuk memecahkan suasana yang mendadak hening.

"Tidak perlu," Brasdan menolak tawaran Ririn, lalu suasana pun kembali hening.

Jarangnya waktu untuk berkomunikasi antara anak dan ayah ini, membuat keduanya tak dapat memahami diri satu sama lain. Sifat Papa Brasdan yang keras dan cenderung tak memiliki perasaan, membuat Rey memendam rasa tak suka. Pria itu seperti sengaja untuk menjaga jarak layaknya seorang pemimpin dengan anak buah, bukan seperti seorang anak dengan ayahnya.

"Aku berangkat dulu," kata Papa Brasdan yang kemudian berdiri diikuti oleh istri dan anaknya. Mama Ririn lalu mencium tangan suaminya bergantian dengan Rey.

Setelah yakin, kalau ayahnya telah meninggalkan rumah, barulah Rey berani untuk kembali bersuara.

"Mah, kenapa roti selai kacang yang Mamah buat selalu terasa enak?Sedangkan, kalau Rey yang buat sendiri, rasanya tidak akan seenak ini," puji Rey.

"Rey, selai kacangnya, Mamah beli di supermarket, begitu juga dengan roti tawarnya. Tugas Mamah hanya membantu untuk mengoleskan selai itu ke atas roti. Semua orang dapat melakukannya, termasuk kamu. Jadi, katakan di mana perbedaannya?" sanggah Mama Ririn.

"Entahlah, Rey, nggak bisa jelasin. Tapi pokoknya, apapun yang dibuat dengan tangan mamah itu akan terasa lebih nikmat," goda Rey.

Mama Ririn tertawa kecil mendengar gombalan anaknya.

"Rey, Mamah akan membeli pujian kamu ini, katakan berapa harganya?" ucap Mama Ririn yang paham dengan gelagat anak semata wayang nya saat menginginkan sesuatu.

"Tenang, Mah, karena hari ini suasana hati Rey lagi baik, jadi Mamah mendapatkan diskon lima puluh persen dari uang satu juta rupiah. Mamah akan mendapatkan pujian ini, hanya dengan lima ratus ribu rupiah," ucap Rey sambil menirukan cara bicara seorang sales.

"Oke, Mamah beli, kamu mau uang cash atau transfer aja?" tanya Mama Ririn serius.

"Uang cash aja deh, Mah, kalau transfer, Mamah suka lupa," jawab Rey.

Mama Ririn mengangguk paham, "Bi, tolong ambilin dompetku di kamar, ya," pinta Mama Ririn pada Bi Siam yang tengah membereskan piring Papah Brasdan.

Tak sampai dua menit, Bi Siam datang dengan membawa dompet berwarna cokelat, lalu memberikannya pada Mama Ririn.

Mama Ririn lalu mengeluarkan uang seratus ribu sebanyak lima lembar dan memberikannya pada Rey.

Tanpa ba bi bu, Rey langsung mengambil uang pemberian Mama Ririn sembari mencium kedua pipi wanita itu.

"Rey, berangkat dulu ya, Mah!" pamit Rey.

"Sepagi ini?" tanya Mama Ririn dengan heran.

"Biasa, Rey jemput Ando dulu karena katanya dia lagi puasa buat nggak beli bensin. Dia mau ngumpulin uang buat traktir cewek di restoran mahal ..., katanya, pfft ...," cerita Rey dengan antusias.

Mama Ririn kembali tertawa setelah mendengar celotehan Rey mengenai salah satu temannya.

"Kalau kamu?"
"Kalau apa, Mah?"
"Kalau kamu, kapan traktir ceweknya?"

"Apaan sih, Mah, Rey belum kepikiran soal begituan!"

"Belum berarti akan, bukan?" goda Mama Ririn.

"Terserah mamah, deh, Rey berangkat dulu," ucap Rey yang kemudian pergi menuju mobil dengan wajah cemberut.

Ririn yang berhasil membuat putranya kesal, nampak terlihat bahagia. Rey memang seperti itu, jika disinggung soal cewek, wajahnya akan berubah menjadi masam.

••••

Rey mematikan mesin mobilnya ketika sudah sampai di depan rumah yang bernuansa hijau. Dia turun dari mobil, lalu segera masuk ke rumah itu dan membunyikan bel rumah itu.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan paruh baya membuka pintu rumah.

"Maaf, ya, lama? Soalnya, Bibi sedang ada di kamar mandi," ucap wanita itu dengan rasa bersalah.

Wanita paruh baya itu adalah Bi Lastri, pembantu di rumah Ando yang sudah Rey kenal sejak lama.

"Iya, santai aja kok, Bi. Kayak sama siapa aja!" ucap Rey sambil tersenyum tipis.

"Ando masih di kamarnya, tunggu sebentar, ya? Bibi panggilin dulu. Ayo masuk dulu, Nak Rey," ungkap Bi Lastri.

Rey tertawa kecil, lalu masuk ke dalam rumah Ando dan duduk di ruang tamu. 

Rey fokus pada ponselnya sambil menunggu Ando dalam waktu yang cukup lama. 

Seorang perempuan keluar dari kamar yang ada di depan ruang tamu tempat Rey duduk. Seketika Rey terkejut, hingga menjatuhkan ponselnya. Pemuda itu melotot kaget, lalu berdiri dan mendekati perempuan itu.

Perempuan yang ditatap seperti itu oleh Rey, bingung dan tanpa sadar, ia memang mundur ketika Rey terus berjalan mendekat.

"Bro ...," panggil Ando dari belakang. Pemuda itu kemudian merangkul Rey yang terlihat sedikit aneh.

"Najwa ...," ucap Rey spontan. Dia bahkan tak mengindahkan kehadiran Ando di sisinya. 

"Eh iya, ini sepupu gue, Najwa, dia baru dateng tadi malam dari Jakarta. Cantik, 'kan, Rey?" ucap Ando.

"Najwa ...," ulang Rey dengan masih tak sadarkan diri.

"Loh, kok lo bisa tau nama sepupu gue? Perasaan, gue belum pernah cerita deh," ucap Ando heran.

"Najwa ...," ucap Rey lagi.

"Heh?! lo kenapa?" Ando semakin heran saat sahabatnya terlihat seperti orang yang sedang kesurupan.

"Lo kenal dia, Naj?" tanya Ando pada Najwa.

"Mana gue tau, kenal aja enggak! Siapa sih, dia?" jawab Najwa yang semakin bingung.

"Dia Rey, temen gue," jelas Ando.

"Aneh banget sih, Do, temen lo. Lo juga tadi pas bangun tidur aneh kayak gitu pas lihat gue ..., kenapa sih, lo pada?" ucap Najwa yang memilih untuk meninggalkan kedua pemuda itu. 

"WOYYY!!" Ando pun berteriak tepat di dekat telinga Rey.

Rey pun memejamkan mata lalu menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. "Itu Najwa? Sepupu lo?" tanya Rey dengan nada yang sedikit tinggi.

"Iyaaaaaa, Bambang, napa sih lo kaya orang bloon gitu!" jawab Ando dengan gemas.

'Apa Rey mimpi sama kaya gue tadi malem? Jadi, kaya gitu reaksinya pas Najwa liat gue tadi pagi? Tapi, masa iya, kita punya mimpi yang sama?' pikir Ando dalam hati.

Ando menggelengkan kepala untuk mencoba membuang pikiran ngawurnya dan mengajak Rey bergegas pergi ke kampus.

"Udah, ah, yuk berangkat! Ntar kita keburu telat, gara gara lo, nih!" tuduh Ando.

"Kok gue sih? Elo kali yang lama," balas Rey tak mau kalah.

Ando menulikan pendengarannya dan merangkul Rey sampai di parkiran. Saat sudah berada di dalam mobil, Rey siap untuk meluncur ke kampus, pemuda itu meraba-raba kantong celana dan baru menyadari kalau ponselnya tidak ada.

"Eh, tunggu," kata Rey dengan masih meraba-raba kantong celananya.

"Napa lagi, sih?" tanya Ando yang kesal karena tak sabar untuk segera sampai di kampus.

"Ponsel gue kayaknya ketinggalan di dalam rumah lo, deh," ucap Rey.

"Haduhh ..., yaudah, cepetan ambil!" suruh Ando ketus.

Rey mengangguk dan segera masuk kembali ke dalam rumah Ando dan mendapati Najwa yang sedang memegang ponselnya.

"Punya lo?" tanya Najwa seraya mengangkat ponsel Rey.

"Iya," jawab Rey dengan canggung.

"Nih," Najwa pun meyodorkan Handphone itu kepada Rey.

Rey langsung meraih ponselnya dan lari terbirit-birit menuju mobil. Pemuda itu buru-buru membuka pintu mobil dan justru disambut Ando dengan kehebohannya. 

"Rey, lo tau nggak? Vania bilang apa di postingan Instagram gue?" ucap Ando dengan heboh. 

Rey masih menetralkan napasnya yang ngos-ngosan karena terburu-buru pergi dari rumah Ando.

"Apaan?" tanya Rey masih ngos-ngosan.

"Dia komen 'gemoy'," jawab Ando sambil memperlihatkan komentar Vania pada Rey.

Rey kembali menarik napas yang perlahan sudah kembali normal. Dia memilih mengacuhkan Ando yang sedang heboh membaca komentar dari ciwi-ciwi di postingan Instagramnya dan bergegas menuju kampus. 

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top