Chapter 25
"Sekarang kita keluarnya gimana? Apa kita akan seumur hidup untuk tetap berada di sini?" dumel Ando.
"Sembarangan lo, Ndo!" ucap Zulfan sambil menabok bahu Ando.
"Gue heran deh, ini 'kan cuma pintu kayu tua kenapa jadi kuat banget gini, ya?" komentar Najwa sembari berusaha untuk mendobrak pintu.
Najwa akhirnya menyerah setelah lama berusaha untuk membuka pintu dan tak kunjung terbuka. Gadis itu lalu duduk di bawah pintu itu dengan wajah yang suram.
"Sekarang gelang gue udah nggak ada, padahal cuma itu satu-satunya cara supaya kita bisa nemuin Rey," keluh Najwa.
Naura berjongkok, lalu menepuk bahu sahabatnya. "Naj, setelah keluar dari sini, mungkin lo bisa buat gelang kayak itu lagi," saran Naura.
Najwa menggeleng sedih. "Nggak semudah itu, Nau. Material di sini nggak sama dengan material yang ada di sana. Lagipula, gelang itu adalah hasil dari rancangan Nona Anne. Kalo dia nggak bantu gue, gelang itu nggak akan bisa dibuat di zaman kita," jawabnya seraya menghembuskan napas.
Naura tersenyum tipis dan merasa kalau saat ini hidup mereka sedang dipermainkan. Suasana pun mendadak menjadi sunyi karena tak ada satu pun orang yang berbicara.
Hingga ...
"Naura, ngapain di pojok situ? Sini deh, deket aku aja!" panggil Ando yang membuat suasana kembali terasa hidup.
"Cih, sejak kapan lo ngomong 'aku' dengan gaya sok manis gitu? Ini semua tuh gara gara lo, tau ngak, Ndo? Coba aja lo tadi pagi nggak ngomongin hal yang buat Ara sakit hati, pasti semuanya akan baik-baik aja," sesal Zulfan.
"Nah 'kan lo nyalahin gue lagi, yang salah itu lo, ngapain coba lo jalan sama Naura cuma berdua pake acara ninggalin gue segala. Gue juga 'kan mau ikut buat jalan bareng dia," balas Ando tak terima.
Rumah Joglo pun ramai kembali karena perdebatan Ando dan Zulfan yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Najwa. Gadis itu lalu berdiri dan mulai melakukan lagi pemanasan untuk menghantam rahang kedua pemuda yang tak tahu diri sama sekali. Mereka sedang terkurung dan sekarang mereka terus beradu mulut?
"Apa kalian mau dapet pukulan lagi dari gue?" ucap Najwa dengan nada suara yang rendah, namun terdengar mengancam fisik dari kedua pemuda itu.
Ando dan Zulfan, kemudian menggelengkan kepala dengan wajah yang nampak konyol bagi Naura, lalu mereka buru-buru saling merangkul agar Najwa menghentikan niatnya.
.
.
.
.
Setelah beberapa saat kemudian, Ara kembali lagi ke asalnya dan muncul tepat di depan pintu yang sengaja dia kunci untuk menahan Najwa dan yang lain. Ara memutuskan untuk melepas semua rantai yang membelit pintu, lalu kabur ke luar sebelum teman-temannya menyadari kehadirannya.
.
.
.
.
Najwa mencoba bersender di pintu kayu karena punggungnya terasa pegal, setelah mondar-mandir di rumah itu untuk mencari jalan keluar karena mereka tak dapat membuka pintu.
Baru saja Najwa menyenderkan badannya, tiba-tiba pintu langsung terbuka dengan sendirinya. Mereka pun berlonjak kaget dan buru-buru keluar dari Rumah Joglo itu.
"Ternyata karena cuma di senderin Najwa aja, pintunya langsung kebuka," ucap Ando reflek.
Najwa menatap Ando dengan kesal, lantas menginjak kaki pemuda itu sebelum menghampiri Zulfan dan Naura untuk mengambil ponselnya yang ada di tas ransel Ara yang tergeletak begitu saja di depan pintu.
"Apa Ara udah balik, ya?" ucap Najwa sambil memikirkan Ara.
"Gimana kalau kita cari dulu," usul Zulfan.
"Tentu saja, gue juga harus dapetin gelang gue balik. Ayok kita cari sekarang juga!"
"Gimana kalo kita nyarinya mencar aja?" usul Zulfan lagi.
"Gue sama Naura, ya?" pinta Ando.
"Jangan Ndo, kita sendiri-sendiri aja biar Ara cepet ketemu," tolak Naura.
"Naura betul, Ndo," sanggah Najwa.
"Yaudah deh, kita cari sendiri-sendiri terus nanti pas jam 12 siang, kita kumpul di bawah pohon tua itu, ya," ucap Ando dengan sedikit tidak rela.
Najwa, Zulfan, dan Naura, kemudian mengiyakan ucapan Ando dan mulai berpencar untuk mencari Ara.
Naura berjalan ke arah selatan sampai memutari jalanan itu tiga kali, namun tetap saja dia tak menemukan Ara.
Saat Naura sedang berdiri di jalan dan bingung untuk mencari keberadaan Ara. Tiba-tiba dia menemukan sebuah gelang merah tergeletak di jalan yang ada di depannya.
"Bukankah gelang ini adalah gelang persahabatan gue, Najwa, dan Ara? Tapi mengapa gelang ini tergeletak di jalan? Apa ini milik Najwa? Tapi itu nggak mungkin karena Najwa belum pernah melewati jalan ini dan sepertinya gelang ini baru aja jatuh. Jadi, apa mungkin ini adalah milik Ara? Kalo iya, berarti Ara ada di sekitar sini," ucap Naura bermonolog.
Naura lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruas jalan dan menemukan Ara yang tengah duduk di bawah pohon sambil memainkan ponselnya.
"Ara ...," panggil Naura.
Ara mendongak dan menatap Naura dengan tatapan tidak suka. "Ngapain lo ke sini?"
Ara melihat sekilas ke belakang Naura karena siapa tau Najwa dan yang lain ikut bersama Naura. Namun ternyata, Ara tak menemukan siapapun kecuali Naura.
"Ra, lo tenang dulu! Semua orang lagi nyariin lo, elo yang udah ngambil gelang Najwa, 'kan?" ucap Naura hati-hati.
"Sok tau lo!"
"Ra, lo nggak usah khawatir tentang Ando! Gue nggak akan pernah ambil Ando dari lo karena gue tau lo suka sama Ando. Gue emang suka juga sama Ando, tapi gue pikir lo lebih berhak buat dapetin Ando."
Ara berdiri dan menatap Naura dengan remeh. "Iya, lo bener, gue emang berhak buat dapetin cintanya Ando!"
"Ra, kenapa lo jadi berubah gini lagi, sih? Elo udah berubah jadi Ara yang baik dan gue mohon jangan sampai cuma gara gara cowo, lo egois kaya dulu lagi."
"Iya, sebelum kenal kalian, gue emang orang yang picik dan sekarang kalian juga yang udah buat gue kembali ke sifat gue yang dulu. Kalian benar-benar hebat ... ."
"Tapi kenapa, Ra? Apa salah gue dan Najwa?" tanya Naura yang masih tak percaya dengan perubahan sifat Ara.
"Masih berani tanya lo, ya! Asal lo tau, gue sebenernya gak suka sama lo, tapi gue selalu bisa nahan diri karena waktu itu gue nggak mau kehilangan orang yang udah bantu gue buat bangkit dari kegelapan dan bawa gue ke arah yang lebih terang."
Ara menghela napas sebelum kembali melanjutkan pembicaraan. "Lo masih inget Nau? Waktu SMA dulu, lo selalu nyontek PR gue tapi elo yang selalu di puji guru bukan gue, padahal gue berusaha mati-matian buat ngerjain PR yang kalian semua nggak bisa buat jawab."
"Saat pemilihan pemeran utama dalam drama waktu kita masih SMA dulu juga elo yang kepilih buat jadi tokoh utama, padahal gue yang ngelatih elo buat ndalemin peran dari karakter tokoh itu, tapi gue malah nggak kepilih, Nau."
"Saat audisi nyanyi, gue yang ajakin lo, mohon-mohon ke elo buat ikut bareng gue untuk audisi nyanyi itu lo selalu nolak, lo latihan dengan terpaksa dan gue yang nyemangatin lo, gue yang buat lo semangat latihan dan yang kepilih siapa? Elo, Nau, lo selalu berhasil karena gue, Nau. GUE BERKALI-KALI GAGAL SAAT GUE BANTU LO BUAT SUKSES!!"
Ara banyak mengungkit tentang kisah masa lalunya yang menyedihkan, jika dilihat dari sisi pandang gadis itu. Perkataan Ara yang terdengar emosional mampu membuat Naura banyak meneteskan air mata.
"Hal itu masih bisa gue pendem, sampek akhirnya lo nglangkahin batas kesabaran gue sekarang. Lo dapetin cinta Ando saat gue mencintai dia! LO SADAR?!! LO NGUBAH GUE BUAT JADI ORANG YANG BURUK KAYAK DULU LAGI!!"
Ara terengah-engah ketika melampiaskan semua luka yang ia pendam selama ini pada Naura.
"Ra, kenapa lo baru ngomong sekarang?! Kalo lo ngomong dulu lebih awal, gue bakal berusaha buat nggak nyusahin lo," tanya Naura yang membiarkan airmatanya jatuh begitu saja.
"Karena gue takut kehilangan lo, Nau. Gue takut kembali dalam kesendirian, tapi sekarang, gue nggak akan takut lagi, demi cinta gue akan melakukan apa pun yang gue bisa."
Naura menggelengkan kepala, lalu mencoba untuk menggenggam tangan Ara. "Lo pasti bisa dapetin Ando, Ra. Namun, bukan dengan cara ini! Gue janji bakal bantuin lo, tapi nggak dengan cara lo yang ingin balik lagi ke jalan yang salah."
Ara menghempaskan tangan Naura dengan kasar, kemudian tersenyum miring. "Gue nggak butuh bantuan lo, Nau. Lo nggak tau rasanya berjuang karena lo nggak pernah berjuang, lo selalu merenggut apa yang udah gue perjuangin! Kenapa lo selalu dapetin semua keinginan gue tanpa berjuang, Nau? KENAPA?!!" ucap Ara dengan penuh penekanan.
Ara menyibak rambutnya dengan tidak santai, lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan Naura sendiri. Gadis itu berencana untuk pergi dari Jogja dan kembali ke Jakarta.
Sementara Naura berjalan dengan gontai di jalan seraya memikirkan semua perkataan Ara yang memang benar adanya. Dia baru menyadari bahwa keberuntungan selalu berpihak padanya. Ia selalu mendapatkan apa yang Ara inginkan dengan mudah, tapi tak pernah berpikir kalo Ara sakit hati dengan keberhasilannya.
Naura pikir Ara akan ikut senang dengan keberhasilan yang ia raih, tapi ternyata ia salah. Ara justru tertekan saat melihat keberhasilan Naura yang selalu terjadi karena gadis itu yang membantunya.
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top