Chapter 16

"Gue harap kita bisa segera menyelesaikan tugas dan fokus buat hanya menyelidiki hal yang berkaitan dengan keluarga lo aja, Rey," ucap Zulfan sambil membayar semua makanan yang mereka di warteg. Entah yang sudah dimakan atau dibawa pulang.

Rey beranjak dari bangku, lalu tersenyum haru dengan perkataan Zulfan.

"Terima kasih, Fan, kalian berdua udah bantu banyak selama ini," ucap Rey lirih.

Ando dan Zulfan tersenyum lalu merangkul Rey yang sebentar lagi akan menangis.

"Iya, Rey, kita 'kan sahabat. Ngomong-ngomong, lo jangan nangis dong. Kagak malu kalo nanti Najwa dan temennya ngledek?" canda Ando.

Zulfan menjitak kepala Ando dengan gemas. "Lo ini temen kita bukan, sih? Temen sedang sedih malah lo ledek? Kagak bener, Lo!" tegurnya.

Ando tertawa lebar mendengar teguran Zulfan. Bukan kata-katanya, tetapi wajah Zulfan sangat lucu saat tengah mengomel tak jelas seperti itu.

Zulfan yang tak terima lantas kembali menjitak kepala Ando.

"Walau mereka seperti itu, tapi gue tau, dalam hati mereka tersimpan banyak kasih sayang. Ando, Zulfan, terima kasih, karena kalian selalu ada untuk gue hampir di semua waktu," ucap Rey lirih.

Waktu mungkin akan terus berjalan dan bisa berubah dengan begitu cepat, namun tidak dengan persahabatan mereka yang akan selalu seperti itu.

Ya, semoga saja ...

*****

Ando dan kedua temannya sudah kembali ke penginapan saat orang-orang yang ada di ladang sedang beristirahat. Mereka bertiga pulang melewati ladang dan sesekali menyapa orang yang dijumpai.

Ando yang menenteng sebuah kresek yang berisikan tiga bungkus nasi pecel, memutuskan untuk memberikan itu pada Najwa dan kedua temannya. Dia mengetuk pintu sambil melihat-lihat keadaan penginapan yang terasa sepi. Pintu terbuka dan nampak Ara yang muncul sambil mengikat rambut panjangnya. Gadis itu membuka pintu dengan lebar agar Ando dapat masuk ke dalam kamar.

Ando menatap sekilas pada Najwa dan Naura tertidur pulas di bawah kipas angin. Tempat penginapan itu memang sengaja dibuat dengan nuansa khas perdesaan, lagipula hawa di desa yang ada di pegunungan itu akan selalu dingin saat pagi dan sore hari tiba. Apalagi ketika malam hari tiba, kadang-kadang suhu udara bisa mencapai 12°C. Walau begitu, penginapan dibuat dengan ventilasi yang cukup dan menyediakan satu kipas angin besar agar dapat bermanfaat ketika hawa terasa panas di siang hari.

"Eh, udah pada tidur ternyata!" guman Ando.

"Iya Ndo, karena mereka merasa lelah," ujar Ara.

"Jarak dari rumah kalian ke sini 'kan cukup deket. Gue yang enam jam perjalanan aja kagak terlalu lelah tuh," ujar Ando menyombongkan diri.

"Ya, biasalah, kita 'kan cewe, lagipula kita aja harus berangkat dulu dari Jakarta untuk ke rumah Najwa," kilah Ara.

"Yaudah, nih!" Ando menyodorkan kresek yang ia bawa tadi dan langsung di sambut baik oleh Ara.

"Yaudah, Gue, balik ke kamar dulu ya! Eh jangan lupa, Rey tadi nyuruh gue nyampein ke kalian kalau nanti jam tujuh malam kita kumpul di teras," pesan Ando.

"Oke ...," jawab Ara di sertai dengan anggukan.

Ando yang berniat pergi ke kamarnya, tiba-tiba di tahan oleh Ara.

"Ndo," panggil Ara.

Ando pun membalikan badannya dan mengerutkan dahi karena heran. "Kenapa?"

"Apa gue boleh minta nomer lo? Ya buat jaga jaga aja,sih. Siapa tau ada yang perlu, 'kan?" pinta Ara.

"Najwa 'kan udah punya nomer gue, kenapa gak minta sama dia aja?" tanya Ando bingung.

"Ah, iya! Em, maksud gue biar sekalian aja gitu! Tapi kalo lo nggak mau, nggak papa kok! Gue tadi cuma tanya aja!" kata Ara dengan sedikit malu.

"Ya ampun, santai aja kali ..., yaudah, gue sebutin lo catet ya," kata Ando yang merasa tak nyaman ketika Ara menjadi canggung karenanya.

"Bentar, bentar," Ara masuk ke kamar dengan sedikit berlari untuk mengambil ponselnya.

Ando lalu meyebutkan nomernya dan Ara mengetiknya di ponsel.

"Ada lagi?" tanya Ando lagi.

Siapa tahu 'kan kalau seandainya Ara masih ingin menanyakan sesuatu padanya.

"Hm, udah kok ..., makasih ya," jawab Ara sambil tersenyum.

"Kalau gitu, gue ke kamar dulu, ya!" pamit Ando.

Ara mengiyakan ucapan Ando dan kembali masuk ke kamarnya.

.

.

.

.

Najwa lantas terbangun dari tidurnya setelah Ara menutup pintu kamar.

"Siapa tadi Ra? Kok lo jadi senyum-senyum gitu?" tanya Najwa sambil mengucek mata.

"Tadi Ando nganterin kita makan," jelas Ara singkat.

Najwa mengangguk paham. "Oh dia, toh!"

"Eh iya, tadi Ando juga bilang kalau Rey minta kita buat nanti kumpul di teras jam tujuh malam."

"Ngapain?"

"Mungkin aja buat ngerundingin misi kita."

Najwa mengangguk lagi dan memilih untuk mengisi perut dengan makanan yang Ando bawa.

"Najwa ...," panggil Ara tiba-tiba.

Najwa menoleh ke arah Ara dengan wajah yang bingung.

"Gue merasa kalau saat ini, kita sedang memperjuangkan sesuatu yang tidak nyata, kayak halu gitu,"

Najwa menghentikan acara makannya dan menatap Ara dengan kurang suka.

"Jadi lo nggak percaya sama semua ini?" tanya Najwa dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ya iyalah, orang normal mana coba yang percaya sama beginian, menurut gue, ini terlalu kekanak-kanakan."

Najwa menghentikan makannya setelah mendengar ucapan Ara.

"Jadi, lo pikir pembunuhan seseorang yang akan di selidiki bukanlah sikap orang normal? Hilangnya seseorang dari dunia dengan cara yang tak masuk akal, lo bilang kekanak-kanakan?" tanya Najwa tersinggung.

"Ya nggak gitu juga, Naj, tapi lo pikir deh, di zaman kayak gini, mana ada yang kayak begituan. Hal-hal kaya gini cuma ada di dunia fantasi aja," ucap Ara mengecek status yang baju saja pacarnya upload.

Najwa tak tahan dengan sikap Ara yang terlihat meremehkan apa yang sudah dia katakan. Ia lalu melempar sendok ke arah lantai dengan wajah memerah karena emosi.

"Lo kok keterlaluan sih, Ra? Lo nggak percaya karena itu nggak terjadi pada lo. Gue kasihan sama Rey karena ternyata ada yang ngeraguin misinya. Terserah lo deh Ra, kalau lo nggak mau bantuin, nggak papa gue ngak maksa, kok ..., tapi lo nggak pantes buat ngomong sembarangan kaya gini ..., Ra, kalo lo mau, lo boleh pergi dari sini!" ucap Najwa sambil terengah-engah.

"Enak banget lo ngusir gue, Naj, lo pikir gue ke sini buat apa?! Buat bantuin lo!!"

Naura yang awalnya tertidur pulas, lantas terbangun setelah pertengkaran kedua sahabatnya terdengar semakin nyata.

"Duh, ada apa sih!!" erang Naura.

Naura menatap Najwa yang berkaca-kaca dan juga Ara yang tengah menatap Najwa dengan pandangan yang tak santai.

"Lo sendiri 'kan yang mau ikut, pas tadi Ando nelfon gue, LO SENDIRI 'KAN YANG NGUSULIN BUAT IKUT?!!"

Ara mengusap wajahnya dengan kasar, lalu ikut berdiri dan berkacak pinggang. "Gue tadi cuma tanya, Naj. Kenapa sekarang lo malah emosi gini?!" tanya Ara yang mulai merasa jengkel.

Najwa menghela napasnya yang terasa sesak, lalu memutuskan untuk keluar dari kamar untuk menenangkan diri sementara waktu agar tak semakin memperkeruh suasana. Ia berlari ke arah gerbang sambil mengusap airmatanya dengan kasar.

Rey yang melihat Najwa keluar dengan menangis, lantas berusaha mengejar gadis itu.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi pada Najwa sekarang?

"Lo kenapa Naj?" tanya Rey ketika menatap Najwa yang menangis di luar gerbang.

Najwa menatap Rey dengan kalut dan reflek memeluk tubuh pemuda itu dengan erat.

"Lo kenapa Naj, apa ada yang berusaha buat nyakitin lo lagi kayak kemarin?" tanya Rey.

Najwa pun menggeleng dan tersenyum lebar. "Nggak kok, gue cuma kelilipan aja tadi," ucapnya seraya mengusap air mata yang sudah terlanjur Rey lihat.

"Lo pikir gue sebodoh itu dan bakal percaya sama lo?" ucap Rey sambil melepaskan pelukan Najwa.

"Gue beneran nggak papa, Rey," ucap Najwa sambil menundukkan kepala.

Rey menghela napas lantas menarik dagu Najwa dan mengusap air mata gadis itu dengan lembut. "Yaudah, mungkin saat ini lo nggak mau cerita sama gue, tapi kalo lo mau cerita kapan pun, gue bakal siap buat dengerin itu semua," ucapnya sambil tersenyum lembut.

Najwa menghempaskan tangan Rey yang ada di dagunya dengan pelan, lantas mengiyakan ucapan Rey.

"Naj, lo tau nggak? Kalau di sekitar penginapan ini, katanya ada sebuah pohon tua yang masih hidup di sini. Lo mau nggak, nemenin gue cari pohon itu?" tawar Rey tiba-tiba.

"Boleh, Rey, ayo kita cari sekarang," ucap Najwa dengan lembut.

Mereka lantas berkeliling di sekitar penginapan yang ternyata cukup luas, sambil bertukar banyak cerita.

Tak terasa hari semakin gelap dan mereka masih belum menemukan pohon yang dicari.

"Lo serius, di sini ada pohon tua?" tanya Najwa.

"Katanya!"

"Kata siapa?"

"Kata gue!"

Najwa lalu menghentikan jalan dan menatap Rey yang tertawa riang.

"Bisa aja lo Rey, jadi ceritanya lo bohongin gue, nih!" ucap Najwa sambil bersedekap.

Rey kembali tertawa, "nggak bohong sih, sebenernya. Soalnya kata mamah, di daerah sekitar rumahnya itu, ada sebuah pohon tua yang sampai sekarang masih ada. Entahlah, di mana pohon itu sekarang," jelas Rey membela diri.

"Iya, iya, Reyza Brasdan."

"Loh, kok lo tau nama gue?"

"Kata Ando, nama papah lo Brasdan, jadi gue nebak aja, emang bener ya?"

"Em..., nggak 100% sih, tapi lumayan lah."

"Tuh 'kan, gue emang pinter kalo disuruh nebak sesuatu!"

Rey tersenyum, lalu mencubit hidung Najwa dengan gemas, "Naj, katanya kalo seseorang bisa nebak nama papah gue ..., artinya dia jodoh gue."

Najwa kembali tertawa karena ucapan Rey yang terdengar konyol. "Masih katanya, 'kan?"

"Yah, berdoa aja semoga jadi kenyataan!"

Najwa tertawa kembali. " Rey, lo aslinya asik ya? Sayang aja, pas lo pertama kali lihat gue, lo kayak liat hantu aja waktu itu!"

Rey tersenyum malu, lantas menggaruk pipi kanannya karena canggung. "Oh, waktu itu, Naj sebelum gue ketemu lo, gue mimpiin lo dan lo pasti tau kalo mimpi itu bukan mimpi yang kebetulan. Gue tau ketika denger Zulfan dan Ando ternyata punya mimpi yang sama. Ngomong-ngomong, sekarang lo udah mendingan?" ucap Rey dengan serius.

Najwa tersenyum tipis lalu mengangguk setuju dengan ucapan Rey.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top