Sembilan

Avell memangku wajahnya, tersenyum menatap cewek yang duduk didepannya. Menyantap makan siang dengan wajah datar seolah ia sedang sendirian dan Avell tidak ada didekatnya.

Menyenangkan, Avell suka Cara, dia suka Cara yang akhirnya menyerah padanya.

Dan apa itu artinya Cara benar-benar menyerah? Tentu saja tidak. Sudah Cara katakan dia itu Merdeka! Dia tidak mudah ditindas. Sejak kecil ia berkali-kali hampir menjadi target bully, dan kebetulan SMA ini baru benar-benar merasakan bully tersebut.

Cara tidak tahan. Baru sedikit seperti itu , rasanya ia seperti mau mati saja. Entah bagaimana rasanya mereka diluar sana, yang selalu di bully dan dikucilkan tapi masih bernafas sampai saat ini.

Mereka yang dibully itu hatinya lebih kuat dari pada mereka yang membully.

Dan Cara kagum dengan mereka semua.

"Pussss." Avell hampir meledakkan tawanya ketika Cara mengangkat kepalanya menatap cowok itu garang. Memincingkan matanya tidak terima. Ditengah-tengah kantin, dia duduk makan bersama cowok gila itu.

Cara risih, cowok itu tidak menyentuh makanannya, malah menatap Cara dengan senyum yang sanggup membuat seorang Cara muntah.

Avell menyendok makanannya, menyondorkan sendoknya ke mulut Cara yang tertutup rapat.

"Pusss, buka dong mulutnya." Avell berujar lembut, persis seperti yang Cara lakukan ketika bicara dengan kucing peliharaannya.

Cara menatap cowok itu tidak mengerti, menatap sendok yang disondorkan Avell didepan mulutnya.

"Lo liat dimana Kucing makan disuap?" seketika Avell ngakak mendengar ucapan tidak mengerti dari cewek yang disukainya itu.

"Cewek kaya lu mana tahu, kucing gua selalu disuapin sama cewek-cewek seksi biar lahap makan." Cara memutar bola matanya, cowok ini gila, dan Cara yakin tidak akan ada yang membantah ucapannya.

Mata Avell mengerjap, seperti mengingat sesuatu. "Apa jangan-jangan gua harus pake pakaian seksi dulu ya? Biar lu mau gua suap."

"Sinting!" Avell ngakak lagi, Cara memang cantik. Dia tidak salah pilih, hatinya memang tahu mana yang pantas dan mana yang tidak.

Avell muak dengan barbie-barbie sempurna diluar sana, mereka sama saja. Manja gila dan tidak tahu diri. Avell butuh seseorang yang sanggup membantahnya, Avell ingin seseorang yang perlu perjuangan untuk menaklukkannya.

Dan Cara adalah orangnya, Cara adalah orang itu. Yang membuat seorang Avell begadang semalaman mengingat wajah manisnya.

"Cara, ambilin minum buat gua dong." Cara menghela nafas, menaruh sendok nya diatas meja.

"Gua lagi makan." Cara menolak, menatap Avell dengan kesal.

"Ya terus?" Avell menaikan alisnya, menatap Cara menunggu reaksi cewek itu.

"Lo kan makan pake mulut, yang. Bukan pake kaki." Cara menarik sudut bibirnya, membuat garis lurus dibibirnya kesal.

"Pussss, nurut dong." Cara berdecak kesal, bangkit dengan setengah hati.

"Lu mau minum apa?" Avell membuat pose berpikir, memiringkan kepalanya.

"Persen aja dulu deh." Cara memajukan wajahnya tidak mengerti. Menahan kesal yang benar-benar sudah memuncak didadanya

Bagaimana cowok seperti Avell ini bisa lahir, mamanya ngidam apa coba?

Cara menatap Avell dengan wajah kesal setengah mati, matanya memincing dengan tajam. Cowo ini, lebih menyebalkan dari kartun Dora yang ia tonton dulu. Ini sudah yang kelima kalinya Cara bolak-balik membelikan cowok itu minuman. Dan demi apapun Avell tidak mau mengatakan apa yang dia mau.

"Yah Beb, kok yang ini."

"Cara Sayang, yang ini asem."

"Soda itu gak baik buat tubuh."

"Gua gak susu yang ini, dari sapi soalnya, kalau dari lo gua gak nolak."

Cara ingin memaki, dan setelah semua rasa kesal Cara cowok itu akhirnya pergi sendiri membeli air putih botol tanggung.

"Woyy, yang haus! Calon pacar gua traktir minum nih!" Avell berteriak, menarik atensi seisi kantin.

"Ambil satu-satu tuh minuman dimeja." Avell menunjuk minuman yang cara beli dengan dagunya.

Cara bergerak cepat, mengambil minuman dimeja dengan asal, dia haus. Dan anggap saja ini rezekinya. Mumpung gratis.

🌹🏵💮🌸🌸💮🏵🌹

"Kamu gak ngumpul sama temen-temen kamu?" Misa menatap Arys dengan pandangan bingung, bertanya dengan kaku dan gugup.

Cowok itu memiringkan kepalanya. "Lo kan temen gua juga. Lagian kalau gue tinggal, ntar lo dibully lagi."

Misa menggigit bibirnya tidak enak hati, menatap bersalah kearah Arys.

"Gak papa, aku baik-baik aja." Misa tersenyum canggung, tidak enak dengan cowok pertama yang mengajaknya berteman itu. Matanya mengerjap polos membuat Arys gemas.

"Lo, gak suka temanan sama gue ya?" tubuh Misa membeku mendengar pertanyaan Arys. Gadis itu mengangkat wajahnya kemudian memucat menatap mata Arys yang berubah menajam. Misa menelan ludahnya gugup.

"Gak begitu, Aku hanya. Gak mau bebanin kamu." Misa menjawab panik, gadis itu menyesap minuman rasa vanilanya untuk mengurangi gugup.

"Apapun yang berkaitan sama lo, emang beban. Dan gua gak keberatan." Misa menatap wajah Arys dengan wajah pucat, dia takut.

"Gausa takut, kan udah gua bilang gua gak keberatan." Arys mengambil minuman Misa dengan santai, meminum minuman itu dengan senyum manis kearah cewek berkacamata itu.

"Arys, sedotannya bekas aku." Misa berujar panik, alis Arys naik menatap sikap Misa yang terlalu cepat berubah.

"Hm? Gak papa. Karna gua gak bisa cium lo secara langsung, gak langsung juga jadi lah." wajah Misa memerah, membuang wajahnya malu. Bibir gadis itu tampak melengkung, namun dengan sebisanya Misa menahan lengkungan itu.

"Habis ini mau kemana?" Arys menatap Misa dengan dengan senyum kecil, tampak gemas terganggu dengan sikap malu-malu gadisnya itu

"Perpustakaan?"

Misa kembali menggigit bibirnya tidak enak, gadis culun sepertinya memangnya akan kemana lagi selain ke perpustakaan?

Misa mengangguk pelan. Gadis itu menatap bersalah kearah Arys.

"Ya udah, gua antar. Nanti lo jatuh kayak kemarin lagi." Misa menunduk, dia payah sekali. Entah aoa yang membuat seorang Arys mau dekat-dekat dengannya.

Misa menatap buku dirak tinggi dengan kesal, kenapa dia harus terlahir dengan tinggi pas-pasan?!

Gadis itu menatap Arys, namun cowok itu tampak sibuk melihat-lihat buku lain.

Misa menghela nafas, berjinjit berusaha keras meraih salah satu buku di tak teratas. Misa berhasil menyentuh tapi tidak bisa mengambil buku itu.

Arys melirik gadis yang berusaha berjinjit itu, menahan tawanya ketika berkali-kali Misa menampakkan wajah kesal.

Arys mendekat, mengangkat kaki Misa, keatas. Menggendong tubuh gadis itu dengan memeluk bagian punggungnya.

Misa terkejut, memegang erat tangan Arys yang mengangkat pinggangnya.

"Arys! Nanti jatuh!" Misa berseru panik.

"Gak akan, ambil bukunya cepet." Misa tampak ketakutan, buru-buru mengambil buku yang ia incar sedari tadi.

"Turunin!" Misa berujar takut.

Arys tertawa, berputar membuat Misa semakin ketakutan diatas sana.

Arys menurunkan cewek itu dengan senyum lebar tidak bersalah. "Gak kenapa-napa,'kan? Kalau ada gua lo gak bakal kenapa-napa."


Tadi itu ngetiknya belum selesai, gak sengaja ke pencet. Saya juga kaget mendadak udah ke publise aja. Rencananya besok, karena kejadian tadi. Ya sudah nanggung malam ini aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top