Dua puluh Tujuh


"Lewat sini." Gadis itu melangkah mengikuti guru dihadapannya, memperhatikan lorong-lorong yang ia lewati.

Tidak ada yang spesial, sama saja seperti sekolah pada umumnya, rambutnya panjang sepinggang ia gerai begitu saja,  membiarkan beberapa anak rambut menganggu wajahnya.

Guru itu masuk, dan dia mengikuti dari belakang.

"Hari ini kalian akan bertemu teman baru." guru itu tersenyum, semua tatapan mengarah padanya.

"Kamu bisa mulai memperkenalkan diri."

"Hayyyyy! Nama saya Amelia Ristasia, kalian bisa memanggil saya Rista, hobby saya bermain dan jalan-jalan jadi jangan ragu untuk mengajak saya keluar bersama, saya pindahan dari Persada." Dia ternyum lebar.

Misa disana, menatap dengan takut-takut. Meski faktanya, sekarang dikelas ini sudah tidak ada yang berani membullynya, mentalnya yang sudah mengalami trauma sejak lama tidak mudah terbiasa.

Mata gadis itu bertemu dengannya, lalu kemudian senyum gadis itu semakin lebar. Rista bukan namanya tadi?

"SMA Persada? Kenapa pindah dari sana?" Eca, gadis yang duduk di bangku paling depan disebelah pintu itu bertanya, dahinya mengerut bingung.

SMA Persada adalah SMA yang paling dekat dengan sekolah ini. Bisa dibilang mereka bertetangga. Jarak keduanya bahkan tidak sampai 60 M.

"Apa ya? Bosan mungkin." menyengir lagi, Rista terkekeh sendiri didepan kelas.

Perasaan Misa tidak tenang, dia terganggu.

"Baiklah sepertinya itu cukup, kalian bisa berkenalan lebih lanjut nanti, kamu duduk dibelakang. Kursi kosong yang dibelakang itu." Rista mengangguk, kakinya melangkah santai menuju bangku diujung belakang.

Dibelakang seorang gadis yang menatapnya takut-takut sedari tadi, cantik. Gadis itu cantik dengan wajah kecil dan mata sayunya.

Bagaimana bisa kelemahan dan ketakutan menyatu dengan begitu indah pada satu wajah yang cantik itu.

Tubuh Misa tersentak, merasakan seseorang memegang bahunya. Mendongak dengan takut-takut matanya dengan mata coklat terang itu bertemu.

"Kamu ... cantik." Misa terpaku, berdiri membelakangi cahaya membuat wajah gadis itu semakin jelas. Dia ternyum ceria.

"Saya Rista." Dia mengulurkan tangannya, senyum riang itu masih disana.

Dengan tangan gemetar Misa membalasnya, tangan mereka tampak kontras, padahal Rista juga termasuk berkulit putih, ah kulit Misa itu pucat.

"Misa."

Begitu kedua tangan itu terlepas, Rista lanjut berjalan. Duduk tepat dibelakang Misa.

Ah, bukankah itu sangat kontras, rambut hitam legam itu, bukankah sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat.

Gadis itu tampak terdiam, dia tidak berbalik ataupun menoleh kemana-mana Lagi. Hanya fokus pada tangan-tangan mungilnya yang saling bertaut.

"Misa, kau tidak mau berbalik." Suaranya terdengar begitu jelas, entah hanya perasaannya saja atau kelas ini benar-benar hening. Seolah semua orang menyimak interaksi diantara mereka berdua.

Tanpa kata Gadis bernama Misa itu menoleh kebelakang.

"Aihh, bukan seperti itu, kamu bakal bikin sakit leher. " Rista bangkit. Berdiri mendekati Misa.

Tubuh Misa bergetar, takut-takut mendongak menatap Rista. Gadis itu hanya tersenyum.

"Bangun dulu,"ujarnya santai yang langsung direspon cepat oleh gadis itu, Misa berdiri dengan canggung. Rista membalik kursi Misa menghadap kebelakang.

"Nah, duduk."

Wajah gadis itu linglung, tampak bingung namun tetap menurut. Mereka duduk berhadapan.

Entah apa yang telah dilalui gadis itu, dia tampak begitu lemah, polos dan tidak berdaya. Namun tetap menarik, buktinya diantara semua orang di dalam kelas ini yang paling membuatnya tertarik adalah gadis ini.

"Kulitmu kenapa bisa seputih ini?" Rista menyentuh tangan gadis itu, benar-benar putih.

"Beritahu aku rahasianya." Gadis itu tampak merengut. Menatap dengan iri.

"Nggehh, kamu pendiam ya? Atau gak biasa pake aku kamu? Tadinya gua kira lo malah ga biasa pake lo gua." Misa gelagapan, diserang dengan kalimat panjang dan cepat membuat gadis itu bingung cara meresponnya.

"Tidak, aku-aku malah tidak terbiasa dengan gua lo." Misa menggelengkan wajahnya, tampak panik.

Rista tertawa renyah, dia memang mudah menebak sifat orang. " Nah, gimana? Orang yang aku suka, sepertinya menyukai gadis dengan kulit putih seperti ini? Mungkin kalau seputih kamu, aku bakal makin cantik dan dia bakal suka aku."

Misa terkekeh, gadis itu menggeleng. "Aku lahir udah begini, lagi pula aku pikir ka-kamu udah cantik." Gadis itu tersenyum malu-malu.

Rista merengut, mengerucutkan bibirnya, menatap kesal kearah Misa. "Kalau aku udah cukup cantik dia pasti udah lama suka aku."

"Kamu? Ada orang yang kamu suka?" Rista memiringkan kepalanya, gadis ini mungkin akan sedikit sulit didekati.

Misa menghindari tatapan Rista, wajah gadis itu Merona. Tampak begitu kentara dikulitnya yang pucat.

"Ada Kan?" Gadis itu kembali tertawa renyah. Misa bingung, dia tidak pernah mengobrol lama dengan gadis seusianya. Dia payah.

Misa mengangguk malu-malu.

"Aku pindah kesini karena apa ya, aku juga bingung, gila kan! Tapi aku udah biasa dikatain gila." Gadis itu ngakak dengan ucapannya sendiri.

Misa terkekeh, tawa gadis itu membuatnya ikut tertawa, seperti menular.

"Tapi rada nyesel juga sih, rasanya awkward banget pas sampe sini malah ga ada yang aku kenal." Gadis itu menumpukan wajahnya dengan tangan. Menatap jendela dengan pasangan seolah memikirkan sesuatu.

"Kenapa harus sampai pindah?" Rista menatap Misa dengan tatapan bingung. Apa yang gadis ini ucapkan tadi? Suaranya pelan sekali.

"Suaramu, pelan sekali ya." Rista memfokuskan tatapan pada gadis dihadapannya.

"Kenapa harus sampai pindah, ya? Hmm, tidak tahu. Aku hanya ingin suasana baru, sudah ku bilangkan aku juga bingung kenapa. "

"Gurunya tidak masuk " Rista mengalihkan pembicaraan, menatap kearah papan tulis yang masih kosong. "

"Sakit, ada catatan juga. Dikirim ke Grup kelas. Nanti kamu aku masukin kesana. " Rista tersenyum, untung saja telinga nya bagus dan belum ada tanda-tanda kerusakan, jadi suara Misal masih bisa ia dengar dengan baik.

Tangan gadis itu bergetar, menyerahkan ponselnya kedepan Rista, "nomor."

Rista menerima ponsel itu, kemudian mengerikan nomornya disana.
"Sudah." menyerahkan kembali ponsel gadis itu, Rista tersenyum lebar.

Misa menatap ponselnya, nomor itu sudah disimpan. Tanpa sadar bibir gadis itu tersenyum.

Rista cantik itu nama kontak yang gadis itu simpan sendiri.

"Misa?" Suara dari depan kelas menyentak cewek itu, menoleh dengan semangat Misa menatap pintu. Disana Arys berdiri menatapnya lembut.

"Temenin aku sarapan yuk." Misal mengangguk. Bangkit berdiri, gadis tersenyum kearah Rista kemudian berlari mendekati Arys yang berdiri menunggunya.

"Itu cowok yang Misa suka ya?" Gadis itu berguman sendiri, matanya menatap pria itu mengusap kepala Misa dengan lembut.

"Sepertinya iya. "

Menoleh kesamping, kearah seorang gadis yang fokus mencatat.

"Hey," panggilnya.

Gadis itu menatap Rista dengan tatapan yang mengisyaratkan tanya.

"Itu pacarnya Misa ya?" gadis itu mengikuti arah pandang Rista.

"Hm?" Gadis itu menggangkat bahunya.

"Gue ga tahu apa hubungan mereka, tapi lebih baik lo ga cari masalah. Apalagi sama Misa. Cowok yang disebelah dia itu gila."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top