Dua Puluh sembilan
Kepala Cara sakit, dia terlalu banyak pikiran, banyak hal yang menggangunya akhir-akhir ini. Tentang Kakaknya, tentang nasibnya, tentang Avell.
Ucapan Arys jelas terngiang dikepalanya. Cara jelas sadar apa yang diucapkan Arys itu benar. Avell memang bisa saja segila itu.
Dia itu sosiapat, jelas sadar dengan apapun yang ia lakukan dan tampak menikmati perbuatannya. Ughh, dia jelas gila dan Cara tidak pernah sedikitpun berharap dia akan jatuh kepada orang seperti Avell.
Menatap jendela, bulan tampak begitu terang malam ini. Avell selalu bilang Cara adalah bulannya.
Cara terkekeh sendirian, bulan memang terlihat paling mencolok pada malam hari, terang cahaya bulan ditengah malam? Palsu, Avell jelas tidak melihatnya sebagai bulan yang seperti itu.
Avell itu terlalu terang, dia seperti matahari dan tidak membutuhkan cahaya lain. Sedangkan Cara adalah bulan yang tidak mampu menciptakan cahayanya sendiri, cahayanya ditengah malam adalah cahaya matahari.
Bulan adalah bintang yang tidak dapat menciptakan cahaya sendiri. Dan apa Cara juga seperti itu?
Cara pusing, dan dia benci kenyataan kalau hal itu sangat menganggunya.
Avell.
Avell.
Avell.
Pria gila itu jelas sudah menganggu hidupnya, hidup tenangnya?
Oh tidak-tidak, hidup Cara sejak awal memang tidak pernah tenang. Kakanya menghilang membawa keponakannya kembali pada pria yang memperkosanya ketika SMA dulu, meninggalkan Cara yang selalu ada dan mendukungnya.
Dan disana Avell, meski berkali-kali ditolak mentah-mentah oleh Cara tetap kembali dan menunggu Cara membuka hatinya agar cowok itu bisa masuk.
Semuanya terasa memburuk.
Meski faktanya, setelah kakaknya pergi kehidupan finansial Cara menjadi jauh lebih baik. Seorang pria datang beberapa minggu lalu, memberikan gadis itu sebuah kartu tambungan dengan isi fantastis, dan katanya akan selalu dikirimkan uang dengan jumlah yang sama setiap bulannya, well uang itu nilainya sama seperti uang gaji Cara untuk 4 bulan.
Pria itu pasti kaya, kakaknya tampaknya akan hidup lebih baik sekarang. Dan dia akan hidup kesepian lagi.
Mengambil ponsel disampingnya, Cara menatap benda itu lama.
Dia kesepian.
Membuka kemudian mengotak atik benda itu beberapa lama. Tidak ada isinya, galerinya berisi foto foto tidak jelas yang tidak jarang blurr. Kontaknyapun hanya berisi nomor kakanya dan Avell.
Memiringkan kepalanya, Cara terkekeh sendiri.
Suara khas yang menandakan teleponnya terhubung terdengar.
"BABE!!!!" kepala Cara mundur tersentak, suara Avell tampak begitu semangat disebrang sana.
Cara membuka mulutnya, hendak berbicara namun kemudian tertutup lagi, dia harus bilang apa?
"Tumben, Yang. Duh gua hampir banting hp tau liat nomor lu yang nelpon." Senyum Cara tersungging, cowok itu mamang tidak jelas.
"Yang? Kok lu ga ngomong? Yang lo baik-baik aja kan?" Suara Avell mendadak berubah, tampak menajam dengan nada curiga. Bahkan hanya dari suaranya saja aura Avell terasa begitu menekan.
"Yang? Gua kesana sekarang?!" Suara serius Avell membuat Cara terkejut.
"Jangan!" Cara refleks berteriak. Jam berapa ini?! Dan lagi cowok itu mau apa?
"Lo ga papa?" nada pria itu berubah, namun nada curiga masih ada disana.
"Gua -- ga papa." Diseberang sana alis Avell naik. Terkekeh pelan menatap ponselnya.
"Lo kangen gua ya?" nada bicara Avell berubah. Nada jail terdengar kentara, Cara memutar bola matanya, yang benar saja. Mana mungkin Cara mengatakan hal seperti itu.
"Gak." Cara kebingungan, dia harus bicara apa. Entah mengapa dia begitu kaku.
"Gak apa Babe? Lu mah, gua ga bisa ga dikasih kepastian gini." Maksudnya apa coba? Cara tertawa pelan.
Senyum Avell timbul, "gua suka deh denger lu ketawa karna gua Babe."
Suara tertawa Cara memang sangat jarang cowok itu dengar, dia tampak sangat cantik menurut Avell ketika tertawa. Dan Avell selalu menyukai hal itu.
"Stop!" cowok itu berseru membuat tawa Cara berhenti seketika.
"Pause dulu Babe, lanjutin ketawa lo besok pas gua ada. Gua gak mau kehilangan momen seriusan."
Tawa Cara semakin kencang, pria itu memang sulit ditebak. Yang benar saja, cara menunda tertawa memangnya ada?
"Gua ga mau nunjukin ke elu masalahnya." Cara menjawab pelan, namun tetap terdengar dengan sangat jelas.
"Dah lah Babe, jahat emang lu." Nadanya merajuk, Cara terkekeh lagi. Mungkin menelpon Avell memang pilihan yang tepat. Menggelengkan kepalanya, Cara tersadar. Apa yang baru saja ia pikirkan?
"Loe beneran Ga papa kan, Babe? Ini pertama kali lu nelpon gua loh. Padahal udah lama banget gua save no gua di hape lu." Mata Cara meredup. Mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring. Menatap langit-langit kamar.
"Gua, cuma pengen denger lo ngomong."
Avell terdiam, senyum pria itu melebar. Menatap ponselnya dengan berbinar. Tangannya bergerak menekan tombol power dan volume down. Dia harus mengabadikan momen ini. Screenshootnya harus dia cetak nanti.
"Ughh, Babe gua baper. Iya Babe gua mau."
Alis Cara naik? Mau--apa?
"Mau?"
"Iya, lu lagi nembak gua kan?" Suara pria itu bersemangat, terdengar percaya diri. Mengusap rambutnya Avell berguling di karpet ruang keluarga.
"Apaan! Kapan gua bilang!" Cara menatap ponselnya horror. Apa selalu sosiopat pria itu juga budeg?
"Yah, yaudah ulang. Tembak gua dong Babe!" Bibir Avell manyun, nadanya berubah merajuk.
"Ga! Belom!" Setelah itu suara telepon terputus terdengar jelas.
Avell terkekeh, matanya bersinar cerah. Berguling-guling tidak jelas pria itu mendindih tidak peduli barang-barang dibawahnya.
"Avell?" Airin menatap putranya heran. Kali ini putranya itu kenapa lagi.
Matanya beralih menatap Arys yang duduk di sofa menjauh dari Avell. Menatap adiknya dengan pandangan horror.
"Mi bawain bius, Avell Fix gila Mih! Buang aja!" Arys menatap Maminya horror.
"Apa sih Bang, buang-buang buang-buang, ga punya Akhlak emang lu. Ga pernah liat orang kasmaran ya?!" Avell sewot.
"Jangan berantem ntar berdua Mami buang bareng-bareng." Airin menggeleng, yah putra-putranya memang jarang akur dan sering berdebat. Meskipun selalu berakhir bekerja sama atau memiliki tujuan sama meskipun cara mereka berbeda satu sama lain.
"Kamu sama Cara jadian. " Ikut duduk disamping Arys, Airin tampak ikut bersemangat.
"Dia bilang belum, berarti akan dong." Mata Avell berbinar, dia tampak sangat semangat.
Arys mengangkat bahunya, dari cerita Avell selama ini, Arys jadi cukup mengerti karakter Cara. Dan jika dibandingkan Misa jelas menaklukan Cara akan lebih sulit.
Yah, selera Avell kan memang yang seperti itu.
"Duh, kalau udah diterima udah langsung nikahin aja." Airin mengerucutkan bibirnya, bersandar pada sofa ikut menonton film Wrong Turn 4 bersama putra-putranya.
"Boleh Mi!" Airin tersentak, kedua putranya berujar berbarengan menatap wanita itu berbinar.
Airin terkekeh. "Ya nggak boleh lah, Cari duit yang banyak dulu."
Mampir ke curita baru sayah yahh, To Kill The King!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top