Dua puluh empat


Langkah itu lemas, tertatih-tatih gadis mencoba tetap berjalan, memeluk lengannya berusaha mengurangi rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya, ujung bibirnya sobek dan wajahnya pucat pasi. Bibir bergetar, matanya mengerjap berusaha mempertahankan kesadaran.

Kelasnya terasa jauh sekali, padahal semalam ia baru saja merasa bahagia karena tahu Arys akan selalu bersamanya. Tapi dimalam yang sama juga ia harus menangis meraung raung dari dalam kamar mandi meminta maaf.

Misa tidak boleh tidak datang, Paman dan Bibinya pasti tidak akan senang jika dia tidak datang sekolah. Mereka takut biaya siswa Misa dicabut.

Sosok dibelakang gadis itu berjalan pelan, santai tanpa suara, tanpa hawa keberadaan. Bagaimana bisa ada manusia sekejam dan semenakutkan dirinya, mungkin memang benar ia berasal dari neraka. Bibir tipis itu tersenyum lembut. Menatap gadis didepannya yang tampak semakin rapuh dalam setiap langkah yang ia ambil.

Langkah itu semakin pelan, semakin oleng kehilangan keseimbangan.

"Tolong!" Misa sudah tidak kuat lagi, kepalanya seolah berputar tatapannya kabur dan tidak jelas. Suara disekitarnya bising. Mereka semua melihat Misa tapi tidak ada yang bergerak mendekatinya.

"Kumohon. Aku tidak semenjijikan itu." Bibir Misa bergetar, dia sungguh-sungguh lemas, semua energinya seolah di rengut.

"Tolong. Kumohon~." kepala Misa berputar, kakinya terhempas kehilangan kekuatannya.

"Tidak ada yang mendengarmu Misa, hanya aku." tubuh gadis itu hampir menyentuh lantai, sebelum dua lengan panjang itu menahan tubuhnya.

"Arys." bibir itu berbisik lemah. Bibir Misa tersenyum, sekarang dia merasa aman. Mata gadis itu terpejam, marasakan hangat tubuh Arys. 

Dia aman. 

Semua orang menahan napas, menatap sosok dengan aura intimasi kuat itu. Ditangannya ada seekor kelinci kecil yang tampak tidak berdaya.

Anggaplah mereka semua jahat, itu lebih baik. Bibir sang Raja memang tersenyum, tapi sorot mata yang dipancarkan penuh penekanan, seolah membawa mimpi buruk disetiap sorotnya. Sorot kelam itu seolah memperingatkan semua orang untuk menjauh dan tidak menyentuh gadis di hadapannya.

Dari pada mati ditangannya, lebih baik mereka menjauh dan cari aman. 

Senyum memukau yang mempesona, lembut dan penuh cinta. Tatapan yang hanya diberikan kepada sang kelinci kecik yang dipermainkan.

Berlindung pada sangkar emas yang dianggapnya pelindung, namun sebenarnya adalah sumber kehancurannya.

Misa adalah tawanan sang Raja, gadis dari kasta bawah yang menjerat sang Raja dengan kepolosan dan rasa takutnya yang besar.

Semua orang terpesona, begitu hati-hati dan lembut dengan tatapan penuh cinta Arys menatap wajah gadis yang tidak sadarkan diri dalam pelukannya. Bagai porselen miliaran rupiah tubuh Misa diangakat dengan penuh kehati-hatian.

Dia seperti Cinderella si gadis kurang beruntung yang membuat Pangeran rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya, bahkan memeriksa satu persatu kaki wanita satu kerajaan sekalipun.

Tubuh itu dibawa, Arys melangkah santai. Mendekati Tiara ketua kelasnya yang kebetulan lewat koridor sekolah dan menyaksikan semuanya dari awal.

"Tiara~," nada itu lembut, namun Tiara tidak dapat menahan tubuhnya yang terkejut merinding mendengar nada santai dan bersahabat yang dikeluarkan Arys. Mungkin karena apa yang dia lihat barusan.

"I-iya?" Tiara menarik nafas sebelum mendongak menatap Arys yang tersenyum ramah terhadapnya. Tubuh Tiara bergetar, melirik Misa dengan takut-takut. Aura yang dikeluarkan Arys itu tenang namun seolah menghisap segala sesuatu disekitarnya kedalam kegelapan yang menyeramkan.

"Gua ijin yah? Bisa lo kasih tahu guru-guru nanti? Atau bisa lo bikinin surat sekalian." Tiara mengangguk cepat, berhadapan dengan Arys disaat seperti ini terasa tidak mengenakan baginya.

"Iya, nanti gua bikinin."

Arys tersenyum. "Ah, Lo emang yang terbaik."

Tiara menahan nafas, wajah Arys yang memukau membuat matanya tidak dapat berpaling. 

Dan begitu cowok itu berbalik Tiara merasa seperti semua oksigen dikembalikan padanya.

Arys dan Misa itu sungguh.

Amit-amit.

Tiara tidak akan mau berada diposisi gadis itu. 

--%%%---

Airen menatap putranya dengan alis terangkat.
Tubuh Misa panas, dan kelihatannya gadis itu demam. Duduk ditempat tidur sang putra Airen menatap anaknya curiga.

"Ini calon mantu Mama kamu apain?" bibir  Arys melengkung menunjukan senyum lebar. Menatap sang Ibu dengan tatapan polos tanpa dosa.

"Gak aku apa-apain Ma, semalam malah Arys ajak kencan. Double date sama Avell."

Mata Airen melotot menatap putranya dengan mata berkilat. Tampak kekesalan diwajah wanita cantik itu.

"Terus Mama kamu anggap apa, hah?! Kenapa gak aja Mama Papa juga? Triple date,'kan bisa?!"

"Ren siapin air buat ngopres ya." Airen berbicara pada pembantu rumah tangganya dengan wajah ramah, yang langsung diangguki sang pembantu. Kemudian kembali memasang raut kesal kearah sang putra.

"Ya siapa yang tahu Mama masih mau kencan sama Papa, atau sebaliknya." wajah Arys tetap santai, tidak ada riak emosi yang menunjukan ia terganggu dengan apa yang dia ucapkan.

Airen mengedikkan bahunya tidak terganggu. "Ya, kalau bareng-bareng Papa Mama pasti mau, kamu gak liat Mama Papa masih kayak ABG baru pacaran gini." Airen tertawa, menatap putranya dengan sorot jenaka.

Reni datang membawa baskom dan air untuk mengompres Misa.
"Makasih Ren."

"Duhh, mentang-mentang udah besar dua anak Mama udah gak mau kemana-mana sama Mama ya. Padahal Mama ingat dulu kalau makan siang gak ada mama disekolah kalian berdua gak ada mau makan."

Arys tersenyum kecil, yeah dia dan si bocah setan Avell dulunya memang melewati masa-masa dimana mereka sangat manja terhadap sang Mama.

Meremas handuk yang telah direndamkan oleh Reni, Airen menempelkan kain kompres itu hati-hati.

"Mama mau masakin bubur dulu." Airen bangkit, menyerahkan baskom itu kembali pada Reni yang masih setiap menunggu.

"Tunggu Ma! Arys aja." mengerjap Airen menatap tidak mengerti kearah sang putra.

"Apa? Kamu mau makan bubur juga?" tanyanya lembut.

Membuang mukanya, wajah cowok itu memerah dihadapan sang mama.
"Bukan Arys yang buatin buburnya."

Menggaruk pipinya yang tidak gatal, cowok itu melirik kecil kearah Mamanya malu.

"Tapi Mama yang ajarin."

Tawa Airen terdengar, mendekati sang putra dengan senyum lebar. Mengacak rambut sang putra yang salah tingkah.

"Sok jago."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top