Dua puluh Dua
"Jadi kapan nembak guenya." Cara memutar bola mata, selama tiga puluh menit mereka duduk berdua saja, Avell sudah nyaris 8 kali menanyakan hal yang sama.
"Tunggu gua punya surat izin kepemilikan senjata Vell, gue berani taruhan bakal langsung tembak mati lo saat itu juga, ditempat itu juga, dengan segala suka cita."
Mereka duduk dipinggir pantai, kaki Cara lurus kedepan membiarkan ombak sesekali mengenai kaki dengan tanda biru keunguan. Bersandar pada dada milik Avell, Cara tidak mau sebenarnya, tapi dia tidak bisa menolak. Kakinya sakit, dan tidak ada jaminan Avell tidak akan memperparah kondisi kakinya.
Avell itu jahat, dia sadis, dan Cara tentu saja tidak pernah mengidamkan pacar seperti cowok itu. Cara juga mau cowok yang melindungi dan menyayangi Cara seperti dinovel-novel remaja.
Bukannya Avell tidak menyayangi Cara, cowok itu tampak perhatian dengan mulut setan yang seakan menikam dada itu, setidaknya maknanya tetap saja cowok itu menyukai Cara. Tapi Cara cowok itu mendekatinya malah seperti cara orang mendekati seseorang yang dibenci.
Diawal pertemuan saja, Avell mengikatnya didalam lemari dan melubangi pintu lemari dengan pisau, meski mengakui dia menyukai Cara, faktanya cowok itu hanya terus-menerus menyiksanya.
Cara manusia normal, dia bukan pengidap masokis yang suka disiksa, dan Cara tentu saja tidak akan pernah mau menjadi seorang masokis. Itu aneh, kalau tidak salah baca Masokis itu termasuk kelainan.
Kalau saja sosok dibelakangnya ini bukan Avell, atau mungkin Avell dalam sisi yang lembut dan perhatian momen saat ini akan sangat romantis, seperti difilm-film yang selalu Cara tonton di tv dulu. Pemandangan senja, dengan posisi layaknya sepasang kekasih.
Cara yakin 100% orang-orang yang melihat mereka akan salah paham, dan menganggap mereka adalah sepasang kekasih.
"Cara~." itu suara Avell, nadanya lebih lembut dari biasanya.
"Hm." dahi Cara menyengit, terdengar tidak seperti Avell yang biasa.
"Gua jahat ya?" tanpa disogokpun Cara benar-benar ingin mengangguk. Mengiyakan dengan semangat 45 pertanyaan Avell. Tapi begitu menoleh, tatapan mata cowok itu berbeda.
Dia tampak lebih lembut, lembut bukan rapuh. Karena selain kelembutan Cara benar-benar tidak bisa menemukan hal lain. Cahaya bulan yang mulai mendominasi memudahkan Cara melihat wajah itu.
Pelukan cowok itu mengerat, menarik tubuh Cara lebih dekat lagi. Menaruh dagunya keatas bahu gadis itu. Menarik nafasnya dengan lembut, menyamankan diri.
Cara memang membuatnya nyaman, selain pelukan bunda dan rangkulan sang ayah juga perdebatan dengan Arys, Cara adalah salah satu hal yang membuatnya merasa nyaman.
"Gua takut." Alis Cara naik, mungkin ini salah satu alasan kenapa Avell begitu kasar kepadanya.
Apa Avell takut padanya? Tapi kenapa? Lagipula kalau Avell takut tidak mungkin cowok itu malah mendekatinya. Kecuali dia masokis hang mendekati orang yang dibencinya.
"Gua takut, lo terlalu sempurna. Mental lo kuat, pendirian lo teguh, fisik lo juga kuat, lo hampir gak butuh orang lain."
"Lo takut karena gue gak butuh orang lain?" Cara masih tidak paham, Cara memang tumbuh dengan perasaan tidak ingin menjadi beban. Karena itu dia belajar mandiri. Lalu salahnya dimana?
"Iya, jadi lo gak bakal punya alasan buat tetap sama gue. Lo gak punya alasan buat tetap bertahan sama gue, lo gak punya alasan buat nerima semua kekurangan gue, meskipun gua yakin gue udah perfect." Bola mata Cara tetap berputar jengah, meskipun mata-mata Avell diawal sudah sangat menyentuh, akhirnya tetap saja menyebalkan.
Kekehan pelan cowok itu terdengar, kemudian disusul helaan nafasnya.
"Karena itu, cukup gue yang sempurna, lo jangan. Salah satu dari kita harus cacat, agar yang satu lagi bisa jadi pelindung. Satu sisi membutuhkan orang untuk dilindungi dan sisi lain untuk melindungi. Manis kan?"
Cara hanya tidak mengerti, dia kehilangan kata-kata. Apa yang sebenarnya sudah dialami oleh cowok dibelakangnya ini? Sampai-sampai pemikirannya menjadi seaneh itu?
"Kalau kayak gitu, kenapa lo gak milih para korban bully disekolah? Mereka lebih layak lo lindungi dari pada gue?" suara kekehan kembali terdengar, Avell terkekeh, menggosok pipinya di pipi Cara dengan gemas.
"Ya gak serulah, Darling. Lagi pula kalau bukan lo gue gak bakal tertarik." pipi Cara memerah, Cara tidak tahu sebabnya. Demi Tuhan itu lebih terdengar menyeramkan. Tapi pipinya memerah untuk alasan yang tidak dapat diterima.
"Dari awal gue liat lo. Gua udah tertarik. Kata orang mereka kadang malah gak sadar sama kehadiran lo. Karena lo bahkan gak ada di tingkatan kasta sekolah kita. Tapi bagi gua, hawa keberadaan lo malah terlalu kuat, gue bahkan gak bisa ngalihin mata gue."
Jantung Cara berdebar, apa ini? Pengakuan perasaan?
Cara jangan tertipu, dia orang gila!!
"Lo yang selalu memandang pembullyan disekolah kita dengan tatapan benci tapi gak sama sekali bertindak. Disitu gue sadar, lo punya sisi cacat yang bisa gua manfaatin. Lo juga punya rasa takut."
"Lo punya rasa takut, takut jatuh ke tingkat terburuk, lo takut dibuang, bahkan sama kakak lo sendiri, lo nerima semua luka yang dikasih kaka lo, biar dia gak ninggalin lo, kan?"
Satu lagi pertanyaan Cara saat ini, sejauh mana Avell mengetahui dirinya. Sejauh apa Avell mengenalnya. Dan kenapa dia terdiam dan membenarkan apa yang Avell katakan.
"Termasuk ke gue kan Cara? Lo bisa aja mukul gue, lo bisa aja balas perlakuan gue. Tapi lo gak ngelakuin itu dan pasrah. Apa itu artinya, lo takut gue juga ninggalin lo?"
Tubuh cewek itu menegang, dia tidak tahu harus berucap apa.
"Cara~." Avell membawa beberapa helai rambut Cara yang ditiup angin kebelakang telinga gadis itu, menunduk mensejajarkan kepalanya dengan telinga si cewek incaran.
"Lo hanya perlu sedikit cacat, lo hanya perlu akui lo butuh gue. Dan gue gak bakal ninggalin lo."
Mata Cara meredup, jantungnya memompa semakin cepat, nafas gadis itu semakin sesak.
"Lo cukup mikir, gue butuh Avell disamping gue, dan gua bakal selalu ada disana, disamping lo."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top