BAB 22

Hai, maafkan kalo masih ada typo karena aku edit bab ini sekali aja.

Happy reading!

*** 

JIKA Helza ditanya, hal apa yang ia sesali akhir-akhir ini, jawabannya adalah menolong Auris. Perempuan menyebalkan satu ini, bagaimana bisa bertindak tidak tahu malu? Setelah ikut makan dengannya, memintanya memesankan menu, dan minta dibayarkan tadi, Auris kini ada di dalam mobil Helza. Perempuan itu merengek padanya untuk diantar. Sialnya, meski merasa jengkel, ada rasa iba yang menarik Helza untuk membantu perempuan itu.

"Di mana rumah lo?" tanya Helza sesaat setelah mini Cooper yang ia kendarai keluar dari basemen.

Auris tidak menjawab, membuat Helza harus menoleh ke kiri. Perempuan itu ternyata tengah melamun, ada air mata yang kembali turun membasahi pipi Auris. "Woy, rumah lo di mana?! Gue harus belok kiri apa kanan?"

"Gue boleh enggak nginap di rumah lo?" Auris melirik Helza, melihat gadis berambut ikal itu melotot, Auris sudah tahu jawabannya. "Gue enggak mau pulang ke rumah, nyokap gue pasti marah setelah keluarga Arash minta pembatalan pertunangan."

"Ya iya lah marah, orang tua lo udah kasih cowok modelan Arash, lo malah milih si Hengky yang mirip ikan lele itu." Helza mengomel, ia sudah lama ingin mengutarakan komentarnya mengenai otak Auris yang sepertinya terletak di dengkul itu. Maksud Helza, meski tidak mau dengan Arash, setidaknya Auris masih bisa mendapatkan cowok lain, seperti Noah atau Nanggala. Atau cowok mana saja yang sedikit tampan atau minimal modal uang, "Kok bisa, sih, lo secinta itu sama si Lele?"

Auris berdecak. "Lo harusnya berterima kasih sama gue, kalau gue terima perjodohan itu, gue pasti udah tunangan beneran sama Arash. Dan lo enggak mungkin punya kesempatan buat deket sama dia," ujarnya, Helza hendak menyanggah, namun Auris tidak mau memberikan kesempatan. "Jadi apa gue boleh nginap di rumah lo?"

"Lo pikir gue sudi mungut lo?" balas Helza sewot.

"Semua akses keuangan gue diblokir nyokap, gue enggak bisa sewa hotel, gak bisa ke rumah Renjana juga karena nyokap pasti cari gue ke sana. Apa harus gue balik dan nginap di rumah Hengky aja?"

"Lo tolol?!" hardik Helza.

"Enggak ada pilihan lain, atau gue ke rumah Arash—"

"Sehari, lo boleh nginap di rumah gue sehari!" sela Helza selagi membelokkan mobilnya untuk putar arah menuju kompleks rumahnya. "Gue beneran enggak habis pikir, kok, bisa, lo secinta itu sama si Lele? Asal lo tahu aja ya, dia selingkuh bukan sekali dua kali aja!"

"Gue tahu."

"Dan lo bertahan?"

Auris meraup wajahnya, lalu menyenderkan punggungnya pada sandaran jok. "Dulu dia enggak gitu."

"Enggak ya bego, dari dulu dia begitu!! Lo nya aja yang tolol."

"Mungkin," kekeh Auris pahit.

"Setelah lihat dia selingkuh dengan mata kepala lo sendiri sekarang, lo bakal tetap balik sama dia?"

"Gue harus balik sama dia, bukan karena gue cinta banget sama dia."

Helza melirik heran. "Terus karena apa? Karena lo hamil dan butuh tanggung jawab dia?" tanyanya, lalu hening. Helza melirik Auris lagi, hendak berbicara namun matanya melebar menyadari sesuatu. "Anjing?! Lo beneran hamil?!" tuntutnya menatap horor pada perut Auris.

"Gue enggak tahu."

"Apa maksud lo enggak tahu?!"

"Gue belum cek!" tangis Auris yang sempat reda kini kembali turun. "Gue enggak berani cek."

Helza menganga, tidak berani mengatakan apa-apa karena Auris tampak tertekan. Ingatan Helza kembali ke restoran tadi, Auris sempat izin ke toilet cukup lama dan kembali dalam keadaan pucat, lalu saat makan, perempuan itu beberapa kali terlihat menahan mual sampai akhirnya Auris pamit ke toilet.

"Haaa... dari sekian banyak laki-laki kenapa lo harus ngewe dan hamil sama cowok bentukan ikan lele yang miskin itu, sih?" Auris yang hamil, Helza yang pusing. "Minimal kalo enggak ganteng, ya tajir, at least kalo dia banyak duit dia bisa tanggung jawab saat lo hamil. Sekarang, mau gimana? Boro-boro tanggung jawab, dia malah selingkuh. Eh? Tapi dia tahu lo hamil?"

"Belum tahu, rencananya mau gue kasih tahu hari ini."

"Hadeeeuhh, nyokap bokap lo?"

Auris menggeleng. "Lo pikir gue masih bisa hidup kalo mereka tahu gue hamil?"

"Astaga...."

"Belum ada yang tahu kecuali lo, dan gue harap lo enggak ceritain ini ke siapa pun." Helza diam saja, sepertinya Auris benar-benar sedang tertekan dan butuh bantuan sampai perempuan itu nekat minta tolong kepadanya. Padahal, jika dalam keadaan normal, Auris mungkin akan menempatkan nama Helza di barisan terakhir sebagai orang yang akan ia mintai bantuan mengingat hubungan mereka yang buruk.

"Gue capek banget, badan gue lemes. Gue boleh tidur?"

"Terserah lo."

Auris memejamkan mata, yang seketika membuat segaris air melintas kembali di pipinya. "Thanks."

Helza menghela napas, ia jadi tahu alasan Auris tidak ingin berpisah dengan Hengky. Perempuan itu sudah menyerahkan segalanya, uang waktu, dan kehomatannya. Dan kini, Auris juga sedang hamil anak cowok lele itu. Auris pasti sangat sedih dan putus asa.

Beberapa menit fokus pada kemudi, saat terjebak lampu merah, Helza melirik Auris yang tampak tidur lelap walau posisinya kurang nyaman. Hati Helza tergerak untuk menurunkan sandaran jok agar Auris nyaman dalam tidurnya, namun akal sehatnya seolah menentang hal tersebut. Lo enggak harus seperhatian itu sama musuh lo.

"Dia musuh lo ... dia musuh lo ... dia perempuan yang bahkan lebih nyebelin dari omong kosongnya si Billy, biarin aja biarin, biar—sialan," umpat Helza ketika akal sehatnya kalah oleh rasa kasihan. Helza turunkan sandaran jok secukupnya hingga posisi Auris terlihat nyaman. "Yah lakukan ini demi Ibu hamil ... bukan demi Auris," gumamnya pelan.

Helza baru saja hendak memperbaiki posisi duduknya ketika justru mata Auris tiba-tiba terbuka. Mereka saling tatap dalam jarak dekat. Auris kaget, Helza kaget. "Lo ... ngapain?" tanya Auris merinding.

Helza melotot, buru-buru ia menjauh. "Gue cuma mau mastiin pintu lo ke tutup rapat. Bisa berabe urusannya kalo lo tiba-tiba jatuh dan keguguran, gue enggak mau dituding sebagai pembunuh sadis Ibu hamil."

Auris mendengus. "Thanks, gue enggak nyangka lo sebaik in—"

"Enggak! Gue enggak baik, gue jahat! Lo jangan salah paham! Gue enggak bermaksud bantu lo!" bantah Helza cepat.

Auris terkekeh lemah. "By the way, lo pakai parfum apa?"

Helza mendelik. "Kenapa? Lo mau, hah? Lo enggak akan nemu parfum ini di toko mana pun dan gue enggak su—"

"Bayi gue kayaknya suka baunya elo."

"—di, hah? Siapanya elo?"

"Bayi gue," ulang Auris lugas. Helza melongo. Apa katanya barusan? B-bayi? Kenapa Auris bisa sesantai itu?!

"Dia kayaknya suka wangi lo. dari sejak lo bantu gue tadi di resto, rasa mual gue berkurang," jelas Auris jujur, meski ia gengsi mengakuinya. "Kalo lo enggak keberatan, boleh gue minta?"

Helza mengaga tak percaya, kadar tidak tahu Auris ternyata lebih besar dari Dara. "Lo pikir gue sudi?"

Auris mengedikkan bahu. "Itu artinya enggak ada pilihan lain, setiap gue merasa mual, gue mungkin bakal nyamperin lo dan minta dipeluk sama lo," ucapnya enteng sambil kembali menutup mata.

Kali ini Helza kehilangan kata-kata. Auristella ini ... benar-benar definisi manusia tidak tahu malu!

Helza kemudian melirik perut Auris lalu memelototinya. Menggunakan dua jari tangannya—telunjuk dan jari tengah, Helza menunjuk matanya sendiri lalu mengarahkan dua jari itu ke perut Helza. Perempuan itu seolah berbicara lewat telepati dengan sang janin dalam perut.

Hei, little one, I'm watching you. Jangan biarin emak lo mual! Gue bakal kasih perhitungan begitu lo lahir ke dunia ini kalo sampai emak lo selama hamil nekat peluk gue karena ulah lo.

***

Membatalkan rencana pertunangannya dengan Auris sudah keluarga Arash bicarakan sejak beberapa minggu lalu, namun, karena orang tua Auris yang tidak ada di Indonesia dan baru pulang kemarin, jadi, hari ini Arash beserta Mama Papanya datang ke sana untuk mengutarakan niat mereka.

Sayangnya, Auris tidak ada di rumah dan Mama Auris mengusulkan untuk membicarakan hal ini minggu depan saja. Namun, tentu saja orang tua Arash menolak. Ada Auris atau tidak, Arash ingin rencana pertunangan mereka batal hari ini juga. Arash sungguh tidak tahan disindir terus-menerus oleh seseorang yang hingga saat ini tidak kunjung membalas pesan atau pun mengangkat teleponnya.

Seperti yang Arash duga, Mama Auris cukup sulit menerima keputusan Arash. Dengan berbagai bujukan yang katanya akan menguntungkan perusahaan dua belak pihak, pertunangan ini harus dilanjutkan. Wanita itu juga menjanjikan sesuatu, jika Arash menikah dengan Auris, perusahaan yang kini dipimpin papa Auris, kelak akan diberikan pada Arash sebagai menantunya.

Arash bersyukur, ia mempunyai orang tua yang tidak gila harta dan jabatan. Asalkan harus setara, tidak lebih tidak kurang, itu pun bukan karena mamanya ingin mendapat menantu terpandang, namun lebih ke arah agar keluarga mereka saling menghargai nantinya.

Pada akhirnya, Mama Auris menerima keputusan mereka setelah Arash menceritakan kebenaran: bahwa selama ini Arash dan Auris hanya berpura-pura menjalin hubungan. Arash tidak peduli, konsekuensi apa yang akan Auris terima nanti. Seseorang memang harus bersikap egois untuk melindungi diri sendiri.

Setelah menyelesaikan makan malam yang terlalu awal, Arash dan orang tuanya pamit undur diri. Di dalam mobil, Arash masih berusaha menghubungi Helza namun perempuan itu tidak juga menjawabnya. Arash tahu, mungkin ia sedikit mengganggu, namun, Arash melakukan ini karena khawatir. Setelah mengetahui bahwa Helza mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan mengakibatkan trauma mendalam, Arash jadi lebih memerhatikan segala tingkah perempuan itu.

Helza yang selalu santai, tersenyum dan bahkan sesekali menggodanya ternyata menyembunyikan ketakutan di balik tingkahnya itu. Arash tidak akan tahu trauma Helza sedang kambuh jika saja Dara tidak memberitahunya. Dan setelah mengetahuinya sekarang, Arash tidak ingin lengah. Jika Helza mendadak sulit dihubungi, Arash menjadi cemas, apakah terjadi sesuatu pada Helza? Seperti misalnya, ada sesuatu yang mengingatkan perempuan itu pada traumanya? Jika benar, Arash ingin menjadi orang yang memeluknya. Memberikan Helza ketenangan meski Arash harus berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Belum diangkat juga?" tanya Mama Erren selagi mengeluarkan ponselnya sendiri. "Biar Mama yang telepon."

Arash mematikan ponselnya sendiri dan membiarkan Mamanya menghubungi Helza. "Loudspeaker, Ma." Mama Erren mendelik namun tak lantas menuruti keinginan Arash.

Di dering ke empat, telepon Mama Erren diangkat. Wanita itu menyeringai puas pada Arash yang tampak kusut. Helza mengabaikan teleponnya tetapi malah menjawab telepon Mamanya? Oh, Arash merasa sakit hati.

"Kayaknya Helza enggak suka kamu, Ras," komentar Papanya pelan.

"Pssst." Mama Erren melotot, menyimpan jari telunjuk di bibir.

"Ya tante?" sapa Helza.

"Hai, my angel, kamu lagi di mana, Nak?" tanya Mama Erren, terdengar gerabak-gerubuk dari sana membuat Arash, dan orang tuanya mengernyit. "Baby, are you okay?"

"Ya, I'm okay tante. Aku baru aja sampai rumah habis belanja, dan ini lag—hey! Orang gila ini, jangan peluk gue! Sana! Sana! Menjauh gue bilang! Dasar gak waras! Tante, entar aku telepon balik, ya. Aku lagi ada tamu, maaf banget. I'll call you lat—shit, gue bisa gila! Bye tante!"

Mama Erren melongo saat telepon mati, begitu pun Papa Arash. Hanya Arash yang kini tampak rusuh menggunakan jaket dan membawa paper bag kecil yang hendak ia berikan pada Helza.

"Turunin aku di halte depan, Pa," pinta Arash.

"Kamu mau ke mana?" Papa Arash bertanya selagi melirik spion tengah untuk menatap putranya.

"Aku mau ke rumah Helza."

"Sekarang?"

"Ya, Mama sama Papa pulang aja, aku bisa pakai taksi online," sahut Arash bersiap turun.

Mama Erren mencegah, wanita itu berujar dengan mata berapi-api. "Enggak usah turun, ayok kita ke rumah Helza bersama-sama. Mama juga penasaran, orang enggak waras seperti apa yang berani peluk-peluk My angel." []

***

Bersambung, 06 Oktober 2024.

Happy weekend ya semuanya!

I'll see you next weekend <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top