BAB 20

⚠️ Trigger Warning ; ada percakapan Arash dan Dara yang mungkin tidak nyaman untuk dibaca oleh sebagian dari kalian, silakan untuk di-skip, kalau enggak tahan. Tapi bab ini cukup penting supaya mengerti alur cerita.

***

“HEL, can I ask you something?” Arash, yang tengah mengolesi lembar roti dengan selai, bertanya tanpa menatap Helza yang kini duduk santai di sofa sembari memeluk bantal. Tadi, Arash sempat menawarkan Helza untuk memesan makanan lewat online, atau jika Helza mau, Arash bisa turun untuk mencari makanan di kantin bawah, tetapi, perempuan itu menginginkan roti panggang. Maka di sinilah Arash berdiri, di depan pantri mini, bermain dengan roti dan selai untuk pertama kali.

            “Sure, go ahead.” Meski merasa waswas—takut Arash menanyakan alasan Helza mabuk kemarin, atau menanyakan luka di tubuh Helza, perempuan itu tetap bersikap tenang. Yah, lagi pula ia hanya perlu membuat satu kebohongan untuk menjawab rasa penasaran Arash.

            “Lo suka sama Noah?”

            Helza melongo, pertanyaan Arash di luar dugaannya. “Engga ada alasan enggak suka sama dia, kan? So, yeah, I like him.” Gerakan tangan Arash berhenti, dan itu tertangkap jelas oleh Helza sebelum kemudian cowok itu kembali mengoleskan selai pada roti dengan sedikit brutal. Helza mendengus geli karenanya. “He’s handsome.” Perempuan itu menjeda, memerhatikan tangan Arash yang semakin kasar gerakannya. “He’s kind, tall, and—why?” Helza tertawa ketika Arash membanting roti yang penuh selai ke tempat sampah. Raut wajah cowok itu tampak kusut.

            “And what?” desak Arash. Ia berbalik Arash menatap Helza. Sebenarnya Arash tahu, apa yang hendak Helza katakan. Pasti tentang bokong padat sialan itu. “He’s handsome, kind, tall, and what?”

            “And he fulfills the expectations of the girl at school about ‘boyfriend material’ they want.” Helza mengedikan bahu dengan bibir membentuk senyum terbalik di akhir kalimatnya.

            “How about you? Did he fulfill your expectations?”

            “What? Of course not.” Helza terkekeh melihat wajah tegang Arash perlahan lenyap. “He’s not my type.” Perempuan itu turun dari sofa, mendekat pada Arash, ia mengambil roti baru dan mengolesinya dengan selai.

            “So… what’s your type?”

            “Mm… gimana gue jelasinnya? Tipe cowok gue a little bad….” Helza melirik Arash. “Because he is engaged.”

            Arash membuka mulut, hendak bicara, tetapi kemudian menutup mulutnya lagi membuat tawa Helza berderai. Arash mendengus, ia mengangkat Helza ke atas permukaan pantri, memepetnya hingga napas mereka beradu dalam jarak tidak lebih dari seruas jari. “I’m not enganged.”

            Alis rapi Helza berkerut. “What do you mean? I was talking about my type, not about you.”

            Arash melengos, menjauhkan diri, hendak membuat jarak namun kaki Helza lebih dulu menahannya. Melilit Arash agar tidak menjauh. “How about you? What kind of girl is your type?” tanya perempuan itu.

            Arash menatap mata Helza. “A girl like you.” Sebelah tangannya terangkat, menyentuh permukaan pipi Helza yang halus. “You’re my type.” Arash mengadukan kepala mereka, membuat hidung mereka bersentuhan. Arash suka bagaimana mereka saling berebut udara dalam jarak ini, Arash suka aroma stroberi yang keluar dari mulut Helza, Arash juga suka pada getaran yang perlahan menyapanya ketika napas Helza mulai berat karena ulahnya.            “I will kiss you, push me if you mind.”

            Helza terkekeh. “You kiss your friend?” tanyanya, saat bicara, bibir Helza bergerak sehingga membuat bibir mereka sedikit bersentuhan.

            Arash memiringkan kepala, sengaja menyentuhkan bibir mereka sedikit demi sedikit, “Who said? I kiss the girl that I had crush on.” Ia tidak bisa menahan lagi, Arash tarik pinggang Helza untuk mendekat padanya. Sangat dekat hingga Arash merasakan dada mereka bersentuhan.

            Entah siapa yang lebih dulu memulai, Arash tidak ingat. Ia hanya fokus memagut bibir Helza yang halus, lembut, kenyal juga manis seperti sebuah marshmellow. Aneh, bagaimana bisa berciuman dengan Helza bisa menciptakan debar menyenangkan seperti ini? Apakah rasanya memang berbeda, ketika ia berciuman dengan tidak hanya menyatukan bibir, tapi menyatukan juga perasaan?

Arash menyukainya. Arash menyukai wangi Helza, Arash menyukai bibir Helza, Arash menyukai suara decap dari ciuman mereka, Arash menyukai sensasi sensual hangat yang tengah mereka ciptakan. Arash juga menyukai bagaimana perlahan ciuman itu berubah intens, tidak hanya saling melumat dan memagut, kini mereka mulai membuka mulut dan membiarkan lidah mereka saling terpaut.

Mendengar desahan Helza yang lolos di antara ciuman mereka membuat Arash menggila, meski napasnya hampir habis, Arash tidak rela melepaskan bibir perempuan itu. Sambil memiringkan kepalanya ke arah berlawanan dengan Helza, lidah Arash mendesak masuk lebih dalam. Ketika Helza berontak dan menarik rambutnya, Arash memutuskan berhenti setelah menggigit gemas bibir bawah Helza.

Ada liur mereka yang masih menyatu—menjuntai seperti utas tali ketika Arash menjauhkan wajahnya dengan Helza. napas mereka yang terputus-putus saling bersahutan. Arash memerhatikan wajah Helza yang semakin cantik dengan pipinya yang memerah, wajahnya itu kembali mendekat, memberikan kecupan bertubi-tubi di pipi Helza yang terlalu menggemaskan untuk dilewatkan.

Helza bergidik kegelian. “Stop it!”

Arash terkekeh, ia bergerak memeluk perempuan itu “That’s amazing.”

“What?”

“Kissing with you.”

“Ahaaa?”

“Yeah, I think my heart will be healthy if we do it every day.” Arash tertawa dengan napasnya yang masih rendah ketika mendapat satu dampratan dari Helza. Ia eratkan pelukannya pada tubuh perempuan itu lalu terkejut ketika pelukannya dibalas. Arash felt good, and he hoped Helza felt the same.

***

            Pukul tujuh malam, Arash membawa masuk motornya ke dalam pelataran rumah Bastara. Sesuai kesepakatannya dengan Dara, Arash akan berbicara mengenai Helza dengan gadis itu.

            Di balik helm full face-nya Arash memutar bola mata saat melihat Bastara tampak menatapnya tidak suka. Cowok itu pasti kesal karena Arash mengganggu quality time mereka.

            “Karena cewek gua bilang kalau rahasia masa lalu Helza itu lebih penting dari rahasia negara, jadi gua enggak ikut nimbrung,” kata Bastara, Dara tidak ada di sisi cowok itu, sepertinya Dara sudah berada di rumah pohon. “Lima belas menit, gue hitung dari sekarang.”

            Arash mendengus tanpa berniat menjawab, kakinya bergerak menuju rumah pohon namun kemudian berhenti ketika Bastara meneriakinya. “Mau ke mana lo?”

            “Rumah pohon, Dara di sana, kan?”

            Bastara mendelik. “Lo pikir gua bakal biarin cewek gua berduaan sama lo di rumah pohon? Dia ada di dalam rumah!”

            Arash berbalik arah, lalu mulai berjalan. “Ngapain lo ikut? Katanya enggak ikut nimbrung?”

            Bastara mengedikkan bahu. “Gue bilang enggak nimbrung, bukan bilang gak akan ikut.” Cowok itu menjawab sambil memasang earphone dan mulai memutar lagu dengan volume kencang. “BURUAN JALAN!” ucap Bastara dengan volume besar.

            Arash geleng-geleng kepala, ia masuk ke dalam dan menemukan Dara sedang berkutat di dapur. Gadis itu tengah mengeluarkan loyang dari pemanggang. Eh lo udah sampai? Bentar ya, gue lagi siapin cookies buat Bara, biar gak rewel.”

            “Gue di ruang tv aja.” Arash melenggang pergi, kemudian duduk sambil memberi kabar Helza bahwa ia sedang berada di rumah Bastara. Tidak lama kemudian, Dara datang, gadis itu berjalan sambil melepas apron lalu melipatnya asal. Sementara Bastara mengikuti dari belakang, cowok itu duduk anteng memangku toples cookies yang Dara berikan sambil sesekali menganggukkan kepalanya mengikuti alunan lagi yang dia dengarkan.

            “Gue enggak bisa lama karena cowok lo pasang timer, jadi langsung ke intinya. Siapa Rafael? Dan kenapa badan Helza penuh luka?”

            “Lo janji enggak akan ceritain ini ke siapa pun, kan?” Arash langsung mengangguk atas pertanyaan Dara “Janji juga, jangan sampai Helza tahu kalau gue cerita soal ini ke lo.”

            “Gue janji,” ucap Arash.

            Dara mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Seolah bersiap menceritakan sesuatu yang sangat berat. “Rafael itu sahabat Helza dari kecil, sekaligus cowok yang Helza suka dari lama.” Arash tertegun mendengar itu. Sialan, dia merasa hatinya terbakar sekarang. Jadi alasan Helza mabuk adalah karena cowok yang perempuan itu suka?

            “Terus... Luka yang ada di badan Helza, itu ulah Helza sendiri. Biasanya setelah ketemu Rafael, Helza jadi gila mandi, dia terus gosok badannya sampai dia merasa bersih. Enggak peduli kulitnya luka atau terkelupas.”

            Kali ini mata Arash membelalak, ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini tetapi Arash tetap mengutarakan pertanyaannya “Kenapa dia kayak gitu?”

            “Helza pernah dilecehkan,” ucap Dara pelan.

            “Apa?!” ada retak di hati Arash begitu melihat ekspresi Dara yang mendadak muram, marah, dan putus asa. “Did that bastard Rafael rape her?”

            Dara menggeleng. “Bukan, bukan Rafael. Tapi orang-orang yang taruhan sama Rafael.”

            “Apa maksud lo dengan orang-orang? Pelakunya enggak satu orang?”

            Dengan senyum sedih Data mengangguk. “Gue enggak tahu, berapa orang yang tidurin Helza, tapi pelaku yang terlibat lebih dari tiga orang.”

            Badan Arash mendadak hilang tenaga, jantungnya berdebar keras dan cepat, napasnya berubah menjadi pendek-pendek, sementara amarah mulai mengusainya secara perlahan. “Ceritain semuanya, gue mohon.”

            “Kejadiannya dua tahun lalu pas kita kelas satu semester ke dua, waktu itu Rafael ajak Helza keluar, dan ternyata dia bawa Helza ke arena balap motor liar. Di sana Rafael taruhan sama orang yang berpartisipasi, taruhannya motor. Kalo Rafael menang, dia dapat motor lawan tandingnya. Dan begitu pun sebaliknya. Rafael harus kasih motor dia kalau dia kalah.” Arash diam, sementara Dara menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya. “Dan Rafael kalah, katanya dicurangi, tapi karena itu balapan ilegal, gak ada aturan bawaj peserta gak boleh curang. Karena enggak mau rugi, Rafael enggak mau kasih motornya. Dia ngajak balap ulang, tapi lawan tandingnya gak terima. Singkat cerita mereka jadi ribut, kubu Rafael dan kubu lawan saling serang fisik.”

            “Pada akhirnya, ketua penyelenggara balap liar itu ambil keputusan bahwa Rafael dan lawan tandingnya bisa balap ulang, tapi dengan taruhan yang berbeda.”

            “Jangan bilang....”

            Dara mengangguk dengan air mata yang sudah berlinang di pipi. “Lawan tanding Rafael minta ganti Helza sebagai bahan taruhan. Kalau Rafael menang, Rafael enggak perlu serahin motor dia ke lawan tanding akibat kekalahan yang pertama, tapi kalau Rafael kalah juga di balap ke dua, Rafael harus kasih Helza ke mereka sebagai ganti motor. Dan seperti yang lo duga, bajingan gila itu terima tantangannya tanpa izin Helza. Dia merasa bakal menang, dan merasa bisa pertahanin motor juga ngelindungi Helza. Tapi ternyata, Rafael kalah lagi. Dan Helza yang saat itu enggak tahu apa-apa kalau dia dijadikan bahan taruhan, diseret paksa sama lawan tanding Rafael.”

            “Dan bajingan itu diam aja tanpa berusaha tolong Helza?!”

            Dara menggeleng. “Gue enggak tahu ceritanya gimana, karena Helza keburu diseret dan dibawa ke basecamp musuh Rafael. Di sana Helza dilecehkan. Jam dua malam, Helza datang ke rumah gue dalam keadaan kacau, handphone dia hancur, badannya lebam-lebam, baju dia sobek dan sekujur tubuh dia kotor penuh sperma yang hampir kering. Sejak hari itu, Helza punya trauma yang dia sembunyikan. Dia selalu bilang enggak apa-apa, tapi gue sama Aruna tahu, gimana Helza ngerasa jijik sama diri dia sendiri. Alasan dia suka mandi lama-lama, gosok badannya sampai luka, terus pakai parfum dalam jumlah banyak, itu dia lakuin buat nutupin bau sperma yang masih dia ingat.”

            Arash meraup wajahnya frustrasi, ia duduk dengan kedua siku tangan bertumpu di lutut sementara tangannya terus bergerak gelisah mengusap wajah dan sesekali menjambak rambut. “Bokap sama nyokapnya tahu?”

            Dara menggeleng. “Enggak ada yang tahu selain gue dan Aruna. Gue udah coba bujuk dia buat pergi ke psikolog tapi Helza selalu nolak dan gue enggak punya kuasa buat maksa dia terus-menerus. Alih-alih ke psikolog, Helza berusaha sembuhin traumanya dengan hal gila. Dia mulai main ke kelab, dia bakal minum sampai mabuk, lalu setelah itu dia yang takut sama cowok, berusaha deketin cowok-cowok di sana, berusaha buat terbiasa sama sentuhan cowok supaya traumanya hilang. Karena Helza pikir, trauma itu bakal sembuh kalau dia lawan dengan cara menghadapi rasa takutnya secara langsung.”

             “Tapi selama ini Helza gagal, mungkin dia udah terbiasa deket sama cowok dan disentuh cowok, tapi Helza enggak pernah bisa terima sentuhan yang lebih dari ciuman. Helza biasanya muntah begitu dia dan cowok yang lagi sama dia udah mulai masuk kamar. Dia mulai ketakutan, kadang Helza mulai panik dan nangis. Biasanya cowok yang bawa dia ke kamar, pergi gitu aja tinggalin Helza sendirian. Dan gue sama Aruna kadang jemput dia kalao dia memang minta dijemput. Begitu terus sampai sekarang. Makanya Helza sering ganti-ganti cowok buat percobaan, dia berharap ada satu cowok yang bikin trauma dia hilang. Gue enggak setuju dengan cara dia yang ini, tapi gue juga enggak bisa bantu apa-apa. Selama Helza masih bertahan dan enggak melakukan hal yang gue khawatirkan, gue merasa enggak perlu tekan dia buat pergi ke psikolog.”

            Dara menatap Arash dengan matanya yang sembap. “Jadi... Gue minta tolong sama lo, kalo lo cuma mau main-main sama Helza dan cuma ingin tidurin dia doang, lo lebih baik pergi dari dia. Kalau Helza ingin sembuh dengan cara dia sendiri, gue pikir  Helza harus dapat cowok yang dia cinta dan cinta dia juga supaya dia enggak takut kalau ngelakuin itu . Pada dasarnya, trauma Helza enggak bisa hilang kalau dia tidur sama cowok asing yang enggak dia percaya. Itu sama saja kayak ngulang pelecehan yang dia terima. Jadi kalo Helza berpikir dia bakal sembuh dengan cara tidur sama cowok, gue rasa cowok itu harus yang Helza cintai. Supaya dia bisa ngerasa aman. Tapi, ya, gue, sih, masih berharap dia mau pergi ke psikolog. Walaupun kelihatan baik-baik aja, selalu ada masa di mana Helza down  dan itu bikin gue sama Aruna menderita juga. Gue berharap Helza bisa ceria tanpa harus pura-pura.”

            Setelah mendengar cerita Dara, Arash duduk terdiam cukup lama. Sementara Dara sudah pulang diantar Bastara. Ada rasa marah yang bergejolak memenuhi hati Arash, tapi di waktu bersamaan, dia juga merasa putus asa karena tidak bisa melakukan apa-apa.

            Arash meraup wajahnya lagi, dan mengingat keinginan terkutuk yang pernah ia pikirkan beberapa bulan lalu. Ia ingin meniduri Helza karena rasa penasarannya tanpa tahu bahwa Helza tengah berusaha melawan rasa takutnya. Bajingan gila. Arash merasa dirinya menjadi manusia terkutuk jika mengingat itu.

            Dering ponsel menyadarkan Arash dari lamunannya, ada nama Helza di layar yang menyala membuat Arash segera menjawab teleponnya.

            “Hei,” sapa Arash setelah berdehem.

            “Arash lo masih di rumah Bastara?”

            “Masih, tapi ini mau pulang. Kenapa, Hel?” Arash bangkit setelah mengantongi kunci motornya.

            “Dara udah pulang apa masih di situ? Gue telepon dia enggak diangkat.”

            “Dia udah pulang sama Bara.”

            “Oh okay, gue mau nginap di rumah Dara. Syukurlah kalau dia udah pulang, gue mau berangkat sekarang.”

            “Mau ke rumah Dara? Sama sopir?”

            “Pakai taksi online aja, pak sopir biar istirahat.

            Arash menaiki motor lalu menyalakan mesinnya. “Gue jemput aja, nanti gue anter ke rumah Dara. Tapi pakai motor, gapapa?”

            “Boleh? Lo enggak keberatan anter jemput gue?

            “Enggak, asal traktir gue bakso dulu sebelum ke rumah Dara.”

            Arash tersenyum mendengar tawa Helza di seberang sana. “Okay, tapi gue yang pilih tempat baksonya ya?!

            “Oke, nggak masalah. Gue berangkat sekarang.”

            “Okaayy, hati-hati ya, Ras. Jangan ngebut, enggak ada yang kangen ke lo kok.”

            Arash tertawa. “Kenapa gue ragu yaa?”

            “Well, bukan gue yang kangen.”

            “Gue yang kangen, jadi boleh gue berangkat sekarang? Selagi nunggu gue sampai, lo ganti pakai baju panjang, double pakai jaket atau hoodie yang ada tudungnya. Pakai kaus kaki juga.” Arash kembali tertawa mendengar Helza berdecak dan mengatainya lebay. “Gue matiin, mau jalan sekarang.”

            Setelah telepon itu dimatikan Helza, Arash segera membawa motornya membelah jalan Jakarta yang semakin malam semakin ramai. Seramai pikiran Arash yang kini menyuruhnya untuk segera sampai di rumah Helza dan memeluk perempuan itu seerat yang dia bisa. []

***

29 September 2024.

Meskipun terlambat, happy weekend ya :*

Sampai berjumpa Sabtu dan Minggu depan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top