BAB 17
Tadinya mau aku update besok, tapi karena besok aku ada kerjaan, so ini dia bab 17.
Enggak sepanjang bab sebelumnya, but I hope u guys like it <3
Sorry for typos and happy reading!
***
HELZA cukup terkejut ketika ternyata Arash membawanya ke kedai bakso biasa. Maksud Helza, kedai bakso pinggir jalan yang bahkan gerobaknya saja masih kecil dan sederhana. Bukan kedai bakso yang bertempat di sebuah ruko. Meski ada tempat yang disediakan bagi mereka yang ingin makan di tempat, jujur saja tempat itu tidak terlalu luas.
Untuk ukuran Arash dan Helza yang mempunyai badan bongsor karena keturunan bule mereka, tempat itu cukup membuat mereka engap.
Selain itu, Helza juga terkejut melihat Arash yang benar-benar lahap memakan bakso yang dicampur mie juga sayuran. Meski rasanya enak, tetap saja, melihat seorang bule memakan semangkuk bakso sambil memegang kerupuk cukup membuat Helza tertawa geli.
“Why?” tanya Arash
“Enggak, cuma lucu aja lihat lo makan bakso.”
“Cowok makan bakso kelihatan aneh?” Arash sering melihat kerumunan perempuan di kedai bakso, atau kedai seblak. Tapi, tidak ada satu pun cowok di sana. Apakah bakso dan seblak hanya boleh dimakan oleh perempuan?
“No, bukan aneh, gue udah bilang lo kelihatan lucu.” Helza tertawa lalu fokus menghabiskan baksonya ditemani obrolan ringan tentang anjing dengan Arash.
Karena tempat bakso itu terbilang kecil, jadi Helza merasa tidak enak jika mereka berlama-lama di sana. Ada beberapa orang yang berdatangan dan tengah menunggu tempat kosong. Jadi, begitu bakso mereka habis, Helza dan Arash segera keluar dari kedai bakso itu.
Melihat kening Helza lembap oleh keringat, Arash sedikit merasa bersalah. Tangannya refleks terangkat, hendak menyeka keringat di sana tetapi kemudian urung karena takut Helza merasa tidak akan nyaman. “Harusnya gue ajak ke kedai bakso yang lebih nyaman, sorry.”
Helza menggeleng, ia mendekatkan wajahnya pada Arash. Memberi kode agar Arash melanjutkan apa yang hendak ia lakukan. Menyeka keringat Helza dengan tangannya yang besar dan hangat. Sialan, hanya menyentuh kulit kening Helza ternyata bisa membuat Arash tegang.
“Tempatnya nyaman dan baksonya enak, lo enggak perlu merasa bersalah. Berkeringat setelah makan pedes itu wajar, kok,” ujar Helza.
Masih dalam posisi berdiri menghadap Helza, Arash memakai helmnya. “Mama gue nanyain lo, mau mampir ke rumah?”
“Shold I?”
Arash mengangguk. “Kalo lo enggak keberatan?”
Tentu saja tidak, jadi Helza mengangguk dan pasrah dibawa ke rumah Arash.
Ketika mereka sampai, seperti hari sebelumnya, Mama Erren dengan ramah dan hangat menyambut Helza.
Segala makanan yang beliau punya dikeluarkan, dari buah-buahan, kue, sampai menawarkan makan dengan sayur yang sudah beliau buat barusan.
“Aku udah kenyang banget makan bakso Tante, mungkin aku bisa makan nanti malam?” Tolak Helza selagi berusaha menghibur.
Mata mama Erren berbinar. “Kamu mau sampai malam di sini?”
“Kalau boleh?” Helza melirik Arash dan Mama Arash bergantian.
Mama Erren menepuk punggung Helza. “Tentu aja boleh, tante bahkan bakal seneng banget kalo kamu mau nginap di sini!”
Helza meringis, menginap, ya?
“Mam, you’re going to make Helza run away from here if you keep pushing her like that.” Arash berujar selagi mempersilakan Helza untuk naik ke lantai atas. “Lo kelihatan ngantuk, ada kamar kosong di sebelah kamar gue, lo boleh istirahat di sana.”
Helza mengangguk, setelah meminta izin menggunakan kamar itu pada Mama Arash, ia akhirnya naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar yang dimaksud Arash.
Kamar tersebut cukup luas, rapi, dan hangat. Meski tidak terlalu mencolok, Helza yakin kamar ini dibuat untuk seorang perempuan. Ada sentuhan feminin di setiap barang-barang yang digunakan di kamar ini, seperti contohnya meja rias yang dipenuhi oleh skin care untuk perempuan.
Ini mungkin kamar yang disiapkan untuk Auris. Pikir Helza.
Sejenak Helza lupa bahwa Arash masih mempunyai hubungan dengan Auris, well, meskipun itu sekedar hubungan palsu.
Helza melepas hoodie milik Arash, sekaligus melepas rompi juga kemeja seragam yang membungkus badannya. Ada tank top yang ia gunakan, sebagai penutup badan atasnya. Masih aman walau sedikit terbuka.
Perempuan itu kemudian duduk sambil memeriksa ponselnya, ada beberapa chat masuk dari kenalannya yang mengajak Helza bertemu malam ini. Helza mengabaikan pesan itu, dan lebih memilih mematikan ponselnya saat pintu terbuka dan Arash yang sudah berganti pakaian santai masuk ke dalam. “Arash, boleh gue ngerokok di balkon?” izinnya.
Arash sempat salah fokus pada Helza, perempuan itu duduk bertopang kaki, memperlihatkan kakinya yang putih mulus, belum lagi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Kalau-kalau Arash tidak bisa menahan diri, mungkin kamar ini sudah penuh dengan erangan.
“Boleh.” Arash menjawab setelah menarik kembali garis kewarasannya. “Di dalem aja, gapapa.” Arash tidak mungkin membiarkan Helza merokok di balkon kamar dengan pakaian seperti itu.
Helza mengangguk, ia merogoh ranselnya dan membuka resleting rahasia dari sana. Arash terkekeh melihat bahwa tas perempuan ternyata hampir mirip dengan kantung Doreaemon.
“Mau?” Perempuan itu menawarkan sebatang rokok yang baru saja ditarik dari bungkusnya. Arash tahu rokok dengan merek itu. Jenis rokok yang paling Arash hindari karena memiliki kandungan nikotin yang tinggi. Tenggorokannya akan gatal dalam waktu satu detik setelah Arash mengisap rokok itu, gatal yang menimbulkan batuk. Arash tidak suka.
“No, nikotinnya tinggi.” Ia menjawab selagi memerhatikan bagaimana perempuan itu terkekeh pelan lalu menjepit batang rokok dengan bibirnya. Arash pernah beberapa kali melihat perempuan merokok, tapi yang ini berbeda. Segala gerakannya terlihat menarik di matanya. “Gimana rasanya? Rokok dengan nikotin tinggi? Enggak gatal?” lihatlah, Arash bahkan mulai biasa berbicara lebih dari satu kalimat dengan perempuan ini.
Helza meneleng menatap Arash, ada binar geli di matanya. “Rasanya enak, manis.” Karena perempuan itu menjawab selagi membasahi bibirnya sendiri, Arash jadi salah fokus. Atensinya teralih ke sana. Bibir tipis perempuan itu membentuk seringai kecil. “Gue bisa bantu lo ngerasain rokok ini tanpa harus ngehisap rokoknya.”
Alis Arash terangkat sebelah. “Gimana caranya?”
“I will kiss you until your tongue tastes the same as mine.” Posisi duduk perempuan itu berubah menjadi setengah berbaring di permukaan kasur dengan siku yang menjadi topangan berat badannya. “So, you wanna taste it?”
Arash tidak bisa menahan senyum mendengar jawaban nakal dari perempuan itu. Baiklah, sepertinya Arash harus membiasakan diri dari sekarang bahwa, there’s a bad girl on his bed.
Mengambil langkah untuk mendekati Helza, kaki Arash berhenti dan sengaja menabrak lutut Helza yang menggantung di sisi ranjang. Mata cowok itu menyipit memerhatikan bibir Helza yang merah mengkilap.
Ada keinginan kuat yang mendorong Arash untuk membungkuk—mencondongkan setengah tubuhnya untuk mendekati wajah Helza. Tangan Arash bahkan sudah menapak di atas kasur demi menopang tubuhnya yang sudah benar-benar mendekati Helza.
Harum Helza terendus lebih kuat dari dekat, rasanya memabukkan. Arash ingin menyusupkan wajahnya di leher perempuan itu. Mencari aroma yang sejak awal sudah memikatnya. Menciuminya hingga rasa haus yang sudah lama Arash rasakan terpenuhi.
Napas Arash berubah berat dan melambat, akal sehatnya sudah berontak. Tidak peduli Helza suka atau tidak, ia hanya ingin mencium bibir perempuan itu sekarang juga. Membuat Helza lemas karena serangannya, atau mendengar Helza mengerang di bawah sentuhannya, sepertinya bisa membuat dahaga Arash terpuaskan.
“I’ll have a taste then,” bisik Arash parau. Kepalanya bergerak miring selagi mengikis jaraknya dengan wajah Helza.
Hidung mereka bersentuhan, panasnya napas mereka berbaur menciptakan atmosfer panas yang penuh dengan gairah.
Bibir mereka baru saja saling bersentuhan beberapa detik ketika mereka dikagetkan dengan nada dering dari ponsel Arash.
Helza yang tersadar dari gelembung nafsu yang sempat menguasainya, segera mendorong Arash menjauh. Perempuan itu bangkit, lalu berjalan menuju balkon selagi menghisap rokonya dalam-dalam.
Arash mengumpat di tempat, ia keluarkan ponsel dan umpatannya kembali ia keluarkan ketika melihat nama Bastara sebagai id pemanggil.
Bastara sialan. Kenapa manusia satu itu harus mengganggunya ketika dia mempunyai Dara yang bisa ia ganggu?
“Apa?!” sentak Arash frustrasi.
“Jual anjing-anjing lo itu ke gue,” kata Bastara. Arash mengernyit, tiba-tiba anjing?
“Maksud lo?”
“Ada anjing jelek peot yang datang ke sini, ternyata anjing itu ada yang punya dan sekarang mau diambil. Dara gue sedih, lo kan punya anjing yang gede, jual anak-anak anjing itu ke gue dan anterin sekarang.”
“Kenapa harus gue?!” Arash berjalan menyusul Helza ke balkon, ia sempat ragu, namun akhirnya memutuskan untuk memeluk perempuan itu dari belakang menggunakan sebelah tangannya, sementara tangan yang lain memegang ponsel.
Beruntung, Helza tidak menolak dan berontak. “I’m sorry,” bisik Arash selagi menciumi rambut Helza.
Helza menanggapinya dengan suapan lembut di tangan.
“Lo kalo mau dibantu dapetin Helza sama gue dan Dara, lo harus bantu gue juga. Kirim anjing-anjing itu sekarang, Rash,” perintah Bastara menyebalkan.
“Kalau gue enggak mau?” masih dengan posisi memeluk Helza, Arash menuntun perempuan itu untuk berbalik badan menghadapnya.
Area pipi Helza tampak memerah sementara matanya yang jernih, menatap Arash dalam-dalam. Sungguh, perpaduan yang sangat cantik hingga Arash tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan apa yang Bastara katakan di telepon.
Meraih sebelah wajah Helza dengan tangannya, Arash hampir saja berhasil mencuri satu ciuman, kalau saja Helza tidak menghindar.
Perempuan itu terkekeh, lalu berbisik. “Gue enggak mau ciuman sama cowok yang punya tunangan.” Lalu Helza meninggalkan Arash lagi di balkon sendirian.
“Bajingan lo Bastara!” umpat Arash dongkol.
Di seberang sana Bastara tertawa. “Gimana rasanya gak jadi cipokan?”
“Shut up!” Arash hendak mematikan telepon itu tetapi Bastara sudah lebih dulu berbicara.
“Gue serius, gue bakal bantu lo dapetin Helza dengan syarat, kirim anjing-anjing itu ke gue sekarang Rash. Gue enggak tahan lihat Dara murung kayak anak ayam.”
Arash menghela napas. “tunggu lima belas menit, gue berangkat sekarang.”
Arash lempar ponsel itu ke kasur sambil mengumpat kesekian kali. Bastara sialan, Arash akan mencekik manusia menyebalkan itu nanti.
***
Jangan lupa vote!
To be continued...
21 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top