BAB 15
“CERITAIN ke gue, kenapa bisa lo dianter Arash ke sini?” todong Aruna begitu mereka duduk di salah satu meja caffe. Sebenarnya, sudah sejak tadi Aruna merongrong Helza dengan pertanyaan yang sama, tetapi karena Helza ingin fokus berburu makeup, jadi ia abaikan. Sekarang, tidak ada lagi alasan bagi Helza untuk menghindari pertanyaan itu. “Za serius, kok bisa?!”
“Atas permintaan nyokapnya, gue disuruh temenin Arash buat—"
“Wait, wait, wait.” Aruna melotot. "Nyokapnya?! Nyokap Arash maksud lo?”
“Ya iya, ini kita lagi ngomongin Arash kan?” Helza jarang sekali mendelik, tetapi jika berhadapan dengan Dara dan Aruna, mata Helza bisa jadi juling karena terlalu sering mendelik atau berputar. “Lanjut, lo jangan nyela dulu, atau lo gue jual ke gigolo,” ancamnya berhasil membuat Aruna bungkam.
Sesingkat mungkin, Helza menceritakan pertemuannya dengan Tante Erren di pet shop sampai ditahap ia dan Arash yang kini berteman.
“Za, gue tahu lo orangnya peka dan pintar. Lo enggak mungkin enggak ngeh kan kalo Arash suka sama lo?” tanya Aruna setelah cerita Helza usai.
Bohong jika Helza tidak menyadari sinyal-sinyal Arash kepadanya. Helza terlalu berpengalaman untuk tidak menyadari bahwa Arash tertarik kepadanya. Hanya tertarik, tidak suka seperti yang Aruna sebutkan
Banyak cowok yang mendekati Helza karena tertarik. Tertarik mengajaknya tidur, bagaimana Helza tahu? karena mata cowok itu hanya tertuju pada dada dan bokongnya saja, bahkan di pertemuan pertama mereka. Kadang, beberapa cowok secara terang-terangan menyeret Helza ke kamar, meski berujung ke IGD karena Helza menendang pusaka mereka. Arash, sedikit berbeda. Mata cowok itu selalu tertuju ada mata Helza dan bibirnya, at least, cowok itu konsisten sampai hari ini. Dan hal itu yang membuat Helza tidak keberatan berteman dengan Arash.
“Nggaklah, dia nggak suka gue, dia punya Auris,” bantah Helza. Perempuan itu menyeruput vanila latte yang ia pesan, sementara Aruna mulai melahap croissan yang sejak tadi ia incar.
Aruna mendesis gemas. “Percaya sama gue, dia suka sama lo. enggak mungkin dia nonton India sama nyokap lo secara tiba-tiba, dia pasti udah prepare sebelum jemput lo. Seniat itu dia deketin lo, Za. Dan kata lo tadi, Arash sama Auris cuma pura-pura tunangan. Gas aja, sih bego. Kapan lagi lo dapet cowok ganteng, wangi, bule, tinggi, kaya lagi. Dan yang penting, dia sekarang jadi Bollywod till die kayak nyokap lo, yakin deh, nyokap lo enggak akan ngelepasin Arash. Beliau mungkin udah bersiap sebar undangan sekarang.”
Helza memutar bola mata mendengar ucapan Aruna. “Stop bahas Arash, Na. gue sama dia cuma temenan.”
Aruna menjentikkan jari. “Justru itu, Za. Sebelumnya lo enggak pernah mau temenan sama cowok, dan sekarang, lo dengan mudah berteman sama Arash. Gue tau, ada sesuatu perbedaan antara Arash sama cowok lainnya. Atau mungkin perasaan lo aja yang rada khusus buat Arash. Kayaknya, dia bisa, deh, Za, dijadikan percobaan selanjutnya. Siapa tahu lo bisa sembuh kalo sama dia.” Aruna tersenyum menyebalkan.
“Arash beda, Na. Meskipun aroma bajingannya bisa terendus, entah kenapa gue punya feeling kalo dia enggak sama seperti cowok lain, dia enggak bisa dijadiin percobaan, gue enggak akan tega, deh.”
“Arash beda karena dia beneran suka sama lo, jangan denial ya bitch!” seru Aruna ketika Helza hendak membantah. “Kenapa lo enggak tega jadiin dia kelinci percobaan kayak cowok-cowok sebelumnya, itu karena lo juga suka sama dia, Za. Makanya lo enggak tega. Lo bakal ngerasa bersalah kalo misal masih gagal setelah nyoba sama Arash,” kata Aruna. “Arash tuh baik gak sih? Eh pasti baik sih, I mean, dia emang sependiem itu ya?”
Helza menggeleng. “Dia engga se pendiam yang kita lihat, kok. Dia lucu, tapi gentle dalam waktu bersamaan. Gue tahu, dia tertarik sama gue, tapi dia enggak asal ambil tindakan. At least, sampai tadi pas gue turun dari mobilnya.” Perempuan itu tersenyum geli. “Dia bahkan minta izin buat save nomor gue, dan yang bikin gue respect, dia juga izin buat berkontak sama gue di luar masalah anjing. I mean…, jarang banget ada cowok yang minta izin segala buat kirim chat doang.”
Aruna mengangguk. “Dia tahu cara memperlakukan lo supaya nyaman dan enggak merasa terganggu dengan kehadiran dia. Setelah effort nonton India, menurut gue dia juga hebat banget nahan diri supaya enggak ugal-ugalan deketin lo nya. Sumpah, sih, lo bego banget kalo misal lo lewatin kesempatan buat deket sama dia.”
Helza mengedikkan bahu. “Entahlah, gue sama dia baru kenal juga.”
“Enggak ada salahnya coba pacaran sama dia, Za.”
Helza mendelik sebal. “Masalahnya dia belum ada pergerakkan ke sana, Na.”
Aruna menyeringai. “Jadi, kalo Arash ada pergerakkan ke arah ke sana, lo mau terima dia?”
“Gue enggak tahu, Na. Seperti yang gue bilang, Arash beda. Kalo misal sama dia gue tetep enggak sembuh, itu artinya gue harus cari cowok lain. Dan gue, enggak enak kalo harus pergi gitu aja ninggalin dia seperti ninggalin cowok sebelumnya. Lo tahu sendiri, gue kenal sama nyokapnya Arash, dia baik sama gue. Ya kali gue nyakitin anaknya.”
Aruna menangkup tangan Helza, memberikan elusan lembut di punggung tangannya yang putih dan halus. “Za, lo mungkin udah bosen denger ini dari gue dan Dara. Tapi, lo harus pergi ke Psikiater, lo butuh bantuan dan arahan dari sana. Bukan malah ganti-ganti cowok dan berakhir lo dicap sebagai perempuan enggak bener. Gue dan Dara sayang sama lo, Za. Gue pengen lo sembuh, gue pengen lihat lo bahagia kayak Dara dan Bastara sekarang.”
“Gue juga pengen, Na,” kata Helza lemah. “Tapi gue enggak siap pergi ke Psiakter. Pergi ke sana artinya harus bercerita, gue belum siap. Gue juga enggak mau bikin nyokap khawatir kalo tau anaknya ada masalah.”
Aruna menghela napas, hendak mengatakan sesuatu namun urung. “Hape lo tuh, bunyi,” tunjuknya.
“Si Dara.” Helza menjawab panggilan video itu. “Apa lo?! gue kira lo udah enggak ingat gue sama Aruna setelah dikasih cipok dan cupang sama cowok lo,” kelakar Helza membuat Dara tertawa.
“Sialan. Gue enggak lupa kalian kok, gue cuma berusaha adil. Bastara bayar gue mahal, enggak tahu diri namanya kalo gue tetep pilih jalan sama lo berdua sementara cowok gue di sini uring-uringan.” Tadi, Helza dan Aruna mengajak Dara untuk bergabung, tetapi karena Bastara yang sering tantrum jika ditinggal, jadi Dara menolak bergabung. “Gimana? Dapet apa aja lo di Sephora?”
Helza memutar bola mata. “Dapat makeup lah, berharap apa lo? gue enggak mungkin dapat bokong seksi di sana, isi Sephora itu cewek semua, sekali pun ada cowoknya, mereka semua bertulang lunak, alias banci, Dar. Bokong mereka emang padat, tapi begitu gue remas, bukan erangan yang gue dapat, tapi jambakan dari tenaga kuli mereka yang selama ini disembunyikan.” Aruna dan Dara tertawa. “Kenapa lo telpon? Mana cowok lo yang super tampan itu? Lagi mandi air ya setelah mandi keringat?” selidik Helza. “Ngabisin berapa kondom, Dar?”
“Sialan, mulut lo isinya sampah semua, Za,” umpat Dara.
Helza tersenyum manis sementara Aruna hanya geleng-geleng kepala.
“Bara lagi gue suruh jemur baju, tadi gue cuciin seragam dan sepatu dia. Mbak di rumahnya sakit, jadi izin enggak masuk. Capek banget gue beberes di rumah peninggalan Belanda ini, udah lemes. Jadi biar si Bara yang jemur ke atas.”
“Udah kayak suami istri ya gue lihat-lihat,” komentar Aruna. “Nikah aja sih, tidur bareng udah, beberes bareng udah, nunggu apa lagi?”
“Nunggu hamil duluan dia baru mau dinikah,” celetuk Helza berhasil memicu umpatan lain dari Dara. “Dahlah, matiin ini video call. Gue sama Aruna mau balik, Dar.”
“Eh, gue mau nanya sih ke kalian. Lagi ngelamun tiba-tiba kepikiran ini. Menurut kalian, orang yang meninggal, terus dikuburnya di San Diego Hills, bakal jadi kuntil anak dan pocong premium gak sih? Soalnya kan mereka bayar tanah kuburannya mahal banget, beda sama mayat yang dikubur di tempat pemakaman umum.”
Aruna memutar bola mata. “Kadang gue masih bingung, kenapa Bastara mau sama cewek freak dan enggak jelas kaya lo Dar.”
“Kenapa lagi emang? Jelas Bastara mau karena si Dara jago di ranjang,” balas Helza enteng.
Dara mengumpat kesekian kali. “Emang anjing ya lo Za, harus disumpel sempak si Billy itu mulut lo biar diem.”
Helza langsung mual. “Sempak Noah aja, bisa gak?”
“Kampret! Bye! Gue enggak mau Bara dengar pembicaraan cabul ini, bisa turun harga diri gue kalo dia sampai dengar!” Dara mematikan video lebih dulu sementara Helza terkekeh. “Balik sekarang, Na?”
“Ayok, gue ke sini naik gocar, Za. Lo dijemput sopir, gak? Kalo dijemput gue nebeng ya, anterin gue balik.”
“Gue telepon dulu bentar, sopir gue dikudeta nyokap, mudah-mdahan hari ini ada.” Helza hendak menelepon Pak Norman, namun sebuah chat lebih dulu mampir ke ponselnya.
Jari Helza beralih untuk membuka pesan dari seseorang yang sejak tadi ia bicarakan dengan Aruna.
Arash Athanasius cowok itu mengirim sebuah foto yang memperlihatkan area basemen, di antara belasan mobil yang berjejer terparkir rapi, Helza mengenali mobil Arash ada di antaranya.
Arash: mengirim gambar
Arash: Gue masih di Mall, tadi nyokap minta dibeliin sesuatu. Kalo lo mau pulang bareng, boleh. Daripada lo pesan taksi, tarifnya lumayan mahal karena jalanan lagi macet-macetnya.
Anda: Hmmmm oke. kalo gue pulang bareng lo, berapa tarif yang harus gue bayar?
Arash: Free for u, tapi kalo lo maksa mau bayar, ada kedai bakso yang tiap gue lewat, keliatan rame banget. Temenin gue makan di sana sebagai bayarannya.
Helza tersenyum membaca balasan Arash, perempuan itu kemudian mengetik balasan.
Anda: Oke, deal. Gue turun sepuluh menit lagi, tunggu di lobi timur, ya.
***
19 Juni 2024
Sorry for typo yapp <3
Btw, kalian udah follow wattpadku blm? Follow dong :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top