BAB 14
SULIT bagi Arash untuk berdiri di posisi sekarang, berhadapan dengan Helza maksudnya. Dengan posisi cukup dekat, mata perempuan itu bahkan menatap matanya. Lima bulan lalu, berdekatan dengan Helza terasa mustahil. Arash yang tidak biasa mendekati perempuan itu, sementara Helza yang memiliki standar cowok tidak biasa, membuat Arash tidak punya pilihan selain diam-diam memerhatikan.
Beruntung, Helza saat itu menyapanya lebih dulu. Meski tujuannya untuk membuat Auris sebal dan cemburu, Arash tidak peduli. Kesempatan itu membawanya ke sini, ke hadapan Helza yang kini tersenyum miring dengan sorot mata geli. Arash yakin, Helza pasti sudah tahu, siapa yang Arash incar.
Arash tidak mungkin mengincar Tante Hannah, bisa-bisa harimau di rumah perempuan itu keluar dari kendang dan menerkamnya karena ulah Papa Helza yang murka. Satu-satunya yang Arash incar adalah Helza, tetapi, Arash tidak ingin mengatakannya dengan gamblang. Helza bisa saja langsung ilfeel jika Arash mengatakan bahwa perempuan bermata indah itulah yang ia incar. Ingat, untuk berada di posisi ini tidak mudah. Arash tidak mau kehilangan kesempatan mendekati perempuan itu karena terburu-buru menyatakan ketertarikannya. Arash bukan cowok tipe Helza, ia bukan cowok yang diidam-idamkan perempuan itu, Arash harus mengambil langkah tepat. Jangan sampai Helza kabur sebelum Arash mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Oh, kalo bukan nyokap gue yang lagi lo incar, jadi… siapa sebenarnya yang lagi lo incar, Rash?” tanya Helza menantang. Arash suka melihat bagaimana mata Helza berbinar, senyumnya yang tertahan, suaranya yang mengandung candaan. Kenapa semuanya tentang Helza terlihat indah di mata Arash?
Helza bukan satu-satunya perempuan cantik yang pernah Arash temui, jauh sebelum hari ini, ada banyak perempuan cantik yang pernah pasrah dalam kuasanya. Tetapi, cantik Helza berbeda. Satu level di atas mereka. Ada kesan mahal dan elegan yang Helza miliki. Meski kadang bicaranya terdengar ceplas-ceplos, tetap saja, Arash tidak bisa menilai sisi buruk dari Helza.
“Gue cuma bercanda, Rash. Jangan dijawab kalo lo enggak bisa,” kata Helza menarik perhatian Arash.
Kedua alis Arash terangkat. “Gue bukan enggak bisa jawab,” bantah cowok itu selagi mendekat pada Helza. Dekat sekali sampai Helza merasa mabuk mencium parfum cowok itu. “Gue cuma bingung, gimana cara ngejawabnya. Seseorang mungkin kabur dari sini kalo denger jawaban gue.”
“Well, siapa pun ceweknya, pasti bakal kabur kalo diincar cowok yang udah bertunangan seperti elo.” Helza mengerling jahil, melihat Arash yang terdiam ia menambahi. “Gue tahu lo tunangan sama Auris dari Dara. Jangan khawatir, gue bisa jaga rahasia, kok. Lo enggak perlu ketakutan rahasia kalian ke bongkar.”
Arash tidak peduli tentang apa pun soal Auris, ia hanya ingin meluruskan salah paham ini. Arash dan Auris tidak bertunangan, Helza harus tahu itu. “Gue sama Auris enggak—”
“Wait.” Helza menarik ponsel dari saku jeans nya, ia menunjukkan layar yang menyala. “Gue angkat telepon dulu.” Perempuan itu keluar dari kamar Arash lebih dulu.
Arash duduk di pinggiran kasur, menunggu Helza kembali. Tetapi hampir tujuh menit berlalu, perempuan itu belum juga mengetuk pintu. Arash putuskan untuk keluar, Helza ternyata ada di bawah, perempuan itu bergabung di ruang keluarga dengan Mama dan Papa Arash.
Ada anak-anak Merlyn di pangkuan Helza, anjing-anjing kecil itu lebih pintar dari Arash dalam mengambil perhatian Helza. Lihatlah, mereka tampak anteng di pangkuan perempuan cantik itu, well Arash juga akan anteng jika ada di pangkuan Helza. Atau, Helza yang ada di pangkuannya.
“Tuh, Arash turun. Yuk kita makan siang dulu,” ajak Mama Erren begitu kaki Arash berpijak di lantai bawah. “Tante enggak tahu makanan kesukaan kamu, Za. Jadi tante masak ayam goreng, ikan balado, sama rendang.”
Helza menikmati makan siang di sana, meski orang kaya, ternyata keluarga Arash tidak memiliki kebiasaan diam saat makan. Tante Erren paling aktif berbicara, wanita itu menceritakan banyak hal pada Helza. Mengenai pekerjaan wanita itu yang ternyata adalah mantan CEO di sebuah perusahaan kecantikan, namun sekarang resign karena desakkan suaminya. Tante Erren juga menceritakan pekerjaan Papa Arash yang tidak Helza mengerti, tetapi intinya, pria itu adalah direktur utama perusahaan Elektronik yang sekarang sudah mulai berkecambah ke negeri lain, salah satunya Amerika.
“Jadi sekitar empat tahun lalu, tante resign. Terus kami semua pindah ke Amerika karena Papa Arash harus ngurus banyak hal di sana. Setelah anak perusahaan di sana stabil dan bisa ditinggal, barulah kami pulang ke sini,” kata tante Erren menutup cerita sekaligus berakhirnya makan siang mereka.
Helza mengangguk. “Sebagus-bagusnya negara lain, tetep ya, Tan. Paling nyaman kembali ke sini,” komentarnya. Seperti halnya Helza dan keluarga yang pernah tinggal di luar negeri karena tuntutan pendidikan Papi—yang melanjutkan S2 di sana—hampir dua tahun lebih mereka menetap di luar Indonesia. Tetapi pada akhirnya tetap pulang, meski Papi Helza sempat ditawari pekerjaan yang menjanjikan di sana. Percayalah, meski kadang nyeleneh, Indonesia itu indah.
“Arash.” Sebuah panggilan dari arah belakangnya membuat Arash menoleh, ada Helza yang baru saja menghampirinya. Usai makan, Arash pamit keluar untuk merokok di balkon kamarnya.
“Gue pulang sekarang, ya?” perempuan itu sibuk dengan ponsel tanpa sadar bahwa Arash memerhatikannya sampai tidak berkedip. “Mendadak diajak jalan.”
Arash menghadap Helza sepenuhnya, kedua sikunya bertopang pada pagar besi pelindung di balkon. “Tunggu bentar, gue anter.” Menggunakan mata, Arash menunjuk rokok yang diapit jarinya. “Dikit lagi.”
“Lo enggak usah anter, gue pakai taksi aja,” tolak Helza.
“Gue anterin Hel.” Arash bersikeras.
“Gue enggak pulang ke rumah,” jelas Helza. Ternyata, Aruna tidak bertamasya. Gadis itu tadi meneleponnya dan mengajak Helza pergi ke Sephora untuk berburu makeup yang diskon di akhir pekan. Kebetulan, lotion dan beberapa alat tempur wajah Helza habis. Jadi, mana mungkin ia menolak tawaran Aruna.
“Ke mana memang?”
Helza mematikan ponsel, mengantonginya di saku. Perempuan itu menyeringai. “Ke Mall, diajak seseorang.”
Diajak siapa? Kalimat itu sudah hampir keluar dari mulut Arash tetapi ia menahannya. Helza mungkin tidak suka jika Arash bertanya hal seperti itu padahal mereka belum dekat.
Helza melirik cowok itu dengan senyum tipis. “Sama Aruna, temen gue,” katanya geli.
Arash berdehem. Sejelas itukah wajah penasaran Arash? Cowok itu mematikan rokok, membuang puntungnya asal. “Ayok, gue anterin.”
“Enggak usah—”
“Hel, gue anter. Lo pergi dijemput gue, mana mungkin gue biarin lo pulang sendiri.” Bisa habis diomel Mama Erren jika sampai Arash membiarkan Helza pulang dengan taksi. Namun, meskipun tidak diomel, kali ini Arash akan keras kepala untuk mengantar Helza.
Syukurlah perempuan itu tidak lagi mendebat, setelah pamit yang terbilang lama—karena Mama Erren lagi-lagi mengajak Helza berbincang—akhirnya mereka keluar dari rumah.
“By the way, Hel,” panggil Arash saat mobil mereka terjebak lampu merah. “Karena lo nyinggung soal Auris, let me make it clear, gue sama dia enggak berhubungan seperti yang lo pikir.”
“Ehm, truusss?”
“Mama gue dan Mama Auris sepakat buat jodohin kami berdua, but as you know, Auris punya pacar, dan gue…, enggak tertarik sama dia.” Arash menjelaskan alasannya berpura-pura menerima perjodohan tersebut, sejelas mungkin agar Helza tidak lagi salah paham. “Itu idenya Auris, sih.”
“Oke, teruuuss?” tanya Helza. Saat Arash hendak menjawab, perempuan itu bersuara lagi. “Terus hubungannya sama gue apa, Rash?” Helza menahan tawa melihat Arash yang mendadak diam. Kebingungan. “Hubungan lo sama Auris, bukan hal yang harus lo jelaskan ke gue. It’s okay, sekalipun lo beneran tunangan sama dia. Enggak masalah, gue tadi cuma bercanda.”
Arash berdehem. Sialan. Malu sekali. “Gue cuma enggak mau lo salah paham.”
“Kenapa lo enggak mau gue salah paham?” selidik Helza. Perempuan itu memilin jari, merasa gemas. Lucu sekali melihat telinga Arash yang berubah warna menjadi kemerahan.
“I think…, we can be friends,” ucap Arash banting setir. Tidak ada cara lain kalau ingin Helza tetap di dekatnya. Perempuan itu akan menolak jika Arash mendekatinya dalam intensi lain. Arash harus menawarkan pertemanan lebih dulu. “I mean…, lo mungkin nolak ajakan pertemanan gue kalo lo salah paham soal hubungan gue sama Auris.”
Arash mendengar Helza tertawa kecil sebelum mengeluarkan kalimat yang enggan Arash dengar, “Sorry, kayaknya tanpa salah paham soal hubungan lo dengan Auris pun, gue enggak bisa temenan sama lo. Cowok gue pencemburu berat soalnya.”
Arash merasa sesuatu baru saja retak. “Oh, okay.” Hancur sudah mood Arash. Sepanjang jalan menuju Mall, Arash membisu, sementara Helza diam dan sesekali bersenandung mengikuti alunan lagu. Jadi…, ini pertama kali dan terakhir kalinya Arash bisa berdekatan dengan Helza? Serius?
“Bulan depan, Mas Arya mungkin hubungi lo buat jemput puppies,” kata Helza ketika mobil Arash belok memasuki area drop off. Mas Arya adalah pemilik rumah Gogie.
Lampu di otak Arash mendadak menyala, “Lo bisa anter gue buat jemput mereka gak?” ajak Arash.
Helza berpikir sebentar selagi memerhatikan kalender di ponselnya. “Hari Sabtu, ya. Kayaknya sih, bisa. Ntar gue coba bilang cowok gue dulu, siapa tau dia enggak kasih izin,” jawab perempuan itu dengan senyum tertahan.
Arash mengangguk. “Semoga bulan depan lo udah putus,” gumamnya.
Namun, telinga Helza didesain sesensitif mungkin bisa mendengarnya. “Apa?” katanya tertawa. “Lo doain gue putus Rash?”
Arash mengedikkan bahu cuek.
“Jangan, dong! Nanti susah lagi cari pacar.”
“Nggak akan susah,” sambar Arash. Ada dia yang siap menemani Helza setelah perempuan itu putus nanti.
Helza menanggapinya dengan mendengus geli, perempuan itu bersiap turun karena mobil Arash sudah sampai di depan lobi. “Rash, gue orangnya agak pelupa. Bulan depan lo boleh kontak gue satu hari sebelum jemput anjing-anjing lo itu, takutnya gue beneran lupa.”
Arash mengangguk. “Oke.” Ia memerhatikan Helza yang mengikat rambutnya asal, sebelum kemudian perempuan itu membuka pintu mobil.
“Hel,” panggil Arash di detik terakhir Helza hendak menutup pintu.
Helza menoleh. “Kenapa Rash?”
Arash mengetuk kemudinya dengan jari sebelum kemudian memutuskan urat gengsi, “Gue boleh kan kontak lo kapan aja tanpa harus nunggu bulan depan?” []
***
18 Juni 2024
Sorry for typos yaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top