BAB 09
MINGGU PAGI, Arash baru saja membersihkan dirinya tepat pukul tujuh. Dingin menyapa, ia sedikit bergidik kala suhu AC menyambutnya begitu ia keluar dari kamar mandi. Arash berjalan selagi menggosok pelan rambutnya, terkejut bukan main tatkala melihat sosok perempuan tengah berdiri memerhatikan meja belajarnya. Itu Auris.
“Ngapain?” Arash mendekat.
Sementara Auris yang semula membelakangi Arash mulai membalik badan lalu melotot melihat cowok itu hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang sementara tubuh atasnya terpampang. “Lo ngapain?!”
Arash mendengus, ia lempar handuk kecil yang ia pegang tepat mengenai wajah Auris. “Keluar!”
Auris mendesis, kesal, ia lempar kembali handuk itu tetapi meleset dari sasarannya. “Gue cuma mau pinjam charger!” perempuan itu berdiri canggung memerhatikan Arash yang tampak acuh bertelanjang dada meski ada perempuan di kamarnya, cowok itu bahkan dengan santainya mendekati meja rias dan mulai menyisir rambut.
“May I ask you something?” tanya Auris.
“What?”
“Lo lagi suka sama seseorang?”
Arash menoleh kaget, lalu berdehem. “Kenapa memang?”
“Lo alay banget soalnya.” Auris menunjuk sebuah foto berukuran kertas yang biasa digunakan instax mini. Tadi, Auris sempat melihat isi foto tersebut yang ternyata sebuah tangan perempuan di mana bagian pergelangan tangannya mempunyai bekas hickey. Di bagian belakang foto ada dua kalimat yang tertulis dengan gaya tegak bersambung. You have a beautiful voice, it would sound great if you moaned in my arms while you were sober.
“Really? Seorang Arash cuma baru bisa cipok tangannya doang?” Auris tertawa mengejek. “Gue jadi penasaran siapa cewek yang bikin lo pengen denger dia mendesah tapi dalam keadaan sadar. Biasanya kan lo enggak masalah tidur sama cewek meskipun lagi mabuk.”
Arash mendelik. “Siapa pun itu, bukan urusan lo.”
Auris mendengus. “By the way, dua hari lalu gue sempat lihat story whatsapp nyokap lo. “She was with someone I knew.”
Arash mengangguk. “Mm, sama Helza.”
“Kok bisa nyokap lo ketemu Helza?” Auris tidak cemburu, ia hanya sebal saja. mengapa di antara jutaan perempuan, harus Helza si musuh yang paling menyebalkan yang nongol di story Mama Arash.
“She visited the same pet shop as my mom.”
“Oh.” Auris mengangguk-angguk, sedikit curiga ketika sesaat ia melihat bibir Arash melengkungkan sebuah senyum yang tidak pernah Auris lihat sebelumnya. “Sebenarnya gue enggak peduli, tapi kayaknya gue harus kasih tahu lo. She's a bad girl. Really bad. She's the worst girl I've ever known. Gue tahu enggak seharusnya gue bicara begini, but, in case lo tertarik sama dia. Gue saranin lo cari cewek lain aja.”
Melihat Arash yang hanya diam, Auris kembali melanjutkan. “Dia emang cantik, tapi mematikan. Dia mudah didekati, tapi enggak mudah dimiliki. Sekalipun lo berhasil dapetin dia, jangan pernah merasa bangga. Helza bisa kapan aja putusin lo tanpa alasan. And boom, dia benar-benar bisa cut off lo dari hidup dia. Gue bicara gini bukan ngarang, dua temen cowok gue pernah jadi korban dia. Mereka diputusin padahal enggak punya salah, dan parahnya, Helza bersikap seolah mereka enggak pernah kenal padahal pernah tidur satu kamar. Gue peringatin, jangan pernah lo deket sama dia, kalo enggak mau berakhir depresi.”
Arash mengambil charger yang sempat Auris cari, ia jejalkan benda itu sedikit kasar. “Are you done?” sindirnya. “Gue enggak pernah ikut campur antara hubungan lo sama cowok lo, dan gue harap, lo enggak usah ikut campur urusan gue. Pintu keluar di sana, get out,” usir nya.
Auris keluar setelah mengentak kakinya kesal di lantai. Cowok ketus sialan, Auris tidak peduli juga kalau nantinya Arash akan patah hati jika cowok itu sungguhan tertarik pada Helza. Auris harap, Helza mencabik-cabik hati cowok sombong itu agar Arash tahu rasa.
Sementara itu, di dalam kamar, Arash segera menyembunyikan foto yang sempat ia cetak. Sialan, mengapa mata Auris sangat jeli sampai bisa menemukan foto itu?
Bukan hanya matanya yang jeli, tetapi Auris juga pandai menilai situasi. Bagaimana bisa perempuan itu tahu jika Arash tertarik pada Helza? Sejelas itukah perasaan Arash? Mengapa Auris bisa peka tetapi Helza tidak?!
Arash pergi menuju lemari, menarik kaus hitam sekaligus celananya. Tak sengaja, matanya menemukan sebuah kardigan milik seseorang yang ingin Arash lupakan.
Kesal, Arash keluarkan kardigan itu dan membuangnya ke tempat sampah bersih di sisi ranjang. Setelahnya, cowok itu keluar kamar. Dengan lari kecil, Arash menuruni tangga. Di ruang makan, sudah ada Auris dan kedua orang tua mereka. Astaga, malas sekali Arash harus berbasa-basi dengan orangtua perempuan itu.
Arash memilih kembali ke kamar, ia berpapasan dengan Ibu Nani—asisten rumah tangganya di rumah—yang baru saja keluar dari kamarnya membawa keranjang pakaian kotor.
“Den, Ibu nemu kardigan ini di tong sampah, sengaja dibuang?” tanya wanita itu memperlihatkan kardigan di tangannya.
Arash melirik kardigan tersebut. “Mm, buang aja,” katanya sombong. Yap. Buang saja, itu hanya sebuah kardigan milik seseorang yang ingin Arash lupakan. Tentu tidak masalah jika dibuang, Arash tidak butuh kardigan itu.
Ibu Nani pamit ke bawah, sementara Arash masuk ke kamar. Cowok itu terdiam mencium harum familier yang masih tertinggal dan menempel di kardigan tersebut.
Mencoba bersikap masa bodo, Arash memutuskan untuk berbaring. Ia memejamkan mata, namun malah wajah Helza yang sedang tertawa dengan Mamanya yang singgah dalam bayangan. Sialan. Arash bangkit dengan perasaan dongkol, menghianati ucapannya sendiri, cowok itu keluar dari kamar kemudian berlari menyusul Ibu Nani.
Arash lewati ruang makan, ia abaikan sapaan orangtua Auris juga teguran dari Mamanya. Cowok itu pergi ke laundry room, mendapati Ibu Nani sedang menyiapkan cucian di sana. “Mana kardigan yang tadi?”
Ibu Nani menunjuk tong besar khusus pakaian yang hendak dibuang. “Sudah Ibu masukkan ke sana, Den.”
Arash mengumpat dalam hati. “Kenapa dibuang beneran?!” hardik nya.
Ibu Nani kebingungan. “Anu— kan, tadi aden yang suruh.”
Arash berdecap, ia buka tong tinggi itu. Mengeluarkan satu persatu pakaian dari dalam sana demi menemukan kardigan yang tadi ia buang dengan begitu sombongnya.
Ketemu. Arash ambil kardigan itu, meneliti semua bagiannya untuk memastikan tidak ada yang rusak. Aman, wangi Helza juga masih tersisa di sana. Arash peluk kardigan itu selagi berjalan kembali ke kamar, bibir cowok itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Mama Erren yang datang menyusul, terbengong melihat kelakuan anaknya. Wanita itu saling padang dengan Ibu Nani yang hanya mampu menggelengkan kepala.
“Ada yang enggak beres sama anak itu,” gumam Mama Erren khawatir. “Setelah sering melototin bokong sendiri, dia sekarang mulai bicara sama kardigan.”
***
Jika Dara, memiliki hobi memasak dan Aruna gemar menumpahkan cat warna ke dalam kanvas, lain halnya dengan Helza yang senang meracik ekstra dari berbagai macam bunga. Sejak memasuki kelas sebelas dan memilih jurusan MIPA, Helza mulai tertarik dengan proses pembuatan parfum, well, meski di sekolahnya tidak ada praktik membuat parfum. Bukan Helza namanya jika tidak ngawur. Di saat orang lain mungkin senang membedah katak, atau bahkan mendaur ulang sampah atau barang bekas menjadi barang estetik, Helza lebih senang mengumpulkan kelopak bunga mawar yang ia kumpulkan untuk ia ekstrak. Tidak hanya bunga mawar, beberapa bunga lain seperti lili, melati, sampai bunga anyelir pernah menjadi uji coba tangan Helza. Hampir dua bulan mengulik banyak bunga, pada akhirnya Helza lebih senang mengolah aroma dari buah-buahan yang ia campur dengan minyak.
Karena Helza memiliki prinsip ingin beda dari yang lain, dan merasa membosankan jika harus memiliki benda atau aroma yang sama dengan orang lain, maka Helza putuskan untuk membuat parfumnya sendiri. Khusus untuk Helza sendiri. Setelah satu tahun lamanya mencari harum yang pas, dua bulan lalu Helza temukan perpaduan segar dan manis tetapi seksi dalam waktu bersamaan sebagai parfum andalannya. Helza yakin tujuh puluh lima persen, tidak akan ia temui seseorang dengan aroma yang sama dengannya. Iris telinga Billy jika Helza salah.
“Helza!” teriakan dari Mami Hannah membuat tangan Helza meleset ke depan, cairan parfum yang harusnya melandas mulus di botol kaca berbentuk gitar Spanyol kini harus terjun bebas dan berceceran di lantai.
“Bisa enggak, sih, enggak pake teriak-teriak gitu kalo manggil?” kata Helza ketika kepala Maminya muncul dari balik pintu kamar.
“Enggak bisa, kamu kalo enggak diteriakin enggak akan bangun!”
Helza memutar bola mata. “Aku udah bangun dari tadi.” Ini hari Senin, minggu lalu Helza dihukum karena terlambat datang. Belajar dari pengalan, Helza tidak mau lagi disetrap di depan lapangan. Bukan karena panas atau malu, Helza sungguh risi karena para cowok jadi memerhatikan dada juga badannya.
“Ya bagus kalo udah bangun, cepet sarapan!” Mami Hannah pergi begitu saja.
Helza membereskan lebih dulu apa yang berantakan di lantai, ia kemudian memakai seragamnya, menyemprotkan parfum sisa di botol lamanya. Besok, ia akan meracik parfumnya sendiri karena stok terakhirnya sudah raib gara-gara teriakan Mami Hannah.
Senin pagi dilewati cukup baik oleh Helza, ketika jam istirahat pertama tiba, Helza menjadi orang pertama yang keluar dari kelasnya. Bersama Dara juga Aruna, ia duduk di kantin dan menyantap brunch-nya.
Obrolan antara cewek itu tidak jauh dari masalah cowok dan drama Korea, tetapi khusus Helza, Dara dan Aruna. Bokong selalu menjadi topik utama mereka. Namun, kali ini mereka sedang tidak membahas bokong, Dara baru saja bercerita bahwa dia sudah berbaikan dengan pacarnya setelah sempat ribut karena salah paham.
Helza, gemar sekali menggoda Dara yang baru saja berpacaran. Sebagai teman yang sudah berpengalaman, tak jarang Helza menceritakan hal apa saja yang sudah ia lakukan dengan pacar sebagai contoh agar Dara melakukan hal yang sama. Karena Dara orangnya gengsian, polos, dan hiperbola, mau tak mau Helza selalu tertawa menikmati tingkah konyol gadis itu yang sering kali mengelak saran Helza.
Dari obrolan istirahat itu, Helza menemukan hal menarik. Arash dan Auris dijodohkan oleh orang tua mereka. Info yang Dara dapat dari Bastara, katanya, Auris menolak perjodohan tersebut karena sudah mempunyai pacar. Sementara Arash, tidak menolak. Gosipnya, cowok itu menyukai Auris, jadi meski Auris memiliki pacar, Arash tetap menerima perjodohan tersebut. Akan tetapi—menurut Bastara lagi, sepertinya kini Auris mulai menyukai Arash. Well, tidak heran. Arash jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Henky—pacar Auris. Wajar jika akhirnya cewek itu tertarik pada Arash.
Mengetahui bahwa musuh besarnya menyukai Arash, tentu membuat jiwa iseng Helza menyala. Auris si ratu gengsi, pasti tidak akan mau mengakui bahwa dia menyukai Arash.
Manusia yang menganggungkan gengsi di atas segalanya wajib diberi pelajaran, dan Helza akan dengan senang hati memberikan pelajaran itu pada Auris.
Mendekati Arash hanya untuk melihat Auris kebakaran jenggot agaknya akan sangat menyenangkan. Wajah marah Auris adalah hiburan bagi Helza selain melihat tingkah konyol Dara.
Jadi, saat bel pulang terdengar, Helza dengan semangat berjalan menuju lahan parkir khusus murid untuk menemui Arash. Yah, walaupun sebenarnya Helza tidak yakin Arash akan menggubrisnya—mengingat cowok itu ketus padanya—Helza tetap nekat mengayunkan langkah pada cowok yang kini sedang duduk di atas motor itu.
“Hei,” sapa Helza mencoba ramah, ia bahkan memamerkan senyum mautnya begitu mata tajam Arash meliriknya. Helm full face yang cowok itu pakai membuat Helza tidak bisa membaca raut wajah Arash, namun, bidikan tajam yang cowok itu berikan padanya cukup membuat Helza kikuk. “Arash, right?” Arah menanggapi pertanyaan Helza dengan anggukkan kepala. “Gue Helza, kita pernah ketemu di pet shop sekitar satu bulan lalu.” Kalau-kalau Arash lupa, Helza tidak keberatan untuk mengenalkan dirinya lagi.
“Ada apa?” satu pertanyaan itu keluar dari mulut Arash, baru Helza sadari, ternyata Arash memiliki suara berat dan rendah yang mungkin saja akan terdengar seksi jika mengerang di telinganya. Holly shit! Apa yang ia pikirkan barusan?
Helza melirik selasar sekolah, ia tersenyum licik ketika melihat ada Auris, Renjana, juga Dara yang tegah memerhatikan mereka. Here we go, mari kita buat Auris terbakar cemburu. “Waktu itu nyokap lo nanyain tempat gue adop Husky, katanya beliau mau adop juga,” kata Helza, itu bukan alasan. Mama Arash memang benar-benar menanyakannya. “Kemarin gue sempet cek, ada induk Husky yang baru lahiran di sana. Barangkali nyokap lo masih minat, boleh gue minta kontak nyokap lo?”
“Gue enggak hafal nomor nyokap, ponsel gue mati habis baterai,” balas Arash membuat atensi Helza teralih pada cowok itu.
Sesaat Helza terpaku pada mata biru Arash yang tajam, namun ternyata teduh dalam waktu bersamaan. Ada getar yang coba Helza abaikan kehadirannya ketika ia menyadari mata Arash tertuju pada bibirnya.
“Oh, okay kalo gitu. Gue coba minta ke petshop aja, nyokap lo pasti simpan nomornya di sana, kan?” Arash hanya mengangguk, dan Helza tidak punya alasan untuk berdiri lebih lama di depan cowok itu.
Diliriknya Auris yang tampak marah, hati Helza bersorak gembira melihatnya. Astaga, akan lebih menyenangkan jika sampai Auris meneriakinya. Jadi, Helza mencoba peruntungannya lagi. “Mm, Arash. Can you give me a ride?” Helza melihat Arash terdiam, yeah, tidak masalah jika Arash menolaknya memberi tumpangan. Helza hanya mencari alasan saja agar bisa berbincang lebih lama dengan cowok itu. “Supir gue enggak bisa jemput, tapi kalau—“
“Sure,” ucap Arash. Cowok itu bahkan sudah menurunkan footstep motornya. “I’ll drive you home.”
Helza terkejut, sedikit tidak menyangka bahwa Arash yang ketus padanya akan memberikan tumpangan. Bagus sekali, ia tidak akan membuang kesempatan ini untuk membuat Auris cemburu. Jadi, dengan hati riang, Helza menaiki motor Arash. “Lo keberatan gak kalo gue pegangan?” tanya Helza.
Arash menggeleng selagi menyalakan mesin motornya. “Enggak keberatan.”
“Ok then.” Helza hendak memegangi jaket Arash, namun justru terkejut ketika Arash mengarahkan tangannya untuk memeluk pinggang cowok itu.
“Gue enggak biasa bawa motor lambat, in case lo takut pas gue ngebut. Lebih baik lo pegangan yang bener dari sekarang,” beritahu Arash. Suara rendah cowok itu terdengar ketus membuat Helza hanya berdehem sebagai jawaban.
Motor mulai melaju, membawa Arash serta Helza membelah jalanan Jakarta yang baru saja reda diguyur hujan. Angin yang menerpa kulit putih Helza, sedikit membuatnya dingin. Helza eratkan pelukannya dan kemudian ia tersadar. Bahwa selain suara Arash akan sangat seksi jika mengerang, ternyata tubuh cowok akan sangat hangat jika seandainya mereka berpelukan di atas ranjang.
Goddamn. Hal mesum apa yang baru saja Helza pikirkan?! []
***
08 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top