BAB 02
Latar waktu cerita ini diambil sebelum Dara ketemu Bastara, ya!
Cerita ini bahasanya frontal tanpa sensor, merokok, kissing, pembahasan mesum, dan 18+ lainnya, harap kalau tidak nyaman membaca cerita ini, silakan pergi tanpa meninggalkan komentar yang membuat saya tidak nyaman. tirimikisih<3
***
ARASH tidak memiliki banyak teman, di Indonesia—sebelum Arash pindah ke Washington dua tahun lalu— ada tiga teman yang bisa dibilang dekat karena mereka tinggal di satu kompleks yang sama, juga bersekolah di tempat yang sama. Nanggala, Bastara dan Noah, ketiganya teman Arash sejak ia sekolah di bangku SMP kelas satu, pertemanan mereka berlanjut sampai Arash menginjak kelas tiga, sebelum kemudian ketika hendak masuk SMA Arash pindah ke Amerika sebab Papanya memiliki proyek jangka panjang di sana.
Lalu saat tinggal di Washington, Arash memiliki dua teman, satu cowok bernama Richie dan satu cewek bernama Stella, keduanya sama-sama berasal dari Indonesia dan kebetulan juga orang tua mereka satu proyek dengan Papa Arash. Itulah alasan mengapa Arash bisa berteman dengan keduanya, karena dari asal yang sama. Selebihnya, Arash berteman seperlunya saja.
Tentang pacar, Arash tidak pernah punya. Namun bukan berarti Arash tidak ada pengalaman dengan dekat perempuan, di sana, status tidak begitu penting. Arash bisa mencium siapa saja dan tidur dengan siapa saja acap kali kakinya menginjak tempat hiburan. Arash pertama kali tidur dengan perempuan ketika usianya enam belas tahun, kalau tidak salah ingat, truth or dare adalah alasan Arash bisa menelanjangi perempuan untuk pertama kalinya di sana. Namun, tidak ada satu pun perempuan yang memiliki hubungan pacaran dengannya meski mereka sudah sama-sama telanjang dan bertukar desahan.
Untuk apa pacaran jika dengan berteman saja ia bisa mendapatkan kehangatan?
Kembali bicara mengenai teman, kini motor yang sedang Arash kendarai melaju menuju salah satu teman dekatnya saat SMP dulu. Bastara, rumah cowok itu lebih dekat dari Mall yang Arash kunjungi tadi daripada rumah Nanggala atau Noah. Ini pertama kalinya Arash mengunjungi rumah Bastara lagi setelah hampir dua tahun mereka berpisah.
Motor Arash sampai di gerbang tinggi rumah Bastara, ia mendengus begitu melihat banyaknya pohon pinus yang menjulang tinggi sampai menutup rumah tersebut. Hutan mini, begitu sebutan teman-teman dulu untuk rumah Bastara yang dikelilingi pohon besar dan tinggi. Suasananya sejuk sekaligus creepy. Rumah Bastara seperti berbeda provinsi dengan Jakarta yang penuh polusi, di sini, Arash merasa udara lebih bersih. Minusnya, Arash merasa merinding, apalagi jika mendengar suara burung gagak yang beterbangan di antara pinus-pinus itu. Mungkin, rumah Edward Cullen cocok untuk sebutan rumah Bastara.
Arash membawa motornya masuk ke pelataran setelah sekuriti mengenali wajahnya, mata tajam cowok itu sontak melirik pada rumah pohon berukuran besar yang letaknya tepat di sisi rumah mewah dengan model kuno seperti peninggalan jajahan Belanda. Aura misterius tercium kental dari tempat Arash memerhatikan. Astaga, Arash tidak akan heran jika orang-orang berpikir bahwa penghuni rumah pohon itu adalah seorang vampir.
Lihat saja si pemilik rumah sekarang, Bastara, cowok berkulit putih pucat itu mendadak muncul dari balik pintu rumah pohon membuat jantung Arash hampir saja lepas. Arash tidak takut hantu, kaget sedikit, itu normal kan?
Arash lepas helm full face yang melindungi kepala dan wajahnya, di atas sana Bastara mendengus setelah mengenali wajahnya. Arash kemudian turun dari motor dan menghampiri Bastara. "Lo masih manusia, kan?"
Bastara mendelik. "Lo masih perjaka kan?"
Sialan. Arash mendengus. Keduanya melakukan high five lalu berpelukan sebentar. Satu detik cukup, Arash geli jika harus berpelukan lama dengan seorang cowok.
"Kapan nyampe? Enggak ngabarin?"
"Kemarin," jawab Arash. Matanya meneliti seragam Bastara dan baru sadar bahwa rompi yang digunakan cowok itu sama dengan rompi yang dipakai oleh si perempuan rambut abu penggila bokong tadi. "Lo sekolah di mana?"
"Sekolah bokap."
"Bokap lo?" Arash mengerut kening.
"Enggak mungkin bokapnya ayu ting-ting, kan?" sindir Bastara.
Damn. Arash mengumpat dalam hati. Sekolah milik orang tua Bastara adalah sekolah di mana Auris menganyam pendidikan. Jadi si perempuan rambut abu penggila bokong itu satu sekolah dengan Auris dan juga Bastara?
"Kenapa emang? Datang-datang nanyain sekolah gua?" tanya Bastara.
"Lo tahu cewek yang—"
"Dijodhin sama lo?" sela Bastara. "Tau."
"Bukan," decak Arash. "Cewek yang rambutnya abu."
Bastara terlihat berpikir. "Bu Maryam? Guru IPA? Rambut dia berubah jadi abu semenjak beruban."
"Gue nanyain cewek, bukan nenek-nenek," delik Arash.
"Gua enggak tahu." Bastara mengangkat bahu tidak peduli.
"Cewek rambut abu yang suka bok—" Arash menjeda. Ia kebingungan bagaimana cara menjabarkan si perempuan itu. Perempuan rambut abu penggila bokong? Astaga, terdengar cabul sekali. Dan Arash yakin, Bastara pasti akan tersedak Coca Cola yang sedang ia sesap sekarang jika Arash mengatakan itu.
"Cewek rambut abu yang suka bok apa?" desak Bastara. "Bokep?"
Arash membuang napas. "Lo enggak akan paham."
"Dan gua enggak mau paham." Bastara mengeluarkan rokok dari saku belakang celana seragamnya. Gerakan tangan cowok itu menarik perhatian Arash.
Gara-gara si perempuan rambut abu penggila bokong, otak Arash jadi terkontaminasi. Ia refleks melirik bokong Bastara yang terlihat lebih berisi daripada si cowok yang ia lihat di caffe tadi.
"Lo ngapain melototin bokong gua?" Bastara seperti sedang dilecehkan, cowok itu bahkan langsung membentang jarak dari Arash.
"Pergaulan di Amerika bikin lo berubah sejauh itu?" Bastara masih syok. "Lo sekarang sukanya yang ganteng, Rash?"
Fuck. Arash mengutuk matanya yang melirik bokong Bastara. Tapi sungguh, Arash penasaran, kenapa bokong Bastara jadi berisi?
"Anjing! Lo kalo mau ngehomo jangan ngincer gua!"
"Kagak bangsat!" elak Arash.
"Terus lo ngapain ngincer bokong?"
Arash berdeham sambil menggaruk ujung telinganya yang mendadak gatal. "Lo masih suka olahraga?"
"Gua olahraga di rumah, bukan di tempat gym yang dipenuhi kaum homo kayak lo." Bastara berujar jijik. Arash mendelik, vampir sialan. "Lo mending balik Rash."
Arash memutar bola mata. "Lo suka air squat?"
Bastara semakin curiga. "Lo beneran incar bokong gua?"
"Gue cuma penasaran." Arash merinding juga sebenarnya. "Menurut lo bokong gue tepos?"
"Gila!" Bastara mengumpat. "Lo bener-bener enggak waras!" tambahnya lagi sambil masuk ke dalam rumah pohon lalu menguncinya.
Arash mendengus, ia mengeluarkan rokok dari saku jaket dan membakar ujungnya. Ia baru saja hendak menyesap rokok itu ketika ponselnya berdering karena panggilan masuk dari Mamanya.
"Arash? Gimana? Udah ketemu sama Auris? Dia cantik dan baik kan?" rentetan pertanyaan itu keluar dari Mamanya segera setelah Arash menyapa.
"Udah," balas Arash lalu menyesap rokok dan mengembuskan asapnya ke atas. "Ya cantik."
"Kamu suka kan?"
Tentu saja, tidak. "Suka." Tetapi Arash harus sedikit berbohong agar Mamanya berhenti mendesak perjodohan mereka.
"Kan! Mama bilang apa!" Nyonya Erren terdengar bangga. "Terus Auris nya gimana?"
"Enggak tau, Mama tanya sendiri." Arash Kembali menyesap rokoknya selagi mendengar Mama Erren berdecak.
"Ya udah, Mama telepon Auris aja deh, sebel deh bicara sama kamu."
"Oke." Arash hendak mematikan telepon di saat suara Mama Erren kembali terdengar menyerukan namanya. "Apa lagi, Ma?"
"Gimana soal sekolah kamu? Udah pilih mau lanjutin sekolah di mana? Jangan lama-lama lho, nanti kamu malas sekolah." Ah, benar. Kini Arash harus kembali bersekolah di Indonesia setelah lama menganyam pendidikan di Amerika.
Sebelum menjawab, Arash sesap rokoknya lebih dalam dan lama. "Udah," katanya yakin. "Sekolahnya Papa Bara." Cowok itu memutar bola mata mendengar Mama Erren terkikik.
"Udah Mama duga, kamu pasti bakal pilih sekolah yang sama dengan calon istri kamu," ujar Mama Erren. "Langsung posesif begitu ya lihat gimana cantiknya calon istrimu!" Sungguh, Arash memilih sekolah itu bukan karena Auris. Ya, Auris memang cantik, tetapi cewek itu tidak cukup menjadi alasan Arash memilih sekolah tersebut. Arash memiliki alasan lain yang tidak bisa ia jelaskan pada Mama Erren.
Panggilan telepon itu akhirnya selesai, Arash masih berdiri di teras rumah pohon Bastara, menghabiskan rokok yang sudah terbakar setengahnya selagi memikirkan perempuan unik yang ia temui tadi. Si penggila bokong, Arash tersenyum geli mengeja sebutan itu. Rasa tidak sabar ingin segera masuk ke Sekolah baru segera menguasai Arash, cowok itu berharap akan bertemu dengan si penggila bokong lagi. Sungguh, Arash penasaran siapakah nama perempuan itu.
***
"Helza!" seruan dari seseorang yang memanggil namanya membuat perempuan modis berambut abu segera menoleh ke belakang dan mendengus melihat gadis heboh menghampirinya. Helza Iswari Salazar, perempuan yang kini duduk di bangku SMA kelas tiga itu kembali berjalan tanpa menghiraukan Dara, temannya. "Za, oy! Helza cabul!" Dara kurang ajar, Helza berhenti lalu membalik badan dengan tangan terlipat di bawah dada.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Helza.
Dara memutar bola mata. "Gue kepo, lo abis ketemuan kan sama cowok yang dijodohin Mami lo?" Dafhina Dara Sagita, adalah salah satu teman terbaik Helza. Selain Dara, ada Aruna Larasati, si lemot mesum yang sayangnya kini tidak ikut dengan Dara. "Ganteng enggak, Za?"
Helza menghela napas. "Dari kapan lo di rumah gue, Dar?" perempuan itu bertanya selagi melanjutkan langkah menuju kamarnya di lantai dua.
"Setengah jam lalu, sih." Dara mengikuti Helza dari belakang, "jadi gimana, ganteng apa enggak?"
"GGBT." Helza membuka pintu kamarnya, melepas ransel yang ia cangklong dan melempar asal ke kasur sebelum kemudian ia melempar badannya juga di sana.
Dara mengernyit. "GGBT apaan sih anjing?" gadis itu ikut merebahkan diri di sebelah Helza.
"Ganteng-ganteng bokong tepos."
"WHAT THE FUCK." Dara tertawa, tepat di telinga Helza. "Yang bener aja lo? Mesum banget sih!"
Helza mendengus. "Mending mesum daripada matre."
"Hei, hei!" Dara tak terima Helza menyindirnya. "Gue enggak matre, ya! Gue realistis," bantahnya. "Tapi emang beneran, cowok yang lo temuin tadi bokongnya tepos?"
Helza mengangguk yakin, Dara melotot. "Sejak kapan lo obsesi sama bokong, Za?"
"Sejak gue enggak bergairah pas lihat bokong yang tepos!"
"Wah parah lo, bokong shaming." Dara melempar bantal kecil tepat di atas muka Helza. "Jadi, lo tolak cowok itu?"
"Heem." Helza menjawab sambil mengambil bantal di mukanya lalu memeluk bantal itu. "Gue capek dijdoh-jodohin mulu."
"Makanya cari pacar!" kata Dara, tidak sadar diri bahwa yang jomblo dirinya sendiri.
Helza mendelik. "No comment," ucapnya sebal. Helza bangkit dari posisi rebahannya, ia melepas rompi abu sekaligus kemeja seragamnya. Badannya yang sempurna kini hanya terbungkus bra, Helza bercermin memerhatikan badannya sendiri.
Dara mendengus melihat kelakuan temannya. "Percuma toket besar, gak ada yang pegang," celetuknya.
"Gue enggak suka dipegang," balas Helza selagi berjalan menuju kamar mandi. "Gue sukanya megang-megang."
"Sialan!" Dara tertawa keras.
"Jangan balik dulu, ya, Dar! Bantuin gue cat rambut."
"Cat rambut? Lagi? Baru kemarin lo ganti jai warna abu monyet itu, Za."
Helza mengedikkan bahu. "Gue mau ganti jadi merah."
"Biar apa?" cibir Dara.
"Biar menyala tanteku." Hela mengibaskan rambutnya secara lebay. "Mau cari mangsa buat gue raba-raba, dong."
Dara berdecap, perempuan gila satu ini benar-benar. "Semoga di club gak ada cowok pantat montok deh."
"Dih, kenapa?"
"Biar lo enggak dibungkus ke apartemen tanteku!" balas Dara membuat Helza tertawa keras di kamar mandinya. []
***
09 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top