22. The Suspected
"Sesungguhnya hanya orang-orang terdekat dan orang yang paling mengenal saya yang akan tau kebenarannya. Terserah kalian mau menjudge seperti apa, tapi saya akan tetap berdedikasi untuk bisa menyenangkan kalian lewat menulis. Terima kasih."
#awasmalamminggu #awasbosan #awaskesel #awasbaper #awastecyduk #awasdiphpin #awasngiler #awasadaPARTO #awasadaTBC 😃
.
.
.
Sooji mendelik pada Junhee dan kedua pria lain yang mengekori pria itu, mereka menemuinya pagi-pagi sekali hanya untuk membahas masalah peneroran yang diterimanya tiga minggu terakhir padahal dia sangat tidak ingin membahas masalah tersebut. Dia lebih memilih memikirkan Myungsoo yang belum kembali juga sesuai janji pria itu kepadanya, ya meskipun baru dua hari, tapi tetap saja menurut Sooji dua hari ini waktu yang lama untuknya menunggu.
"Sooji kita harus menyelesaikan ini," ujar Junhee memohon padanya.
"Sudah kukatakan aku tidak ingin."
"Sooji-ssi..."
"Kalian jangan ikut-ikutan juga. Kalian tidak tau apa yang sanggup pria itu lakukan jika kalian ikut terlibat," Sooji menyela Sunghoon dengan ketus, dia tidak ingin siapapun menjadi korban di sini. Menyaksikan apa yang telah dilakukan pria itu bertahun-tahun lalu membuatnya yakin jika sekarang dia juga akan melakukan hal yang sama.
Sooji tidak ingin dirinya diliputi perasaan bersalah untuk kedua kalinya, cukup ibu dan ayahnya yang menjadi korban, tidak Junhee atau siapapun.
"Tapi jika ini dibiarkan keselamatanmu akan tercancam. Aku mohon Sooji," Junhee mendekat padanya, memegang kedua tangannya dan memberi tatapan permohonan seperti apa yang selalu dilakukan pria itu jika ingin membujuknya.
"Oppa..."
"Sooji-ssi," wanita itu melirik pria yang mengaku sebagai penyelidik yang disewa dalam kasus ini sedang menatapnya sembari tersenyum kecil, dia mendengus.
"Apa?"
"Saya dibayar untuk melakukan penyelidikan, bukan menonton drama seperti ini," tukas Kangjoon dengan santai membuat ruangan itu seketika hening, "jika kau tidak ingin kasus ini terselesaikan, maka jangan membuat orang lain repot."
Sooji menyipitkan mata menatap pria itu, dia maju selangkah untuk mendekatinya dengan telunjuk yang sudah menodong pria itu.
"Aku rasa kau dibayar hanya untuk memberikan komentar yang sama sekali tidak penting!"
"Sooji, sudahlah...Kita di sini berniat untuk menyelesaikan semuanya."
"Kau tidak tau Oppa!" Sooji berseru dengan marah ketika menoleh pada Junhee, "bukan kau yang ada di sana! Bukan kau yang melihatnya membunuh orangtuaku, bukan kau!"
Ketiga pria itu terdiam ketika melihat Sooji menghempaskan tubuhnya di sofa, "kalian benar-benar tidak tau apa yang bisa dia lakukan. Aku hanya tidak ingin kalian terluka karena masalah ini." Kini suara Sooji sudah lebih rendah dari sebelumnya, meskipun Junhee yakin masih terselip kemarahan dalam nada bicara wanita itu.
"Sooji," Junhee berjongkok di hadapan Sooji, menggengam kedua tangan wanita itu di atas lututnya, "percayalah tidak akan terjadi apapun. Sunghoon dan Kangjoon bisa mengatasinya."
Sooji menatap mata Junhee yang dipenuhi dengan sebuah pengharapan, kemudian melirik Sunghoon serta Kangjoon yang mengangguk yakin di tempat mereka berdiri. Dia memejamkan mata sejenak kemudian menghela nafas panjang.
"Kalian benar-benar..."
"Kami bisa bekerja dengan sangat rapi, kau tidak perlu khawatir Sooji-ssi." Sunghoon menambahkan dengan tegas. Sooji memutar bola matanya malas.
"Ya sudah terserah kalian! Jangan salahkan aku kalau ada apa-apa."
Junhee tersenyum lebar, kemudian tangannya terangkat untuk mengusap rambut Sooji,"jangan khawatir."
Sooji kembali mendelik, memang benar apa yang dikatakan oleh Junhee dia sangat khawatir. Meskipun Sunghoon dan Kangjoon adalah orang asing untuknya, tapi tetap saja dia masih merasa cemas karena masalah yang mereka urus adalah miliknya.
Tapi karena mereka bersikeras, dia tidak mau peduli lagi. Terserah saja mereka mau melakukan apapun, yang penting sebelumnya Sooji sudah memberi peringatan.
¤¤¤
"Ckck, kau kembali seperti ini lagi," Sera berdecak ketika memasuki apartemen Sooji dan wanita itu berada di atas sofa dengan memangku satu dos Pizza berukuran jumbo.
"Eonni, kau sudah datang," Sooji tersenyum sembari menggerakan tangannya yang bebas dari pizza untuk meminta Sera mendekat padanya.
"Kau ini artis Sooji. Tolong jaga pola makanmu," Sera duduk di sampingnya dan membuka omelan yang Sooji yakin tidak akan berhenti sampai dia mengaku salah, "kau tau seberapa penting bentuk tubuh yang sehat untuk seorang artis, dengan memakan makanan ini itu tidak akan membuat tubuhmu sehat."
"Astaga Eonni! Sebaiknya kau menikah saja dengan Junhee Oppa, kalian sangat serasi kalau sudah mengomel begini."
Sera memberi pelototan pada Sooji yang sudag tertawa di tempatnya, "jangan bicara sembarangan! Aku punya pacar."
"Iya, iya tau kok yang punya pacar baru," goda Sooji menggerlingkan matanya membuat Sera mendengus kesal, "tunggu sampai Junhee Oppa tau. Kau pasti akan diomeli habis-habisan."
"Ih apa urusannya? Yang punya pacar aku, kenapa dia yang harus protes?"
Sooji hanya tersenyum, dia tidak mungkin mengatakan jika Junhee menaruh rasa pada Sera kan? Yah, meskipun itu hanya sekedar spekulasinya saja namun, perilaku Junhee jika berada di dekat Sera sangat berbeda. Makanya dia bisa berkesimpulan seperti itu, tapi mungkin Sooji hanya akan memendam pendapatnya saja. Sebelum mengkonfirmasi secara langsung pada orang yang bersangkutan, dia tidak ingin mengumbar-umbar sesuatu yang belum jelas buktinya, itu hanya akan menimbulkan masalah baru. Dan hanya tinggal menunggu pengakuan Junhee saja, setelah itu dia akan beraksi.
"Nah, sekarang kau malah tertawa sendiri."
Suara Sera membuat tawa Sooji terhenti, dia melirik wanita di sampingnya, Sera merupakan wanita yang cantik. Rambut pendek sebahunya membuatnya terlihat lebih dewasa, meskipun mukanya cukup babyface dengan hidung bangir dan bibir kecil. Sebenarnya Sera bisa saja menjadi artis dengan penampilannya jika dia mau, tapi wanita itu lebih senang bekerja di belakang layar jadi selama ini dia sama sekali tidak berniat untuk menjadi seorang public figure.
"Oh ya, bagaimana penyelidikannya? Apa mereka mendapatkan petunjuk?"
Sooji mengangkat bahu, sebenarnya dia enggan untuk mengetahui sudah sejauh mana penyelidikan mereka, tapi Junhee dengan kurang ajarnya datang dan menjelaskan kepadanya mengenai penyelidikan tersebut.
"Sunghoon sudah mencari jejak pria itu di negara tempatnya melarikan diri. Tapi tidak ada apapun yang dia temukan," jelas Sooji mengingat-ingat apa yang dikatakan Junhee padanya semalam, "bahkan setelah ditelusuri lebih dalam, dia sudah meninggalkan negara itu sekitar lima tahun lalu."
Sera terkesiap mendengarnya, "jadi..."
"Tidak, dia tidak kembali juga. Kangjoon memiliki nama-nama serta foto pasport orang-orang yang datang dari negara itu ke sini selama lima tahun terakhir dan dia juga tidak menemukan apapun."
"Bisa saja dia menyamar atau memakai nama palsu?"
"Itu juga yang aku pikirkan Eonni. Untuk orang sepertinya, masalah mengubah nama itu tidak akan sulit." Sooji mendesah panjang, pembicaraan masalah ini membuat mood makannya menghilang, "aku hanya berharap pelaku terror ini segera ditangkap."
"Kau tenang saja, Sunghoon dan Kangjoon telah bekerja keras melakukannya."
Sooji mengangguk membenarkan perkataan Sera. Beberapa terakhir dia sering mendengar Junhee menelpon Kangjoon maupun Sunghoon dan membicarakan masalah ini.
"Lalu bagaimana denganmu?" Sera kembali bertanya setelah keheningan menyelimuti mereka beberapa saat.
"Kenapa denganku?"
Kini giliran Sera yang menggerling menggoda membuat Sooji mengerutkan keningnya bingung.
"Kau pikir aku tidak tau kalau kau sedang galau karena ditinggal pergi?"
Wajah Sooji yang tadinya mengkerut berubah jadi cemberut ketika berhasil menangkap maksud perkataan Sera, dia mendengus kesal, "tidak perlu di ingatkan sih Eonni, bikin mood aku makin jelek saja!"
Sera tidak bisa menahan tawanya melihat wajah cemberut Sooji, dia bahkan sampai merasakan perutnya melilit karena tertawa terlalu kencang, "ya kalau rindu, telepon saja suruh kembali ke sini."
"Tidak perlu memberitahuku, sejak hari pertama dia pergi aku sudah memintanya kembali."
"Astaga Sooji, kau benar-benar sudah jatuh cinta ya?"
Sooji tertegun di tempatnya, jatuh cinta?
Tidak mungkin.
¤¤¤
Myungsoo mencebikkan bibirnya ketika melihat tingkah Hyera yang berlebihan, sudah hampir satu jam wanita itu sibuk menceramahi tentang apa saja yang harus dia persiapkan dan bagaimana cara mengurusi dirinya. Padahal dia sudah terlalu dewasa untuk harus selalu diawasi oleh ibunya.
"Baju hangat, hmm kenapa cuma dua Myungsoo? Astaga, seharusnya kau bilang jadi ibu bisa membelikanmu baju hangat di pasar," Hyera berjalan mondar mandir dari lemari baju Myungsoo ke arah ranjang di mana pria itu sedang duduk bersila memperhatikan ibunya yang sibuk membongkar lemarinya, "celana tidur, sudah lengkap. Baju kaos, lengkap. Kemeja, lengkap. Jas, lengkap. Celana, lengkap. Pakaian dalam, astaga Myungsoo!" Hyera menjerit histeris di akhir pengecekannya ketika melihat satu lembar celana dalam milik Myungsoo.
"Apa kau memelihara tikus di dalam lemarimu? Kenapa ini bisa lobang?" Hyera menggeleng-gelengkan kepala lalu membuang celana itu di tempat sampah, "lain kali kalau celanamu sudah robek begitu dibuang saja terus beli yang baru. Tidak baik pakai celana dalam robek, banyak kuman yang akan masuk..."
"Bu, aku bukannya akan pergi perang. Tolong tenanglah," Myungsoo akhirnya menyela, dia tidak ingin omelan ibunya semakin panjang dan tidak terarah, "aku bukan anak kecil lagi, Bu."
Hyera terdiam mendengar hal tersebut, dia menatap Myungsoo yang kelihatan kesal di depannya kemudian tersadar. Ya, anaknya memang sudah dewasa sekarang. Pemikiran itu membuat matanya langsung berkaca-kaca, dia mendekati Myungsoo lalu memeluk putranya dengan erat.
"Bu?"
"Myungsoo anakku, kau tumbuh secepat ini...astaga, ibu tidak menyadari sudah seberapa banyak waktu yang kita lewati."
Myungsoo memejamkan mata ketika mendengar isakan ibunya, dia mengelus punggung ibunya dengan lembut, "aku masih anakmu yang cengeng, aku masih anakmu yang nakal, aku masih anakmu yang manja, aku masih anakmu yang suka kau cium, aku masih tetap anakmu Bu, setua apapun umurku."
Tangisan Hyera semakin keras mendengar penuturan Myungsoo. Kalimat pria itu membuatnya semakin terharu, Myungsoo memang masih putranya yang penuh dengan kasih sayang.
"Jadi berhenti menangis, dan tolong bereskan kekacauan yang sudah ibu lakukan." Myungsoo melepaskan pelukannya lalu tersenyum kepada Hyera yang sudah menekuk wajahnya, "aduh aduh cantiknya, ibunya siapa sih ini?"
"Myungsoo! Durhaka kamu!"
Myungsoo hanya tertawa, kebiasannya yang suka memperlakukan ibunya seperti anak kecil memang selalu mendapatkan teguran kekesalan dari Hyera, tapi di tau dalam hati ibunya pasti merasa bahagia.
"Iya aku tau, Ibu juga sayang sama aku."
Hyera mencibir, memilih mengabaikan Myungsoo kemudian memasukan baju-baju milik anaknya yang tadi sudah dia keluarkan dari lemari ke dalam koper.
"Barang-barangmu sudah di paketkan semua?"
"Sudah."
"Tempat tinggalmu di sana sudah diurus?"
"Sudah."
"Transportasimu sudah ada?"
"Bu, sekali lagi tolong...aku sudah dewasa, bisa tidak berhenti memperlakukanku seperti anak kecil."
"Ini anak memang durhaka, dicemaskan malah protes," Hyera menggerutu sendiri, "sudah untung ibu masih mau mengurusmu! Seharusnya kau sudah cari istri untuk urus semua kebutuhanmu."
Myungsoo tersenyum, "untuk apa cari istri kalau sudah ada ibu yang mengurusku?"
"Ah sudahlah kau memang anak bebal!"
"Ibu?"
Myungsoo dan Hyera sontak menoleh ke arah tangga, pria kecil yang beberapa minggu lalu resmi tinggal di rumah ini terlihat gugup berdiri di sana.
"Dohyun, sini nak," Hyera menyahut dengan senyum lebar, tapi Dohyun tidak bergerak di tempatnya. Dia malah melirik Myungsoo takut-takut.
Melihat kelakuan anak itu, Myungsoo hanya mendengus. Memang sejak awal Dohyun terlihat tidak berani menegurnya, mungkin karena responnya pertama kali yang terlihat tidak senang ketika Hyera membawanya kemari.
"Dohyun?"
"I-itu, aku.." Dohyun menunduk sembari memegang perutnya, dia tidak berani mengatakan karena melihat Hyera sepertinya sedang asik berbicara dengan Myungsoo.
"Anak kesayanganmu lapar, Bu. Sana beri dia makan sebelum dia pingsan dan ibu jadi histeris."
Hyera melotot karena sahutan sinis putranya, memukul paha pria itu sebelum beranjak mendekati Dohyun, dia tersenyum ketika merangkul pundak anak itu, "Dohyun sayang, kalau lapar bilang sama ibu. Jangan malu-malu, ini sudah menjadi rumahmu juga."
Dohyun hanya mengangguk kaku, sementara Hyera tersenyum maklum. Seberapa keraspun usahanya membuat Dohyun nyaman tinggal di sini, tetap saja itu membutuhkan usaha dan waktu. Dan Dohyun hanya perlu menyesuaikan dan membiasakan diri menjadi anaknya.
"Ya sudah kalau begitu kita turun makan."
"Bu bagaimana dengan bajuku?" Myungsoo menyahut dari ranjang, suaranya terdengar merajuk dilengkapi dengan wajah menahan tawa.
"Kau sudah dewasa anakku. Urus pakaianmu sendiri." Setelah mengucapkan itu Hyera langsung membawa Dohyun menuruni tanggal meninggalkan Myungsoo yang sudah tertawa.
"Sepertinya ibu sudah mendapatkan penggantiku sebagai anak favoritnya..hmm..."
¤¤¤
"Kapan kembali?"
"Nanti."
"Ish, jawabannya nanti-nanti terus."
"Iya sayang, nanti aku kembali kok."
"Iya tapi nantinya kapan?"
"Rindu sekali ya?"
"Bodoh!"
Sooji sedang menelpon Myungsoo, dan seperti malam-malam sebelumnya dia mengajukan pertanyaan yang sama 'kapan pulang?' dan jawaban Myungsoo juga sama 'nanti', Sooji bahkan sudah bosan mendenga kata itu.
"Kenapa bodoh? Aku rindu loh."
"Terserah! Tidak usah kembali sekalian."
"Jangan ngambek sayang, aku kembali kok seperti janjiku."
"Tidak perlu berjanji kalau kau tidak bisa tepati."
"Sudah mulai bicara bijak ya? Belajar dari siapa?"
"Tau ah!"
"Sooji, ayolah jangan seperti itu. Aku mau dengar suaramu yang manja."
"Gombal banget sih."
"Tapi kamu tetap suka kan?"
Diam-diam Sooji tersenyum, perasaannya menghangat ketika mendengar suara Myungsoo. Ya walaupun dia tetap merasa kesal karena pria itu tidak kembali juga setelah satu minggu, tapi dia tidak bisa menutupi perasaan senangnya setiap bertelponan dengan pria itu.
"Halo? Masih ada orang di sana?"
"Masih," Sooji menjawab pelan, dia kemudian mengernyit mendengar suara ramai di belakang Myungsoo, "kau lagi di mana? Di luar ya."
"Iya, aku sedang membeli sesuatu."
"Apa?"
"Rahasia laki-laki, sayang."
"Ih! Jadi mau main rahasia-rahasiaan ya?"
"Tidak. Sudahlah jangan bahas ini, itu tidak penting."
"Dasar pa..."
Sooji menghentikan kalimatnya yang hendak memaki Myungsoo ketika dia mendengar pintu apartemennya terbuka. Hening beberapa saat kemudian tertutup membuat jantungnya tiba-tiba mencelos.
"Myungsoo..."
"Sooji, kenapa kau berbisik?"
"Sepertinya ada orang yang masuk ke apartemenku."
"Masuk ke dalam kamar dan kunci pintunya."
Dengan gerakan cepat, Sooji meloncat dari ranjang lalu memutar kunci pintu dua kali dengan ponsel yang masih tertempel di telinganya.
"Sudah?"
"Sudah."
"Pastikan jendelamu juga terkunci. Dimana Junhee?"
Sooji berjalan menuju jendela dan memastikan itu tertutup rapat, dia kembali ke ranjang dan memeluk bantalnya.
"Dia pergi bersama Sunghoon dan Kangjoon," Sooji menjawab dengan suara bergetar, "Myungsoo, aku takut."
"Tenang sayang, jangan matikan telponnya. Aku akan terus menemanimu."
Tok tok tok.
Tubuh Sooji semakin bergetar saat mendengar ketukan di pintu kamarnya.
"Myungsoo, dia mengetuk pintu kamarku." Sooji berbisik sangat pelan dan hampir menangis membuat Myungsoo mengumpat diseberang sana.
"Jangan buka pintunya sampai aku tiba di sana. Tunggu sebentar lagi."
Tok tok tok.
Ketukan di pintu kamarnya langsung berubah menjadi gedoran ketika Sooji tidak memberikan respon. Dia memeluk tubuhnya dan memejamkan mata.
"Myungsoo.."
"Aku masih di sini, aku akan menghubungi Junhee.."
"Jangan matikan teleponku, kumohon."
"Tidak akan. Jangan takut Sooji, aku akan ada di sana sebentar lagi."
Sooji percaya pada apa yang dikatakan oleh Myungsoo. Entah di manapun pria itu berada sekarang, tapi dia tetap percaya kalau Myungsoo pasti akan datang.
"Tidak, kumohon pergilah...pergi.." Sooji berbisik dalam hatinya, dia tidak ingin pikiran buruknya benar-benar terjadi. Siapapun yang ada di depan pintu kamarnya saat ini pastilah orang yang sudah menerornya selama ini dan dia tidak sanggup membayangkan jika orang itu adalah Shim Jiho.
"Pergi, pergi..."
Gedoran di pintu semakin keras, Sooji terlonjak kaget ketika mendengar seperti sesuatu yang keras menghantam pintu kamarnya, sampai tiga kali kemudian hening.
Sooji tidak berani mengangkat kepalanya untuk memastikan pintunya sudah terbuka atau masih tertutup, dia tidak mau melihat siapapun orang itu.
"Tidak! Tidak!"
Sooji langsung histeris ketika gedoran itu kembali terdengar disertai dengan suara teriakan yang memanggil namanya, tapi dia terlalu takut untuk bisa menyadarinya. Bahkan ponsel di tangannya sudah tergelincir dari tangannya dan terjatuh di lantai. Dia menggelengkan kepala ketika menyadari orang itu berusaha mendobrak pintu kamarnya.
"Tidak, pergi! Pergi dari sini! Pergi!"
Sooji tidak berhenti histeris, matanya masih terpejam dan tubuhnya bergetar hebat. Dia menarik rambutnya hingga menimbulkan rasa perih di kulit kepala kemudian kembali histeris. Ingatan tentang masa-masa kelam itu terputar lagi dalam benaknya, bagaimana tersiksanya, bagaimana sakitnya, bagaimana hancurnya hidupnya karena pria itu dan dia telah bersumpah tidak akan mau bertemu dengan pria bajingan itu.
"Tidak!" Dia berteriak ketika merasakan cengkraman di kedua pundaknya, merasakan tangan itu bergerak untuk menyentuh wajahnya, Sooji langsung menggelengkan kepala, "pergi! Tidak...pergi!"
Beberapa lama dia berusaha menghindar, tapi pada akhirnya pria itu mendapatkannya. Sooji meneteskan airmata ketika merasakan bibirnya dicium secara tiba-tiba...tapi, bukan seperti ini seharusnya.
Matanya masih terpejam rapat serapat bibirnya, sementara pria itu sudah melumat bibirnya dengan gerakan pelan dan hati-hati.
Tidak, ciumannya seharusnya tidak selembut ini.
Ketika bibir itu terlepas, tubuhnya bergetar saat sebuah kecupan jatuh di pundaknya, lalu menjalar naik ke atas leher hingga sampai di telinganya.
"Sstt, ini aku..Myungsoo."
¤¤¤
To be continued...
Part depan penerornya sdh akan terungkap, so stay tune aja ya. Jgn bosan-bosan tapi menunggunya 😅
[30/09/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top