21.1 Something In The Past

Aku bagi dua ya, soalnya kalo mau nunggu smpe lengkap nnti gk bisa update hari ini, jadi jgn kaget kalo ini pendek..tpi gk pendek" banget sih, bagian duanya nanti diposting besok kalau sempat.

Subjudulnya nnti menyusul, stelah bagian 21.2 dipublish.

#awasadaTBC *lagi males bikin hastag 😂 baca aja dengan tenang ya*

.
.
.

Junhee menatap Sooji dengan alis berkerut, mendengarkan apa yang baru saja dikatakan wanita itu mengenai masalah yang menimpa mereka saat ini.

"Jadi kau berpikir penerornya itu..."

"Ya, kupikir begitu," Sooji menyela, tidak ingin membuat pria itu melanjutkan ucapannya dengan menyebutkan sebuah nama yang diduganya sebagai dalang dari teror ini.

"Tapi bagaimana bisa?"

"Aku tidak tau Oppa," Sooji merengek, kemudian mendengus kasar, "isi surat ancamannya hanya satu dan tidak pernah berubah," gumamnya dengan suara tercekat.

"Kau milikku, Selalu?"

Sooji menganggukan kepala ketika Junhee mengeja kalimat yang tercantum dalam surat ancaman sang peneror, dia sudah memikirkan ini matang-matang. Menyambungkan benang merah dari semua hal-hal yang terjadi saat ini, dan dia tidak bisa memikirkan orang lain selain orang itu.

"Kau tau dia tidak ada di negara ini kan? Itu tidak mungkin terjadi," Junhee kembali berujar tidak yakin, meskipun masuk akal, tapi tuduhan Sooji sepertinya tidak berdasar. Apalagi orang yang dianggapnya sebagai tersangka di sini sama sekali tidak berada di Korea Selatan, itu sepengetahuannya.

"Bagaimana kau bisa yakin jika dia tidak kembali?"

"Itu mustahil Sooji."

"Oppa, sekali saja dengarkan aku. Kali ini aku benar-benar yakin."

Junhee mengetukkan jemarinya di atas paha sembari menatap Sooji yang memberikan tatapan permohonan padanya, setelahnya dia menghela nafas panjang.

"Baiklah. Jika memang yang kau perkirakan itu benar, lalu bagaimana cara kita menyelesaikan semua ini?"

"Itu yang ingin kukatakan," Sooji mengusap kedua telapak tangannya yang mulai berkeringat, "bagaimana kalau kita tidak perlu mengusutnya?"

Mata Junhee melotot mendengar perkataan Sooji, "kau gila?"

"Tidak. Aku hanya...aku tidak ingin semuanya terulang lagi Oppa," Sooji menundukan kepala di akhir ucapannya, suaranya terdengar bergetar membuat Junhee menjadi iba.

"Sooji, jika kita membiarkan ini. Keselamatanmu akan dipertaruhkan. Kalau misalnya ini memang dirinya, dia jelas tidak akan berhenti."

Sooji menggeleng, "tidak, aku tidak mau Oppa."

"Hei, apa yang kau takutkan?" Junhee meraih kedua tangan Sooji dan menggenggamnya, "sekarang kau sudah tidak sendiri lagi, ada aku di sampingmu. Jadi tidak perlu takut."

"Kau tidak mengerti, kau tidak tau apa yang sanggup dia lakukan..."

"Sooji, dengar aku..sejak pertama kita bertemu aku sudah berjanji padamu, dan kau ingat janjiku kan?"

Sooji mengangkat wajahnya dan langsung bisa menemukan manik cokelat terang milik Junhee yang menatapnya dengan teduh dan tegas, seketika dia kembali dilempar ke masa di mana mereka berdua pertama kali di temukan.

Saat itu Junhee yang mendatanginya, berjalan dengan hati-hati kemudian berjongkok dan mengajaknya untuk berbicara. Tapi dia bergeming, enggan untuk bergerak maupun bicara karena tubuhnya terasa remuk redam.

"Kau bisa menggigitku jika aku menyakitimu," pria itu tersenyum ketika mengatakan hal tersebut, seolah dirinya sedang tidak menawarkan diri untuk disakiti membuat gadis kecil di hadapannya memberinya tatapan curiga.

"Aku bersumpah, kau bisa memegang sumpahku sebagai pria sejati."

Dan dengan begitu si gadis menyambut uluran tangannya. Dia membantunya untuk berdiri dari tanah lembab, tempat di mana gadis itu berbaring-entah untuk waktu berapa lama.

"Namaku Kim Junhee, siapa namamu anak manis?"

Junhee bisa merasakan ketegangan di tubuh gadis itu lalu beringsut menjauh darinya, dia cukup panik awalnya, tapi berhasil mengatasi kepanikannya. Dia mendekat dengan hati-hati.

"Baiklah aku tidak akan berbicara lagi, ayo ikut denganku. Di sini bukan tempat yang cocok untuk anak gadis sepertimu." Junhee kembali mengulurkan tangannya, dengan sabar menunggu beberapa menit hingga gadis itu mau menyambut uluran tangannya lagi dan ketika tangan ringkih itu menyentuhnya dia tersenyum hangat tanpa mengatakan apapun.

Keduanya kemudian berakhir di dalam mobil sederhana Junhee, mobil itu dibelinya dengan hasil jerih payah bekerja paruh waktu selama hampir tiga tahun dan sekarang dia sudah memiliki pekerjaan tetap di sebuag agensi ternama. Dia tidak masalah jika tubuh kotor gadis itu akan merusak jok mobilnya, karena yang dia tau adalah dia akan merawat gadis itu. Kedua bola mata hazel itu sudah menarik perhatiannya sejak pertama bertatap muka, dia seperti melihat sosok adiknya yang saat ini tinggal di negara lain bersama kedua orangtuanya.

"Jadi namamu siapa?" Junhee berusaha memecahkan keheningan di antara mereka, sesekali dia melirik tubuh gadis itu yang meringkuk hingga tubuhnya bisa saja bersatu dengan pintu mobil, dia tersenyum kecil.

"Soo-Sooji."

"Sooji? Nama yang bagus, sebelum ini kau tinggal di mana?"

"Tidak! Pergi!"

Junhee langsung mengerem mobilnya secara mendadak ketika mendengar jeritan itu, dia menoleh menatap Sooji yang kini sudah menarik rambutnya.

"Pergi! Pergi!"

"Sooji, tenanglah..tenang, di sini tidak ada yang bisa menyakitimu. Aku akan menjagamu, tenang ya," Junhee meraih kedua tangan Sooji menggenggamnya dengan erat, dia berusaha untuk menyadarkan Sooji tapi gadis itu terus histeris bahkan sampai memukul tubuhnya. Dia tidak sempat menhindar ketika Sooji mengarahkan sebuah cakaran ke pelipisnya.

"Astaga," Junhee meringis ketika merasakan perih di daerah di mana Sooji mencakarnya, dia menggelengkan kepala dan menahan kedua tangan gadis itu agar tidak memberontak, tapi usahanya sia-sia karena Sooni sudah menaikkan kakinya dan terus menjerit untuk melepaskan diri. Ruang sempit di dalam mobil membuat pergerakan Junhee tidak leluasa sehingga ketika gadis itu menggigit tangannya dia berteriak kesakitan.

"Aahhh!"

Secepat kilat tubuh kecil itu melesat keluar dari mobil, berlari menjauh dan ketika Junhee sadar, dia langsung keluar menyusul. Tapi dia langsung panik ketika melihat tubuh Sooji limbung dan terjatuh di atas jalanan, dia segera mendekati Sooji yang tiba-tiba pingsan lalu membawanya ke rumah sakit.

Begitulah pertemuan pertama mereka yang sampai saat ini tidak pernah dilupakan oleh Sooji. Apalagi seminggu setelahnya dia baru terbangun dari rumah sakit dengan keadaan tubuh yang lebih bersih namun, luka dan memar-memar di tubuhnya belum menghilang. Tapi saat itu Junhee sangat sabar menjaganya, menyuapinya dan memberikan obat padanya tepat waktu. Dan ketika dia kembali histeris, Junhee hanya pasrah menahan tubuh untuk mendapatkan cakaran maupun pukulan darinya. Itu yang membuat Sooji tidak akan pernah lupa, bahwa Junhee lah satu-satunya orang yang memperdulikannya.

Dan dia tentu mengingat janji pria itu, setelah mengetahui semua alasan mengapa dirinya ditemukan di atas sebuah tanah lapang dengan tubuh penuh memar-memar dan tidak berdaya, Junhee langsung mengultimatum bahwa mulai detik itu dia adalah pria yang akan bertanggung jawab atas hidupnya dan tidak akan membiarkan satu orangpun menyakitinya.

Sooji tidak bisa lebih beruntung dari ini, mendapatkan Junhee mau menolongnya saja sudah luar biasa, apalagi ditambah perlindungan pria itu kepadanya secara menyeluruh. Dia yakin, apapun yang dilakukannya tidak akan pernah bisa membuatnya melunasi segala hutang kepada Junhee.

Pria itu terlalu berharga untuk dinilai dengan materi atau barang berharga apapun.

¤¤¤

"Kau darimana?" Sooji menatap Myungsoo yang baru masuk ke dalam apartemennya dari sofa, pagi-pagi sekali saat terbangun pria itu sudah tidak ada di sampingnya. Itulah yang membuatnya bisa berdiskusi secara bebas bersama Junhee tadi, meskipun demikian dia tetap merasa kesal karena Myungsoo tidak meninggalkan pesan apapun.

"Aku baru saja dari hotel tempatku menginap. Aku check out dari sana dan mengambil barang-barangku." Jawab Myungsoo lalu menyusulnya duduk di sofa, Sooji baru menyadari jika pria itu memang sedang memikul sebuah ransel di punggungnya yang sekarang sudah di letakkan di atas karpet dekat kaki sofa.

"Kau tidak mengatakan apa-apa, kupikir kau sudah pergi," gerutunya dengan wajah cemberut membuat Myungsoo tersenyum lebar kemudian menarik kepalanya untuk memberikan kecupan singkat.

"Maaf, aku lupa," gumamnya pelan, pria itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen sebelum kembali menatap Sooji, "Junhee di mana?"

"Dia sedang di ruang baca, dia mengurus sesuatu," jawab Sooji sembari menarik pinggang Myungsoo dan memeluknya, "aku rindu."

Myungsoo tertawa ketika mendengar kalimat rindu yang diucapkan dengan nada angkuh tersebut, sangar Sooji sekali. Dia mencium pelipis wanita dengan gemas, "iya, aku juga rindu."

"Benarkah?" Sooji terlihat bersemangat ketika mengangkat wajahnya untuk menatap Myungsoo.

"Tentu saja. Kau pergi tanpa berpamitan, jadi apa yang kau harapkan dariku selain merindukanmu, hmm?"

Kalimat itu berhasil membuat Sooji tersipu, dia menaikkan kepalanya sedikit lalu mencium rahang Myungsoo, kemudian menenggelamkan wajahnya di leher pria itu. Spot favoritnya.

"Aku sengaja melakukannya. Siapa suruh tidak mau ikut denganku," celetuk Sooji dengan sinis, Myungsoo hanya mengela nafas karena topik pembicaraan yang membuat mereka bertengkar terakhir kali kembali diungkit.

"Kau tau aku tidak akan meninggalkan ibuku, Sooji."

"Tapi sekarang kau meninggalkannya."

"Itu karena aku memiliki pekerjaan di sini."

Sooni terkesiap dan melepaskan pelukannya dari pria itu, dia menatap Myungsoo dengan mata melebar tidak percaya, "kau sudah mendapatkan pekerjaan baru?"

Myungsoo tersenyum kecil, "belum bisa di katakan pekerjaan tetap sih. Kemarin aku hanya menjadi pengacara lepas untuk kasus yang ditangani oleh firma salah satu teman lamaku."

"Pengacara?"

"Iya, kenapa?"

"Tidak...hanya saja aku tidak menyangkanya, apa itu cita-citamu?" Sooji tersenyum lebar, dia senang ketika melihat bagaimana bahagianya Myungsoo menceritakan tentang pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan dulu, pria itu terlihat murung dan enggan ketika menjelaskan padanya mengenai apa yang dia kerjakan di club.

"Iya, sejak dulu aku ingin menjadi pengacara."

Tanpa diduga-duga Sooji langsung memeluk tubuh Myungsoo dan memberikan ciuman-ciuman kecil di seluruh wajah pria itu.

"Kau pasti sangat seksi saat di ruang sidang."

Dan Myungsoo hanya tertawa mendengarnya.

¤¤¤

Myungsoo membiarkan Sooji tidur terlebih dahulu kemudian keluar dari kamar wanita itu, dia menemukan Junhee berada di ruang tengah sedang memegang sebuah kotak yang tidak diketahui.

"Apa itu?" Tanyanya membuat Junhee terkejut hingga hampir menjatuhkan paket itu, pria itu menoleh padanya kemudian bernafas lega.

"Kau mengagetkanku Myungsoo."

Myungsoo mengabaikan teguran Junhee dan memilih duduk di hadapan pria itu, "kotak apa itu?" tanyanya kembali, dia bisa melihat raut wajah Junhee yang mengeras ketika meletakkan kotak tersebut di atas meja yang memisahkan mereka.

"Buka saja."

Junhee mengamati Myungsoo yang menatap heran padanya lalu beralih pada kotak tersebut, dia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari wajah pria itu ketika menarik kotak itu mendekat.

"Ini..." Myungsoo tercengang, dia tidak bisa mengatakan apa-apa ketika melihat isi kotak tersebut. Hanya secarik kertas dengan tulisan bertinta merah yang ditebaknya adalah darah.

"Jun-Junhe?"

"Dari si peneror itu."

Mata Myungsoo membelalak kaget, dia hampir melempar kotak itu ketika berusaha menjauhkan dari dirinya, dan menatap ngeri Junhee yang terlihat tegang di depannya.

"Jadi separah ini?" Junhee menganggukan kepalanya, "lalu apa kalian telah menyelidikinya?"

"Sera sedang mencari detektif untuk mengusut kasus ini."

Pernyataan Junhee membuat Myungsoo teringat pada Kangjoon, "oh aku punya seorang teman. Dia bekerja sebagai penyidik khusus di sebuah firma hukum. Dia sepertinya bisa membantu kita."

"Apa temanmu bisa dipercaya?" Junhee bertanya curiga, "aku tidak ingin masalah ini tersebar ke media...kau tau sendiri posisi Sooji."

"Aku mengerti. Temanku bisa diandalkan, dia cukup mengerti mengenai privasi kliennya."

"Baiklah, mungkin kau bisa membuatku bertemu dengannya. Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan," Junhee akhirnya menyetujui dan Myungsoo mengangguk.

"Aku berharap masalah ini cepat selesai," gumam Myungsoo pelan yang diamini oleh Junhee.

"Myungsoo!"

"Astaga! Anak itu benar-benar..." Junhee mengurut kepalanya yang pusing karena teriakan Sooji yang terdengar melengking sampai ke ruang tengah, "masuklah ke kamar sebelum dia mengamuk."

Myungsoo hanya tertawa, mengingatkan Junhee untuk membuang paket yang berisi surat ancaman lagi sebelum beranjak ke kamar. Sesampainya di kamar dia menemukan Sooji duduk di kasur dengan wajah tertekuk dalam, dia kembali tertawa.

"Tolong wajahnya dikondisikan, nona."

Sooji menatapnya dan langsung melemparkan bantal kepadanya, untung saja dia bisa bergerak refleks jadi bantal itu berhasil dia hindari.

"Kenapa sih? Ini sudah malam, tidak baik kalau masih marah-marah." Dia naik ke atas ranjang dan mendekati Sooji, "kenapa hmm?" Dia mencondongkan wajahnya lalu mencium pipi wanita itu.

"Kau pergi."

"Aku tidak pergi sayang."

"Buktinya kau tidak di sini saat aku bangun tadi!"

"Astaga," Myungsoo tersenyum, dia langsung menarik tubuh Sooji dan memeluknya dengan erat, "sangat menggemaskan saat sifat manjamu keluar. Aku suka," gumamnya lalu menggosokkan hidungnya di pipi Sooji, mencium aroma wanita itu lekar-lekat.

"Ih jangan dekat-dekat. Jauh-jauh sana." Sooju merengut, meminta Myungsoo menjauh, tapi dia tidak melawan ketika pria itu memeluknya semakin erat dan mencium bahunya.

"Tidak mau dekat-dekat, tapi dicium begini malah ketagihan," bisik Myungsoo meniup leher Sooji lalu menciumnya. Sooji yang merasa geli hanya tertawa dan mendorong kepala pria itu.

"Geli Myungsoo..."

"Hmm, tapi enak kan?"

"Mesum ah."

"Kau juga untung kalau aku mesum."

"Ih dasar pak tua jelek!"

¤¤¤

To be continued...

Nantikan bagian keduanya.

Mau nanya, kemarin-kemarin aku sempat sebut umur Suzy gak? Yg tau tlg dijawab ya....

[26/09/17]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top