19. Shuttered
Tantangan kelima : "Silahkan buka work yang berjudul Man Of A Daisy Island, lihat chapter yg segitiga limanya paling banyak. Koleksi segitiga lima di sini dengan jumlah yang sama."
Btw tantangannya sampe part kemarin sukses. Skrg standarnya sdh mulai dinaikin, semoga bisa sukses ya biar dapat bonus 🙏
#hastagnyamasihsama #awasbaper #awasshock #awasgondok #awasadaranjau #awasmewek #awasadaabang #awaskenatipu #awasadakonflik #awasadaSULE *eh 😂 #awasadaTBC maksudnya 😃
.
.
.
Sooji mendekap tubuhnya sendiri dengan mata yang terus mengawasi orang-orang yang sedang berdebat di depannya, ia tidak menyangka jika paket yang diterimanya beberapa hari lalu adalah sebuah awal dari teror yang saat ini sudah hampir membuatnya gila.
Setelah membuka paket yang berisi boneka kelinci dan gunting berdarah itu, keesokkan harinya Sooji kembali mendapatkan paket misterius terletak tepat di depan pintu apartemennya. Dia sengaja tidak membukanya sebelum Junhee datang, dan ketika pria itu membuka paketnya mereka menemukan sebuah kertas yang bertuliskan sebuah ancaman dengan tinta darah, dia tidak mau menebak darah apa yang digunakan si peneror karena baunya terlalu menyengat sehingga membuat kepalanya pusing, dan yang jelasnya itu bukan darah buatan.
Hari ini, lagi-lagi dia mendapatkan paket tersebut. Dibungkus dengan kotak dan pita yang sama persis seperti dua paket sebelumnya. Beruntung saat itu Junhee yang menemukan jadi pria itu langsung membuang isinya setelah melihat. Sooji juga bersyukur karena dia tidak sempat melihatnya, tapi memikirkan seseorang mengirimkan seekor kelinci mati untuknya--bukan lagi sebuah boneka, tetap saja bisa membuat tubuhnya bergetar hebat.
Sekarang, Junhee bersama Sera dan satu orang lagi yang baru diketahuinya bernama Sunghoon--pria yang katanya disewa Sera untuk menyelidiki keberadaannya di Jeju kemarin, sedang berdebat. Tentu saja mereka sedang membicarakan masalah paket yang diterimanya beberapa hari berturut-turut dan dia hanya bisa mendengarkan tanpa ikut bersuara.
"Tapi siapa? Sooji tidak sedang aktif untuk beraktifitas. Sangat sulit untuk menebak jika yang kau curigai adalah salah satu saingannya," ujar Junhee diplomatis. Pria itu sudah dua hari menginap di apartemen Sooji, dia tidak mungkin membiarkan wanita itu sendirian sementara ancaman terror terus berdatangan.
"Lalu menurutmu siapa? Jika ini perbuatan haters, kupikir itu sedikit mustahil. Sangat jarang ada haters yang bertindak sejauh ini," balas Sera dengan wajah berpikir keras, "lagipula meskipun Sooji memiliki haters, mereka tidak terlalu sering mengusiknya."
"Aku tau, tapi siapa yang bisa menebak?" Junhee mendesah panjang, "orang ini sudah keterlaluan. Aku tidak mengerti apa yang dia inginkan dengan mengirimkan paket-paket itu."
Kemudian ruangan itu hening, semuanya sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. Menebak siapa yang menjadi dalang dari teror ini dan apa motif sebenarnya, sementara Sooji memandang menerawang. Ia juga terus mengasah otaknya untuk memikirkan, kira-kira siapa yang paling berpotensi untuk menerornya, tapi semakin dipikirkan kepalanya semakin berat. Dia sama sekali tidak bisa menemukan satu namapun.
"Sooji, apa kau tidak bisa menebak satu orangpun?"
Tubuh Sooji tersentak ketika mendengarkan pertanyaan Sunghoon, ia menatap wajah datar pria itu kemudian menggeleng, "aku tidak tau..." cicitnya dengan suara tercekat, ketiga orang di sana menghela nafas panjang.
"Aku tetap tidak ingin melibatkan polisi, ini terlalu riskan untuk Sooji," Junhee kembali mengangkat topik yang menjadi perdebatan utama mereka. Sejak awal Sera sudah meminta agar polisi terlibat, tapi dia menolak. Bukan karena menganggap remeh masalah ini, tapi Junhee memikirkan keselamatan Sooji. Lagipula jika polisi terlibat, bukan tidak mungkin media akan tau dan hanya tinggal menghitung hari masalah ini menjadi komsumsi publik.
Itu jelas akan berdampak buruk pada mental Sooji, dan dia tidak ingin Sooji terganggu dengan pemberitaan ini.
"Jadi apa jalan keluar yang akan kau lakukan?" Sera mengangkat alisnya, memandang Junhee seakan pria itu benar-benar bodoh.
"Aku akan memikirkannya. Sekarang Sunghoon tau apa yang harus dilakukan. Sampai identitas peneror itu diketahui, aku akan tinggal di sini."
Penjelasan Junhee membuat kepala Sooji semakin berat, dia tidak masalah jika Junhee atau Sera atau bahkan Sunghoon tinggal di apartemennya, yang dia mau hanyalah peneror itu berhenti mengusiknya. Sooji memejamkan mata lalu bergugam tidak jelas membuat Junhee menatapnya.
"Apa?"
"Aku ingin tidur, Oppa."
Sooji rasanya sangat ingin menangis, tidak tau mengapa masalah seperti ini harus menimpanya. Seingatnya, selama menjadi public figure, dia tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu yang mungkin saja merugikan orang lain. Keburukan yang dia lakulan hanya sebatas pergi ke kelab malam dan minum-minum bersama teman-temannya di sana tanpa membuat keonaran, itupun sepertinya sesuatu yang lumrah dilakukan orang-orang jaman sekarang.
Masalah skandalnya, Sooji sangat yakin kalau netizen adalah orang-orang yang cerdas. Mereka pasti tau mana berita yang merupakan kebenaran dan mana yang hanya sebuah rekayasa.
Dia juga mengakui selama ini sikapnya memang menyebalkan, tapi dia berbuat seperti itu karena ada alasannya. Contohnya ketika meminta shooting iklan produk junkfood tiba-tiba dihentikan, itu karena dia dipaksa untuk memakannya padahal dia sedang dalam sesi diet waktu itu, dan dalam kontrak sebelumnya juga dikatakan bahwa Sooji tidak perlu makan, hanya mendekatkan makanan itu ke mulutnya. Jadi bukan salahnya kalau menghentikan shooting itu secara tiba-tiba, kan?
Itu hanya salah satu contoh dari sekian banyak sikap menyebalkannya, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Tapi semua itu memiliki alasan yang logis, dia tidak serta merta bertindak seenaknya seperti yang dipikirkan orang-orang di luar sana.
Tanpa sadar Sooji sudah berada di atas ranjangnya, dia menatap Junhee yang duduk di sampingnya lalu tersenyum kecil sebelum memejamkan mata dan berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.
¤¤¤
Dua minggu setelahnya keadaan semakin memburuk, Junhee yang baru pulang dari agensi untuk mengurus masalah cuti Sooji karena peneroran ini terkejut ketika mendapati wanita itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat sofa beserta dengan paket yang beberapa hari belakangan menjadi momok mengerikan untuk mereka. Junhee menggeram ketika melihat sebilah pisau penuh darah dan surat ancaman. Sama seperti hari-hari kemarin, surat ancaman itu selalu datang disertai dengan benda tajam yang penuh dengan darah, tapi Junhee selalu berusaha agar Sooji tidak melihat isi paket itu. Terakhir kali Sooji hanya melihat surat ancaman yang dikirim kedua kalinya.
Tapi sekarang, Sooji kembali menerimanya. Jadi wajar sekali jika wanita itu shock hingga kehilangan kesadarannya. Terlebih ketika membaca ancaman itu, Junhee merasa amarahnya membeludak.
"Brengsek! Siapa sebenarnya kau," geramnya marah, dia mengangkat tubuh tak berdaya Sooji untuk dibaringkan di kamarnya lalu mengambil lap basah untuk membersihkan noda darah di lengan wanita itu.
Setelah selesai, Junhee beranjak untuk menelpon dokter dan Sera.
"Apa yang terjadi?" Beberapa jam kemudian Sera masuk ke kamar Sooji dengan wajah cemas, "kenapa dia pingsan?"
"Dia membuka paket itu saat aku tidak di sini. Kata dokter tadi Sooji kelelahan, dia butuh tidur."
Sera menghela nafasnya merasa lega, tapi kekhawatiran itu tetap dia rasakan. Melihat kondisi Sooji seperti ini, dia merasa bahwa semua ini sudah keterlaluan. Terlebih selama dua minggu mereka tidak menemukan petunjuk apapun. Bahkan sosok yang membawa paket itu tidak terdeteksi.
"Junhee, kita benar-benar harus lapor polisi," ujarnya menatap memohon pada pria itu, "kali ini mungkin dia masih mengirim surat ancaman, tapi bagaimana jika dia sudah bertindak? Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri tanpa bantuan pihak berwajib."
Junhee menghela nafas kasar, marah karena kenyataan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengetahui identitas peneror itu. Selama ini mereka sudah berusaha, Sunghoon bahkan telah menyelidiki semua pihak-pihak yang pernah berhubungan dengan Sooji, tapi semuanya bersih dan memiliki alibi yang kuat.
"Sooji tidak akan bisa menghadapinya kalau berita ini sampai ke tangan media dan publik," bisiknya dengan suara serak, "aku tidak ingin melihatnya terpuruk lagi, Sera."
Sera menghela nafas panjang, dia menatap nanar wajah nelangsa Junhee kemudian melirik Sooji yang masih tidak sadarkan diri. Dia tau bagaimana perasaan pria itu saat ini, Sooji sudah seperti adiknya. Sejak dulu Junhee memang menyayangi Sooji, sejak pertama kali menemukan wanita itu dalam keadaan tidak berdaya.
"Junhee, kita sama-sama peduli padanya. Aku juga ingin agar masalah ini segera selesai, tapi kau tau sendiri bahwa ini bukan sesuatu yang mudah. Kita membutuhkan bantuan."
Junhee memikirkan perkataan Sera yang ada benarnya juga, tapi semua itu terlalu beresiko.
"Tapi.."
"Bagaimana kalau kita memakai detektif saja. Di satuan kepolisian ada divisi semacam itu kan? Kita bisa meminta mereka untuk bekerja secara rahasia. Bagaimana?"
"Apakah mereka bisa dipercaya?"
"Tentu saja, mereka bekerja pada negara. Jadi pasti akan melakukan apapun untuk melindungi warganya."
Junhee mendesah panjang, dia akhirnya mengangguk pasrah. Karena memang tidak ada lagi cara yang bisa dia pikirkan untuk menyelesaikan masalah ini.
"Baiklah, aku akan memberitahu Sunghoon. Kurasa dia memiliki link di kepolisian Seoul."
"Atur saja Sera. Aku sudah muak dengan si brengsek ini. Aku hanya ingin dia segera tertangkap dan berhenti mengganggu Sooji," ujar Junhee dengan lelah.
"Jangan khawatir, dia pasti ditangkap."
Junhee mengangguk mengharapkan bahwa peneror itu benar-benar akan tertangkap.
¤¤¤
Kamarnya gelap, satu-satunya penerangan hanya berasal dari celah gorden yang sedikit tersingkap. Sinar bulan yang memantul membuatnya bisa menyadari di mana dirinya saat ini. Ini adalah kamarnya, tempatnya dulu menghabiskan waktu sepanjang hari. Dan ketika menyadari keberadaannya, segenap rasa waspada langsung menyelimuti dadanya.
Dia memejamkan mata, seharusnya dirinya tidak berada di sini. Dia seharusnya berada di kamar apartemennya di Seoul. Tapi kenapa saat membuka mata yang ditemukannya adalah kamarnya dulu, di saat dia masih memiliki sebuah keluarga. Ibu, ayah dan seorang kakak laki-laki.
"Soo--ji?"
Suara itu menggaung di telinganya seperti sebuah nanyian yang dimainkan langsung oleh malaikat penjaga neraka, seperti sebuah simbol bahwa bahwa sebentar lagi suatu bahaya akan terjadi. Dia sangat ingin bangkit dan lari dari sana, tapi tubuhnya bergeming tak bisa digerakkan. Matanya membelalak ketika mendengar suara langkah itu, langkah kaki yang sangat dikenalinya, berat dan penuh ancaman.
"Ti--tidak, pergi...tidak..."
Sooji meraung, menjerit hingga menangis karena tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Sampai ketika sekelabat bayangan memenuhi panca inderanya, Sooji bisa merasakan nafasnya terhenti. Tubuhnya mematung tak berdaya ketika menatap langsung kedua bola mata hitam kelam itu. Dia merasakannya lagi, ketakutan itu terasa sangat nyata sampai-sampai dia merasa nyawanya akan lenyap saat itu juga.
"Kau di sini rupanya cantik, apa kau siap untukku?"
Sooji menjerit histeris, bisikan itu seolah menyadarkannya. Membuat nafasnya kembali dan seluruh tubuhnya tiba-tiba mendapatkan aliran darahnya yang berdesir kencang, dia memberontak memukul ke manapun agar tubuhnya bisa terbebas namun, dia hanyalah seorang gadis remaja yang tidak memiliki kekuatan super. Jadi ketika bayangan itu mendekap tubuhnya dengan erat, tak ada yang bisa dilakukannya selain menangis.
"Sstt tenanglah, aku tidak akan melakukan apa-apa."
"Tidak, pergi...pergi.."
"Jangan malu, aku akan bersikap baik."
Sooji memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi. Bunga tidur yang dia dapatkan setiap kali tidak berdoa sebelum tidur, tapi semuanya terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi. Rasa itu, sentuhan itu, dan bagaimana dia merasakan sakit itu, semuanya sangat nyata. Hingga ketika dia hampir kehilangan orientasinya, bisikan itu terdengar begitu jelas dan nyata di telinganya.
"Kau milikku, selalu."
"Sooji!"
Sooji tersentak kaget, dia membuka mata dengan nafas terengah-engah, pandangannya kosong ketika mengamati di mana dirinya saat ini kemudian ketika menangkap raut cemas Junhee, airmatanya langsung keluar begitu saja.
"Oppa...Oppa..."
Junhee mendesah panjang, dia memeluk Sooji dengan erat, "astaga Sooji! Kau membuatku takut," gumamnya lirih, mengeratkan pelukannya pada tubuh Sooji yang bergetar hebat.
"Kau menjerit dan terlihat sangat tersiksa dalam tidurmu. Kupikir..kupikir aku akan kehilanganmu."
"Oppa, tolong...tolong aku," Sooji meracau, dia menenggelamkan kepalanya di dada Junhee. Jantungnya masih bergemuruh hebat akibat mimpinya barusan, tubuhnya bahkan masih bisa merasakan sentuhan itu.
"Tolong aku, tolong..."
"Sstt, aku di sini sayang. Tidak akan ada yang berani menyakitimu, jangan khawatir, jangan khawatir." Junhee berbisik di telinga Sooji, menyalurkan ketenangan dan rasa aman pada wanita itu.
"Sooji?"
Raungan Sooji di dalam kamarnya tiba-tiba terheti ketika mendengar suara itu, tubuhnya masih bergetar namun, kali ini alasannya berbeda. Bukan ketakutan yang dirasakannya sekarang ini, tapi keterkejutan karena retinanya menangkap sosok pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Tubuhnya terasa kaku ketika pria itu membalas tatapannya.
"Sooji, ada apa?"
Suara itu, suara yang sejak sebulan yang lalu dirindukannya. Suara yang sarat akan kecemasan dan perhatian yang hanya selalu diperdengarkan untuknya, suara yang dimiliki oleh pria itu. Satu-satunya pria yang berhasil menyentuhnya tanpa membuatnya mengingat mimpi buruk itu.
Itu suara Myungsoo.
Sooji mengerjap ketika pria itu masih berdiri di tempatnya, memejamkan mata beberapa detik lalu membukanya kembali hanya untuk melihat pria itu mengerutkan keningnya. Dia kemudian membelalak kaget, ini bukan hayalan. Myungsoo benar-benar ada di sini? Di apartemennya?
"Myung..soo?"
Senyuman itu membuat Sooji percaya jika pria itu memanglah nyata, jadi dengan tertatih dia beranjak dari ranjang. Hampir terjatuh sebelum berlari mendekati Myungsoo dan memeluk tubuh pria itu, menenggelamkan wajahnya di leher Myungsoo dan menghirup aromanya yang selama ini mampu membuatnya tenang.
Oh betapa rindunya dia pada pria ini.
"Myungsoo."
Ketika mendapatkan pelukan dari pria itu, tubuh Sooji kembali bergetar, dia menangis menumpahkan semua perasaannya dalam pelukan Myungsoo. Rasa sakit, takut, rindu, lega, dan hampa yang dirasakannya secara bersamaan kini tercurah hanya dengan sebuah pelukan.
"Don't...don't leave me, i beg you. Don't leave me."
¤¤¤
To be continued.
Hayo yg sdh nebak" gimana nih? 😂😂😂
Eh di ending si abang muncul, penasaran ya kok bisa abang ada di sana? 😆 nnti jawabannya ada di part depan ya 😉
Btw, spam komen makin kesini makin menurun ya 😂 apa krena aku gk minta lagi nih? Harus ya di minta terus 😩 wkwkwk ✌✌✌
Dan jgn lupa tantangannya, dibuat sukses. Yg masih gk ngerti udah gk usah dingertiin, baca crita ini, vote dan spam komen aja 😂 😂 😉
[23/09/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top