17. Reality

#awastypo #awasbaper #awasgondok #awaskesel #awasnangis #awasadaTantangan

.
.
.

Konferensi Perusahaan Periklanan se-Asia atau sering dikenal dengan Asian Advertising Company Conference (AACC), tahun ini diselenggarakan di Pulau Jeju, Korea Selatan. Pemerintah Jeju telah melakukan persiapan dua bulan sebelum konferensi dilaksanakan. Dari segi kepemerintahan, mereka telah siap membantu segala sesuatu yang dibutuhkan, baik dari segi protokoler, imigrasi dan sebagainya. Tidak hanya itu, pemerintah pun menjamin kesiapan Jeju menjadi tuan rumah, baik dari segi keamanan, maupun lokasi dan layanan yang mendukung.

Jaminan itu bukan tanpa alasan, menurut salah satu juru bicara pemerintahan, hal ini bisa dilihat dari riwayat Pulau Jeju sebelumnya yang sudah pernah menjadi tuan rumah berbagai kegiatan besar bertaraf internasional yang berlangsung dengan sukses.

Menurutnya, dengan adanya konferensi bertaraf internasional ini, Pulau Jeju dipastikan bisa mendapatkan dampak positif, seperti yang pemerintah harapkan bahwa Pulau Jeju akan mendapatkan promosi gratis.

Hari ini, beberapa pengusaha dari kawasan Asia Utara dan Asia Tenggara berbondong-bondong memenuhi Jeju Conventiom Center, tempat di mana konferensi tersebut dilaksanakan.

Begitupula Myungsoo, meskipun berat hati, tapi dia tetap menghadiri acara ini. Jo berkata, seorang perwakilan eksekutif perusahaan periklanan dari Seoul membutuhkan jasanya. Dia tidak terlalu mengetahui profil wanita tersebut, yang diketahuinya hanya nama dan wajahnya. Wanita itu juga menolak untuk datang bersama Myungsoo ke Convention Center, jadi mereka hanya berjanji untuk bertemu di sini.

Myungsoo sudah menunggu lebih dari sepuluh menit di depan lobi, beberapa peserta konferensi telah masuk ke dalam ruangan. Dia tidak akan heran jika melihat beberapa teman seprofesinya yang juga ikut ke sini. Karena kenyataannya, peserta konferensi ini lebih dominan diisi oleh wanita dibandingkan pria dan para wanita itu lebih memilih jasa mereka sebagai partner dibandingkan haru membawa pasangan sendiri.

"Kim Myungsoo?"

Myungsoo menoleh dan menemukan seorang wanita muda dengan stelan formal berdiri tak jauh darinya, ia mengerutkan kening untuk menebak.

"Anda..."

"Kim Jiyeon," wanita itu menyerukan namanya, lalu mengulurkan tangan yang langsung dibalas oleh Myungsoo, "paman Jo mengatakan kau akan menemaniku selama konferensi ini berlangsung."

"Paman?" Myungsoo sebenarnya hanya bergumam untuk dirinya sendiri, tapi Jiyeon mendengarnya.

"Iya, paman Jo adalah saudara ibuku," jawab Jiyeon malu-malu, "sebenarnya aku masih sangat baru di bidang ini dan mendapatkan kesempatan untuk ikut konferensi sebesar ini merupakan suatu keajaiban. Saat aku mengatakan pada paman Jo, dia langsung menawarkan untuk menggunakan jasa kalian," Jiyeon menjelaskan panjang lebar, ketika menatap wajah Myungsoo, dia langsung terkesiap kaget.

"Oh astaga, maaf aku terlalu banyak bicara, ya?"

Myungsoo mengukir senyumnya, "tidak masalah," jawabnya singkat, ia menoleh sekilas ke arah pintu ruangan lalu kembali menatap Jiyeon, "mengapa kita tidak lekas masuk? Kurasa kau pasti ingin duduk kursi terdepan."

Jiyeon tersenyum kecil ketika Myungsoo bisa menebak keinginannya, "oh tentu saja, ayo kita masuk."

Myungsoo menghela nafasnya panjang, sepertinya dia perlu bekerja keras untuk tetap terlihat tertarik pada acara ini, karena begitulah tugasnya. Meskipun saat ini dia sangat ingin pulang dan menghabiskan waktu bersama Sooji.

Oh, bicara mengenai wanita itu, Myungsoo tiba-tiba merasa dongkol. Sebenarnya kemarin mereka menghabiskan malam dengan berdebat hingga kehabisan tenanga. Myungsoo mengerti jika Sooji enggan untuk kembali ke Seoul, karena dia juga merasakan hal yang sama. Menurutnya kebersamaan mereka beberapa minggu ini sama sekali belum cukup.

Tapi, dia juga tidak mengerti mengapa wanita itu harus memaksanya pindah ke Seoul. Padahal jelas-jelas dia sudah memutuskan tidak akan meninggalkan ibunya. Namun, semalam Sooji kembali memintanya untuk ikut ke Seoul, meskipun sudah mengatakan alasannya, tapi wanita itu tetap memaksa.

Dan seperti yang diharaplan, mereka kembali berdebat panjang. Keras kepala bertemu keras kepala jelas bukan suatu kombinasi yang baik. Sooji tidak menyerah begitupula dengannya, sampai mereka berdua lelah untuk saling menyanggah dan menyalahkan, akhirnya mereka terlelap begitu saja.

Saat pagi hari, Myungsoo terbangun dan tidak menemukan Sooji disampingnya. Dia merasa kesal tentu saja, tapi tidak ingin mengusik Sooji untuk sementara waktu. Lagipula pagi-pagi sekali dia sudah harus berangkat ke club dan menemui Jo untuk mendapatkan informasi mengenai konferensi ini.

Dan disinilah dia, duduk di tengah-tengah para pengusaha yang terlihat sangat antusias dengan konferensi ini. Dari awal mulai hingga saat ini, ketika topik tentang marketing periklanan di paparkan, semua orang tampak fokus mendengarkan. Tapi dia sama sekali tidak tertarik.

"Jadi, menurutmu apa itu strategi yang cukup ampuh?"

Myungsoo menoleh pada Jiyeon ketika wanita itu bersuara pelan sembari menyentuh lengannya, keningnya berkerut pertanda bahwa ia tidak mengerti pertanyaan tersebut dan wanita cukup jeli untuk menyadarinya.

"Tadi mereka mengatakan, dengan menggunakan para artis atau model yang sedang naik daun merupakan salah satu strategi pemasaran yang cukup bagus," Jiyeon menjelaskan, Myungsoo mengangkat alis kemudiam mengangguk mengerti.

"Kurasa itu ada benarnya, meskipun kita tidak harus terlalu terpaku pada objeknya. Maksudnya, kita juga perlu memperhatikan mengenai kualitas dan kreatifitas ide, meskipun memiliki model papan atas untuk menjadi ambassador iklan tersebut, tentu saja itu tidak akan berhasil tanpa adanya ide yang menarik dan inovatif."

Jiyeon menatap Myungsoo penuh dengan binar antusias, bibirnya tersenyum lebar ketika pria itu selesai memaparkan jawabannya, "kurasa paman Jo benar, kau memang pria yang cerdas."

Myungsoo tersenyum tipis, selama bertahun-tahun berkecimpung di pekerjaan ini, ia sudah sering mendapatkan pujian serupa. Bukan rahasia lagi kalau dia bisa menguasai beberapa bidang, bukan hanya hukum, ekonomi, dan politik seperti latar belakang pendidikannya. Tapi dia juga tau beberapa hal di bidang bisnis dan jasa, atau kesehatan dan beberapa hal yang terkait bidang industrial. Itu alasannya mengapa Jo mengatakan dia lah yang terbaik, karena bukan hanya karena keramahannya melayani klien, tapi juga karena wawasannya yang luas lah yang membuatnya menjadi anak emas Jo.

"Aku hanya pernah membaca beberapa buku mengenai strategi pemasaran," jawab Myungsoo rendah hati, tapi Jiyeon sama sekali tidak terpengaruh. Dia tetap merasa bahwa Myungsoo sangat cerdas.

"Apa kau tidak berniat untuk mendapatkan pekerjaan lain? Aku bisa membantumu masuk ke perusahaan kami."

Myungsoo kembali tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, "itu diluar kapasitas kita untuk didiskusikan. Kurasa kau sudah ketiggalan cukup banyak," ujarnya sembari melirik ke arah panggung di mana pemateri sedang menjabarkan mengenai untung dan rugi dalam proyek periklanan.

"Ah, kau benar..astaga sepertinya aku perlu menanyakan beberapa hal."

Myugsoo hanya mendesah panjang, untung Jiyeon termasuk wanita yang mudah dialihkan perhatiannya. Sekarang wanita itu sudah sibuk lagi memperhatikan pemateri dan dia merasa semakin bosan duduk di sini.

Di saat-saat seperti inilah dia merindukan Sooji. Oh, ralat, sangat merindukan Sooji tentunya.

¤¤¤

Beberapa jam setelahnya, konferensi telah selesai, tapi acara belum kelar. Seperti dugaannya, hal-hal seperti ini pasti tidak akan luput dari sebuah perkumpulan. Myungsoo hanya bisa pasrah ketika Jiyeon menariknya untuk ikut ke party yang di adakan di salah satu club bergengsi yang terletak tak jauh dari JCC.

Memang tidak semua yang ikut acara ini, karena sebenarnya ini tidak ada dalam jadwal resmi konferensi, tapi hanya sebuah ide yang tercetus dari beberapa orang dan akhirnya disetujui. Salah satunya Jiyeon, wanita itu katanya jarang ke club karena kesibukannya sangat menyita waktu. Jadi kali ini adalah waktunya untuk kembali menikmati waktu santainya.

"Kau ingin pesan apa?" tanya Jiyeon tak sabar ketika mereka sudah berada di depan meja bar.

"Aku yang akan memesannya, kau bisa mencari tempat untuk kita duduk," Myungsoo menawarkan, bagaimanapun dia adalah seorang pria dan akan sangat tidak etis jika membiarkan perempuan memesankan minuman untuknya. Itu tidak termasuk dalam kamusnya sebagai seorang gentlement.

Beberapa menit kemudian Myungsoo berjalan mendekati Jiyeon yang memilih meja tak jauh dari bar dengan memegang segelas gin dan cocktail buah.

Jiyeon merengut saat melihat pilihan minuman Myungsoo, "aku ingin wine," ujarnya protes ketika pria itu menyodorkan gelas cocktail dengan buah blueberry di atasnya.

"Kau bisa mabuk, cocktail lumayan enak," jawab Myungsoo duduk do depan Jiyeon.

"Tidak masalah jika aku mabuk, kau bisa mengantarku," gerutu Jiyeon, tapi tetap meminum minumannya. Sedetik kemudian dia melebarkan mata dengan wajah berseri "oh ini sangat enak!"

"I've told you," Myungsoo tersenyum bangga. Jiyeon membalasnya dengan senyum yang sama lalu mendekatkan dirinya.

"Jadi, apa kau punya kekasih?" Myungsoo menaikkan alis ketika mendengar pertanyaan itu, "kupikir kau pria yang menyenangkan."

"Tidak, aku tidak melakukan hubungan seperti itu bersama wanita." Jawaban Myungsoo mengundang rasa penasaran Jiyeon, meskipun sebelumnya wanita itu terlihat sangat terkejut, tapi saat ini dia terlihat lumayan penasaran.

"Jadi, kau gay?"

"Gay?"

"Kau bilang tidak melalukan hubungan dengan wanita, jadi kau melakukannya dengan pria?"

Seketika Myungsoo tertawa saat mendengar pemikiran konyol tersebut, dia memegang perutnya yang terasa sakit karena tertawa, sekilas menatap wajah heran Jiyeon lalu berusaha untuk menenangkan dirinya.

"Aku tidak tau, kau ini polos atau bodoh."

Jiyeon mencibir Myungsoo, "kau sendiri yang mengatakannya Myungsoo, jangan salahkan aku jika berpikir seperti itu."

"Oke, maafkan aku. Kurasa pemilihan kataku memang sedikit ambigu," Myungsoo menyeka sudut matanya lalu menarik nafas panjang, "maksudnya aku sama sekali tidak berminat untuk memiliki hubungan serius dengan siapapun. Kau pasti mengerti maksudku, kan?"

Jiyeon menganggukan kepala, tapi alisnya berkerut samar, "tapi kau pasti biasa melayani klienmu..hmm kau tau, dalam hal seperti itu," wanita itu memberi tanda kutip pada kata seperti itu, yang dimaksudkan adalah pelayanan di atas ranjang dan Myungsoo mengerti.

"Aku tidak akan mengatakan tidak, karena kenyataannya aku adalah pria normal. Tapi, itu tidak termasuk dalam pekerjaan. Itu terjadi atas persetujuan keduabelah pihak, tanpa merugikan siapapun."

"Oh tentu," wajah Jiyeon bersemu merah ketika menyadari pembicaraan mereka sudah berlalu jauh, "ehmm, jadi...apa aku bisa, eung.."

Myungsoo mengangkat alis, merasa heran pada kegugupan Jiyeon yang tiba-tiba.

"Kau menginginkanku melayanimu juga?" Tanya Myungsoo langsung yang membuat wajah Jiyeon semakin merah dan panas.

Myungsoo mengamati wajah wanita itu dan berpikir. Jika dulu, dia tidak perlu berpikir dua kali untuk menerima ajakan Jiyeon, bagaimanapun wanita itu cukup cantik dan masih segar. Semua pria normal pasti tidak akan melewatkannya begitu saja, tapi sayang Jiyeon datang setelah dia merasakan surga dunia bersama Sooji. Menurutnya, tidak ada yang lebih indah dibandingkan wanita itu, di atas maupun di luar ranjang. Sooji sudah terlalu memakunya, membuatnya kecanduan sehingga membuat peluang semua wanita untuk berada di atas ranjangnya gugur begitu saja. Dan kali ini Myungsoo juga tidak perlu berpikir dua kali untuk menolak, rasa penasaran Jiyeon untuk mendapatkan sebuah pengalaman bersamanya tidak bisa dibandingkan dengan bagaimana Sooji bisa membuatnya klimaks hanya dengan menatap matanya.

Jadi, dengan senyum menawan, Myungsoo menggelengkan kepala, "maaf, aku tidak tertarik," jawaban itu membuat wajah Jiyeon kembali memerah, tapi kali ini bukan karena tersipu melainkan karena dia merasa malu telah ditolak mentah-mentah.

"Oh, ya-tentu...A-aku, aku.."

"Jiyeon," Myungsoo menyela dengan pelan, membuat Jiyeon yang seperti ingin menangis saking malunya menatap ke arahnya, "aku menolak bukan karena kau memiliki kekurangan, kau sangat cantik dan menarik. Tapi, maaf aku sudah memiliki wanita dan aku bukan pria yang suka berhubungan dengan dua wanita sekaligus." Myungsoo masih tersenyum saat dia menjelaskan membuat Jiyeon bukannya lega mala tambah malu.

"Maafkan aku."

"Tidak apa-apa, kau sebenarnya bisa mencari pria yang mungkin mau berkomitmen denganmu. Kurasa kau layak mendapatkan yang terbaik."

Jiyeon tersenyum kecil, "terima kasih Myungsoo."

"Tidak masalah, aku senang bertemu denganmu. Setidaknya hari terakhirku di pekerjaan ini tidak berakhir buruk."

Myungsoo dan Jiyeon saling melempar senyum, setelahnya menghabiskan minuman mereka dengan berbincang dan saling berbagi cerita. Sesekali Jiyeon juga bertanya mengenai wanita Myungsoo yang hanya dijawab singkat tanpa detail yang jelas dari pria itu.

¤¤¤

Tengah malam Myungsoo baru pulang, keadaan rumah yang gelap menandakan bahwa ibunya dan Sooji telah tidur. Sesuai prediksinya bahwa Jiyeon adalah wanita yang cerdas dan menarik, mereka banyak berbincang sepanjang malam ini. Bukan hanya masalah pekerjaan, tapi juga berbagai hal dan Jiyeon memiliki pandangan yang luas jadi sangat enak berdiskusi dengannya. Mereka bahkan sampai lupa waktu dan menghabiskan bergelas-gelas minuman, untung saja dia tidak gampang mabuk jadi masih bisa menyetir dan mengantar Jiyeon kembali ke hotelnya.

Saat melewati kamar Sooji, Myungsoo sangat ingin masuk ke sana dan tidur sambil memeluk wanita itu, tapi mengurungkan niatnya mengingat sekarang sudah hampir jam satu malam. Sooji pasti sudah tidur dan dia tidak ingin mengganggu.

Mungkin besok dia bisa meminta maaf pada Sooji karena sudah membuat wanita itu kesal kemarin karena penolakannya dan menebus kesalahannya karena telah meninggalkannya seharian tanpa kabar, mereka masih memiliki banyak waktu untuk bersama. Jadi untuk sekarang tidak perlu memikirkan masalah lain.

Tapi, Myungsoo salah prediksi. Dia berpikir bisa bertemu Sooji keesokan harinya. Tapi ketika pagi menjelang, dia terbangun dan langsung menuju kamar Sooji hanya untuk mendapatkan ruangan kosong dan ranjang yang dingin.

Saat itu Myungsoo masih belum memikirkannya, nanti ketika dia mendatangi ibunya dan menanyakan keberadaan Sooji. Barulah dia panik dan marah.

"Sooji sudah pergi?"

Hyera hanya tersenyum tipis, "kemarin dia berpamitan pada ibu, dan pulang ke Seoul."

Myungsoo menggeram marah, "dan ibu tidak memberitahuku?"

"Myungsoo, ibu sangat ingin menghubungimu, tapi Sooji melarangnya. Dia berkata kau akan sangat sibuk."

"Persetan dengan itu, Bu! Kenapa Sooji pergi?"

Hyera menghela nafas, dia tau putranya pasti marah karena kepergian Sooji yang tiba-tiba. Kemarin juga dia merasa tidak terima ketika wanita tiba-tiba mengatakan akan pulang saat itu juga, dia sudah meminta Sooji untuk menunggu Myungsoo dan berbicara dengannya. Tapi rupanya keinginannya untuk pulang sudah sangat bulat, jadi Hyera tidak memiliki pilihan selain membiarkan Sooji pergi. Lagipula Hyera tidak merasa berhak untuk menahan wanita itu, itu sepenuhnya adalah hak Sooji untuk memilih pergi. Meskipun Hyera menyayangkan dan bisa memastikan ke depannya rumah ini akan berbeda tanpa kehadiran Sooji.

"Myungsoo, kau bisa menyusulnya nak," Hyera memberi saran. Dia juga tidak bisa melihat anaknya frustasi seperti ini, kepergian Sooji pasti sangat membuatnya kaget.

"Masalahnya bukan itu, Bu," Myungsoo menjawab dengan suara tertahan, "dia memilih pergi dan tidak mengatakan apapun padaku."

"Kau tau masalahnya yan sebenarnya Myungsoo," Hyera menyentuh lengan anaknya, "bukan karena Sooji pergi tanpa pamit padamu, tapi karena keputusanmu yang sama sekali tidak memberi kesempatan untuknya berpamitan."

Myungsoo terdiam, dia tertohok ketika mendengarkan kalimat ibunya. Benarkah Sooji pergi karena penolakannya?

Tapi, bukankah mereka masih memiliki banyak waktu? Mengapa harus terburu-buru, dia sangat menikmati hubungan ini. Berkembang dengan pelan tapi pasti. Lagipula ini masih baru sebulan, jadi apa yang mereka harapkan?

Dia tidak mungkin begitu saja memutuskan meninggalkan ibunya dan ikut bersama Sooji ke Seoul hanya karena kedekatan mereka beberapa minggu belakangan. Meskipun dia yakin bahwa hubungannya dan Sooji bukanlah sebuah permainan, tapi dia sadar kedudukam Sooji di dalam hidupnya masih bukan apa-apa dibandingkan ibunya.

Jadi bagaimana bisa dia lebih memilih Sooji daripada ibunya? Itu sangat tidak rasional.

Apa Myungsoo memiliki pilihan lain selain menolak?

Tentu saja tidak ada pilihan lain. Untuk sekarang, ibunya adalah satu-satunya yang dia miliki. Jadi memilih tetap bersama ibunya adalah pilihan yang tepat.

Tapi, siapa yang akan memelukmu dan memberikan kehangatan padamu malam ini, Myungsoo?

No one.

Sialan!

¤¤¤

To be continued...

Tantangan ketiga : "Silahkan buka work yang berjudul Et Dilectio, cari chapter 17, lihat koleksi segitiga lima-nya. Koleksilah segitiga lima di sini dengan jumlah yang sama."

[19/09/17]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top