16. Come With Me
Alohaa...
Aku kasih headnote lagi, krena gk yakin kalo ngasih note di bawah bakal kalian baca 😂
Ini masalah challenge kemarin, mngkin bnyak yg masih gak mudeng. Saran aku sih, cek komem" di part kemarin, di sana ada pnjelasannya kok.
Aku gk minta kalian buat vote di romeo & rosaline kok. Aku cuma minta kalian cari work itu, buka chapter satu dan lihat 'segitiga lima'nya, tpi kemarin malah bnyak yg ke RR dan sumbang 'segitiga lima' di sana 😅 pdhal itu gk prlu. Btw bagi yg gk tau segitiga lima itu apa, pikir sndiri ya, pake logika jgn pake perasaan, nanti baper *eh 😂😂😂
Nah sekarang tantangan baru lagi. Jadi kalian udah ngertikan? Kalo masih gk ngerti, ya udah gk usah ikutan aja 😅 dripada kalian pusing kayak mas Junhee 😂😂😂
Tantangan kedua : "Silahkan buka work yang berjudul Move On, cari chapter yg segitiga limanya paling sedikit. Koleksi segitiga lima di sini dengan jumlah yang sama."
Enjoy.
#masihhastagyangsama #awasbaper #awasbaperbanget #awasgondokan #awasdiabetes #awasadaTBC 😂
.
.
.
Junhee sudah merasa kewarasannya hampir saja hilang karena sama sekali tidak menemukan informasi apapun mengenai keberadaan Sooji. Dia sudah berniat untuk menelpon polisi dan melibatkan mereka dalam pencarian ini, tapi siang itu tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dulu, jika menerima panggilan dari nomor asing dia tidak akan menjawab, tapi sekarang ceritanya berbeda. Junhee harus selalu memastikan bahwa siapapun yang menelpon ke nomornya adalah orang yang mungkin saja memiliki informasi mengenai Sooji.
Dan memang pilihan tepat untuk mengangkat panggilan itu, karena kepala Junhee hampir meledak saat mendengar suara di seberang telepon.
"Oppa..."
"Sooji!"
Kedua bola mata Junhee hampir keluar dari tempatnya saat meneriakkan nama wanita itu, semua omelan sudah ada di ujung tenggorokannya dan siap untuk dikeluarkan, tapi kalimat Sooji membuatnya terhenti.
"Apa?"
"Aku dirampok, seseorang mengambil mobil dan semua barang-barangku."
Junhee memejamkan matanya, perasaan marah yang tadinya membumbung di hatinya langsung beeubah menjadi sebuah kekhawatiran.
"Jadi sekarang kau di mana? Kau baik-baik saja kan?"
"Aku baik, aku bertemu seseorang yang mau menampungku di sini. Hmm liburanku di sini sangat menyenangkan."
"Syukurlah. Asal kau tau di sini sudah sangat kacau karenamu."
Walau dengan perasaan dongkol, tapi Junhee tetap merasa lega karena setidaknya tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Sooji.
"Maafkan aku Oppa, tapi kalian tidak perlu khawatir. Aku benar-benar baik-baik saja kok."
"Jadi kenapa baru menelpon sekarang? Aku tau kau menghapal nomor ponselku dengan baik."
"Ehm, aku cuma ingin menikmati liburanku dulu Oppa. Jadi aku tidak menelponmu."
"Dan sekarang kau sudah tidak menikmati liburanmu, begitu?"
"Oh tidak, tidak aku masih sangat menikmatinya. Aku menelpon karena berpikir mungkin kau sudah sadar kalau aku tidak sampai ke Villa."
"Ya, dan kau berhasil membuatku pusing anak nakal. Tunggu sampai kau pulang, aku akan menghukummu."
Junhee mendengus, saat mendengar suara tawa Sooji kekesalannya semakin bertambah.
"Kau harus pulang sekarang. Presdir menarik waktu liburanmu karena kekacauan ini."
"Tidak mungkin! Aku tidak mau, waktuku masih ada dua bulan lebih."
"Tidak ada pilihan untukmu Sooji. Kau harus pulang, katakan di mana kau. Aku akan menjemputmu."
"Oppa..."
"Keputusannya sudah ada. Kau akan pulang."
"Kau jahat!"
"Aku tidak peduli. Cepat katakan kau tinggal di mana?"
"Aku tidak mau pulang sekarang. Bagaimana kalau bulan depan?"
"Hari ini juga, Sooji."
"3 minggu lagi?"
"Hari ini."
"Satu minggu, kumohon?"
Junhee mendesah panjang, Sooji sudah memohon padanya dan itu sangat jarang terjadi kecuali wanita itu memang sangat menginginkan sesuatu, dan dia terlalu menyayangi Sooji untuk tidak mengabulkan keinginan wanita itu.
"Baiklah satu minggu, dan aku akan menjemputmu."
"Oh thank you, i love you Oppa."
"Ck...kita lihat apa kau masih mencintaiku jika aku sudah memberimu hukuman saat kau pulang nanti."
"Dasar kejam!"
Junhee melotot tidak percaya, dia menurunkan ponsel dan menatap layarnya yang sudah mati. Beraninya wanita itu langsung menutup panggilannya begitu saja.
"Dasar anak kurang ajar," gerutunya sebal, Junhee kemudian beranjak dari ruangannya untuk menemui Sera. Memberitahu wanita itu agar menghentikan pencarian karena Sooji sudah menelponnya.
"Kau serius?" Sera memekik terkejut saat Junhee mengatakan bahwa Sooji baru saja menelpon, "jadi bagaimana?"
"Dia baik-baik saja. Seseorang menolong dan memberikannya tempat tinggal."
"Oh puji tuhan. Dia akhirnya ditemukan, jadi kau akan menjemputnya kan?"
Junhee menggelengkan kepalanya, "tidak, dia meminta waktu satu minggu lagi. Sepertinya dia sangat menyukai tempat liburannya sekarang."
Sera tersenyum kecil, mendengarnya, "senang mendengar dia bisa bersantai. Berapa tahun terakhir dia terlalu bekerja keras," komentarnya dengan wajah prihatin.
"Kau benar, tapi kita tetap tidak bisa membiarkan Sooji terlalu lama. Bisa-bisa ini menjadi masalah, lagipula kita perlu mengurus masalah perampokan yang terjadi."
"Ah kau benar. Aku akan menelpon Seunghoon dan mengatakan semuanya, kurasa dia bisa mengurus masalah perampok ini. Mungkin saja barang-barang Sooji masih ada."
"Ya kuharap begitu," Junhee bergumam pelan. Sebenarnya barang-barang Sooji tidak begitu penting, tidak apa-apa jika mereka mengambilnya. Credit card atau Debit card juga tidak masalah, karena mereka sudah memblokirnya dan sudah pasti tidak akan bisa digunakan. Hanya saja, Junhee khawatir dengan ponsel Sooji, dia takut jika perampok ini sadar siapa Sooji sebenarnya dan mencoba menyebarkan gambar-gambar yang tidak layak dijadikan komsumsi publik.
¤¤¤
"Tidak kerja lagi?"
"Hari ini tidak."
"Kenapa?"
"Tidak ada alasan."
"Oh ya? Kupikir karena aku."
"Hmm, memangnya kau mau?"
"Mau apa?"
Myungsoo menoleh dengan salah satu alis terangkat ketika pertanyaan Sooji terdengar malu-malu, ia menatap wanita itu sudah tersipu di sampingnya.
"Tidak usah pura-pura malu, aku tau kau senang kalau aku tidak pergi."
Sooji mendengus, mengubah raut wajahnya yang dari malu-malu jadi cemberut. Dia menyandarkan tubuhnya di sofa lalu menatap tv yang menayangkan siaran berita. Hah pantas saja Myungsoo tidak tau dia adalah artis, toh yang dinontonya setiap hari hanya berita saja.
"Sebenarnya alasan utamanya bukan karena kau, tapi kalau itu bisa membuatmu senang, aku bisa mengatakan alasanku tidak pergi ke club hari ini karenamu. Karena jika kau senang, maka aku bisa puas."
"Dasar om om mesum!" Myungsoo tertawa saat Sooji mengumpatinya, dia mendekati wanita itu lalu mengusap lengannya.
"Tapi kau suka sama om mesum ini, kan?"
Sooji mendelik, menepis tangan Myungsoo yang sudah ingin menyentuh bagian tubuhnya yang terlarang, "bibi di mana?" tanyanya sembari mengingatkan Myungsoo yang mungkin saja akan kelepasan.
"Ibu sedang keluar. Ada tetangga yang memanggilnya untuk membantu membuat kimchi."
"Seharusnya bibi mengajakku, aku bisa buat kimchi juga," komentar Sooji tanpa memperhatikan wajah Myungsoo yang sudah terlihat seperti penjahat kelamin saat menatapnya. Nanti ketika menoleh barulah dia sadar, "ih Myungsoo...mukamu mesum sekali!"
Myungsoo tertawa, dia meraih wajah Sooji dan mencium pipinya, "siapa suruh menggodaku."
"Aku tidak menggoda!"
"Tidak menggoda ya, jadi keluar kamar tanpa mengenakan bra itu yang kau sebut tidak menggoda?"
Sooji terkesiap, ia menunduk memeriksa dadanya dna kedua tangannya sontak terangkat membentuk barikade di depan dadanya lalu menatap sengit pria di sampingnya yang sudah menggerling penuh nafsu.
"Ih dasar bejat!" Sooji memekik lalu mengulurkan satu tangannya untuk memukul Myungsoo, tapi pria itu malah menariknya sehingga tubuhnya merapat ke tubuh Myungsoo.
"Hmm...di sini sangat nyaman," Myungsoo memeluk pinggangnya dengan erat lalu menempelkan sebelah pipinya di dada Sooji, ia tersenyum miring ketika merasa tubuh wanita itu menegang, "mau ya?"
"Tidak," jawab Sooji ketus.
"Aku tau," gunam Myungsoo lalu dia memiringkan kepalanya dan mencium dada Sooji.
"Myungsoo, geli," Sooji menggeliat, mendorong kepala pria itu untuk menjauh. Tapi Myungsoo malah semakin membenamkan kepalanya di dada Sooji.
"Myungsoo tunggu dulu, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Hmm..nice try, darling."
Sooji berdecak, dia memukul bahu Myungsoo, "aku serius. Aku sudah menelpon manajerku."
Kalimat Sooji membuat pergerakan Myungsoo berhenti, sedetik setelahnya wanita itu merasakan belitan di pinggangnya terlepas dan wajah Myungsoo sudah menjauh dari tubuhnya.
"Oh tentu saja," Myungsoo bergumam pahit dengan wajah keki.
Sooji yang mengerti maksud perkataan itu langsung menggelengkan kepalanya, "tidak, bukan seperti itu maksudku."
"Lalu apa?" Myungsoo menatap Sooji tajam, "kau menelpon manajermu untuk membawamu pulang, kan?"
"Tidak, aku hanya ingin memberikan kabar padanya. Di sana sangat kacau Myungsoo."
"Ya, tentu saja sangat kacau dan kau harus kembali."
"Myungsoo," Sooji mendekat lalu menangkup wajah pria itu, "aku sebenarnya tidak ingin kembali, tapi aku harus."
"Benar, dan aku tidak punya hak untuk menahanmu."
Sooji mendesah panjang tidak menyangkal ucapan Myungsoo. Memang benar, pria itu tidak memiliki hak apapun, meskipun ada, dia juga tidak bisa tinggal di sini selamanya. Sooji punya kehidupan lain di Seoul, mau tidak mau dia harus kembali, tapi di sisi lain dia juga merasa berat kalau harus meninggalkan rumah ini. Dia sudah merasa sangat nyaman di sini.
"Myungsoo, mau ikut denganku?" Sooji bertanya menatap lurus mata Myungsoo, pria itu hanya diam mendengarnya, "ayo ikut denganku, ke Seoul."
"Sooji, aku tidak bisa," Myungsoo menolak, membuat wajah wanita itu murung, "aku tidak mungkin meninggalkan ibuku sendiri."
"Kalau begitu kita ajak bibi juga."
Myungsoo tersenyum miris dan menggelengkan kepalanya, "ibu lahir dan besar di sini, dia jelas tidak akan mau meninggalkan Jeju."
"Berarti kalau bibi mau, kau akan ikut kan?"
"Sooji bukan di situ masalahnya."
"Tidak. Apa yang kutangkap dari alasanmu adalah karena tidak ingin meninggalkan bibi. Jadi kalau bibi mau, kalian bisa ikut denganku." Sooji menyangkal dengan pemikirannya, Myungsoo hanya menggelengkan kepala. Masalah ini tidak semudah itu, dia tidak bisa begitu saja memilih untuk pindah tanpa pemikiran yang matang.
Terlalu banyak resiko dan Myungsoo tidak ingin kehidupannya yang sudah mulai berjalan dengan baik kembali harus merasa terombang ambing hanya karena keputusan implusifnya.
Tapi, bagaimana jika Sooji kembali dan dia tetap di sini?
Myungsoo sudah pernah memikirkan hal ini sebelumnya, membayangkan rumah ini tanpa kehadiran Sooji yang sudah terbiasa membuat keributan, pasti akan sangat sepi tanpanya. Ibunya juga pasti merasa kesepian. Dia masih belum ingin berpisah dengan Sooji, apa yang mereka jalani saat ini masih membuatnya nyaman.
"Aku tidak ingin berpisah Myungsoo."
Myungsoo memejamkan mata, ia memeluk Sooji dan mencium pelipis wanita itu, "aku juga."
"Jadi kau ikut kan?"
"Hmm."
Myungsoo hanya menggumam pelan, tidak menyetujui dan tidakpula menolak. Dia hanya tidak ingin memberi harapan pada Sooji, wanita itu akan bersedih kalau harapannya tidak tercapai.
¤¤¤
Hyera memberikan senyum ketika Sooji duduk di depannya, beberapa hari belakangan dia melihat wanita itu sangat ceria dan tentu saja semakin menempel ke Myungsoo. Dia bukannya buta untuk bisa melihat apa yang terjadi pada mereka, tapi Hyera tidak ingin ikut campur. Biarkan saja itu menjadi urusan mereka, asal keduanya akur-akur saja, dia akan merasa tenang.
"Bibi, Myungsoo mana?"
Nah, baru saja dipikirkan. Hyera tersenyum, sebelum ini Sooji tidak pernah mencari Myungsoo ketika pria itu terlambat turun untuk makan malam atau sarapan pagi, begitupun dengan Myungsoo. Tapi akhir-akhir ini mereka selalu saling mencari, dan Hyera yang menjadi sasaran hanya bisa tertawa dalam hati. Mereka berdua terlihat menggemaskan.
"Masih di kamarnya, mungkin sebentar lagi turun," jawab Hyera membuat Sooji mengangguk mengerti, "kita makan saja, tidak usah menunggunya."
Sooji mengangguk antusias, "tentu saja, bi. Aku sudah akan mati kelaparan kalau harus menunggunya lagi," kelakar Sooji membuat Hyera tertawa.
"Oh ya bibi, aku ingin bertanya sesuatu, boleh tidak?"
"Apa itu? Tanyakan saja, sayang."
Sooji tersenyum, dia mencondongkan tubuhnya menatap Hyera penuh harap, "menurut bibi, bagaimana dengan ide tinggal di Seoul?"
Hyera berpikir sejenak, dia sedikit bingung dengan pertanyaan itu, tapi tetap menjawab, "Seoul kota besar, kalau semisal bibi disuruh pilih, lebih baik bibi tinggal di sini. Jeju bagus, udaranya sejuk."
Hyera tidak memperhatikan raut kecewa Sooji, dan dia terus melanjutkan, "Seoul itu sangat ramai, bibi kurang suka keramaian."
"Oh begitu ya..." Hyera terkejut ketika mendengar suara Sooji yang lesu, menatap wajah wanita itu dan tentu saja dia menemukan kemurungan di sana.
"Kenapa Sooji?"
"Tidak apa-apa bi," Sooji tersenyum kecil, "ayo kita makan," lanjutnya lagi berusaha terlihat baik-baik saja, tapi Hyera sadar kalau wanita itu tidak terlihat baik.
"Apa ini berhubungan dengan Myungsoo?"
"Eh? Tidak, tidak kok." Sooji menggelengkan kepalanya dengan canggung.
"Tidak apa-apa Sooji, katakan saja pada bibi. Mungkin bibi bisa memberi solusi," Hyera berujar dengan lembut dan penuh pengertian, membuat Sooji menghela nafas.
"Aku mengajak Myungsoo ke Seoul," ucapnya kemudian, dia memang tidak bisa menahan diri untuk berbicara jujur pada Hyera, "tapi dia tidak mau karena tidak ingin meninggalkan bibi."
"Jadi, hubungan kalian sudah sejauh mana?" Pertanyaan Hyera yang tiba-tiba membuat Sooji gelagapan, wajahnya merona saat menangkap senyum penuh arti milik Hyera.
"Eum..aku tidak tau, tapi..tapi aku tidak ingin berpisah darinya, bibi," jawabnya dengan jujur, rona merah di pipinya semakin kentara dan Hyera tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar.
"Bibi tidak keberatan dengan hubungan kalian, tidak perlu malu Sooji," ucap Hyera, dia menatap Sooji seperti menatap anaknya sendiri, "kalau Myungsoo mau, bibi tidak akan melarangnya untuk ikut denganmu."
"Masalahnya bukan itu, Myungsoo tidak ingin meninggalkan bibi sendiri," Sooji menjawab, dia menggelengkan kepala seraya menghela nafas, "makanya aku minta pendapat bibi, karena aku ingin bibi juga ikut bersamaku. Tapi sepertinya bibi tidak menyukai ide itu," lanjutnya lagi dengan helaan nafas yang lebih panjang.
"Bibi tidak bisa meninggalkan kota ini, di sini tempat bibi dilahirkan dan kedua makam orangtua bibi ada di sini juga," Hyera membalas dengan wajah menyesal, "tapi bibi tidak akan menahan Myungsoo, jika kalian ingin bersama maka lakukan. Jangan membuat kehadiran bibi sebagai penghalang."
"Tidak, bi. Bibi bukan penghalang, aku menyayangi bibi seperti ibuku sendiri. Jadi jangan berkata seperti itu lagi," Sooji menarik kedua tangan Hyera dengan mata berkaca-kaca, dia tersenyum kecil, "aku akan senang kalau suatu hari bibi berubah pikiran."
Hyera hanya tersenyum, meskipun tidak yakin, tapi dia tetap mendukung harapan Sooji. Walau tidak mau pindah ke Seoul, tapi dia akan menerima kalau putranya ingin ke sana.
"Hmm, sepertinya aku sedang menonton drama."
Suara Myungsoo terdengar geli ketika memasuki dapur, dia menatap ibunya dan Sooji saling melempar pandangan lalu tersenyum kikuk.
"Kenapa?" tanyanya saat sudah duduk di samping Sooji, Myungsoo mengusap ujung kelopak mata wanita itu yang sedikit berair, "kau menangis?"
Hyera tersenyum melihat interaksi keduanya, sementara Sooji hanya menunduk dengan wajah tersipu malu, dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak," jawabnya singkat dan malu-malu.
Myungsoo berdecak, "dasar perempuan," gumamnya pelan, lalu menatap ibunya, "apa yang kalian bicarakan, bu?"
"Tidak ada, Sooji hanya menyampaikan niatnya untuk mengajakmu ke Seoul," jawab Hyera masih dengan senyum di bibirnya. Berbeda dengan Myungsoo yang sudah kehilangan senyumannya, dia menoleh pada Sooji yang masih menunduk.
"Oh ya?"
"Ibu tidak apa-apa Myungsoo. Kau bisa ke Seoul dan mendapat pekerjaan yang lebih baik di sana, ibu tidak keberatan."
Myungsoo mendengus, dia menggeleng dengan tegas lalu berucap, "tidak bu. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri."
Sooji merasa hatinya sedikit tercubit mendengar penolakan secara tidak langsung itu. Myungsoo memang melakukan hal yang benar karena tidak meninggalkan ibunya, tapi itu berarti Myungsoo menolaknya kan?
Menolak untuk bersamanya.
Dan itu sedikit menyakiti hati Sooji. Hanya sedikit.
¤¤¤
To be continued...
Ada satu lagi info, tlg di baca baik-baik. Tantangan ini bukan target untk update chapter selanjutnya ya. Jdi gk ada hubungannya dgn jadwal update, msih ada bbrapa yg brpikir kalo tantangan sukses maka aku akan update part selanjutnya. Oh bukan, bukan seperti itu cara mainnya. Di note kmarin aku sdh tulis dgn jelas, tlg di baca ulang dan seksama.
Jdi tolong, gk perlu dimention 'tinggal segini lagi' , 'sedikit lagi' , 'sudah mencapai target' , dan sebagainya..maaf aku kurang suka sama komenan kyak gitu 🙏 mending kalian kasih kritik atau gk usah komen dripada hrus ngomen yg gk penting kyak gitu 🙏
Aku bukannya mau ngelarang kalian ngomen di sini, cuman ada bbrapa jenis komenan yg gk aku suka. Jadi dripada kalian bikin mood aku jelek, mending gk usah dikomen kan? Vote aja udah cukup.
Ayo saling mengerti. Aku menulis untuk kalian baca secara bebas dan kalian berhenti memberi komentar yg tidak aku suka. Cukup adil kan?
[17/09/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top