02. Step Down

Pria itu menimang, mengamati sebuah kertas lusuh yang tergoreskan tinta hitam di atasnya dengan pandangan menilai, membaca kata perkata dengan hati-hati dan berulang-ulang. Setelah mengerti maksud dari surat tersebut, ia kemudian mengangkat wajah untuk menatap pria lain yang masih berdiri tegap di depan meja kerjanya.

"Jadi," ia bersuara, meletakkan kertas di tangannya untuk tersampir rapi di atas meja, "dari yang kutangkap dari surat ini, kau ingin berhenti bekerja?" lanjutnya kemudian dengan kedua siku yang ditopang ke atas meja, masih dengan pandangan menilai. Ia cukup terkejut ketika pagi-pagi sekali mendapati salah satu pekerjanya sudah berada di dalam ruangan, menunggunya, dan lebih terkejut lagi saat pria itu memberikannya surat yang biasa orang-orang kantoran katakan adalah sebuah surat pengunduran diri.

Ia menatap pria di hadapannya, salah satu pria terbaik yang dimilikinya. Dengan tinggi badan mencapai 180 cm atau mungkin lebih, dada bidang dan tubuh fit tentu saja membuat beberapa klien akan puas dengan pelayanannya. Lagipula wajah pria itu sungguh mendukung, dengan garis tegas di rahang yang menggambarkan watak keras pria itu serta tatapan mata yang tidak bisa dianggap remeh. Pria ini memang yang terbaik, dari segi fisik, sikap, dan kemampuannya, semuanya sempurna.

Jadi, darimana pikiran mengenai pengunduran diri tersebut berasal?

"Kim Myungsoo?" Ia bergumam menyebut nama pria tersebut ketika tidak mendapatkan respon apapun, pria itu membalas tatapannya tak tergoyahkan kemudian mengangguk dengan tegas.

"Saya ingin berhenti, tuan Jo."

Jo, kepanjangan dari Joseph Ryu. Pria berkebangsaan Jepang yang telah tinggal di Korea hampir seumur hidupnya, hanya mengulum bibir datar. Ia menampakkan wajah seperti sedang berpikir, kemudian memiringkan kepala dan tersenyum maklum.

"Dari apa yang ku tau, kau tidak memiliki tempat untuk ke manapun," suaranya pelan namun, terdengar mengancam, "kau akan ke mana setelah keluar dari sini?"

Myungsoo mengepalkan kedua tangannya ketika melihat seringai merendahkan pria itu, jika bukan karena rasa hormatnya kepada Jo karena pria itu lebih tua darinya, sejak tadi ia sudah menonjok wajah culas pria itu.

"Ke manapun saya pergi, itu bukanlah urusan anda."

Jo tersenyum, ia suka pada kontrol emosi yang dimiliki oleh Myungsoo. Dengan mengenal pria itu hampir seumur hidupnya, ia tau kepribadian Myungsoo yang sangat tempramen, tapi dibarengi dengan kendali diri yang luar biasa. Dan saat ini, ia tau bahwa memancing emosi Myungsoo tidak akan menghasilkan apapun.

"Baiklah, bagaimana kalau kita mulai dengan alasan," Jo berucap dengan nada mengalah, ia bersandar ke kursi kerjanya menatap Myungsoo, "kau bisa duduk Myungsoo."

Myungsoo menggeram, ia menggeleng tegas pada tawaran Jo untuk duduk, "aku tidak ingin berbasa basi lagi, Jo."

Mata Jo berkilat senang saat mendengar desisan yang keluar dari bibir tipis Myungsoo, "ah, akupun tidak suka basa-basi kawan. Jadi sekarang, tidak ada formalitas lagi, eh?" sahutnya lengkap dengan kekehan kecil. Jika Myungsoo sudah menanggalkan formalitas kepadanya, berarti pria itu sudah mulai serius untuk berbicara.

"Jadi katakan, alasanmu. Aku butuh tau alasanmu agar bisa mempertimbangkan keputusanku nanti." Jo bersikeras untuk mendengarkan alasannya.

"Jangan berpura-pura bodoh. Kau tau alasan sebenarnya," Myungsoo bergumam tajam, "aku dan ibuku seharusnya sudah pergi dari sini bertahun-tahun lalu."

"Oh ibumu?" Jo mengejitkan alisnya, "aku sebenarnya tidak ingin mengungkit masalah ini, tapi sepertinya aku perlu mengingatkanmu," lanjutnya dengan prihatin, ia menatap Myungsoo seolah sedang merasa bersalah namun, mereka berdua tau bahwa itu hanya sebuah kepura-puraan.

"Begini, tentang utang ibumu...kau tidak mungkin pergi sebelum itu lunas bukan?"

"Brengsek," Myungsoo mengumpat kasar, ia maju dua langkah, memepetkan tubuhnya ke depan meja Jo dan merunduk untuk menatap pria itu lebih dekat, "jangan kau pikir aku bisa kau bodohi, Jo." Meksipun suaranya terdengar tenang, tapi raut wajah Myungsoo sangat menggambarkan betapa marahnya dia saat ini.

"Aku tinggal di sini seumur hidupku, bekerja untukmu selama sepuluh tahun, dan kau pikir aku tidak tau tabiatmu?" Myungsoo berdecih, "kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan semua tipuanmu? Kau salah Jo."

Jo hanya duduk dengan tenang, ia mengerti arah pembicaraan Myungsoo, tapi menolak untuk terkonfrontasi karena dengan terpancing, itu berarti ia mengakui keburukannya secara gamblang di hadapan Myungsoo.

"Jadi, kau mau katakan aku telah menipumu?"

"Brengsek! Bukan hanya menipu, kau juga memperbudakku dan sekarang aku sudah muak! Aku tidak akan menahan diri lagi, Jo." Myungsoo berteriak sebagai balasan membuat Jo menegang di kursinya.

"Kau pikir, aku tidak tau berapa jumlah bayaranku yang masuk ke rekeningmu selama ini kan? Tidak tau seberapa kecilnya jumlah yang kau berikan sebagai bayaranku ditambah potongan utang ibuku," Myungsoo tersenyum tipis, itu bukan sebuah senyuman yang baik karena siapapun yang melihat wajahnya saat ini, pasti akan merasa ketakutan, termasuk Jo.

"Kau pikir aku tidak menghitung utang ibuku? Utang yang seharusnya telah lunas bertahun-tahun lalu dengan bayaranku yang kau ambil. Kau tau aku tidak sebodoh itu, Jo."

Jo hanya diam ketika Myungsoo mengatakan semua yang dikiranya tidak diketahui olehnya. Selama ini ia memang mengira bahwa Myungsoo tidak tau apapun, bahwa kediaman dan kepatuhan pria itu selama bekerja di sini adalah karena ia tidak tau. Tapi ternyata...

"Aku menahan diri, karena kupikir aku perlu membalas budi padamu. Kau telah menampung ibuku, memberiku makan dan tempat tinggal, tapi sekarang," Myungsoo memundurkan tubuhnya, ia kembali berdiri dengan tegap, "aku merasa semuanya sudah berlebihan. Balasan yang kuberikan padamu sudah lebih dari cukup, jadi biarkan aku berhenti dan keluar dari tempat laknat ini."

Jo memijat pelipisnya, ini terlalu banyak. Myungsoo menyerangnya terlalu banyak pagi ini, dan ia bisa memastikan bahwa sepanjang hari ini kepalanya akan terus sakit.

"Myungsoo, kau tau aku tidak bisa."

"Ya, kau bisa Jo."

"Tidak, ketika hanya kau yang selalu menyelesaikan pekerjaanmu dengan hasil memuaskan." Jo kembali berbicara, kali ini ia menatap Myungsoo dengan permohonan, tidak ada lagi kilat merendahkan di sana, ia hanya berharap Myungsoo mau berubah pikiran.

"Tidak. Aku tetap pada keputusanku. Aku akan berhenti."

"Bagaimana jika aku tidak melepaskan kalian? Aku akan menahan ibumu di sini, agar kau tidak berhenti," ujar Jo, ini sebagai pilihan terakhirnya. Myungsoo tidak boleh berhenti.

"Kau tau, kau adalah pria paling pengecut, Jo?"

"Katakan aku pengecut, pecundang atau apapun. Kau tetap tidak ku bebaskan."

Myungsoo menggeram marah kali ini, "Jo, kuperingatkan kau," tatapannya terlihat berkilat membuat Jo menggeliat tidak nyaman di kursinya, "aku bukan bocah ingusan yang bisa kau bodohi lagi."

"Kau tidak bisa melakukan apapun Myungsoo," gumam Jo, apapun yang dimaksudkan di sini adalah tindak kekerasan. Ia tau Myungsoo tidak melakukan kekerasan karena larangan dari sang ibu, lagipula banyak bodyguard berbadan besar di depan pintu ruangan ini, jadi sekali saja gerakan beresiko ia bisa langsung memanggil mereka untuk masuk.

"Kau pikir aku tidak bisa? Ha, kau sangat lucu Jo," Myungsoo tertawa kejam, matanya menyipit tajam, "aku seorang sarjana. Sarjana Hukum, jika kau melupakannya," tuturnya dengan sombong, membuat Jo mengerjapkan mata.

"Aku bisa menuntutmu ke serikat ketenagakerjaan. Kau telah memperbudakku selama ini, memotong bayaranku lebih dari limapuluh persen, dan menahan ibuku di sini," Myungsoo berbicara dengan lambat dan penuh penekanan, agar Jo mendengar dan memahami dengan jelas maksudnya, "bagaimana? Tiga poin tuntutan seperti itu hanya akan membuatmu di penjara kurang lebih 15 tahun, dan denda kira-kira...hmm 500 juta won?"

Jo membeliak kaget, 500 juta won? Itu angka yang fantastis. Bagaimana bisa ia membayar denda sebanyak itu?

"Kau pasti bercanda Myungsoo. Lagipula tidak ada saksi."

"Kau paling tau, aku bukan orang yang suka bercanda, Jo." Myungsoo mengulum bibirnya datar, memperlihatkan betapa seriusnya ia sekarang, "ah--masalah saksi, aku tidak sebodoh perkiraanmu, Jo."

"Apa maksudmu?"

"Aku memiliki list klien yang kulayani selama sepuluh tahun, tanpa terlewat satu orangpun. Apa mereka sudah cukup untuk menjadi saksi?" Myungsoo menyeringai, melihat mimik wajah Jo ia sudah yakin bahwa dirinya menang kali ini. Jo tidak akan bisa mengelak lagi, pria itu terlalu menghindari yang namanya proses hukum yang membuatnya harus terlibat dengan urusan yang rumit.

"Myungsoo, please..."

"Pilihannya ada padamu, Jo. Lepaskan aku atau kita bertemu di pengadilan?"

Jo menghempaskan kepalanya, ia tidak pernah menyangka bahwa suatu hari Myungsoo akan datang untuk menentangnya. ia pikir pria itu akan selalu berada di pihaknya, tapi semua pemikirannya selama bertahun-tahun menguap hari ini.

"Baik, aku akan setuju, tapi tidak hari ini juga." Jo berucap pasrah, sementara Myungsoo mengerutkan keningnya bingung.

"Bulan depan ada sebuah konfrensi yang di adakan di kota ini. Akan ada banyak klien yang pasti datang untuk menyewa kalian, jadi tahan sampai bulan depan, bagaimana?"

Myungsoo berpikir sejenak, "aku setuju, tapi dengan dua persyaratan," ucapnya, Jo sudah terlihat lega namun, kemudian waspada untuk mendengarkan syarat yang akan diajukan, "aku akan menerima bayaranku full tanpa potongan dan hari ini aku dan ibuku akan keluar dari rumahmu."

Jo tersentak tidak terima, "tidak seperti itu. Kau tetap harus tinggal, selama sebulan akan banyak klien yang datang."

"Tidak Jo, kau mengatakan untuk bekerja bulan depan. Jadi aku menerima klien bulan depan untuk terakhir kali."

"Myungsoo..." Jo memohon, tapi Myungsoo bergeming, "kau bisa mengambil semua bayaranmu, akan dikirimkan langsung ke rekeningmu, tapi tetap tinggal di sini?"

Myungsoo menghela nafas panjang, "aku tidak akan tinggal di sini, tapi aku akan berkunjung jika ada klien yang datang."

Jo mendesah lega, ia langsung berdiri dan menghampiri Myungsoo, "kau bisa menghasilkan banyak uang dalam sebulan Myungsoo, jangan ragukan itu."

Myungsoo berdecak, menjauhkan Jo dari tubuhnya yang tiba-tiba bergelayut di lengannya seperti anak koala, "uangku sudah banyak. Aku tidak butuh uang."

Jo mengabaikan dan terus memeluk Myungsoo.

"Kau memang anakku yang terbaik."

Wajah Myungsoo mengeras, dengan sekali sentakan ia membua tubuh Jo terhempas darinya, untung pria itu tidak sampai terjatuh, hanya sekedar limbung saja.

"Aku bukan anakmu, brengsek!"

Jo hanya menghela nafas, melihat pintu ruangannya yang baru saja dibanting oleh Myungsoo. Sepertinya ia harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya selama satu bulan ke depan, mungkin mencari pengganti Myungsoo.

"Benar, sudah saatnya melepasmu, nak."

¤¤¤

"Bu, aku pulang!" Myungsoo berseru saat memasuki rumah, ia berjalan melewati ruang tengah dan dapur langsung menuju ke teras belakang, tempat di mana ibunya berada saat sore hari.

"Myungsoo, kau pulang nak?" Hyera tersenyum lembut menatap putranya, ia mengibaskan tangan memanggil putranya mendekat, "ibu masih memberi makan Haci, bagaimana hari ini?"

Myungsoo menunduk, mencium pipi ibunya sebelum ikut berjongkok menatap kelinci peliharaan ibunya yang sedang lahap memakan wortel.

"Jo setuju, kita bisa berkemas dan pindah dari sini."

Hyera menoleh padanya dengan pandangan berbinar, setelahnya ia sudah merasakan dekapan erat yang hangat serta isakan tangis dari ibunya.

"Bu, jangan menangis.."

"Myungsoo, terima kasih nak. Selama ini kau sudah mengorbankan diri untuk ibu, terima kasih." Myungsoo tersenyum, membalas pelukan ibunya dan memberikan ciuman di puncak kepala wanita itu.

"Apapun yang kulakukan tidak akan pernah bisa melunasi jasamu yang telah melahirkanku ke dunia, Bu."

"Tapi, ibu hanya menyusahkanmu, sejak kecil kau selalu bekerja demi ibu, kau..."

"Sstt," Myungsoo menekan lembut kepala Hyera di dadanya agar berhenti berceloteh, "aku mencintaimu. Bekerja demi membahagiakanmu adalah kewajibanku, jadi jangan mengatakan hal-hal omong kosong seperti itu lagi. Oke?"

Anggukan samar di dadanya membuat Myungsoo tersenyum, ia bahagia bersama ibunya. Jika diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu dan memilih hidupnya, ia tetap akan memilih hidup menjadi putra dari seorang Kim Hyera. Hanya wanita itu yang pantas menjadi ibunya, tidak satupun.

"Sudah, bersedihnya sudah ya. Sekarang kita berkemas. Aku akan membawa ibu ke rumah baru kita." Myungsoo melepaskan pelukannya, mengusap wajah Hyera dan tersenyum lebar.

"Rumah baru?" Mata Hyera membesar dengan bentuk yang lucu, ibunya sudah seperti seorang gadis yang baru saja mendengar lamaran kekasihnya. Ah, perumpamaan itu membuatnya teringat, ibunya tidak pernah mendapat lamaran dari sang kekasih.

"Tentu, kau akan terkejut. Sekarang ayo ke kamar," Myungsoo merasa moodnya berubah karena memikirkan masa lalu ibunya, ia tetap berusaha tersenyum saat menarik ibunya berdiri dan menggiring wanita itu untuk masuk ke dalam rumah.

"Setelah berkemas, kita akan pergi. Tapi tidak perlu terburu-buru, gunakan waktu ibu sebaik mungkin," ucapnya saat telah mengantarkan ibunya ke dalam kamar. Hyera tersenyum, sekali lagi memeluk Myungsoo dan memberikan ciuman di pipi.

"Terima kasih anakku, aku mencintaimu."

Myungsoo membalas dengan ciuman yang sama, "aku selalu mencintaimu, Bu."

¤¤¤

Myungsoo berbaring di atas di dalam kamarnya, ranjang yang sudah menemaninya selama hidup di dunia ini. Ia menatap langit-langit kamar yang menghitam karena lumut lalu tersenyum miris.

Selama puluhan tahun mereka tinggal di salah satu rumah kontrakan sederhana milik Jo, sebenarnya ini adalah tempat tinggal ibunya selama bekerja bersama Jo saat masa mudanya dulu. Tepat ketika memiliki Myungsoo, Hyera masih mempertahankan rumah ini dan memilih membesarkannya di sini.

Myungsoo besar dan tumbuh di lingkungan yang bisa dikatakan tidak baik sama sekali, ia tau pekerjaan ibunya dulu dan ia tidak menghakimi. Ia menghargai pilihan hidup ibunya, dan menghormati ibunya seperti ibu-ibu yang bekerja normal di luar sana. Ibunya adalah wanita hebat, tangguh dan mandiri. Tidak memerlukan orang lain ketika menyadari dirinya hamil dan memilih merawat putranya sendiri.

Ia bersyukur, dulu ibunya telah memilih keputusan yang benar dengan mempertahankannya. Sekarang, setelah lebih dari tigapuluh tahun ibunya mengabdikan diri hanya untuk dirinya seorang, ia bertekad akan mengeluarkan ibunya dari lubang kesengsaraan ini. Memberikan ibunya kemewahan yang tak pernah dicecap selama masa mudanya dulu karena sibuk bekerja, memberikan kebebasan untuk melakukan aktifitas ataupun hobi yang tidak pernah dilakukan katena sibuk mengurusnya.

Dan saat ini selangkah lagi menuju kebebasan itu. Ibunya layak mendapatkan kebahagiaan setelah merana selama puluhan tahun, dan ia sebagai seorang putra merasa wajib untuk mewujudkannya.

"Myungsoo, saatnya makan malam," suara Hyera terdengar bersamaan dengan kepala yang menyembul dari celah pintu, mereka memilih pergi dari rumah ini setelah makan malam. Myungsoo menoleh dan tersenyum.

"Oh yeah, aku sangat kepalaran," desahnya memelas membuat Hyera tertawa lalu meninggalkan kamarnya. Myungsoo tersenyum senang, lalu senyumannya di ganti dengan senyuman miris.

"Aku pastikan kau akan bahagia, Bu. Itu janjiku."

¤¤¤

To be continued...

Aku kasih note sedikit ya.

Pertama, ada sdikit perubahan di blurbnya, yg di bagian Myungsoo kerja di kota kecil, aku hapus itu ya, ternyata aku salah prediksi. Terus yg dibagian Myungsoo sdh kerja selama lima tahun, aku gnti jdi sepuluh tahun. Semoga gk ada yg bingung ya.

Kedua, aku sebenarnya punya target trsendiri untuk publish chapter selanjutnya, ini sudah aku mulai sejak penggarapan Et Dilectio kemarin, jdi sma seperti ED, yg ini aku publish stlh target itu tercapai. Jgn heran kalo aku update, kadang cpt kadang lama (sama kyak ED).
Gk ush tanya targetnya apa ya, ini lebih ke target untk diriku sndiri kok, kalian sdh mmbantu banyak. Aku kasih tau ke kalian, biar pada ngerti aja, kenapa aku selalu gk rutin update ato tiba" rajin update. Semua ada alasannya.

Jdi semoga tercapai dgn cpt...ingat, aku bicara bukan mengenai kuantitas, tapi selalu ttg kualitas 😊😊😊😊

Terakhir, di mulai deh tebak-tebakannya...Myungsoo kerja apaan? Udah itu aja 😂

Duh note ini jdi kepanjangan padhal niatnya pendek 😩😩😩

[28/08/2017]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top