👉 Chapter 9


Dengusan itu keluar dari mulut seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Sebab, dia melihat seorang pria paruh baya yang sedang membuka tirai jendela di kamarnya. Seseorang yang sampai detik ini masih dibencinya.

"Ah, kau sudah bangun, Sehunie?" ucap pria paruh baya itu saat melihat putri tersayangnya menatapnya dengan wajah datar.

Gadis itu tak menyahut. Lalu, dia memalingkan wajah dan beranjak turun dari ranjang. Kenapa Kai membiarkan Appa membawaku pulang semalam? Tsk, menyebalkan. Gadis itu membatin. Dia melangkah menuju kamar mandi. Kali ini, lebih baik pergi ke sekolah daripada berada di rumah.

***bad***

"Eoh, Sehun-ah!"

Sehun lantas menoleh saat Shin Young menyerukan namanya. Detik selanjutnya, dia mendengus. Gadis itu kemudian menatap datar ayah, ibu tirinya, serta Tao yang sedang sarapan di ruang makan.

"Kemarilah! Ayo kita makan bersama," lanjut Shin Young. Tentunya, sambil menampilkan senyum hangatnya.

Sehun dengan setengah hati berjalan menghampiri ketiganya. Dia sebenarnya sedikit heran, kenapa tiba-tiba saja ibu tirinya itu berbicara dengannya dengan nada lembut. Tidak seperti biasanya. Dia lalu duduk tepat di depan Shin Young atau di sebelah kiri Tao.

"Kau harus sarapan," ujar Shin Young sambil mengambilkan Sehun nasi. "Aku tidak mau kalau sampai putriku yang cantik ini jatuh pingsan di sekolah."

Sehun tersentak. Apa aku tidak salah dengar? batinnya. Ini betul-betul aneh. Ada banyak terkaan yang muncul di kepala Sehun. Apa Shin Young semalam mimpi didatangi ibunya? Apa Shin Young baru mendapat hidayah dari Tuhan? Apa Shin Young sudah bertobat? Dan, apa ayahnya yang membuat ibu tirinya itu jadi begitu terhadapnya?

Tak hanya Sehun saja yang tersentak, Tao pun juga demikian. Gadis itu kini menatap ke arah Sehun dingin. Tatapan yang penuh dengan rasa kebencian. Ya, Tao benci Sehun.

Sehun hanya memakan beberapa sendok nasi saja. Setelah itu, dia beranjak dari sana. "Terima kasih makanannya. Aku pergi," pamitnya. Dia belum terbiasa dengan keadaan yang seperti ini. Di mana, ayah dan ibu tirinya menjadi peduli dengannya.

"Tunggu Sehun-ah!"

Sehun menghentikan langkahnya saat mendengar suara Tuan Oh yang menginterupsinya.

"Appa akan mengantarmu dan Tao ke sekolah," lanjut Tuan Oh.

"Tidak perlu. Aku bisa berangkat sendiri," tolak Sehun, tanpa berbalik untuk melihat wajah Tuan Oh yang sedang menatap punggungnya. Dia lalu kembali melangkah pergi.

"Sehun-ah!" Tuan Oh mengejar putrinya itu. Ia ingin sekali menebus segala kesalahannya selama ini. Terlalu banyak hal buruk yang sudah ia lakukan terhadap putrinya itu.

Sehun tak menyahut. Sampai detik ini, rasa sakit yang disebabkan oleh Tuan Oh masih membekas di hatinya. Dia belum menemukan cara agar dia bisa memaafkan segala kesalahan ayahnya tersebut. Sehun sebenarnya mendengar seruan itu, namun dia sengaja tak menyahut. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ingin rasanya dia menangis saat mengingat kejadian semalam.

"Sehun-ah!"

Sehun akhirnya berhenti melangkah saat tangan kekar itu berhasil mencekal lengannya.

"Maafkan Appa. Appa mohon," lirih Tuan Oh.

Sehun menoleh. "Harusnya bukan denganku Appa meminta maaf. Tapi dengan eomma," ucapnya, lalu melepas paksa cekalan tangan ayahnya. Gadis itu kemudian melengos pergi dari sana, menginggalkan Tuan Oh yang menatap punggung putrinya itu sendu.

Ini bahkan lebih sakit daripada sakit yang kurasakan di jantungku.

***bad***

Rooftop sepertinya sudah menjadi tempat yang istimewa bagi Sehun. Karena, hampir setiap hari gadis itu berada di sana.

"Kai-ya, kenapa kau semalam membiarkan appa membawaku? Kau tahu, aku masih belum bisa menerima semua pengkhianatan yang dia lakukan ke eomma."

"Mianhae. Aku hanya tidak tega melihat appa-mu yang memohon dengan wajah sedih di hadapanku dan eomma. Mianhae, Sehun-ah."

"Ne."

Sehun menutup obrolannya dengan Kai di telepon secara sepihak. Dia tidak mau menyalahkan pemuda itu. Kai sudah banyak membantunya.

"Oh Sehun-ssi."

Seorang gadis berperawakan tinggi memanggilnya. Dia lantas menoleh ke belakang, dan langsung mendengus saat melihat gadis tersebut. Itu Huang Zi Tao, berjalan menghampiri Sehun dengan menampilkan ekspresi wajah dinginnya.

"Wae? Kenapa kau kemari?" tanya Sehun malas.

"Selamat, kau telah berhasil membuat eomma luluh padamu. Tsk, kau memang pandai mencari muka," ucap Tao.

Sehun mendesah. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan menatap ke arah Tao dingin. "Apa aku terlihat seperti itu? Tsk, maaf. Tapi aku lebih memilih untuk pergi ke klub malam daripada harus mencari muka di hadapan eomma-mu itu. Kurang kerjaan," balas Sehun, lalu melangkah pergi dari sana. Tak lupa untuk menabrak bahu Tao.

Mencari muka? Apa itu sesuatu hal yang bisa mengantarkanku pada kebahagiaan? Kalau iya, aku akan melakukannya.

***bad***

"Sehun-ssi!" panggil Chanyeol saat melihat Sehun tengah berjalan di koridor sekolah.

Belum ada setengah hari, terhitung sudah ada empat orang yang memanggil gadis itu. Yang pertama ada ibu tirinya saat mengajaknya sarapan tadi, yang kedua ada ayahnya, yang ketiga ada Tao, dan yang keempat ada Chanyeol.

Jangan kau panggil namaku, jika itu hanya untuk menyakitiku.

Sehun tak menyahut. Bukan berarti dia tak mendengar panggilan Chanyeol itu. Dia mendengarnya. Hanya saja, dia terlalu malas untuk meladeni pemuda itu.

"Sehun-ssi!"

Tsk, dia memang menyebalkan, Sehun membatin. Dia tidak mengerti, kenapa dia harus berurusan dengan Chanyeol. Ah, tidak. Chanyeol-lah yang mendekatinya. Bahkan, di hari pertama bertemu pun, dia sudah berurusan dengannya.

Grep!

Chanyeol berhasil meraih lengan Sehun. "Sehun-ssi!"

Sehun menepis tangan Chanyeol, tanpa menatap wajah pemuda itu. Mood-nya hari ini masih buruk. Dia ingin sendiri, tanpa adanya pengganggu. Gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya.

"Sehun-ssi!"

Namun, Chanyeol menahan lengannya lagi dan lagi. Yang membuat Sehun mendengus kesal. Tak tahukah Chanyeol sekarang, kalau banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka? Sehun tak suka itu. Ada saatnya hal seperti itu terjadi, tapi tidak untuk sekarang.

Sehun pun menoleh, menatap wajah Chanyeol kesal. Tidak bisakah dia menikmati kesendiriannya sekarang? Ya, meskipun tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Kenapa kau selalu mengikutiku?" tanya Sehun.

"Ekhm," Chanyeol berdeham. Dia lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Sehun. "Itu karena kau spesial. Tidak ada seorang pun yang boleh menyakitimu," ucapnya, dan mampu membuat Sehun membulatkan matanya.

Chanyeol tersenyum. "Bagaimana? Aku benar, kan?"

Sehun berdecak. "Tapi sayang, banyak yang tidak menyukaiku," ucapnya, lalu melangkah pergi.

"Yak, Sehun-ssi!" Chanyeol mengejar Sehun.

"Apa lagi?" kesal Sehun.

"Ikutlah denganku." Chanyeol meraih tangan Sehun, dan mengajaknya pergi dari sana. "Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Sepertinya kau sedang membutuhkan suatu hiburan."

"Apa?" Sehun tersentak. "Yak, Park Chanyeol-ssi! Kau akan membawaku ke mana, hah?"

Chanyeol membawa Sehun ke tempat mobilnya terparkir. Dan, menyuruh gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya.

Sehun ingin menolak, namun tidak bisa. Sebab, Chanyeol terus memaksanya.

"Ke mana kau akan membawaku pergi, hah?" tanya Sehun saat Chanyeol mulai melajukan mobilnya keluar dari area sekolah.

"Yang jelas, bukan ke klub malam yang sering kau datangi," jawab Chanyeol santai.

"Mwo?"

"Kau tahu, demi dirimu aku rela membolos."

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk membolos."

"Hatiku yang menyuruhnya."

Sehun terdiam. Chanyeol adalah seorang pemuda yang sangat aneh menurutnya. Terkadang, pemuda itu bisa membuatnya mendengus kesal, dan terkadang juga, pemuda itu bisa membuatnya terenyuh. "Terserah kau saja," ucap Sehun malas. Protes pun tak membuahkan hasil apa-apa sekarang. Dia sudah berada di dalam mobil ini. Terjebak bersama seorang pemuda yang baru dikenalnya, namun berlagak seperti sudah mengenalnya lama.

***bad***

"Ige mwoya? Kenapa kau membawaku ke tempat ini?" Sehun tak mengerti kenapa Chanyeol bisa membawanya ke tempat ini. Sebuah gereja yang terletak tidak begitu jauh dari sekolahnya. Gadis itu menatap Chanyeol penuh selidik.

"Ya ... ingin saja," jawab Chanyeol santai.

"Aku ingin pulang." Sehun mengayunkan kakinya, berniat untuk pergi dari sana, namun Chanyeol dengan sigap langsung menahan lengannya.

"Eits, kau tidak boleh pergi begitu saja. Aku tahu, kau pasti sangat jarang, ah, mungkin saja tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, kan?" terka Chanyeol.

Sehun terdiam. Terakhir kali dia pergi ke gereja adalah saat ibunya masih hidup dulu. Saat di mana segala kesedihan yang terjadi sekarang belum ada.

"Ayo, kita masuk," ajak Chanyeol kemudian sambil menarik lengan Sehun untuk masuk ke dalam gereja.

Apa dengan aku pergi ke tempat seperti ini aku akan hidup bahagia?

Chanyeol dan Sehun kemudian duduk di salah satu bangku yang ada di dalam gereja tersebut. "Aku tahu, pasti ada banyak beban dalam dirimu. Berdoalah kepada Tuhan, agar beban itu berkurang," ujar Chanyeol.

"Tidak usah sok tahu," balas Sehun.

"Aku tidak sok tahu. Melihat wajahmu saja, itu sudah kentara sekali kalau kau sedang punya masalah. Ayo, kita berdoa. Kau tahu caranya berdoa, kan?"

Sehun mendesah. "Aku bukan orang bodoh yang kerjaannya hanya mengganggu hidup orang lain saja. Tentu aku tahu," ujarnya tak terima.

"Baguslah kalau begitu." Chanyeol lalu menghadap ke depan dan mengepalkan kedua tangannya yang saling bertaut. Tak lupa pula untuk menutup kedua matanya.

Sehun menatap Chanyeol dalam diam. Gadis itu melihat pemuda di sebelahnya tersebut tampak serius berdoa kepada Tuhan.

Apa dia selalu tampak bahagia karena selalu berdoa kepada Tuhan? Kalau iya, maka aku akan melakukannya.

Sehun pun melakukan hal yang sama dengan apa yang Chanyeol lakukan. Berdoa kepada sang pencipta.

Tuhan ....
Mungkin aku adalah salah satu hamba-Mu yang mempunyai banyak kesalahan.
Apakah hidupku seperti ini karena takdir-Mu? Kalau iya, aku menerimanya.
Tuhan ....
Maafkanlah hamba-Mu ini yang kadang kala selalu melupakan-Mu.
Tuhan ....
Aku mohon, tempatkanlah eomma ke surga. Ia adalah sosok seorang ibu yang baik.

Chanyeol menyelesaikan doanya. Pemuda itu lalu melihat Sehun yang duduk di sebelahnya. Gadis itu menangis dengan kedua mata yang masih tertutup. Dia merasa iba melihatnya.

Tuhan ....
Terima kasih karena Engkau telah mengirimkan orang-orang baik di antara orang-orang yang tidak baik di sisiku.
Amin.

Sehun mengakhiri doanya. Dia lalu menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. Tak menyadari bahwa sedari tadi Chanyeol terus-terusan menatapnya.

"Hiks, eomma ... bogoshipeoyo ...," lirih Sehun.

Melihat Sehun yang menangis, hati Chanyeol pun tergerak untuk mencoba menenangkan gadis itu. Tangannya terulur ke punggung Sehun. "Semua orang yang ada di dunia ini pasti akan mati. Begitu pun kita. Tapi, kita tak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil kita."

"Semua orang juga tahu hal itu," sahut Sehun dengan suara yang bergetar.

"Ya, kau benar."

Bukannya tenang, Sehun malah semakin terisak.

"Kau kenapa? Kau merindukan eomma-mu?" tanya Chanyeol.

Sehun tak menjawabnya, dan semakin terisak.

Chanyeol pun dengan segera memeluk gadis itu. Menenangkannya. "Uljima ...."

Eomma mungkin akan sedih jika melihatku seperti ini. Tapi ... aku tidak bisa untuk tidak seperti ini. Eomma ... maafkan aku.

***bad***

Aku ingin melihat senyuman yang berasal dari bibirmu itu. Ya, walaupun hanya sedetik.

Sehun keluar dari dalam mobil Chanyeol tanpa sepatah kata pun. Gadis itu hanya menampilkan ekspresi wajah sendunya. Lalu, dia berdiri di depan rumahnya sembari menunggu Chanyeol pergi.

"Hei, Sehun-ssi. Apa kau tidak ingin menawariku untuk mampir ke rumahmu?" ujar Chanyeol sambil menyembulkan sedikit kepalanya keluar dari jendela kaca mobil.

"Tidak. Ini sudah sore," sahut Sehun datar.

"Ah ... begitu, ya. Baiklah, aku akan pulang. Keundae ... bisakah kau tersenyum kepadaku meskipun hanya sedetik saja?"

Bukannya menuruti keinginan Chanyeol, Sehun malah berdecak. "Yak, Park Chanyeol-ssi. Aku bukanlah seorang gadis yang dengan mudahnya menuruti segala keinginan seorang pria sepertimu. Dan, senyum tak bisa membuat kehidupanku menjadi seperti dahulu," tolaknya mentah-mentah.

"Aku tahu itu. Tapi, asal kau tahu, Sehun-ssi. Senyum memang tak bisa mengembalikan kenangan indah yang telah lalu, tetapi senyum mampu membuat orang lain yang melihatnya menjadi ikut tersenyum. Tanpa sadar, kau telah membagikan sebuah kebahagiaan kepada orang lain."

Benarkah seperti itu? Lalu, kenapa setiap kali dia tersenyum kepadaku, aku tidak bisa ikut tersenyum juga?

"Kau terlalu kebanyakan teori, Park Chanyeol-ssi." Sehun kemudian mulai melangkah pergi. "Terima kasih atas tumpangannya," ucapnya sebelum benar-benar pergi.

"Ya, sama-sama." Chanyeol tersenyum simpul melihat punggung Sehun yang mulai menghilang di balik pintu gerbang. "Gadis yang unik," gumamnya, lalu menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya untuk pergi dari sana.

Sehun berjalan dengan santai menuju kamarnya. Seperti biasa, rumah selalu sepi. Gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis. Ini berkat Chanyeol. Karena pemuda itu, dia sadar bahwa tak ada untungnya terlalu larut dalam kesedihan. Dan, selalu mengingat Tuhan adalah yang utama.

Ceklek

"Appa?"

Sehun terkejut begitu membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, dia melihat Tuan Oh yang sedang duduk di atas ranjangnya dengan kepala yang tertunduk. "Apa yang Appa lakukan di kamarku?"

Tuan Oh mendongak, dan menatap Sehun sendu. "Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa, Sehun-ah?"

"M-maksud Appa?" Sehun tak mengerti dengan maksud pertanyaan ayahnya itu.

"Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa kalau kau sakit, Sehun-ah?"

"Ne?"

.

.

.

Tbc ....

Yohooo! I'm coming!
Ada yang kangen sama nih ff, gk? #kagak
Efek terlalu lama nggak update.

😁😁😁

Seperti biasa, silakan dikritik sepuasnya. Saya sangat menerima segala macam bentuk kritik apa pun. Demi berkembangnya ff ini.
Oh, ya, kalau ada alur yang nggak logis, please tell me (sok Inggris)

Jangan lupa voment...

감사합니다...

27 Januari 2018

Happy birthday buat my konco yang saat ini sedang berada  di rumahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top