👉 Chapter 6
.....
Pluk
Buku novel itu Sehun jatuhkan ke atas meja, tepat di hadapan wanita penjaga perpustakaan itu. “Seperti yang kau bilang. Hari ini aku mengembalikannya. Tepat waktu,” ujar Sehun dengan wajah datarnya.
Wanita penjaga perpustakaan itu pun mengambil novelnya. “Kau sudah selesai membacanya?” tanyanya pada Sehun.
“Belum,” jawab Sehun singkat.
“Kenapa kau tidak menyelesaikannya? Kau bisa meminjamnya lagi kalau kau mau.”
Sehun menggeleng. “Aku terlalu malas untuk melakukan hal itu,” katanya, lalu melangkah pergi dari sana.
***bad***
Setelah dari perpustakaan, Sehun pergi ke rooftop, tempat biasa ia menenangkan diri. Ini masih jam istirahat, dan rencananya nanti, ia ingin membolos lagi. Pelajaran selain Matematika membuatnya malas untuk ikut belajar di kelasnya.
Namun, Sehun menghentikan langkahnya saat baru sampai di dekat ruang guru. Di sana, ia melihat seorang pria paruh baya baru saja keluar dari ruang guru. Pria paruh baya itu adalah Oh Sae Jong, ayah Sehun.
Kening Sehun berkerut. “Apa yang appa lakukan di sini?” gumamnya. Satu hal yang ia tahu alasan ayahnya bisa datang ke sekolah, yaitu karena perbuatannya yang suka membolos.
“Sehun-ah!” Tuan Oh memanggil putrinya tersebut saat melihat gadis itu hanya berdiri mematung tak jauh darinya.
Merasa dipanggil, Sehun pun datang menghampiri ayahnya itu. “Apa yang Appa lakukan di sini?” tanya Sehun.
“Bisa Appa bicara sebentar denganmu?” pinta Tuan Oh.
Seluruh pasang mata yang kebetulan lewat di sana pun pada melihat ke arah ayah dan anak tersebut. Ini adalah hal yang langka. Tidak biasanya Tuan Oh berbicara dengan Sehun saat berada di sekolah. Biasanya, beliau akan langsung pulang tanpa mencari atau berbicara dengan putrinya tersebut.
Sehun mengangguk.
“Ikut Appa sekarang,” perintah Tuan Oh, lalu melangkah pergi menuju tempat mobilnya terparkir, diikuti oleh Sehun di belakangnya.
Begitu sampai di tempat parkir, bukan tatapan sayang ataupun tatapan lembut seorang ayah kepada anaknya yang di dapat oleh Sehun, melainkan tatapan marah serta dingin. “Kenapa Appa mengajakku kemari?” tanyanya. Gadis itu balas menatap ayahnya dingin.
“Sampai kapan kau akan seperti itu terus? Kapan kau akan berubah, Sehun-ah?” tanya Tuan Oh.
“Maksud Appa?” Sehun tak mengerti akan pertanyaan ayahnya tersebut.
Tuan Oh menghela napas berat. “Appa sudah tua. Seharusnya kau menjadi anak yang lebih baik. Membuat Appa bangga misalnya.”
Sehun yang mendengarnya mendengus. “Membuat Appa bangga? Hh, apa selama ini Appa sudah membuatku bangga?” balasnya berani.
“Sehun-ah!” Tuan Oh meninggikan volume suaranya. “Appa tahu apa saja yang kau lakukan selama ini. Setiap hari kau membolos. Dan Appa juga tahu, kalau kau semalam pergi ke bar.”
Sehun terkesiap. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya akan tahu ke mana ia pergi semalam. Namun, detik berikutnya, ekspresi wajahnya kembali seperti semula, datar dan dingin. “Dari mana Appa tahu? Apa Appa menyuruh seseorang lagi untuk memata-mataiku?!” terkanya.
“Ya. Appa melakukan itu,” jawab Tuan Oh.
Sehun mendesah. Ia tak menyangka bahwa ayahnya akan melakukan hal itu lagi. Sebegitu sayangnya 'kah ayahnya, sampai-sampai menyuruh orang lain untuk mengawasinya? Pasti Sehun akan menjawab tidak, karena jika memang ayah benar-benar menyayanginya, tentunya beliau sendirilah yang akan turun tangan untuk mengawasi putrinya tersebut.
“Percuma Appa melakukan itu padaku,” ucap Sehun. “Karena aku, tak mungkin akan berubah.”
Plak!
Tamparan keras pun mendarat tapat di permukaan pipi Sehun. Tuan Oh lah yang melakukannya. “Kenapa kau jadi tidak sopan pada appa-mu, hah?!” Tuan Oh mulai menunjukkan amarahnya.
“Waeyo? Apa Appa marah?” Sehun tertawa miris. Ia sama sekali tidak memiliki rasa takut terhadap ayahnya. Rasa sakit akibat tamparan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit waktu kehilangan sosok ibu dalam hidupnya.
“Ne! Appa marah!” teriak Tuan Oh, tak memedulikan beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. “Kau berubah, Sehun-ah.” Nada bicaranya mulai lirih.
“Berubah?” Sehun lalu mendengus. “Bukannya selama ini Appa yang berubah, eoh?!” balasnya.
“Mwo?”
“Semenjak eomma meninggal, apa Appa pernah memperhatikanku? Apa Appa pernah bertanya tentang keadaanku? Bagaimana sekolahku? Apa aku makan dengan teratur? Apa aku baik-baik saja? Tidak, kan!” Sehun mulai terisak. “Appa tak pernah mengerti. Aku benci Appa!” Ia kemudian berbalik dan berlari pergi dari sana.
“Sehun-ah!” seru Tuan Oh, sama sekali tak ada niatan untuk mengejar langkah Sehun yang mulai menjauh.
Tak jauh dari sana, ada dua pasang mata yang berada di tempat berbeda diam-diam menguping pembicaraan ayah dan anak tadi. Yang satunya tampak menyeringai penuh kemenangan, sedangkan satunya lagi tampak iba saat melihat Sehun yang menangis.
***bad***
Sehun menangis tersedu-sedu sambil duduk di balik tembok yang ada di rooftop sekolah. Ini adalah tempat yang menurutnya paling pas untuk menyendiri. Tidak akan ada yang datang ke tempat ini, kecuali dirinya dan seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya saja.
Sehun tak mengerti kenapa ia bisa menangis sampai seperti ini hanya karena berdebat dengan ayahnya. Tidak biasanya ia akan seperti ini. Sudah lama rasanya ia tidak berbicara panjang lebar dengan ayahnya setelah ibunya meninggal. Dadanya terasa sesak jika mengingat perubahan ayahnya sekarang. Tak pernah lagi memberikan kasih sayang untuknya, yang ada hanyalah teguran.
Sehun lelah. Selama ini, ia selalu memendam unek-unek tentang ayahnya seorang diri. Dan sekarang, sedikit demi sedikit sudah mulai ia keluarkan.
Sepasang kaki seorang pemuda tinggi itu tampak berjalan mendekati Sehun. Di tangannya terdapat sebuah sapu tangan berwarna putih hitam. Ia lalu berjongkok di sebelah Sehun. Lalu, ia mengulurkan sapu tangan tersebut ke hadapan Sehun, menyuruh gadis itu agar menghapus air matanya.
Sehun menoleh, dan ia langsung memalingkan wajahnya serta buru-buru menghapus lelehan air mata di permukaan pipinya. Sedikit malu, karena pertahanannya selama ini untuk pura-pura kuat harus runtuh hanya karena adu mulut dengan ayahnya. “Kenapa kau ke sini?” tanyanya, mencoba menetralkan nada bicaranya agar tak bergetar.
“Bertemu denganmu. Sepertinya kau sedang membutuhkan bahu seorang untuk bersandar,” jawab pemuda itu, Chanyeol.
“Ani,” elak Sehun. Namun, air mata kembali mengalir di permukaan pipinya. Itu tidak bisa menutupi kebohongannya.
Chanyeol yang melihatnya langsung menghapus air mata tersebut dengan sapu tangan miliknya. Sungguh, dia paling tidak tega jika melihat ada seorang gadis yang menangis di hadapannya. “Uljimayo ...,” katanya pelan. “Menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu.”
Bukannya berhenti menangis, Sehun malah semakin terisak. Dan itu, membuat Chanyeol langsung memeluk gadis itu. Membiarkannya menangis di permukaan dada bidangnya. “Baiklah. Kalau begitu, menangislah ... jika itu bisa membuatmu tenang.”
Beberapa menit kemudian ....
Sehun akhirnya melepaskan pelukannya saat ia sudah mulai merasa tenang. Dihapusnya jejak-jejak air mata yang masih tersisa di pipinya dengan sapu tangan milik Chanyeol tadi. Gadis itu kemudian menghela napas panjang. Lalu, ia menatap Chanyeol sambil menyunggingkan senyum tipis.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya Chanyeol.
“Ne. Terima kasih,” jawab Sehun.
Chanyeol tersenyum. “Sama-sama,” balasnya.
***bad***
Jam baru menunjukkan pukul 15.12 waktu setempat. Namun, Sehun sudah pulang dari sekolahnya. Mood yang kurang begitu baik pasca berdebat dengan ayahnya tadi, tidak memungkinkan ia untuk mengikuti pelajaran sampai habis. Ya, meskipun dalam mood baik pun, gadis itu akan tetap membolos juga.
Sehun berjalan memasuki rumahnya dengan wajah datar. Terlalu malas rasanya untuk sekadar mengucap 'permisi' atau pun yang lainnya. Tidak akan ada yang menyahut juga.
“Nanti buat makan malam, kau mau memasak apa?”
“Emm, bagaimana kalau kita makan di restoran saja?”
“Boleh. Itu ide yang bagus.”
“Kau tidak masalah, 'kan?”
“Tentu saja tidak. Sekalian, kita jalan-jalan.”
Sehun mendesah saat melihat ayah dan ibu tirinya sedang duduk berdua di sofa ruang keluarga. Mereka bahkan sama sekali tak melihat kedatangannya. Terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Gadis itu tersenyum miris dan kemudian berlalu pergi menuju kamarnya.
Sehun menaruh tasnya asal. Ia lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Entah kenapa ia teringat saat di rooftop tadi. Mengingatnya, ia merasa malu sendiri. Kalau biasanya ia akan menangis di hadapan Kai, namun tadi sangatlah berbeda. Ia menangis di depan Chanyeol, murid baru di kelasnya yang akhir-akhir ini mulai dekat dengannya. Bahkan, Chanyeol-lah tadi yang rela absennya tertulis bolos demi mengantarnya pulang.
“Park Chanyeol? Yak, kenapa aku jadi memikirkannya? Ishh,” desisnya.
***bad***
Hari sudah semakin malam, namun Sehun belum ada niatan untuk beranjak dari atas tempat tidur. Ia masih betah dengan posisi berbaringnya di sana.
Ceklek
Gadis itu menoleh saat mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Dan ia langsung mendengus saat dilihatnya Tao, berjalan menghampirinya dengan wajah angkuh. Sudah menjadi kebiasaan Tao, apabila masuk ke kamar Sehun, gadis itu langsung masuk saja, tanpa permisi atau pun mengetuk pintu terlebih dahulu.
Sehun pun langsung bangkit dari kegiatan tidurannya. “Kenapa kau kemari?” tanyanya pada Tao dingin.
“Appa menyuruhku untuk memanggilmu. Mereka mengajak kita pergi makan malam di restoran,” jawab Tao tak kalah dinginnya.
Sehun yang mendengarnya mendesah. Apa dia sedang bermimpi? Bukannya ayahnya tadi marah padanya? Kenapa sekarang jadi bersikap baik padanya?
“Aku tidak tertarik.” Tapi sayang, Sehun terlalu malas jika hanya untuk pergi makan malam dengan keluarganya. Apalagi bersama Tao dan ibu tirinya itu. “Aku sedang tidak nafsu untuk makan di luar,” lanjutnya. Apalagi kalau itu denganmu.
“Ya sudah.” Tao lalu berbalik, dan beranjak pergi dari hadapan Sehun. Namun, baru beberapa langkah, gadis itu berbalik, menghadap ke arah Sehun yang masih berada di posisinya tadi. “Oh ya, aku mau meminta satu hal padamu,” ucapnya.
“Mwo?” sahut Sehun.
“Kau ... jauhi Park Chanyeol.”
“Mwo?!” Sehun terkesiap. Entah apa maksud dari ucapan Tao tersebut, ia tak mengerti. Menjauhi Chanyeol? Bukankah selama ini Chanyeol yang selalu mendekatinya?
“Aku menyukainya,” lanjut Tao. Dan itu, membuat Sehun langsung membulatkan matanya tak percaya.
“K-kau menyukai Park Chanyeol?” Sehun lalu mendesah. Kemudian, gadis itu menyeringai. Jadi selama ini, Tao memperhatikannya. Saudara tirinya tersebut mungkin saja cemburu karena melihatnya yang dekat dengan Chanyeol.
“Ne! Aku menyukainya. Jadi, menjauhlah darinya.”
“Bukankah kau masih menyukai Wu Yifan? Kenapa kau cepat sekali mengubah perasaanmu?”
“Kenapa? Apa aku salah jika menyukai Park Chanyeol?”
“Aniya. Tentu saja tidak. Tapi ... sepertinya aku tidak bisa menjauh darinya. Dia yang terus saja mendekatiku. Dan aku, tidak bisa menghindarinya. Dia seperti memiliki daya tarik magnet yang kuat, sehingga aku tidak bisa untuk tidak ikut tertarik ke dekapannya.” Sehun sengaja memanas-manasi Tao. Sepertinya kali ini akan jauh lebih menarik dibandingkan dengan foto dia dan Yifan beberapa hari yang lalu.
“Sehun-ssi!” Tao mulai meninggikan suaranya. Wajahnya mulai memerah karena menahan amarah yang sebentar lagi siap untuk meledak.
“Waeyo? Apa kau marah?” Sehun berjalan mendekati Tao. Tangannya terlipat di depan dada. Sekali-kali bersikap angkuh di hadapan saudara tirinya itu tak masalah, 'kan?
“Ne! Aku marah, Sehun-ssi!”
“Sebelum kau marah, ah kau sudah marah, ya, ternyata. Aku hanya ingin bilang, kalau Chanyeol bahkan sudah pernah memelukku. Kau tahu, pelukannya sangat nyaman. Um ... mungkin saja tak lama lagi dia akan menciumku, atau bahkan ... menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Who knows?”
“Oh Sehun-ssi!” Tao maju perlahan. Dan itu membuat Sehun mau tak mau harus berjalan mundur. “Aku, sangat-sangat membencimu.” Gadis itu lalu mengulurkan kedua tangannya untuk mencoba mencekik leher Sehun.
“Aku membencimu, Sehun-ssi! Kenapa kau selalu membuat hidupku tak tenang?!”
Sehun dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan tangan Tao dari lehernya. Ia tidak mau mati konyol di tangan Tao. Ya, meskipun selama ini ia sangat ingin cepat-cepat mati.
“Kau tahu, selama ini aku selalu menahannya. Kenapa selalu kau, hah? Kenapa bukan aku?!”
Sehun merasakan napasnya yang mulai tercekat. Ia tahu kalau Tao memang lebih kuat darinya. Namun, kali ini ia tidak boleh lengah sedikit pun. Ke mana ayah dan ibu tirinya? Kenapa mereka tidak datang kemari untuk melerai kedua anaknya itu? Mungkin mereka tidak mendengarnya.
“Harusnya kau yang iri padaku! Bukan malah aku yang iri padamu! Bukankah kau lebih buruk dariku, hah?!”
“Ya! Aku memang lebih buruk darimu!” Akhirnya, Sehun berhasil melepaskan tangan Tao dari lehernya.
Bugh!
Dan tak lupa pula membalas perbuatan yang dilakukan oleh gadis di hadapannya tersebut dengan sebuah tinjuan yang mendarat tepat di pipi sebelah kiri Tao.
“Akh!” Tao merintih. Tinjuan Sehun ternyata cukup kuat untuk sekadar membuat ujung bibirnya berdarah.
Sehun menyeringai. Ada perasaan bangga tersendiri saat dia berhasil lepas dari cekikan tangan Tao dan juga berhasil meninju pipi saudara tirinya tersebut. “Bagaimana, hah? Apa itu sakit?”
“Neo ....” Mata Tao mulai berkaca-kaca. Sedari tadi dia terus memegangi permukaan pipinya yang masih terasa nyut-nyutan. Dan mungkin saja besok akan kelihatan bengkak.
“Kenapa? Kau mau lagi?” Sehun memegangi tangannya yang tadi dia gunakan untuk meninju Tao. Lalu, gadis itu mendengus. “Padahal, kekuatanku tadi belum sepenuhnya kukeluarkan. Apa kau mau lagi? Mumpung aku masih dalam mood yang buruk. Mood buruk sangat serasi dengan tingkah laku yang buruk, 'kan?”
Sehun kemudian berjalan mendekati Tao. Malam ini, entah kenapa ia sangat ingin melampiaskan segala amarahnya pada Tao. Tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang akan terjadi setelahnya.
Tao tetap pada posisinya dengan air mata yang sudah mengalir di permukaan pipinya. Berat rasanya untuk sekadar beranjak pergi dari ruangan tersebut. Karena sepertinya sudah terlambat. Sehun sudah bersiap untuk meninju wajah Tao. Gadis bersurai abu-abu itu mulai mengangkat tangannya. Namun ...
“Oh Sehun-ssi!” Tuan Oh datang bersama dengan istrinya ke kamar itu. Sehun dengan berat hati menurunkan tangannya. “Apa yang kau lakukan, hah?!”
Sehun bergeming, sedangkan Tao masih tetap memegangi pipinya sambil terisak. Sehun menghela napas berat. Tak lama lagi, ia pasti akan dimarahi lagi oleh ayahnya.
“Tao-ya, kau tak apa-apa?” tanya Choi Shin Young dengan ekspresi wajah khawatirnya melihat Tao yang masih terisak. “Astaga! Pipimu!”
“Eomma ... Sehun hiks meninju wajahku,” ucap Tao.
“Apa?!” Shin Young terkesiap. Wanita paruh baya itu kemudian beralih menatap Sehun sinis.
Sehun yang merasa ditatap seperti itu langsung memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain, tepatnya ke arah jendela.
“Shin Young-ah, bisa kau bawa Tao keluar dari sini? Aku ingin berbicara empat mata dengan Sehun,” perintah Tuan Oh pada istrinya. Shin Young menurut. Ia membawa Tao pergi dari ruangan itu.
Kini, tinggallah Sehun hanya berdua saja dengan ayahnya. Mata teduh pria paruh baya itu kini berubah tajam. Hanya Sehun lah yang mampu membuatnya seperti itu.
Plak!
Dan tak membutuhkan kata-kata yang panjang untuk diucapkan, Tuan Oh langsung saja menampar permukaan pipi Sehun. “Tak bisakah kau membuat appa tersenyum sekali saja, hah?! Kenapa kau selalu saja berbuat ulah?”
Sehun memegangi pipinya sembari tersenyum miris. Dalam satu hari ini, sudah dua kali ia kena tampar dari ayahnya. Padahal, tidak semuanya adalah kesalahannya.
“Kenapa kau hanya diam saja, Sehun-ah?”
“Kenapa? Apa dengan aku berbicara Appa akan berada di pihakku? Tidak, 'kan! Apa selalu saja menyalahkanku, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa ini sosok appa-ku yang dulu?!”
“Sehun-ah!” bentak Tuan Oh.
Namun, hal itu tidak membuat Sehun diam saja. “Benar, 'kan?” Gadis itu mulai terisak.
“Sehun-ah, Appa–”
“Kenapa? Itu benar, 'kan? Selama ini, aku selalu merasa kesepian. Apa Appa tahu itu? Tidak, 'kan! Selama ini Appa selalu sibuk dengan pekerjaan Appa, sampai-sampai melupakan kewajiban Appa sebagai seorang ayah. Bahkan, saat eomma meninggal, apa Appa ada di sisinya? Tidak, 'kan! Appa lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga.”
Tuan Oh terdiam. Merasa bersalah. Semua yang diucapkan oleh Sehun adalah benar adanya. Selama ini, ia hanya mementingkan pekerjaan.
“Aku bahkan bingung, kenapa Appa bisa memperbolehkan Tao untuk tinggal di rumah ini. Padahal, jelas-jelas dia hanyalah anak dari mantan istri Appa. Apa jangan-jangan, Tao adalah anak kandung Appa? Katakan, Appa?!”
Tuan Oh masih terdiam.
“Kenapa Appa hanya diam saja, hah?! Apa yang aku katakan itu benar? Jawab, Appa!” teriak Sehun.
“Ne. Itu benar, Sehun-ah. Tao adalah anak kandung Appa.” Akhirnya, Tuan Oh bersuara.
“Mwo?” Sehun tertegun. “T-tao anak kandung Appa? J-jadi ... itu benar?” Ia lalu mendesah.
“Maafkan Appa, Sehun-ah. Appa salah.”
“J-jadi, Appa dulu berselingkuh dari eomma?” Sehun tertawa miris. “Appa jahat. APPA JAHAT!”
Tuan Oh berlutut di hadapan Sehun. “Maafkan Appa, Sehun-ah. Appa sungguh minta maaf. Appa menyesal,” sesalnya.
“Kenapa baru sekarang Appa meminta maaf?! Kenapa tidak dari dulu sebelum eomma meninggal?!”
“Appa–”
“Aku benci Appa,” potong Sehun, lalu melangkah pergi dari sana. Terlalu sakit rasanya mengetahui fakta bahwa ternyata saudara tirinya itu adalah anak kandung ayahnya sendiri. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika tahu bahwa ayahnya pernah berselingkuh dari ibunya. Siapa pun pasti akan sakit hati jika mengalami hal itu.
***bad***
Sehun menatap air sungai Han yang tenang dalam diam. Air mata masih mengalir di permukaan pipinya. Gemerlap cahaya yang berasal dari gedung pencakar langit pun juga ikut menemani keterdiamannya di sini. Ia sendiri.
Terkadang, alasan yang masuk akal pun tak luput dari kebohongan.
“Apa eomma dulu tahu tentang kelakuan appa? Kalau iya, eomma adalah wanita paling kuat di dunia ini,” ucap Sehun lirih. “Eomma ... appa jahat. Aku benci appa.”
Sehun kemudian menghela napas berat. Sekarang, tak ada gunanya lagi marah-marah sama ayahnya. Semuanya sudah terlanjur terjadi, walaupun telah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu. Namun, rasa sakit itu mungkin tak akan bisa sembuh, bagaimana pun Sehun mengobatinya.
Sehun memegangi dada kirinya. Ada rasa sakit di sana, walaupun tidak sesakit biasanya.
Pluk
Sebotol minuman kaleng tiba-tiba saja mendarat di pangkuan Sehun. Sontak saja gadis itu terkejut dan langsung mendongak, siapa kira-kira pelaku utamanya.
“Kau menangis lagi?” ujar sang pelaku, lalu mendudukkan diri di samping Sehun.
Sehun mendengus saat melihat sang pelaku tersebut yang ternyata adalah seorang pemuda yang dikenalnya. Ia lantas langsung menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kemudian.
“Memangnya kenapa? Tidak boleh, kalau aku berada di sini?”
Sehun menggeleng. “Aniya, bukan seperti itu. Hanya saja ...,” gadis itu menggantung kalimatnya.
“Ini tempat umum, Sehun-ssi. Siapa pun berhak datang ke sini. Selama kita tidak menimbulkan masalah,” ujar pemuda itu. Lalu, ia menatap Sehun sambil tersenyum. “Bukankah seperti itu, Sehun-ssi?”
“Ya, kau benar. Siapa pun berhak datang ke tempat ini. Termasuk orang yang buruk sepertiku,” ucap Sehun menyetujui.
Pemuda itu menghela napas panjang. Lalu, ia berkata, “Kau terus saja mengatakan bahwa kau itu orang yang buruk. Seakan-akan, kata buruk itu sudah menjadi bagian dari hidupmu. Tidak adakah kata lain selain buruk yang bisa menggambarkan dirimu?”
“Entah.”
“Bagaimana kalau cantik saja? Bukankah itu terdengar jauh lebih baik?”
Sehun yang mendengarnya berdecak. “Park Chanyeol-ssi! Kau tahu, itu terlalu mainstream. Dan juga ... semua wanita ingin disebut cantik.”
“Kau juga, 'kan?”
“Tidak. Apa untungnya dipanggil cantik kalau tingkah laku saja masih buruk.”
Pemuda yang ternyata adalah Chanyeol itu berdeham. “Ya, kau benar.”
“Kau tahu, apa yang paling menyakitkan di dunia ini?” Sehun bertanya kepada Chanyeol.
“Gagal ... menikah,” jawab Chanyeol. Sehun yang mendengarnya tertawa miris. “Kenapa? Aku benar, 'kan?” tanya Chanyeol kemudian.
“Ya. Pendapat setiap orang berbeda-beda. Itu pendapatmu,” jawab Sehun.
“Kalau pendapatmu bagaimana?”
“Yang paling menyakitkan di dunia ini ... adalah pengkhianatan.”
“Apa?!” Chanyeol tak mengerti dengan maksud jawaban Sehun itu. Pengkhianatan? Siapa yang berkhianat?
“Itu adalah hal yang paling menyakitkan.”
“Kalau boleh tahu, siapa yang berkhianat?” tanya Chanyeol ingin tahu.
“Apa itu penting bagimu?” tanya Sehun balik.
Chanyeol menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya ... tidak, sih. Tapi, setidaknya rasa penasaranku bisa berkurang.”
“Kau tidak perlu tahu. Tidak penting. Dan itu sudah berlalu.” Ya, tidak penting. Namun, rasa sakitnya sulit untuk sembuh.
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku tidak akan memaksa.” Chanyeol lalu merogoh ponsel di saku celananya, sekadar untuk melihat jam yang tertera di sana. “Sudah malam. Kau tak ingin pulang? Mau kuantar?” tawar Chanyeol.
Sehun menggeleng. “Untuk apa aku pulang? Tidak ada gunanya.”
“Berarti, kau tidak ingin pulang? Kau mau tidur di sini?”
“Tidak.” Sehun lalu bangkit dari duduknya. “Bisa kau antar aku ke rumahnya Kai?”
“Ya?”
“Aku akan menginap di sana. Kalau kau tidak mau, tolong pinjamkan aku uangmu untuk naik bus.”
Chanyeol ikut berdiri. “Jadi, kau akan menginap di rumahnya Kai?”
“Ne.”
“Tidak boleh!”
“Kenapa?”
“Kau tahu 'kan, Kai itu seperti apa. Aku khawatir kalau dia akan berbuat macam-macam padamu.”
Sehun mendesah. “Aku sudah mengenal Kai cukup lama. Dan kau tahu Chanyeol-ssi, Kai tidak tinggal sendiri. Tapi, dia tinggal bersama dengan appa dan eomma-nya.”
“Benarkah? Maaf, aku baru tahu.”
“Makanya, sebelum berbicara, berpikirlah terlebih dahulu.”
“Iya, iya. Maaf,” sesal Chanyeol.
Sehun kemudian melangkah pergi dari sana, diikuti oleh Chanyeol di belakangnya.
***bad***
Sehun dan Chanyeol kini berada di depan pintu gerbang rumah Kai. Di dalam sana tampak sepi. Sehun kemudian memencet bel yang ada di sisi kolom gerbang tersebut. Namun, tak kunjung ada yang membukakannya. Gadis itu pun mencoba memencetnya sekali lagi, namun hasilnya tetap nihil.
“Sepertinya di dalam sana tidak ada orang,” ujar Chanyeol yang sedari tadi hanya memperhatikan Sehun memencet bel.
Sehun menghela napas pendek. Bingung. Kalau Kai tidak ada, lantas dia akan menginap di mana? Sauna? Oh, dia tidak suka tempat seperti itu. Hotel? Ingat, dia tidak membawa uang sepeser pun. Gadis itu kemudian menatap ke arah Chanyeol. “Chanyeol-ssi,” panggilnya.
“Ya?”
“Bisa kau hubungi Kai? Aku ingin tahu, di mana dia sekarang.”
“Ne.” Chanyeol menurut. Ia lalu merogoh ponselnya yang ada di saku celana, dan menghubungi nomor ponsel Kai.
“Halo!” sahut Kai dari seberang telepon.
“Yak, Kai-ya! Kau di mana sekarang?” tanya Chanyeol.
“Ah, aku di Busan sekarang. Mengunjungi kakek dan nenekku. Waeyo?”
“Ng ... anu.” Chanyeol lalu menatap Sehun, kemudian ia memberikan ponselnya kepada gadis itu. Namun, Sehun menolaknya sambil menggelengkan kepala. “Aniya. Tidak kenapa-napa. Aku hanya ingin bertanya saja,” ucap Chanyeol kemudian.
“Oh.”
“Ya sudah kalau begitu. Titip salam buat harabeoji dan halmeoni di sana.”
“Ne. Annyeong!”
Chanyeol lalu mengakhiri panggilannya. Pemuda itu kemudian menatap Sehun yang kelihatan sedang gelisah. “Kau ... tidak apa-apa, Sehun-ssi?” tanyanya.
“Ah, aniya,” jawab Sehun sedikit terkejut.
“Ng ... lalu, kau mau tidur di mana?” tanya Chanyeol.
“Entahlah ... aku tidak tahu. Yang jelas, aku sedang tidak ingin pulang ke rumah,” jawab Sehun sendu. Tapi, bukan Sehun namanya jika tidak memiliki ide di saat keadaan seperti ini. “Chanyeol-ssi, boleh aku pinjam uangmu? Aku akan menginap di hotel saja.”
Chanyeol mengernyit. Hotel? Kenapa harus hotel? Bukannya Chanyeol tak membawa uang dan tak ingin meminjamkan uangnya, dia hanya heran saja, kenapa Sehun harus menginap di hotel saat masih ada dirinya?
“Kau tidak keberatan, 'kan?” tanya Sehun.
Chanyeol tidak langsung menjawab. Pemuda itu malah menarik tangan Sehun dan mengajaknya memasuki mobil.
.
“Kita mau ke mana?” tanya Sehun begitu mobil mulai melaju meninggalkan jalanan menuju rumah Kai. “Apa ke hotel?”
Chanyeol tersenyum. Lalu, ia berkata, “Ya, tentu saja.”
Sehun tersenyum lega. Akhirnya, dia tidak bingung lagi akan menginap di mana.
***bad***
Sehun mengernyitkan dahinya bingung saat ia dan Chanyeol sudah turun dari mobil. Ia bingung. Di hadapannya tampak berdiri sebuah rumah– ah, lebih tepatnya sebuah mansion mewah berlantai tiga. Gadis itu kemudian menatap ke arah Chanyeol, menuntut sebuah jawaban. Apakah benar yang ada di hadapannya itu adalah hotel?
“Waeyo?” tanya Chanyeol.
“Ini ... di mana?” tanya Sehun balik.
“Ah ... ini. Oke, selamat datang di rumah keluarga Park.”
“Mwo?!”
.
.
.
Tbc ....
Maaf baru bisa update. Sibuk dengan pekerjaan. Eaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top