👉 Chapter 3

...

Author POV

Sehun membuka kelopak matanya perlahan. Objek pertama yang ia lihat adalah tirai jendela kamarnya yang masih tertutup. Padahal, cahaya matahari sudah mulai memasuki kamarnya melalui celah-celah jendela. Ini sudah pagi, tapi belum ada yang membukakan tirai jendela untuknya.

Tak terasa, air mata Sehun meleleh. Ia sedih. Dulu, waktu ibunya masih hidup, beliau selalu membangunkannya di pagi hari dan membuka tirai jendela kamarnya. Namun sekarang, sangat berbeda dengan dulu. Tak ada lagi sapaan selamat pagi, tak ada lagi pukulan agar bangun dari tidur, tak ada lagi seorang wanita tua yang dengan senang hati membuka tirai jendela kamarnya. Semuanya telah berubah sekarang, dan Sehun sangat merindukan masa-masa itu.

Sehun lalu bangkit dari tidurnya. Menghapus air matanya kasar dan segera beranjak menuju kamar mandi. Dia sedikit lega, karena semalam, Kai tidak membawanya ke rumah sakit dan malah membawanya pulang. Dia pasti sudah menyusun strategi untuk kabur sekarang seandainya Kai semalam membawanya ke rumah sakit.

***bad***

Sehun terlihat keluar dari kamarnya dengan seragam sekolah yang sudah lengkap. Sama seperti hari-hari biasanya, tak ada senyum ataupun ekspresi bahagia di wajahnya. Gadis itu kemudian berjalan menuju dapur, hanya sekadar untuk minum.

Gadis cantik itu melirik ke arah meja makan. Di sana, ia melihat ayah, ibu, dan saudara tirinya tengah sarapan bersama. Tanpa adanya dirinya. Dan pemandangan seperti itu sudah biasa Sehun lihat setiap pagi. Ada perasaan sedih dalam diri Sehun. Harusnya yang ada di sana adalah ayah, ibu, dan dirinya, bukan Choi Shin Young atau pun Huang Zi Tao.

Sehun langsung menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja begitu ia setelah menghabiskan air minumnya. Dia lalu melangkah pergi dari sana.

"Sehun-ah! Kau tak mau sarapan dulu?"

Langkah Sehun pun terhenti saat dia mendengar suara ayahnya menginterupsi. Tanpa berbalik, gadis itu menyahut dengan dingin, "Tidak. Aku masih kenyang." Dia lalu melanjutkan langkahnya kembali. Tidak berniat untuk bergabung bersama keluarganya.

Keluarga? Bahkan mereka tidak ada yang peduli padaku.

Sehun menghela napas panjang begitu dia keluar dari gerbang rumahnya. Seperti biasa, dia harus menunggu bus yang lewat di halte yang terletak tak jauh dari rumahnya. Dia tidak seperti Tao yang setiap hari diantar oleh sopir pribadi keluarganya. Ingat! Sehun bukanlah anak manja. Dia tidak pernah meminta fasilitas lebih kepada ayahnya. Sehun kemudian melangkahkan kedua kakinya menuju halte tersebut.

***bad***

Sehun POV

Kaki mungil ini terus kugunakan untuk melangkah, karena memang itulah fungsinya yang sesungguhnya. Bukan menuju kelasku berada, bukan. Melainkan menuju perpustakaan.

Bel masuk baru saja berbunyi. Namun, seperti biasa, aku sedang tidak mood untuk mengikuti pelajaran di jam pertama itu, yaitu Olahraga. Pelajaran yang harus lari-lari keliling lapangan dulu sebelum masuk ke pelajaran inti. Hh! Aku lemah. Aku tidak mau pingsan hanya gara-gara berlari-lari keliling lapangan. Karena kalau aku pingsan, tak ada yang peduli padaku.

Aku lalu memasuki ruangan yang dipenuhi oleh banyak buku tersebut. Tempat yang tenang dan mungkin saja bisa membuat kepala menjadi rileks. Aku berjalan menuju tempat buku-buku novel berada. Membaca judulnya satu persatu, dan akhirnya aku mengambil sebuah novel yang dilihat dari judul sepertinya menarik. Sebuah novel dengan judul Jonathan Livingston Seagull karya Richard Bach.

Aku kemudian membawa novel tersebut ke tempat duduk yang telah disediakan. Membaca buku sebenarnya bukan termasuk hobiku. Saat ini, aku sedang merindukan eomma-ku. Dulu, eomma sering membacakanku sebuah buku. Membaca buku mampu mengobati rasa rinduku dengan eomma, walaupun sedikit.

Eomma ... aku sangat merindukanmu.

Beberapa jam telah berlalu. Aku mendengar bel tanda istirahat berbunyi. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Padahal, aku masih ingin berada di sini. Sebenarnya, aku bisa saja membolos pelajaran selanjutnya. Namun, pelajaran selanjutnya adalah Matematika, pelajaran yang sangat eomma sukai dulu waktu masih muda.

Eomma sangat melarangku bolos pada saat pelajaran Matematika. Ck, aku kangen eomma. Maka dari itu, selama ini, aku tidak pernah sekalipun membolos pada saat pelajaran tersebut sedang berlangsung.

Aku kemudian bergegas pergi dari sini. Melangkahkan lagi kaki mungil ini menuju seorang wanita penjaga perpustakaan. Aku belum menyelesaikan novel yang barusan kubaca. Baru sampai setengahnya. Makanya, aku ingin meminjamnya untuk aku baca lagi di rumah atau di mana pun aku ingin.

Pluk

Aku meletakkan novel tersebut ke atas meja tepat di depan penjaga perpustakaan itu. "Aku mau meminjamnya," ucapku.

Penjaga perpustakaan itu mengambil novelnya. Lalu, ia menulis sesuatu di sebuah buku agenda. "Kau membolos lagi, Sehun-ssi?" tanyanya tanpa menatap ke arahku. Tsk, bahkan dia tahu namaku. Padahal, aku sama sekali tidak tahu namanya.

"Ya, seperti biasanya," jawabku santai.

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin saja dia heran melihat kelakuanku selama ini. Dia lalu memberikan novel itu kepadaku. "Besok lusa, kau harus mengembalikannya."

"Ne." Aku lalu melangkah pergi dari sana.

.

Author POV

Gadis bersurai abu-abu itu berjalan dengan santai menuju kelasnya, 2-1. Ekspresi wajahnya datar dan terkesan dingin. Pandangannya lurus ke depan. Seluruh pasang mata yang melihatnya mulai membisik-bisikkan sesuatu yang terdengar tidak jelas. Namun, gadis itu terlihat mengabaikannya. Terlalu malas rasanya untuk mengacuhkan hal tersebut. Tak ada untungnya baginya.

Begitu sampai di kelasnya, gadis itu langsung melangkah menuju bangkunya yang terletak di urutan paling belakang.

Bugh

Namun, dia langsung melempar novel yang dibawanya ke atas meja saat dilihatnya ada seorang murid laki-laki yang menempati bangkunya tengah menelungkupkan kepalanya ke atas meja. "Neo! Hanbal mulleoseola¹!" seru gadis itu, Sehun.

(¹ : minggir)

Sontak saja murid laki-laki itu terkejut, dan langsung menegakkan kepalanya.

"Neo ...," lanjut Sehun.

Murid laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya imut saat dilihatnya ada Sehun yang sedang berdiri di depannya. Jari telunjuknya kemudian terangkat, menunjuk Sehun yang menatapnya dingin. "Kau kan yang semalam ...."

"Park Chanyeol-ssi!" Sehun meninggikan volume suaranya. Sontak saja seluruh pasang mata yang ada di dalam kelas tersebut langsung menatap ke arahnya, termasuk Tao. Gadis itu heran, dari mana Sehun bisa tahu nama murid laki-laki tersebut. Padahal, murid laki-laki tersebut adalah anak baru dan tidak memakai name tag.

"K-kau tahu namaku? Woah ...," murid laki-laki yang bernama Park Chanyeol itu berdecak kagum.

Brak!

Sehun menggebrak meja di depannya. Dan itu mampu membuat Chanyeol terlonjak kaget. "Aku bilang minggir! Pergi dari bangkuku sekarang juga!" usir Sehun. Tidak boleh ada yang menempati bangkunya, sekalipun dia tidak hadir di kelas.

"Jadi, ini mejamu?"

"Menurutmu?"

"Baiklah, aku akan pindah tempat duduk." Chanyeol lalu bangkit dari duduknya. "Ekhem, salam kenal. Namamu?" Pemuda itu mengulurkan tangannya ke hadapan Sehun. Namun, Sehun langsung menepisnya.

Sehun lalu mendudukkan diri ke bangku miliknya begitu Chanyeol sudah pindah tempat duduk tepat di sampingnya. Dia kemudian menelungkupkan kepala ke atas meja. Mengabaikan bunyi bel yang baru saja berbunyi, serta beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya dengan tatapan sinis, termasuk Tao yang duduk di bangku paling depan.

"Hei, siapa namamu?" Chanyeol sedari tadi terus mencolek lengan Sehun, berharap gadis itu tak bergeming. Sungguh, Chanyeol sangat ingin tahu nama gadis tersebut. Tidak ada papan nama yang tertempel di dadanya.

Sampai akhirnya, Sehun baru bangun saat Yunho Saem datang memasuki kelas mereka untuk mengajar Matematika.

Sehun menatap sinis ke arah Chanyeol. Pemuda itu telah mengganggunya. Chanyeol yang ditatap hanya nyengir lebar.

"Hari ini saya akan mengadakan ulangan harian." Yunho Saem tiba-tiba saja berujar. Yang mana mampu membuat seluruh isi kelas jadi pada mengeluh. Kecuali Sehun. Gadis itu kelihatan biasa saja.

Yunho Saem kemudian membagikan kertas yang berisi soal-soal Matematika kepada seluruh murid yang ada di kelas tersebut. "Kerjakan dengan benar."

"Ne, Saem!" sahut para murid.

Sehun mulai membaca soal-soal Matematika tersebut. Ekspresi wajahnya masih tetap datar. Tangannya kemudian bergerak untuk mengambil pulpen dari dalam tas, lalu mulai mencorat-coret lembar soal tersebut. (Lembar soal dan jawaban digabung).

Lima belas menit kemudian, Sehun telah selesai mengerjakan soal-soal Matematika tersebut. Gadis itu menggeletakkan lembar kertas itu ke atas meja. Membiarkannya terbuka, tanpa khawatir jika ada yang menyonteknya.

Chanyeol yang duduk di sebelah Sehun mengerutkan dahinya heran. Pemuda itu lalu mencondongkan tubuhnya ke samping, mendekati Sehun. "Kau sudah selesai?" tanyanya tak percaya. Jumlah soalnya ada lima belas nomor, dan Sehun bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu lima belas menit saja.

"Ne," jawab Sehun singkat. Pandangan matanya terus lurus ke depan, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Chanyeol.

"Um ... bisa kau ajari aku soal nomor empat?" pinta Chanyeol dengan nada pelan.

Sehun yang mendengarnya mendengus, lalu dengan malas dia mengambil jawaban miliknya dari atas meja. "Aku adalah orang yang paling malas jika harus mengajari orang lain tentang Matematika," ujarnya. Gadis itu kemudian menatap wajah Chanyeol datar.

"Lalu?" tanya Chanyeol tak paham.

Tanpa menjawab, Sehun lalu menyerahkan kertas jawabannya tadi kepada Chanyeol.

"Jadi kau menyuruhku menyontek jawabanmu?" tanya Chanyeol memastikan. Masih dengan volume suara yang pelan, takut dimarahi oleh Yunho Saem.

"Ne," jawab Sehun.

Chanyeol tersenyum lebar. "Terima kasih," ucapnya, lalu mulai menyalin jawaban Sehun.

***bad***

Sehun terlihat tengah duduk di kursi belajarnya. Di tangannya terdapat sebuah novel yang ia pinjam dari perpustakaan tadi siang. Ini mungkin sesuatu yang sangat langka. Seorang Oh Sehun berada di rumah saat jam menunjukkan pukul 19.23 waktu setempat. Tidak seperti biasanya.

We got that power ... power ....

Ponsel yang tergeletak di atas meja berdering. Tanda ada sebuah panggilan yang masuk. Dengan malas, Sehun mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa gerangan yang mengganggu kegiatan membacanya.

“Sehun-ah! Kau di mana?” ucap suara di seberang telepon.

“Di rumah. Kenapa?” sahut Sehun.

“Emm ... tidak kenapa-kenapa. Aku hanya rindu padamu.”

Sehun berdecih. “Dasar, Kai hitam playboy cap tikus.”

“Apa? Playboy cap tikus? Yak, Oh Sehun! Aku bukan playboy!”

“Bukan playboy? Benarkah? Lalu apa? Tukang selingkuh?”

“Ya ... Sehun-ah ... kau jangan membongkar aibku, oke? Itu adalah rahasia.”

Sehun mendesah. Dia tak habis pikir, kenapa bisa punya teman dekat seperti Kai yang notabene merupakan pria yang suka tebar pesona dan playboy. “Aku kasihan sama yeoja itu. Siapa namanya? Oh Hye Ra? Mau saja digoda olehmu. Ckckck, kalau aku jadi dia, mungkin aku akan langsung bilang end saat tahu kalau kau sedang jalan sama yeoja lain.”

“Hei! Kau tahu, itu karena dia sangat mencintaiku. Itu mungkin pertama kalinya dia punya namjachingu yang tampan sepertiku,” kata Kai percaya diri.

Sehun memutar bola matanya malas. Tingkat kepercayaan diri Kai sudah berada di titik paling tinggi. “Terserah kau saja. Aku sibuk. Annyeong!”

“Yak, Sehun–”

Tut tut tut

Sehun langsung mengakhiri panggilan Kai secara sepihak. Jika sudah seperti itu, pria berkulit tan tersebut akan terus memuji-muji dirinya sendiri. Dan hal itu, membuat Sehun bosan mendengarnya. Gadis itu kemudian melanjutkan kegiatan membacanya yang sempat tertunda tadi.

Ceklek

Tanpa mengetuk pintu atau pun memberi salam terlebih dahulu, Tao tiba-tiba saja memasuki kamar Sehun. Di tangannya terdapat selembar kertas yang sepertinya adalah hasil ulangan 'mendadak' Matematika tadi siang. Sontak saja Sehun terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu.

Tao berjalan menghampiri Sehun dengan wajah dinginnya. Sama sekali tidak ada senyum yang mengembang di kedua bibirnya.

Pluk

Gadis itu kemudian meletakkan kertas yang dibawanya tersebut ke atas meja.

“Apa ini?” tanya Sehun sambil meraih kertas itu. Di permukaan kertas tersebut terdapat angka "98" yang ditulis dengan jelas menggunakan tinta berwarna hitam. Senyum kecil pun mengembang di bibir Sehun. “Hanya 98? Yah ... padahal aku sangat ingin mendapatkan nilai sempurna. Tsk.”

Tao yang mendengar ucapan Sehun pun mendesah. Ada perasaan iri di dalam hatinya. Ya, itu karena nilai yang diperoleh Sehun ternyata lebih besar daripada nilainya. Meskipun hanya terpaut tiga angka saja.

“Oh ya, Tao-ssi. Kau dapat nilai berapa? Jangan bilang nilaimu lebih tinggi dariku. Secara, kau 'kan setiap hari belajar. Tidak kayak aku, yang suka keluyuran,” tanya Sehun, mencoba memanas-manasi Tao. Gadis itu sangat tahu, kalau saat ini saudara tirinya itu sangat membencinya. Itu karena nilai Matematikanya selalu lebih tinggi daripada nilai Matematika Tao.

“Bukan urusanmu,” jawab Tao dingin, lalu melangkah pergi.

“Tunggu!” tahan Sehun.

Langkah kaki Tao pun terhenti. Gadis itu lalu berbalik, dan menatap Sehun datar. “Mwo?” tanyanya.

“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu,” jawab Sehun. Dia lalu mengambil ponselnya. Gadis itu menyeringai samar. Di kepalanya sudah ada bayangan bahwa sebentar lagi akan ada seseorang yang marah-marah padanya. Sehun kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Tao.

“Ini mungkin akan membuatmu emosi. Sebenarnya niatku baik. Aku hanya ingin agar kau tidak mengharapkan cinta dari seorang Wu Yifan lagi. Tapi, jika kau marah padaku gara-gara ini,” Sehun mengendikkan bahu, “aku tak masalah. Itu hakmu.”

Tao hanya diam saja. Dalam hati, dia sebenarnya sedikit penasaran dengan maksud ucapan Sehun tersebut. Apalagi ada nama Wu Yifan disebut, yang mana merupakan mantan kekasihnya.

Sehun tampak menggeser-geser layar ponselnya. Dan tak lama kemudian, sebuah rekaman suara pun mulai terdengar.

"Yak, Sehun-ssi. Apa kau tahu, kenapa aku dulu bisa mengakhiri hubunganku dengan Tao?"

Deg! Tao tersentak. Dia tidak mengerti, kenapa bisa ada suara Wu Yifan di ponsel Sehun.

"Tidak."

"Itu karena aku menyukaimu."

Dan kali ini, Tao langsung menatap Sehun tajam. Iris matanya menyorotkan rasa kebencian.

"Tsk, tapi maaf, aku tidak menyukaimu."

"Ya, aku tahu itu. Aku bisa melihatnya. Kau selalu tak acuh saat aku bertamu ke rumahmu. Kau tak pernah melirik ke arahku. Padahal, aku selalu memandangmu."

"Kenapa kau bisa menyukaiku? Aku buruk. Sangat buruk malahan."

"Tidak. Menurutku kau tidak buruk. Keburukanmu hanyalah cover belaka. Aku tahu, kalau kau itu sebenarnya adalah yeoja yang baik. Dan satu lagi. Kau cantik."

"Ck, kau terlalu jujur."

"Ya, aku memang selalu jujur."

"Tapi kenapa kau tidak jujur pada Tao kalau kau menyukaiku?"

"Aku hanya tak ingin Tao membencimu."

Rekaman suara itu berakhir. Sehun tersenyum. Dia merasa bangga kepada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa memiliki ide yang sangat brilian? Dia bisa melihat wajah Tao yang memerah karena menahan amarah.

"Kau ... buruk," Tao berucap tajam.

"Ya ... aku tahu, aku memang buruk. Tapi, kau bisa mendengarnya 'kan tadi, apa yang dikatakan oleh mantan namjachingu-mu itu? Keburukanku itu hanyalah cover belaka," balas Sehun. Dia lalu mendesah. "Ini belum seberapa. Aku masih punya yang lain lagi."

Kening Tao berkerut. "Apa?"

"Sebenarnya sih, aku ingin menunjukkannya padamu. Keundae ... aku khawatir kalau kau nanti tidak bisa tidur karena terus kepikiran."

"Bagaimana? Apa kau mau melihatnya?" tanya Sehun.

"Ne! Aku mau melihatnya. Cepat! Tunjukkan padaku," jawab Tao tak sabar.

"Sebentar. Tapi ... aku tidak yakin kalau kau tidak akan menyesal setelah melihatnya."

"Cepatlah!" ucap Tao tak sabaran.

Sehun menyeringai. Sepertinya ini bakalan lebih menarik, batinnya. Dia sangat ingin melihat ekspresi Tao setelah ia perlihatkan sesuatu tersebut. Gadis itu kemudian menggeser-geser kembali layar ponselnya. "Sepertinya kau sangat tak sabaran, ya? Hh!"

"Cepat!" Tao sudah tak sabar untuk segera melihatnya. Namun, dia sedikit khawatir. Jangan sampai apa yang dikatakan Sehun tadi menjadi kenyataan. Dia akan menyesal jika melihatnya.

Sehun kemudian memberikan ponselnya kepada Tao, tentunya setelah apa yang dicarinya di ponsel itu ketemu. Dia tersenyum. "Jangan terkejut," pesannya.

Tao meraih ponsel Sehun tersebut. Kedua matanya langsung membulat saat melihat apa yang tampak pada layar ponsel itu. Dan kemudian ...

Prang!

Tao membanting ponsel Sehun tanpa berpikir panjang. Napasnya naik-turun menahan amarah. Dan jangan lupakan wajahnya yang memerah.

"Yak, Tao-ssi! Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau membanting ponselku?!" protes Sehun tak terima ponselnya dibanting. Dia lalu mengambil ponselnya tersebut. Bibirnya langsung cemberut saat dilihatnya layar persegi panjang yang masih menyala dan menampilkan sebuah foto dirinya dan Wu Yifan yang sedang berciuman itu kini retak.

"Neo ... MICHYEOSSEO!" teriak Tao emosi.

"Ya, aku memang gila," sahut Sehun sambil meratapi ponsel hadiah dari Kai saat ulang tahunnya yang ke-15 tahun itu.

“Aku sangat membencimu, Sehun-ssi,” ucap Tao penuh penekanan. Dia lalu melengos pergi dari sana.

Sehun yang masih berada di tempatnya menyeringai puas. Ia senang karena berhasil membuat Tao marah. Ya, meskipun ia harus rela melihat ponselnya yang kini retak.

***bad***

Seorang pemuda tampak tengah duduk-duduk di balkon rumahnya sambil sesekali menyesap teh yang ada di depannya. Ekspresi wajahnya datar. Sama seperti malam-malam biasanya, ia selalu sendiri. Rumahnya kelihatan sepi, hanya ada beberapa pembantu saja di dalamnya.

Drrrttt ... Drrrttt ....

Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Tanda ada sebuah pesan yang masuk. Tanpa pikir panjang, pemuda itu langsung meraih benda persegi panjang itu.

From : Oh Sae Jong

Saya minta tolong padamu. Tolong awasi anak saya. Namanya Oh Sehun.
Sebelumnya, saya sangat berterima kasih padamu jika kau bersedia melakukannya untuk saya.

Pemuda itu tersenyum. "Oh Sehun, ya ...," gumamnya.

To : Oh Sae Jong

Dengan senang hati.

.

.

.

Tbc ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top