👉 Chapter 2

.....

"Aku sangat senang, akhirnya bisa berjumpa lagi denganmu," ucap Yifan kepada Sehun, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan sana.

Sehun bergeming. Terlalu malas rasanya untuk sekadar menanggapi ucapan pemuda yang kini berstatus sebagai mantan kekasih dari saudara tirinya itu.

"Ekhem," Yifan berdeham kecil. "Apa kau tidak senang, berjumpa lagi denganku? Kulihat-lihat, sedari tadi kau hanya diam saja."

"Biasa saja," jawab Sehun datar.

"Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?" tanya Yifan.

"Terserah," jawab Sehun, masih terkesan datar.

"Baiklah, aku akan membawamu jalan-jalan saja. Saat ini, aku sedang tidak punya rekomendasi tempat yang bagus untuk dikunjungi. Mungkin, kalau aku mengajakmu ke Sungai Han, kau pasti akan menolak."

"Hmm," gumam Sehun.

"Oh ya, Sehun-ssi." Yifan terus mengajak Sehun ngobrol, sekalipun gadis itu hanya menjawabnya dengan singkat dan datar. "Apa kau tahu, kenapa aku dulu bisa mengakhiri hubunganku dengan Tao?"

Sehun langsung menatap Yifan. Otaknya bekerja. Pertanyaan Yifan itu, sepertinya akan menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya apabila diabadikan. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menggeser-geser layar 5" itu dan berhenti saat menu "Voice Recording" sudah terbuka.

"Kau tadi tanya apa? Bisa kau ulangi?"

Sehun diam-diam mulai merekam pembicaraannya dengan Yifan. Tentunya tanpa sepengetahuan pemuda tersebut.

"Yak, Sehun-ssi. Apa kau tahu, kenapa aku dulu bisa mengakhiri hubunganku dengan Tao?"

"Tidak." Sehun memang tidak tahu-menahu tentang hal itu. Saudara tirinya itu tidak pernah menceritakan hal tersebut padanya. Semua juga tahu, kalau hubungan Sehun dan Tao tidaklah baik. Yang Sehun tahu, Yifan duluanlah yang memutuskan hubungan mereka. Sehun tak sengaja mendengarnya saat Tao tengah teleponan dengan Yifan. Ya, Yifan memutuskan Tao hanya lewat telepon.

Yifan tersenyum kecil. "Itu karena aku menyukaimu," ucapnya sambil menatap ke arah Sehun sekilas.

Sontak saja Sehun langsung membulatkan kedua matanya tak percaya. Seorang Wu Yifan ternyata menyukainya. Gadis itu lalu mendengus, "Tsk, tapi maaf, aku tidak menyukaimu."

"Ya, aku tahu itu. Aku bisa melihatnya. Kau selalu tak acuh saat aku bertamu ke rumahmu. Kau tak pernah melirik ke arahku. Padahal, aku selalu memandangmu."

Sehun tak mengerti, kenapa Yifan bisa menyukainya. Menurutnya dia buruk, dan tidak ber-attitude baik. Tapi, secara fisik, jika dibandingkan dengan Tao, Sehun menang. Dia lebih cantik daripada Tao. Apa mungkin karena hal itu Yifan menyukainya?

"Kenapa kau bisa menyukaiku?" tanya Sehun, sambil menatap pemandangan kota Seoul yang penuh gemerlap lampu di malam hari. "Aku buruk. Sangat buruk malahan."

"Tidak. Menurutku kau tidak buruk. Keburukanmu hanyalah cover belaka. Aku tahu, kalau kau itu sebenarnya adalah yeoja yang baik," jelas Yifan. "Dan satu lagi. Kau cantik," imbuh Yifan.

Sehun menghela napas panjang. Dia memikirkan kata-kata Yifan barusan. Yifan salah. Aku buruk luar dalam. Bahkan semua orang juga tahu itu, batinnya. Dia lalu mengakhiri rekamannya. Sepertinya kata-kata Yifan sudah cukup untuk menjelaskan kenapa pemuda itu bisa mengakhiri hubungannya dengan Tao. Gadis itu kemudian berdecak lidah, "Ck, kau terlalu jujur."

"Ya, aku memang selalu jujur."

"Tapi kenapa kau tidak jujur pada Tao kalau kau menyukaiku?" Itu benar. Yifan tidak jujur pada Tao. Dia memutuskan gadis itu tanpa alasan yang jelas. Yifan hanya bilang kalau dia ingin putus saja, tanpa alasan.

"Aku hanya tak ingin Tao membencimu," jelas Yifan.

Sehun mendesah. "Tanpa kau jujur pun, Tao sudah membenciku."

Yifan tersenyum miris. Dia sangat tahu kalau Tao memang membenci Sehun. Gadis itu sering bercerita tentang keburukan Sehun padanya. Yifan lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalanan yang sepi.

"Kenapa berhenti?" tanya Sehun. "Apa bensinmu habis? Kukira kau anak orang kaya."

Yifan menggeleng, "Tidak. Bensinku masih banyak." Dia lalu menatap ke arah Sehun dalam. "Sehun-ssi," panggilnya pelan.

Sehun menoleh. Tanpa membalas panggilan Yifan.

"Kau memang tak menyukaiku. Dan kau mungkin tidak memiliki perasaan apa pun padaku."

"Itu benar."

"Tapi, bisakah kau mengabulkan satu permintaanku?" pinta Yifan dengan ekspresi memohon.

Sehun mengernyit. "Permintaan?"

Yifan mengangguk. "Sekali ini saja. Aku mohon."

"Apa itu?" tanya Sehun. Dia sedikit penasaran sebenarnya.

"Bisakah ...," Yifan menjeda kalimatnya. Dia lalu menghela napas panjang. "..., aku menciummu?"

"Mwo?!" Tentu saja Sehun terperanjat kaget. Yifan bukan siapa-siapanya, dan tiba-tiba saja ingin menciumnya.

"Aku mohon, Sehun-ssi."

Sehun menghela napas panjang. Otaknya berputar untuk berpikir. Bersyukur, dia bukanlah anak yang berotak dangkal. Jadi, meskipun dia bad girl, kemampuan otaknya tidak bad juga. "Baiklah, aku mau," putusnya.

"Benarkah?" Yifan menatap Sehun dengan mata yang berbinar-binar. Tak percaya bahwa gadis itu akan memenuhi permohonannya.

"Ne. Tapi ada syaratnya," kata Sehun. Zaman sekarang, tidak ada yang gratis di dunia ini. Kecuali bernapas.

"A-apa syaratnya? Katakan." Sepertinya Yifan akan memenuhi syarat yang akan diberikan oleh Sehun.

"Aku mau kau cium, tapi dengan syarat, aku harus mengabadikannya di galeri ponselku," ucap Sehun.

"Apa? Kenapa harus seperti itu?"

"Ya, agar aku tidak lupa bahwa kita pernah berciuman."

"A-ah, begitu. Baiklah, aku setuju." Yifan tersenyum lebar. Pemuda itu lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Sehun. Sedangkan Sehun, gadis itu sudah siap dengan kamera ponselnya.

Chu~

Cekrek

Suara jepretan dan blitz yang berasal dari kamera ponsel Sehun itu mengiringi ciumannya dengan Yifan. Bibir keduanya bersentuhan. Yang ada dipikiran Sehun saat ini hanyalah : kapan dia bisa hidup bahagia. Dia sama sekali tidak menikmati ciumannya. Karena memang, Yifan bukanlah pemuda yang dicintainya.

Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Tentunya, Sehun yang mengakhirinya duluan. Dia tidak ingin Yifan menganggap kalau dirinya menikmati ciuman tersebut.

Sehun langsung melihat hasil jepretan kamera ponselnya. Terhitung, ada tiga foto yang dihasilkan. Dan bibirnya kemudian menyunggingkan senyum kecil. Angel yang bagus, batinnya.

"Terima kasih, Sehun-ssi," ucap Yifan sembari tersenyum lebar. Bahagia, sudah pasti.

"Hmm," Sehun hanya bergumam menanggapinya.

Yifan lalu mulai menjalankan mobilnya kembali. Dia masih ingin menikmati malamnya dengan Sehun, ya meskipun hanya jalan-jalan saja.

Satu jam telah berlalu, namun Sehun dan Yifan masih berada di dalam mobil. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 12.35 waktu setempat.

"Kau tidak ingin pulang?" tanya Yifan kepada Sehun yang duduk di sebelahnya.

Pandangan Sehun langsung teralihkan dari ponsel di tangannya. "Jadi kau menyuruhku pulang, begitu?" tanyanya balik.

"Bukan begitu. Hanya saja ... bukankah kamu masih sekolah? Harusnya di jam segini, anak sekolah sudah pada tidur."

Sehun yang mendengarnya berdecak. "Aku bukan Tao yang habis belajar malam langsung tidur. Aku Oh Sehun, yang jam tidur malamnya tak pasti," ucapnya dengan penuh penekanan.

"Yeah ... itulah kau."

Keduanya lalu terdiam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Tampak Sehun tiba-tiba saja memegangi dada sebelah kirinya. Wajahnya kelihatan pucat, dan dia juga tampak menggigit bibir bagian bawahnya. "Yifan-ssi, bisa kau turunkan aku di sini?" perintahnya pada Yifan. Nada bicaranya ia buat setenang mungkin agar pemuda di sebelahnya itu tidak curiga.

"Ya?"

"Turunkan aku di sini." Sehun menekan kuat-kuat dadanya. Sakit, itulah yang dia rasakan saat ini.

"Di sini? Apa kau yakin? Aku akan mengantarmu pulang."

"CEPATLAH!" teriak Sehun. Napasnya naik turun menahan sakit dan emosi yang kini bercampur menjadi satu.

"B-baiklah." Yifan pun akhirnya menepikan mobilnya. Dan Sehun, segera turun dari sana. Yifan tidak langsung pergi. Pemuda itu malah menatap Sehun dalam. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Dia melihat wajah pucat Sehun.

Sehun menggeleng. "Pulanglah! Aku akan menghubungi Kai agar menjemputku di sini," perintahnya.

"Tapi ...."

"PULANGLAH!" Sehun meninggikan volume suaranya. Sedikit bentakan mungkin bisa membuat seorang Wu Yifan akan pergi dari sana secepatnya.

"B-baiklah, aku akan pulang." Yifan pun mulai melajukan mobilnya pergi meninggalkan Sehun yang merintih kesakitan di sana.

Sepeninggal Yifan, Sehun masih terus saja memegangi dadanya. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Cepat-cepat ia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Kai yang entah berada di mana sekarang.

"Ada a-"

"Kau d-di mana sekarang? J-jemput aku s-sekarang juga. Aku ... mohon."

Kai pasti tahu kalau Sehun tengah kesakitan sekarang. Nada bicaranya kentara. Dan Kai selalu menjadi orang yang pertama kali Sehun hubungi jika gadis itu tengah kesakitan saat berada di luar rumah. Kai adalah satu-satunya orang yang tahu banyak tentang dirinya.

"Sehun-ah! Kau di mana, hah?"

"A-aku ...." Sehun sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Gadis itu terduduk di tanah danbersandar pada tiang lampu jalan yang kebetulan ada di didekatnya. Terlalu sakit rasanya untuk sekadar menyelesaikan kalimatnya untuk menjawab pertanyaan Kai tersebut
Sehun tahu kalau saat ini Kai pasti sangat mengkhawatirkan dirinya. Karena ejadian seperti ini sudah sering terjadi padanya.

"Sehun-ah!" Suara Kai dari seberang telepon masih bisa Sehun dengar apabila gadis itu mendekatkan ponsel yang saat ini tergeletak di sampingnya ke telinga. Namun, tak lama kemudian, Kai mengakhiri panggilan Sehun saat gadis itu tak lagi menyahut seruannya.

"Kai-ya ...," Sehun berucap lirih. Lokasi tempat ia berada saat ini cukup sepi. Ya, karena ini bukanlah di pusat kota. Dan terlebih lagi, ini sudah lewat tengah malam. "Palliwa ...," lanjutnya.

Tak lama kemudian, Kai pun datang. Pemuda itu langsung menghentikan laju mobilnya tepat di depan Sehun begitu dilihatnya gadis itu tengah berada di pinggir jalan di bawah tiang lampu. Jangan tanya bagaimana Kai bisa dengan mudah menemukan keberadaan Sehun. Ini zaman modern. Semua sudah serba canggih. Sekarang ada yang namanya GPS.

Tidak ada gunanya GPS bagi Kai jika bukan karena Sehun. Ya, Kai memanfaatkan GPS hanya untuk mencari keberadaan Sehun. Dia sudah mengaktifkan GPS di ponsel Sehun dari jauh-jauh hari, sehingga pemuda itu tidak perlu lagi bersusah payah untuk menemukan gadis itu.

Buru-buru Kai langsung keluar dari dalam mobilnya dan menghampiri Sehun. Dilihatnya wajah Sehun yang tampak pucat. Ia tahu kalau gadis itu tengah menahan rasa nyeri di dadanya. "Sehun-ah," Kai berucap pelan.

"Kai-ya ... appo," lirih Sehun.

Tanpa pikir panjang, Kai langsung mengangkat tubuh Sehun dan membawanya ke dalam mobil.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Kai saat sudah berada di dalam mobil. Ia sudah siap untuk melajukan mobilnya.

Grep

"Andwe!" Namun tiba-tiba saja, Sehun mencekal tangan Kai. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Menolak ajakan pemuda itu. "Andwe! Aku tidak mau."

"Tapi, Sehun-ah ...."

"Aku mohon ... Kai-ya. Kau menyayangiku, 'kan? Jangan pernah bawa aku ke rumah sakit," pinta Sehun.

Kai yang mendengarnya tertegun. Dia lalu menangkup kedua bahu Sehun, menyuruh gadis itu agar menatap ke arahnya. Dilihatnya mata gadis itu yang masih terbuka, walaupun tidak terlalu lebar. Sehun masih terlihat memegangi dadanya, pertanda bahwa rasa sakit di sana masih terasa.

Kai sama sekali tidak melihat air mata di mata Sehun. Ya, karena Sehun adalah gadis yang kuat. Kai memercayai itu. Yang Kai tahu, Sehun hanya menangis saat gadis itu mengingat mendiang ibunya.

"Sehun-ah," panggil Kai pelan. "Sampai kapan kau akan seperti ini terus?" tanyanya kemudian.

Sehun lalu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh Kai. Napasnya terdengar tidak teratur. "Sampai aku mati," Sehun menjawab. "Kai-ya ... apa kau tahu, aku sering bertanya kepada Tuhan. Kenapa Tuhan tidak cepat-cepat mengambil nyawaku? Apa Tuhan ingin aku merasakan lebih lama lagi penderitaanku ini? A-aku sebenarnya sudah tidak kuat lagi. Aku sangat ingin pergi menyusul eomma ...."

Kai menutup matanya dalam-dalam. Tangannya terangkat untuk memeluk gadis yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Dia tahu, bahkan sangat tahu, betapa menderitanya Sehun selama ini. Oleh karena itu, dia selalu ada untuk Sehun kapan pun gadis itu membutuhlannya. Sekalipun harus membolos kuliah.

Tak terasa, air mata Kai tiba-tiba saja menetes. Terlalu miris rasanya jika ia sudah mengingat tentang Sehun. Sehun yang malang, Sehun yang kelihatan kuat namun sebenarnya rapuh, dan Sehun yang sangat merindukan kasih sayang seorang ibu. "Jangan pergi ... aku sangat menyayangimu ...."

Sehun sudah tak bersuara lagi. Dia tak menanggapi ucapan Kai barusan. Pemuda itu pun kemudian melepaskan pelukannya. Mendorong bahu Sehun, dan menidurkannya pada jok di sebelahnya. Ya, gadis itu pingsan. Suatu hal yang sudah sering terjadi dan Kai lihat. Pemuda berkulit tan itu sudah tidak kaget lagi.

Kai menatap wajah Sehun dalam. Ingin rasanya ia membawa gadis cantik itu ke rumah sakit. Namun, sepertinya hal itu sia-sia saja. Kai pernah dua kali membawa Sehun ke rumah sakit, dan setelah sadar dari pingsannya, gadis itu selalu memberontak dan mencoba untuk kabur dari sana.

Kai lalu menyalakan mesin mobilnya, dan kemudian mulai melajukannya membelah jalanan yang sunyi itu. Sepertinya, mengantar Sehun pulang merupakan keputusan yang paling tepat.

***bad***

Sudah berkali-kali Kai menekan bel rumah mewah berlantai tiga di hadapannya itu. Di punggungnya terdapat seorang gadis yang masih enggan untuk membuka kedua kelopak matanya. Pemuda itu sesekali mendengus. Kenapa pemilik rumah itu lama sekali membukakannya pintu?

Tentu saja lama. Ini sudah lewat tengah malam, di mana orang-orang sudah pada beristirahat dari segala rutinitasnya di siang hari. Kai tidak mempermasalahkan hal itu. Karena, ini bukan pertama kalinya dia membawa pulang gadis di gendongannya itu larut malam. Sudah sering terjadi.

Kriet

Akhirnya, Kai bisa bernapas lega saat pintu gerbang yang terbuat dari besi itu ada yang menariknya. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan sebuah piyama terlihat. Seorang wanita yang selalu menampilkan ekspresi wajah dinginnya di hadapan Kai.

.

Kai POV

Wanita itu lagi. Tsk. Kenapa selalu dia yang membukakan pintu untukku dan juga Sehun? Apa dia tidak tidur?

Wanita itu menatapku dingin, seakan-akan aku adalah musuh bebuyutannya. Aku pun balas menatap dia dingin. Tak ada gunanya juga membalasnya dengan senyum.

"Kau lagi," kata wanita itu padaku. Aku hanya diam saja, malas untuk menanggapinya. Tapi, tidak tahu kalau nanti. Biasanya, semakin lama, ucapan wanita itu semakin tajam.

Aku melihat wanita itu yang melihat ke arah Sehun yang sementara kugendong. "Sampai kapan kau akan terus membuat Sehun menjadi anak yang bengal?" ucap wanita itu lagi.

Aku mendesah. Ingin sekali rasanya aku mengumpat sekasar-kasarnya tepat di depan wajah wanita itu. Namun sayang, aku masih memiliki batas kesabaran dan sopan santun yang sudah diajarkan oleh appa dan eomma-ku selama ini. Jadi, tidak mungkin aku membuat malu mereka dengan berbuat tidak sopan di hadapan orang yang lebih tua.

"Kau harusnya mengubah Sehun menjadi anak yang baik, bukan malah mengubahnya menjadi anak yang buruk!" Wanita itu bercerocos lagi.

Aku menghela napas panjang. Oh, tak tahukah dia kalau aku sudah mulai merasakan keram di tanganku karena menggendong Sehun?

"Ajeomma!" Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan hal yang bisa kusebut 'musibah' ini agar aku bisa membawa Sehun ke kamarnya. "Apa Ajeomma selama ini tidak pernah bercermin, eoh? Apa selama ini Ajeomma selalu bersikap baik pada Sehun? Apakah Ajeomma selama ini sudah memberikan kasih sayang kepada Sehun selayaknya seorang ibu kepada anaknya? Apakah Ajeomma-"

Plak!

Aku meringis saat kurasakan rasa perih yang baru saja mampir di pipi kiriku. Wanita itu sudah menamparku. Aku mendesah dan kemudian menatap wanita itu miris. "Kenapa, Ajeomma? Apakah yang aku katakan itu benar?"

"Kau tak tahu apa-apa tentang keluarga kami," sanggah wanita itu. Sepertinya dia merasa tersindir.

"Ya, aku mungkin memang tak tahu apa-apa tentang keluarga Ajeomma. Tapi, aku cukup tahu banyak hal tentang Sehun yang mungkin saja tidak Ajeomma ketahui."

"Jangan bicara omong kosong, ya! Kau bukan siapa-siapanya Sehun, sementara aku adalah ibu tirinya. Jadi, aku yang lebih tahu banyak hal tentang Sehun!" wanita itu bersungut-sungut.

"Oh, ya? Ajeomma tidak sedang bermimpi, 'kan? Apa aku salah dengar? Ibu tiri? Hh, bahkan Sehun saja tidak pernah mengakui keberadaan Ajeomma."

"Apa?!"

"Jika Ajeomma tahu banyak hal tentang Sehun, harusnya Ajeomma tak akan membiarkan Sehun sampai menderita seperti ini." Aku lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Mengabaikan umpatan wanita itu di belakang. Membawa Sehun ke dalam kamarnya. Sehun yang malang, setidaknya masih ada aku yang menyayangimu di dunia ini.

.

.

.

Tbc ...

Krisarannya, dong!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top