👉 Chapter 11
....
Sehun menatap gedung bertingkat di depannya itu dalam diam. Dadanya bergemuruh, dan tubuhnya bergetar. Ada perasaan takut yang menyelimuti dirinya.
Bangunan itu ....
Di mana ia mendengar suara seseorang yang sangat disayanginya untuk terakhir kali. Dan, ia masih sangat sedih karena hal itu.
"Ayo, Sehun-ah." Seorang pria paruh baya mengajaknya masuk ke bangunan tersebut. "Percayalah, semua akan baik-baik saja," ucapnya, mencoba meyakinkan putrinya tersebut.
Sehun ragu, serta bimbang. Apakah dia harus ke sana?
Bolehkah dia pergi dari sini saja sekarang?
Di sini bukan tempat yang cocok untuknya.
Dia ... merasa masih dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Kenapa, hah? Kau tak ingin masuk?" Tuan Oh bertanya kepada Sehun saat dilihatnya anaknya tersebut sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri saat ini.
Sehun menggeleng. "A-ppa ... apa semuanya akan baik-baik saja?" tanyanya ragu.
Tuan Oh tersenyum. "Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah pada Appa. Appa tidak ingin kehilanganmu."
Dengan berat hati, akhirnya Sehun pun mengayunkan kakinya memasuki bangunan tersebut. Meskipun perasaan takut masih menyelimuti dirinya.
...
"Tumor di jantung anak Anda belum masuk ke kategori ganas. Ini masih bisa ditangani." Seorang pria yang berprofesi sebagai dokter itu tampak serius berbicara dengan Tuan Oh.
"Jadi, bagaimana cara penyembuhannya, Dok?" tanya Tuan Oh.
"Operasi."
Sehun langsung menatap dokter itu intens.
"Tumor yang tumbuh di jantung anak Anda termasuk tumor primer, di mana hanya menyerang jantung saja, dan bukan berasal dari organ lain."
"Jadi, penyakit putri saya ini tidak terlalu parah, ya, Dok?" tanya Tuan Oh.
Dokter itu menggeleng. "Untuk saat ini tidak. Namun, putri Anda harus tetap menjaga kesehatannya. Kondisi jantungnya lemah. Atur pola makannya, buang kebiasaan merokok."
Deg! Tuan Oh langsung menoleh ke arah Sehun. Namun, Sehun tampak tak acuh. Gadis itu sedari tadi hanya menatap kumpulan kertas yang ada di atas meja tepat di depannya itu.
"Buang juga kebiasaan meminum minuman yang mengandung alkohol," lanjut dokter itu.
"Apa kebiasaan itu juga termasuk faktor penyebab penyakit anak saya, Dok?"
"Faktor genetik," Sehun langsung menyahut. "Faktor genetik, Dok. Mendiang ibu saya meninggal dunia akibat tumor jantung juga, Dok."
"Sehun-ah."
"Jadi, saya terkena penyakit ini karena faktor genetik, Dok, bukan karena kebiasaan merokok atau pun karena alkohol."
Dokter itu mengangguk paham.
"Jadi, kapan bisa dilakukan operasi, Dok?" tanya Tuan Oh.
"Secepatnya, mumpung tumornya masih tergolong jinak," jawab dokter tersebut.
"Baiklah kalau begitu, Dok. Kalau begitu, saya dan anak saya pamit dulu. Masalah kapan waktu akan dilakukan operasi, akan saya bicarakan dengan anak saya dulu. Kalau memang sudah siap, saya akan datang ke sini lagi dan membicarakannya dengan dokter."
Sehun dan ayahnya kemudian melangkah pergi dari ruangan tersebut.
"Sehun-ah!" Tuan Oh memanggil Sehun yang berjalan mendahuluinya.
Sehun menoleh.
"Kau dengar, kan, apa yang dokter itu tadi katakan."
"Ya."
"Kau jangan pergi ke bar lagi dan minum-minum bir di sana. Itu bisa membuat keadaanmu memburuk."
"Apa peduli Appa? Justru, aku sangat senang kalau keadaanku semakin memburuk. Itu berarti, aku bisa dengan cepat menyusul eomma."
Plak!
Tuan Oh langsung menampar pipi Sehun. "Kenapa kau berbicara seperti itu, hah?! Apa kau tak kasihan sama Appa? Kau tahu, Sehun-ah, Appa sangat kehilangan eomma-mu."
Sehun menangis sembari memegangi pipinya yang terasa perih. "Itu semua karena salah Appa. Appa tidak pernah becus menjaga eomma. Appa tidak pernah memperhatikan eomma." Sehun tidak peduli dengan orang-orang yang lewat di dekatnya. Biarlah semua orang tahu, kalau keluarganya memang tidak baik-baik saja.
"Cukup, Sehun-ah! Appa mohon, jangan bahas itu lagi. Arachi?"
"Hiks."
"Ayo, kita pulang." Tuan Oh merangkul Sehun, dan mengajaknya pulang.
Sehun menurut. Sebenarnya, dia ingin pulang sendiri. Namun, karena merasa tubuhnya sudah merasa lelah, dia pun terpaksa menuruti apa kata ayahnya. Dia ingin cepat sampai rumah, dan tidur dengan lelap.
...
"Bagaimana tadi, hah? Apa kata dokter?" tanya Kai kepada Sehun yang sedang duduk di sampingnya. Dia dan Sehun kini sedang dalam perjalanan.
"Operasi," jawab Sehun.
"Ya?"
"Dokter menyarankan agar aku dioperasi. Mumpung masih jinak."
"Terus, kapan kau akan dioperasi?"
"Jangan bahas itu. Aku sedang malas membahasnya."
"Ne ...." Kai lalu mendengus. "Selalunya seperti itu," gumamnya.
"Kai-ya ... aku merindukan eomma," ucap Sehun lirih.
"Ayo kalau ada waktu kita ke Busan," sahut Kai.
"Aku jadi ingin tinggal di Busan saja daripada di Seoul."
"W-wae? Ada apa dengan Seoul, hah?"
"Seoul penuh dengan kenangan menyedihkan. Aku ingin tinggal bersama halmeoni dan harabeoji di Busan."
"Aku, sih, setuju-setuju saja kau mau tinggal di mana. Asalkan, kalau kau sudah benar-benar sembuh."
Sehun menghela napas panjang.
"Aku kasihan sama mereka jika harus merawat dirimu yang sakit jika kau belum sembuh. Mereka sudah tua. Harusnya, kan, kau yang merawat mereka, bukan malah mereka yang merawatmu. Kau, kan, cucunya."
"Yak, bukankah kau juga cucunya, eoh?"
"Ya, aku memang cucunya. Tapi, aku belum tertarik untuk menetap di sana."
"Ya sudah, biar aku saja yang tinggal di sana. Kau tak perlu."
"Baiklah ...."
.....
Chanyeol menyunggingkan senyum lebarnya saat dia sudah bertatap muka dengan Tuan Oh. Pria paruh baya itu tadi menghubunginya dan menyuruhnya datang kemari, di kediaman keluarga Oh.
"Terima kasih banyak, Chanyeol-ssi, karena kau sudah mengawasi putriku selama ini," ujar Tuan Oh.
"Ne, sama-sama, Ajeossi. Senang bisa membantu Anda," sahut Chanyeol. "Ngomong-ngomong, di mana Sehun, Ajeossi?" tanyanya kemudian. Sedari tadi, dia sama sekali tidak melihat batang hidung Sehun di rumah tersebut.
"Seperti biasa, dia pergi keluar. Entah ke mana," jawab Tuan Oh.
Chanyeol mengangguk paham. Setahunya, Sehun memang jarang berada di rumah, dan lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah.
"Aku mohon padamu, Chanyeol-ssi. Tolong jaga Sehun baik-baik. Dia gadis yang lemah."
"Baik, Ajeossi."
Chanyeol kemudian bangkit berdiri, lalu pamit pergi dari sana.
Namun, baru sampai gerbang, Chanyeol sudah dikejutkan oleh keberadaan Sehun yang baru saja pulang.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Sehun penuh selidik.
"A-aku ... ng ... ingin bertemu denganmu," jawab Chanyeol gagap.
"Bertemu denganku?"
"I-iya."
"Tapi, dari mana kau tahu alamat rumahku?"
"Ng ... itu ... ish, apa kau lupa, kalau aku pernah mengantarmu pulang, hah? Tepatnya, saat kau pingsan di sekolah tempo hari."
"Oh." Sehun tampak tak acuh. Gadis itu kemudian melangkah memasuki pekarangan rumahnya. Mengabaikan Chanyeol yang katanya tadi ingin bertemu dengannya.
"Yak, Sehun-ssi!" panggil Chanyeol.
Sehun menghentikan langkahnya dan menoleh. "Wae?"
"Kenapa kau mengabaikanku? Bukankah aku tadi bilang kalau aku ingin bertemu denganmu?"
"Terus? Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Jadi, apa masalahnya?"
"Tentang di rooftop kemarin."
Deg! Sehun langsung tertegun.
"Aku minta maaf jika itu membuatmu tak nyaman. I-itu ... aku refleks melakukannya. Sungguh. Aku tidak berbohong."
Sehun bergeming. Detik selanjutnya, dia melangkah menghampiri Chanyeol dan langsung mengecup bibir pemuda tinggi itu sekilas. "Sekarang kita impas," ucap Sehun, lalu melenggang pergi dari sana.
Chanyeol menatap punggung Sehun yang mulai menjauh itu dengan tatapan tak percaya. Bahkan, pemuda itu sampai menganga. "A-apa dia baru saja menciumku?" Dia lalu memegangi bibirnya. "Apa itu artinya ... dia akan menerima perasaanku?"
Chanyeol hanya bisa berangan-angan sekarang. Tapi, melihat Sehun yang memperlakukannya seperti itu tadi, membuatnya tersenyum lebar. Sehun memang sosok yang dingin. Namun, meskipun begitu, Chanyeol tahu bahwa gadis itu baik. Dan, mungkin saja suatu saat nanti, gadis itu akan balik menyukai Chanyeol.
.....
Sehun berkali-kali mendengus saat melangkah memasuki kamarnya. Dia tidak mengerti, kenapa bisa melakukan hal seperti itu tadi. Mencium Chanyeol. "Apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku bisa melakukan itu? Arrrggghhh," erangnya. Gadis itu kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Membaca komik mungkin bisa menetralkan sistem saraf-nya.
"Tidak," Sehun menggeleng-gelengkan kepalanya, "aku tidak mungkin menyukainya."
Ceklek
Sehun langsung menoleh saat ada yang membuka pintu kamarnya tanpa permisi. Itu Tao, saudara tirinya. "Apa yang kau lakukan ke kamarku?" tanya Sehun.
"Park Chanyeol tadi kemari," jawab Tao.
"Ne. Aku sudah tahu."
"Appa yang menyuruhnya."
"Mwo?" Sehun tersentak.
Tao mendengus. "Wae? Kenapa harus Park Chanyeol, hah? Kenapa harus dia?" ucapnya marah.
"Jadi, selama ini appa menyuruh Chanyeol untuk mengawasiku?"
"Menurutmu? Kau memang sungguh sangat merepotkan, Sehun-ssi. Dan aku, sangat-sangat membencimu. Tidak bisakah kau memberitahu appa agar menyuruh orang lain selain Park Chanyeol untuk mengawasimu, hah?!"
"Yak, Tao-ssi! Kau kira aku mau selalu diawasi, hah?! Kau tahu, aku ingin hidup bebas?!"
"Bebas? Bukankah selama ini kau selalu hidup bebas? Kau selalu melakukan apa pun yang kau sukai."
"Ya, kau benar. Aku memang selalu hidup bebas. Dan, mungkin saja karena hal itu, appa jadi menyuruh orang untuk mengawasiku."
"Dan kenapa orang itu harus Park Chanyeol, hah?!"
"Wae? Apa kau iri? Apa kau cemburu?"
"Ya!"
"Tsk, bukankah appa lebih sayang padamu? Kenapa kau tak menyuruh appa agar mengutus seseorang untuk mengawasimu?"
"Yak, Sehun-ssi!"
"Wae? Kau tahu, Chanyeol menyukaiku."
"Mwo?"
"Dia bahkan pernah menciumku."
"Apa?"
"Keluarlah dari kamarku! Kau selalu saja masuk ke sini tanpa izin. Aku saja tidak pernah masuk kamarmu. Apa kau menyukai kamarku? Kalau iya, kenapa kita tidak bertukar kamar saja?"
"Yak, Sehun-ssi!"
"Keluarlah! Apa kau tuli, hah?"
Dengan kesal, Tao pun akhirnya melangkah pergi dari ruangan tersebut. Tak lupa pula untuk menutup pintu kamar Sehun dengan sangat keras. Entah kenapa, dia selalu saja kalah jika harus berdebat dengan Sehun.
Sehun mendengus kesal. Sampai kapan pun, dia tidak akan bisa yang namanya akur dengan Tao. Sehun sangat membenci Tao, terlebih lagi pada ibunya.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Sehun sangat yakin kalau itu bukanlah Tao.
"Sehun-ah! Apa kau di dalam?"
Sehun menghela napas panjang. Itu suara ibu tirinya. "Mau apa dia memanggilku?" gumam Sehun. "Ne!" sahutnya kemudian.
"Eomma masuk, ya!" Wanita paruh baya itu pun membuka pintu kamar Sehun. Dilihatnya Sehun yang duduk sambil membaca komik di meja belajarnya. "Apa yang sedang kau lakukan, Sehun-ah?"
"Seperti yang kau lihat," sahut Sehun tampak tak peduli.
Shin Young pun melangkah menghampiri Sehun. Bibirnya tersungging naik. Jika seperti ini, ia akan terlihat seperti sosok ibu yang baik. "Kau suka membaca komik?"
"Kadang-kadang."
"Appa-mu sudah bercerita ke Eomma."
"Lalu?"
"Kau harus sembuh, Sehun-ah."
Sehun mendesah. Lalu, dia bangkit dari duduknya. "Apa pedulimu?"
"Sehun-ah, Eomma peduli padamu. Eomma sayang padamu. Eomma sudah menganggapmu seperti anak kandung Eomma sendiri."
"Jinjjayo? Kau menganggapku seperti anak kandungmu sendiri?"
"Ne. Kau tahu, Sehun-ah. Jika aku mencintai appa-mu, maka aku harus mencintaimu juga. Bukankah seorang ibu harusnya seperti itu?"
Sehun tertawa miris. "Shin Young-ssi, kenapa kau bisa mencintai appa-ku? Wae?"
"Entah. Aku juga tidak tahu. Aku tidak peduli dengan masa lalu appa-mu seperti apa. Yang jelas, aku mencintainya. Bukan juga karena appa-mu adalah orang kaya. Keluargaku termasuk keluarga bangsawan. Ah, kau sudah tahu itu. Kau tahu, Sehun-ah, cinta itu tidak butuh alasan."
Sehun terdiam. Bingung, ingin berkata apa.
"Kau tahu, Sehun-ah. Semua hal yang aku cita-citakan dari dulu kini sudah tercapai. Hanya saja, masih ada satu hal yang sangat aku impikan yang belum tercapai. Kau tahu apa itu? Kau memanggilku eomma."
Deg!
Sehun tertegun. Gadis itu kemudian menatap wanita di depannya itu dalam. Dia bisa melihat kedua mata Shin Young yang memerah menahan tangis.
"Yah, mungkin aku tidak seperti eomma kandungmu. Tidak seperti eomma impianmu. Selama ini, aku sudah berusaha untuk menjadi eomma yang terbaik untukmu. Tapi, ternyata aku gagal. Aku bukanlah eomma yang kau inginkan." Air mata Shin Young akhirnya meluap.
Sehun terenyuh. Ini adalah pertama kalinya dia melihat Shin Young menangis. "Eo-eomma ...," Sehun berucap lirih.
"Ya? A-apa kau bilang barusan, Sehun-ah?"
"Apa seperti itu?" Sehun akhirnya ikut menangis. "Itu, kan, maumu, Eomma."
"Sehun-ah ...." Shin Young langsung memeluk tubuh kurus Sehun erat. "Gomawoyo ...."
Sehun terisak di pelukan Shin Young. "Eomma ...."
Ibu bukanlah sebuah panggilan kepada seseorang yang hanya melahirkanmu saja. Tetapi, seseorang yang memperlakukanmu layaknya seseorang yang melahirkanmu pun pantas untuk dipanggil ibu.
.
.
.
Tbc ....
----------------------------------------------
Uhuk!
Update lebih cepat daripada biasanya. Walaupun kagak sampai 2000 kata 😁😁😁
Sejauh ini, apa pendapat readers tentang ff gaje ini?
Apakah biasa2 saja?
Bikin baper? (hoax)
Dan lain-lain?
Silakan dijawab.
🙏🙏🙏
Ya sudah, terima kasih sudah mau membaca ff gaje ini. Kuharap kalian menyukainya.
Jangan lupa, vote dan komen..
Wassalam
01 Maret 2018
Sambil dengerin lagunya EXO - Universe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top