👉 Chapter 1

...

Sehun POV

Wanita paruh baya itu sudah menyambut kedatanganku di ruang tamu, begitu aku memasuki rumah. Tatapannya tajam, menandakan bahwa ia sedang marah. Dan jangan lupakan sebuah amplop putih di tangannya.

"Mau sampai kapan kau akan seperti ini terus?" tanyanya dengan nada marah.

"Sampai aku mati," jawabku judes, lalu melengos pergi dari sana.

"Sehun-ssi!" seru wanita itu. "Kau itu seorang kakak! Harusnya kau itu memberikan contoh yang baik buat adikmu!"

Aku langsung menghentikan langkah kakiku. "Adik?" gumamku. Aku lalu berdecak. "Maaf, tapi aku tidak pernah merasa punya seorang adik," ucapku tanpa berbalik. Aku kemudian melanjutkan kembali langkah kakiku pergi dari sana menuju kamar.

"Sehun-ssi!" teriak wanita itu, namun aku mengabaikannya. "Dasar anak kurang ajar!" Aku mendengar ia mengumpat.

Ceklek

Blam!

Aku menutup pintu kamarku dengan kerasnya, sehingga menimbulkan bunyi yang mungkin saja membuat orang yang mendengarnya langsung tersentak. Aku berdiri di baliknya. Samar-samar, aku masih bisa mendengar teriakan wanita yang sudah kuanggap seperti nenek sihir itu di ruang tamu. Kebetulan, jarak antara kamarku dengan ruang tamu hanya dibatasi oleh ruang keluarga. Jadi, segala macam teriakan apa pun di sana masih bisa kudengar.

"Kalau kau tidak bisa memberi contoh yang baik buat adikmu, contohlah adikmu! Apa dia seperti dirimu, yang suka keluyuran tidak jelas? Apa dia suka mendapat surat dari guru BK? Apa dia suka pulang sekolah telat? Tidak!"

Aku menutup mata dan telingaku. Kenapa selalu hal itu yang dibahas?

"Kau harusnya seperti Tao! Dia tidak buruk sepertimu! Apa kau mendengarku Sehun-ssi?!" seru nenek sihir itu, lagi.

"Arrrgghhh ...!" aku menggeram kesal. Selalu saja Tao, Tao, dan Tao. Aku bukan Tao, dan tidak akan pernah mau seperti Tao, gadis yang menutupi kelicikannya dengan topeng kebaikan.

Aku kemudian berjalan menuju laci meja belajar. Lalu, kubuka laci tersebut. Di sana, ada sebuah botol obat berwarna putih. Aku mendesah melihatnya. "Mungkin, jika aku tidak meminumnya lagi, aku akan cepat mati," ucapku, lalu menutup laci tersebut.

Aku kemudian melempar tasku asal dan menghempaskan tubuh kurusku ke atas ranjang. Menatap lekat langit-langit kamarku yang catnya sudah mulai terkelupas. Pandanganku memang di sana, namun pikiranku jauh mengembara entah ke mana. Terlalu banyak masalah yang datang. Dan aku, sama sekali belum menyelesaikannya.

"Sehun-ssi!"

Entah sudah berapa kali aku mendengus kesal karena mendengar suara nenek sihir itu lagi. Dia memang tidak ada bosan-bosannya memanggil namaku. Sepenting itukah aku sampai-sampai terus dipanggil sedari tadi? Jawabannya tentu tidak.

Aku adalah orang yang tidak penting. Keberadaanku bagi dia mungkin hanyalah sebuah beban. Sebenarnya, aku sangat ingin pergi jauh ... ke tempat mereka-mereka (orang yang tidak mengharapkan kehadiranku) tidak bisa melihatku lagi.

Namun, entah kenapa, masih ada saja orang-orang lain yang selalu ada untukku. Orang-orang yang tidak rela jika aku pergi.

"Sehun-ssi!"

Suara itu lagi. Aku membencinya. Wanita tua yang kini berstatus sebagai istri appa-ku. Wanita tua 'kedua' yang bertugas sebagai pengganti mendiang eomma-ku. Tapi aku tidak pernah rela jika posisi eomma-ku digantikan oleh siapa pun. Tak ada yang boleh menggantikannya, sekalipun appa-ku menggantinya.

Namanya Choi Shin Young, istri appa-ku. Asal kalian tahu, appa-ku sudah pernah menikah sebanyak tiga kali. Istri pertamanya adalah eomma-ku. Seseorang yang sangat aku sayangi. Seorang yang kini sudah pergi jauh ke tempat yang tenang. Seseorang yang sangat aku rindukan saat ini.

Istri kedua appa adalah eomma-nya Tao. Namanya Huang Jin Zi. Appa menikah dengannya setelah setahun kepergian eomma. Namun, keduanya sudah bercerai sekitar dua tahun yang lalu karena adanya suatu masalah yang tidak aku ketahui. Entah apa yang ada di pikiran appa sehingga Tao bisa tinggal di rumah ini. Padahal, Tao bukanlah anak kandung appa. Mungkin karena Tao yang menurut appa adalah seorang anak yang 'baik', makanya appa menginginkannya untuk tinggal bersama kami.

Dan setelah perceraian appa dengan Huang Jin Zi, satu setengah tahun kemudian, appa menikah lagi dengan Choi Shin Young –si nenek sihir. Seorang wanita pengatur hidup orang lain. Sangat menyayangi Huang Zi Tao seperti anak kandungnya sendiri. Ya, mungkin karena Tao yang sangat penurut, dan ... sangat pandai mencari muka.

Merasa jengah dengan teriakan nenek sihir itu, aku pun merogoh ponsel di dalam saku baju dan menghubungi Kai, seseorang yang sudah kuanggap seperti oppa-ku sendiri.

"Yeoboseyo!" sahut Kai.

"Kau di mana sekarang?" tanyaku.

"Di rumah. Waeyo?"

Aku melirik ke arah jam dinding di sebelah kiriku. Pukul 19.34. "Jemput aku di rumah sekarang."

"Apa?"

"Cepatlah! Nenek sihir itu mulai berisik."

"Baiklah, baiklah. Aku akan ke situ sekarang."

Aku langsung bangun begitu panggilan dengan Kai aku akhiri. Saatnya berganti pakaian dan pergi dari rumah.

***bad***

"Kau mau ke mana?"

Baru saja sampai di ruang tamu, nenek sihir itu sudah menyodoriku dengan sebuah pertanyaan yang membuatku memutar bola mata karena jengah. "Bukan urusanmu," jawabku, lalu melangkah pergi dari sana.

"Sehun-ssi!" Aku mendengar nenek sihir itu memanggil namaku, namun aku tidak menghiraukannya sama sekali, dan tetap melanjutkan langkahku keluar dari dalam rumah.

Kai ternyata sudah menungguku di depan gerbang. Pemuda itu tengah asyik duduk-duduk di dalam mobil sport-nya sambil memainkan ponsel di tangannya.
Aku lalu masuk ke dalam mobil Kai, dan tak lupa menutup pintu mobil mahal itu dengan sedikit keras, sehingga membuat si empunya mobil langsung menatap ke arahku datar. "Wae?" tanyaku pada Kai.

"Ada masalah apa lagi, hah?" Bukannya menjawab, Kai malah balik bertanya. Dia lalu melajukan mobilnya.

"Seperti biasa, wanita tua itu mulai lagi," jawabku. "Selalu saja menyuruhku agar seperti Tao, Tao, dan Tao."

Kai berdecak lidah. "Ya, Tao memang berbeda denganmu. Dia jauh-jauh lebih baik daripada dirimu," ucapnya yang langsung membuatku mendengus kesal.

"Jangan pernah membanding-bandingkan aku dengannya. Kami beda," kataku.

"Ya, ya, ya, kalian memang beda. Oh ya, kita mau ke mana?"

"Terserah."

Kulihat Kai tersenyum. "Baiklah, aku akan membawamu ke sebuah tempat yang mungkin akan membuatmu senang."

Aku mengernyit. "Ke mana? Apa ke klub malam?"

"Aniya. Aku jamin, kau tidak akan kecewa."

Aku menghela napas panjang. Tidak berniat lagi untuk bertanya, ke mana kira-kira Kai akan membawaku pergi. Yang penting, seperti yang dia katakan tadi; tidak membuatku kecewa.

***bad***

Begitu keluar dari dalam mobil, objek pertama yang kulihat adalah sekumpulan laki-laki dan perempuan yang seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Mereka berkumpul di pinggir jalan –yang sama sekali tidak dilalui oleh kendaraan umum. Yang terlintas di kepalaku mengenai tempat ini adalah sebuah arena balapan liar.

Aku kemudian beralih menatap Kai, mengisyaratkan bahwa aku membutuhkan sebuah kejelasan mengenai tempat ini. Namun, pemuda itu malah tersenyum, dan menarik tanganku agar ikut berkumpul bersama sekumpulan laki-laki dan perempuan itu.

"Permisi-permisi ... orang tampan mau lewat," ucap Kai kelewat narsis, mencoba menerobos orang-orang yang menghalangi jalan kami.
Sepertinya Kai adalah pria yang sudah terkenal di sini. Buktinya, mereka langsung minggir begitu mendengar ucapan Kai barusan.

Dugaanku ternyata benar. Ini adalah sebuah arena balapan liar. Di depan sana, tepatnya di tengah jalan, aku melihat dua unit mobil mewah beserta pemiliknya yang sedang berdiri di depan masing-masing mobil tersebut.

"Kenapa kau membawaku ke tempat seperti ini?" tanyaku pada Kai yang berdiri di sebelahku.

"Kenapa? Apa kau tak suka?" tanya Kai balik.

"Bukan begitu. Sepertinya ini menarik," jawabku.

"Apa kau tahu mereka berdua?" Kai menunjuk dua orang lelaki yang berdiri di depan masing-masing mobil itu.

"Aku hanya tahu pria yang berdiri di depan mobil warna merah itu. Namanya Wu Yifan, 'kan?" Aku lalu berdecak. "Dia cukup terkenal."

"Yeah ... tentu saja kau tahu. Dia 'kan mantan kekasih adik tirimu itu."

Aku langsung mendengus kesal begitu mendengar Kai menyebut kata 'adik tirimu'. "Aku tidak punya adik," ucapku.

Kulihat Kai menyeringai. Dia paling tahu apa yang bisa membuatku kesal. "Kalau pria yang di depan mobil warna putih itu, apa kau tahu?" tanya Kai kemudian, sambil menunjuk seorang pria bersurai kecokelatan di depan sana.

"Tidak," jawabku singkat.

"Astaga. Padahal dia cukup terkenal."

"Oh, ya? Tapi kenapa aku tidak tahu?"

Kai mengendikkan bahunya. "Namanya Park Chanyeol. Anak dari Park Jungsoo, pemilik Park Corp yang terkenal itu," jelas Kai.

"Ah ... aku tidak tahu. Maksudku, aku tidak tahu siapa itu Park Jungsoo dan apa itu Park Corp," sahutku. Aku terlalu malas untuk update mengenai apa-apa saja yang sedang terkenal di negara ini.

Kai langsung menatapku cengo. "A-apa? Kau tidak tahu Park Corp? Sungguh? Astaga ... Sehun-ah ... benar-benar."

"Kenapa? Tidak ada untungnya juga bagiku untuk tahu mengenai hal itu."

Kulihat Kai geleng-geleng kepala. "Terserah kau saja."

Aku kembali fokus pada objek di depan sana. Kulihat seorang wanita yang mengenakan pakaian yang bisa dibilang errrrr ... seksi mulai berjalan ke tengah-tengah jalan. Di tangannya terdapat sebuah bendera yang bermotif kotak-kotak. Sepertinya balapan akan dimulai. Suara sorakan dari para penonton juga sudah mulai riuh.
Kedua pria yang bernama Wu Yifan dan Park Chanyeol itu mulai memasuki mobil masing-masing. Wanita berpakaian seksi itu juga mulai mengangkat bendera di tangannya.

"Tunggu!"

Aku langsung menoleh ke samping kiriku. Seorang Kim Kai tiba-tiba saja berteriak, sehingga membuat seluruh pasang mata langsung menoleh ke arahnya, termasuk dua pria yang ada di dalam mobil.

Kai lalu maju beberapa langkah. "Maaf sebelumnya, tapi aku punya sebuah penawaran yang sangat menarik," ucapnya, yang membuatku mengernyitkan dahi bingung. Kai kemudian menunjuk ke arahku. "Gadis itu!"

"Ya?" aku sedikit terkejut.

"Siapa pun yang menang malam ini, akan mendapatkan gadis itu secara cuma-cuma. Selama malam ini. Bagaimana?"

"Apa? Yak, Kim Kai-ssi!" Aku langsung mengumpat kasar. Apa-apaan itu? Kai berniat menjadikanku bahan taruhan? Yang benar saja. Hh! Dasar Kai hitam!

Seluruh penonton bersorak, menandakan bahwa mereka setuju. Kulihat dua pria di dalam mobil itu mengacungkan jari jempolnya, tanda bahwa mereka juga setuju.

Oke, sepertinya setelah pulang dari sini, Kai harus diberi pelajaran.

"Apa yang kau lakukan, hah?" amukku begitu Kai sudah berdiri di sebelahku lagi.

"Kenapa? Apa kau tidak mau? Yah ... padahal banyak gadis di luaran sana yang berharap bisa berkencan dengan salah satu pria itu. Kau harusnya bersyukur, karena bisa mendapatkan apa yang mereka tidak bisa dapatkan."

"Bersyukur? Kau bilang aku harus bersyukur? Yak, Kai-ya, aku baru bersyukur kalau kau mengantarku pergi dari sini sekarang juga."

"Tidak mau. Acaranya baru akan dimulai."

"Ya sudah, kalau kau tidak mau. Aku akan pergi sendiri." Aku mulai melangkah pergi, namun gagal. Seorang Kai langsung menahan lenganku. "Lepas!"

Kai menggeleng. "Tidak."

"Yak, Kai-ya!" Aku mencoba menghempaskan tangannya, namun sulit.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sekarang." Kai tiba-tiba saja langsung memelukku dari belakang. Sangat erat, sehingga menyulitkanku untuk melepaskan diri. Dasar Kim Kai pesek!

Balapan pun dimulai. Kedua mobil di depan sana kini sudah mulai melaju. Tentunya dengan kecepatan di atas rata-rata. Para penonton kembali berseru. Menyebutkan nama Wu Yifan dan Park Chanyeol dengan semangatnya, tapi tidak denganku.

Aku terus mengumpat kasar. Segala jenis binatang sudah kusebutkan untuk mengatai seorang Kim Kai yang saat ini masih saja menahan tubuhku. "Sampai kapan kau akan menahanku seperti ini?"

"Sampai mereka kembali."

"Apa? Berapa lama, hah?"

"Um ... biasanya sih sekitar lima menitan."

Aku mendesah. Itu berarti, Kai baru akan melepaskanku lima menit ke depan. Huuffttt ....

Lima menit kemudian ...

Ternyata benar apa yang dikatakan Kai tadi. Setelah lima menit berlalu, aku melihat sebuah mobil berwarna merah yang melaju di depan sana. Itu mobil Wu Yifan. Berarti pemenangnya adalah pria itu? Mantan kekasih Tao? Jadi aku akan bersama namja itu selama malam ini gitu? Hh, yang benar saja.

"Wow, Wu Yifan. Bagaimana Sehun-ah?" tanya Kai. Aku hanya diam saja. Terlalu malas untuk menjawab pertanyaannya itu. Tak lama kemudian, terlihat mobil berwarna putih yang baru tiba.

Pria bernama Wu Yifan itu keluar dari dalam mobilnya. Lalu, dia berjalan menghampiriku. Jangan lupakan suara sorakan yang terdengar memenuhi gendang telingaku.

"Hai, Oh Sehun-ssi," ucap Yifan. Oh, sepertinya dia tidak melupakan namaku. Kami dulu pernah berkenalan saat dia datang ke rumahku –tentunya untuk mengajak Tao kencan.

Kai akhirnya melepaskan pelukannya, dan itu membuatku bisa bernapas lega. Namun, aku langsung kecewa saat melihat pria di hadapanku itu. Tidak jadi bernapas lega. Masih ada satu masalah lagi.

"Selamat, Wu Yifan-ssi. Kau pemenangnya," ujar Kai sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Yifan. Kulihat Yifan menyeringai. Pria itu kemudian menerima uluran tangan Kai.

"Sekarang, kau boleh memiliki dia." Kai tiba-tiba saja mendorong tubuhku dari belakang, dan itu membuatku langsung menatapnya tajam. Kim Kai memang minta dimutilasi.

"Apa aku tidak mendapatkan hadiah sama sekali?" Seorang pria berperawakan tinggi tiba-tiba saja datang dan bergabung dengan kami. Itu adalah pria yang kuketahui bernama Park Chanyeol.

"Tidak ada. Siapa suruh kau kalah," sahut Kai.

"Yak, Kai-ssi! Meskipun aku tidak menang, harusnya kau menyiapkan hadiah untukku juga!"

Kai berdecak lidah. "Diamlah anak kecil."

"Apa? Apa kau bilang? Anak kecil?"

"Iya. Kenapa? Apa kau marah? Kau 'kan masih SMA, jadi tidak masalah 'kan, kalau aku menyebutmu anak kecil?"

"Yak, Kai-ssi!"

Grep

Sebuah tangan tiba-tiba saja menarik lenganku. Itu Wu Yifan. Dia kemudian mengajakku pergi menuju mobilnya, mengabaikan dua pria yang masih asyik berdebat itu.

.

.

.

Tbc ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top