Chapter 41

Hai teman temin

Maap baru bisa update

Beberapa hari ini susah banget nyari mood yang pas baut ngetik chapter ini

Uda ngetik lima ratus kata, hapus lagi, uda ngetik delapan ratus kata, hapus lagi.

Semoga kali ini dapet feelnya

Btw tolong tandai kalo typo ya

Well, happy reading everyone

Hope you like this chapter

Enjoy it ❤❤❤
______________________________________

Heavy Metal

Killpop by Slipknot

______________________________________

This is my confession
As dark as I am
I will always find enough light to adore you to pieces
With all my pieces
Johny Nguyen•
______________________________________

Jakarta, 6 Juni
22.05 p.m.

Jayden masih memelukku. Ia menunduk, menenggelamkan kepalanya dalam ceruk leherku.

"I just..." Ia menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya "tired," tambahnya. Ucapnya dalam, suaranya berat dan pelan. Tampak lelah, bukan fisik, melainkan batin. Mungkin karena hal itu.

Tenggelamnya tanganku dalam balutan tuxedo yang ia pakaikan tadi kugunakan untuk mengusap punggungnya. Berharap memberikan kenyamanan serta ketenangan di sana. Untuk beberapa saat kami saling diam seperti ini, aku menunggunya bercerita, tapi tampaknya ia tidak punya niatan untuk menceritakannya. Sebelum aku sempat bertanya ia menyuruhku ganti baju lebih santai, karena gaun yang kupakai tidak terlalu nyaman untuk tidur.

Malam ini aku menginap di sini lagi, karena tidak membawa baju ganti ia meminjamiku jumper hitamnya. Kulihat, banyak sekali jumper hitam laki - laki itu, yang ia pinjamkan dulu saja ada dua dan masih belum kukembalikan. Sekarang aku akan meminjam yang lain lagi. Apa mungkin ia ingin aku mengoleksinya?

Setelah mengganti gaun gold lengan panjangku dengan jumper, aku keluar kamar terlonjak kaget mendapati seseorang shirtless sedang merokok di dekat jendela dalam keadaan gelap karena lampu ruangan ini di matikan. Picingan mataku berubah normal ketika mengenali sosok itu.

Laki - laki itu sedang merokok dengan posisi duduk menyamping memandang keluar jendela. Dalam keadaan gelap, cahaya bulan menyorot mengarah ke tubuhnya membentuk siluet, membuatnya tampak seperti lukisan.

Laki - laki itu...

Posisi duduknya...

Cahaya bulan yang menyorotnya...

He's just perfect...

If his eyes doesn't look like very sad.

Dadaku kembali sesak melihat pemandangan ini. Sosok yang jadi object pandanganku kembali menghisap rokok di tangan kanannya hingga habis baru menoleh. Ia bangkit berjalan masuk kamar. Aku melihat tato sayap malaikatnya di sinari cahaya bulan ketika melewatiku.

Ia keluar lagi dengan jumper abu terang dan memakainya tepat di depanku yang hanya mampu meneguk ludah melihat body buildernya.

"Uda siap tidur?" Tanyanya sambil merapikan jumper yang ia kenakan.

"Iya, tapi belom gosok gigi, sikat gigiku masih ada kan?" Tanyaku, memastikan ia masih menyimpannya saat menginap di sini kala sakit dulu.

"Masih," kata Jayden melirik arah washtafel dekat kamar mandi. "Mau gosok gigi bareng?"

Aku mengangguk. Ia berbalik badan hendak berjalan ke washtafel saat aku mengatakan, "boleh minta gendong?"

Mendengar permintaanku ia berhenti, "aneh - aneh aja," katanya sambil berjongkok dan menepuk punggung,"naik."

Dengan senang hati aku naik di punggung lebarnya. Sekarang aku mirip koala yang nempel induknya kemana - mana. Bahkan saat gosok gigi bersama, berkumur, membersihkan make up yang menempel pada wajahku, aku tetap di gendongan punggungnya. Ia juga tidak protes sedikit pun, malah mengatakan, "suka kamu nggak pake make up." Sebelum menurunkanku ke kasur.

"Kenapa?"

"Lebih cute, make up tebel bikin mukamu keliatan tua." ia ngutarakan alasannya membuatku cemberut. Jayden hanya tersenyum lalu mulai merebahkan dirinya di atas kasur.

"Jayden," panggilku saat ia mulai memejamkan mata. Kami sedikit berdesakan di atas kasur ukuran queen karena lumayan sempit. Ia meletakkan lengan tangannya untuk bantalku dan menyelimuti tubuh kami.

"Hm?" Jawabnya malas dengan memejamkan mata.

"Aku lulus tes akselerasi," kataku senang sambil tersenyum.

"Bagus." Responnya datar. Jauh dari pikiranku, kukira ia akan tertawa lebar, bangga padaku seperti duo jahilun, atau minimal tersenyum. Tapi ia tidak.

Aku diam saja sambil mencebik. Mungkin karena merasa aku diam saja tubuhnya berguncang karena tertawa. "Of course I'm so proud of you," ucapnya masih dengan mata terpejam. "Tidur yok, ngantuk," katanya setelah mencium puncak kepalaku.

Aku mengeratkan pelukan. "You know, kamu bisa cerita sama aku kalo ada masalah, ya meskipun mungkin nggak bisa bantu, tapi sapa tau itu bisa ngurangin bebanmu. Aku bisa jadi pendengar setia kalo kamu mau." Kataku panjang lebar pada Jayden tapi ia tidak merespon, aku mendongak, ternyata ia sudah tidur, napasnya teratur dan dengkuran halus mulai terdengar, membuatku semakin tersenyum.

Bukannya ikut tidur aku semakin ngoceh tidak jelas. "Dulu aku pernah di ajak kak Brian ke toko buku, sekilas nggak sengaja nemu buku tentang reinkarnasi. Aku cuma liat sampulnya terus ngremehin buku itu sambil ngomong dalem ati, buku apaan sih ini, ngayal banget, nggak masuk akal teorinya." Aku menghentikan kalimatku untuk membasahi bibir.

"That's before I meet you. Sekarang, kalo aku lagi sama kamu, aku malah ngarep reinkarnasi itu ada. Terus pengennya tiap kali reinkarnasi aku ketemu kamu. It's ridiculous, isn't it?" Lanjutku sembari tersenyum merutuki kekonyolanku sendiri. Tidak lama kemudian aku mulai mengantuk dan ikut terlelap.

Keesokan paginya aku terbangun karena suara ketukan pintu. Seseorang masuk dalam kamar, membuatku otomatis membuka mata sambil menguceknya dan berusaha duduk. Aku kaget saat mendapati Amanda berjalan ke arahku dengan senyum cerahnya.

Apa yang di lakukan Amanda di apartem...

Eh? Aku di kamarku sendiri? Bukankan tadi malam aku tidur di apartement Jayden? Apa aku mimpi?

Aku melirik ke kasur sebelahku. Kosong. Tentu saja kosong, memangnya Jayden ikut tidur di sini?

"Maaf Mel, mami lagi semangat nyobain jadi ibu yang bangunin putrinya." Kata Amanda, maksudku mami (kami sudah sepakat memanggilnya begitu) membuyarkan aktifitasku mengendarkan pandangan ke seluruh penjuru kamarku sendiri.

"Oh," jawabku bingung harus berkata apa. Tampaknya gelagatku di baca mami.

"Jayden nganterin kamu semalem, kamu tidur kayak orang pingsan," kata mami menjawab semua pertanyaanku. "Tenang, semalem belum mami jewer telinganya."

"Oh ya ya," kataku kikuk, ingat saat dulu mami melihatku dan Jayden ciuman. Mami bilang akan menjewernya ketika sudah jadi ibuku."Mami nggak honey moon?"

Mami tertawa renyah. "Pertanyaanmu sama kayak Brian, nanti sore baru berangkat, yuk mandi terus ke meja makan, mami uda bikinin sarapan di bawah, kakakmu juga uda turun, tapi masih belum mandi."

"Kakak kebiasaan, marahin aja tuh mi."

"Nanti biar mami marahin," jawab mami. Beliau melenggang keluar kamarku.

Dddddrrrrrttttt

Aku melirik ponsel di atas nakas lalu berguling untuk mengambilnya. Layar pada ponselku menunjukkan ada dua pesan. Satu dari Jayden, saat kubaca namanya senyumku mengembang secara otomatis karena namanya di ponselku masih sama seperti dulu. "Wilder" dengan emoticon setan tersenyum persis seperti imagenya waktu pertama kali aku bertemu dengannya dulu.

Satunya lagi dari kak Jameka. Tapi aku jelas membuka pesan dari laki - laki itu dulu. Ternyata pesan Jayden sudah dari semalam, sekitar jam dua belas.

From Wilder 😈 :
Good night, sweet dream.

Seperti biasa, singkat padan dan jelas, tapi selalu mampu membuatku tersenyum dan kesal secara bersamaan ketika membacanya.

To Wilder 😈 :
Kenapa kamu mulangin aku?

From Wlider 😈 :
Masih pengen hidup

Dadaku berdetak kencang ketika membaca pesan itu. Apa maksudnya? Apa ada kaitannya dengan Gamelita?

To Wilder 😈 :
Are you oke? Apa terjadi sesuatu?

From Wilder 😈 :
Belom mau mati di tangan Brian, om Baldwin, sama tante Amanda.

Aku menghela napas dan tersenyum lega ketika membaca pesan itu. Aku baru akan mebalas pesannya ketika kak Brian berteriak dari luar kamar, "dek buruan gue laper! Mandinya tar aja abis sarapan!"

Aku berdecak lalu cuci muka dan turun untuk sarapan. Di meja makan sudah ada daddy yang membaca koran dengan secangkir kopi panas di atas meja depannya. Kali ini beliau memakai baju casual, tidak memakai setelan kantor seperti biasanya karena tengah mengambil cuti untuk honey moon nanti sore.

Saat aku duduk, Kak Brian mencomot french toast buatan mami. Beliau yang melihatnya menepis tangan kakak, membuatnya meringis. Aku tertawa dan berkata, "syukurin! gebukin aja tuh mi. Kebiasaan!"

"Lo sih lama, laper gue!" Protes kak Brian. Lalu meja makan mulai ricuh karena aku dan kakak ribut dan baku hantam seperti biasanya. Sekarang suasana keluargaku lebih ramai. Dengan hadirnya mami, rasanya keluargaku untuh dan lengkap kembali.

Terlintas keluarga Jayden dalam benakku. Membuatku tersenyum masam, hatiku sakit sekaligus ketakutan teringat ancaman Gamelita, di tambah lagi saat membaca pesan dari kak Jameka.

From Yang Mulia Ratu Jameka :
Temui gue di Teras Dharmawangsa siang ini. Urgent.

Aku mulai menggigiti kuku, tanda penasaran, ketakutan, dan cemas setelah membaca itu. Tanpa membuang waktu lagi, aku bersiap - siap untuk menemui kak Jameka.

Aku tidak bisa ngebut karena jalanan lumayan macet. Berkali - kali berdecak, akhirnya setengah jam kemudian sampai di Teras Dharmawangsa.

Kak Jameka sudah duduk di smoking area, seperti biasa ia merokok dengan secangkir Americano di atas meja. Wajahnya tampak sangat serius. Aku langsung memeluknya sekilas, cipika cipiki seraya mengucapkan maaf karena keterlambatanku lalu duduk dengan was - was.

"Ada apa kak? Apa yang urgent?" Tanyaku tanpa basa - basi.

Kak Jameka mematikan rokok yang masih panjang dan meletakkan benda itu pada asbak. Ia menatapku. Ada ketakutan, ada kekhawatiran, keputus asaan, campur aduk menjadi satu. Lalu ia mengucapkan kalimat yang membuat hatiku seperti di sayat - sayat.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Makasih juga yang uda vote dan komen


See you next chapter teman temin

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top