Chapter 23

When the person tells you that you hurt them, you don't get to decide that you didn't
Louise C.K.
______________________________________

Jakarta, 14 Januari
09.07 a.m

"Oh wow, beneran dateng." Ucap seseorang.

Aku kenal suara ini. Bahkan sangat hafal. Aku hanya tidak ingin membenarkan indra pengelihatanku ketika melihatnya.

Untuk itu aku tetap melihat Jayden yang rahangnya mengeras, darah segar bercucuran di dahi serta mulutnya. Jaket kulit hitamnya juga terkena darah. Tatapan Jayden ke arah suara itu seperti ingin membunuh. Auranya menggelap berkali - kali lipat. Aku sampai takut, bergindik ngeri lalu mengikuti arah pandangannya. Dan ya, indra penglihatanku benar. Ada rasa kaget bercampur bingung dan tidak percaya, why must him?

"Sini Mel," katanya santai seperti sedang mengajakku ke taman bermain.

"Nggak mau?" Ia lalu menatap algojo - algojo itu, menjentikkan jarinya dan detik itu juga Jayden kembali di hajar. Apa aku punya pilihan lain selain mendekat ke arahnya?

"Stop!!! Gue ke situ!" Teriakku, mereka secara otomatis berhenti menghajar Jayden. "Kenapa lo ngelakuin ini?" Tanyaku polos membuatnya tertawa lepas.

"Lo masih inget gimana dia hajar gue di pesta Karina kan? Apa salahnya gue hajar balik, well, tiap perbuatan pasti dapet balesannya." Jawabannya enteng, memperagakan dengan tangan. Alisku masih berkerut tidak percaya ketika ia menjelaskan,"Well, bukan itu aja sih. Gue kecewa sama lo, semua orang tau lo deketin gue, bahkan gue juga uda mulai suka sama lo dan bela - belain ngelarin masalah gue sama Novem, tapi lo malah sama Jayden, kakak tiri gue?!" Bentaknya di akhir kalimat membuatku mundur selangkah. "You..." Ia menunjukku dan Jayden "Hurt me!" Anehnya lagi Jordan menambahkan senyum setelah mengatakan itu.

"Berarti urusan lo cuma sama gue! Kalo gitu lepasin Jayden!" Pekikku.

"Dengan senang hati, kalo lo mau having sex, maksud gue making love sama gue!"

"Bangsat!!" Brengsek!!" Teriakku dan Jayden hampir bersamaan. Bedanya Jayden langsung di pukuli.

"Stop!!" Teriakku membuat Jordan, maksudku si brengsek itu mengkode ke algojonya agar berhenti memukuli Jayden. Aku sudah mengepalkan tanganku marah.

"Bukannya itu tujuan lo kesini? Pake hot pants? Pengen godain gue? Lagian gue yakin lo uda pengalaman, apa lagi sama Jayden, so, apa masalahnya?" Tambahnya. Kali ini aku tidak bisa berdiam diri lagi saat si brengsek ini menghinaku. Jayden sudah mengumpat berkali - kali dan mendapatkan pukulan berkali - kali, maka dari itu rasakan ini!!!

Bugh

Pukulan tinjuku mendarat tepat di hidungnya, ia agak terpelanting ke belakang dan langsung mimisan lalu melihatku dengan tatapan murka.

"You slutty bitch!!"  Makinya sambil memegangi hidungnya, mengkode penjaga pintu tadi untuk memegangi tanganku. Aku baru akan kabur tapi penjaga pintu dengan cepat dapat menangkapku.

"Lepasin gue brengsek!!" Teriakku sambil memberontak, meronta - ronta tapi percuma. Kekuatan penjaga itu tentu tidak sebanding dengan badan kecilku. Si brengsek itu terus mendekat ke arahku, berusaha mencium bibirku dengan tangannya yang memegang keras rahangku sampai sakit. Aku masih berusaha berontak, ketika ia sudah semakin dekat, kuludahi wajahnya. Ia bersingkut mundur.

"Hahaha, I like this girl!" Katanya seperti orang sinting, mengelap ludah di wajahnya dan mendekatiku lagi, kali ini aku mencoba menendang - nendang tapi nihil. Sedangkan Jayden berusaha menghajar tiga orang algojo di sekitarnya dengan brutal.

Si brengsek itu semakin mendekat, aku tidak dapat melawan lagi. Saat itulah perasaan takutku muncul kembali dan mulai menangis. Detik itu juga Jayden meninju keras wajah si brengsek sampai tersungkur di lantai. Aku sempat melihat tiga algojo yang memukuli Jayden tadi sudah terkapar di tanah.

"Bangsat!! Apa yang lo lakuin bangsat!!!" Maki Jayden tepat di wajah si brengsek itu sambil terus memukulinya. Sedangkan penjaga pintu yang memegang tanganku mendorongku keras ke arah samping hingga aku oleng, tidak seimbang dan terjatuh, mendarat dengan satu kaki, rasanya sakit sekali kakiku. Sambil memegangi kaki, aku melihat penjaga itu sudah mengeluarkan pisau dan menancapkannya ke punggung Jayden dengan cepat yang sama sekali belum sempat kucegah.

"Jayden!!!" Teriakku sambil terisak berusaha bangkit berdiri tapi kakiku sangat sakit, akhirnya aku tidak bisa berdiri.

Sedangkan Jayden hanya bergeming, tidak kesakitan sama sekali. Ia berbalik badan dengan tatapan yang sangat menyeramkan berkali - kali lipat. lalu dengan satu kali tendangan sangat keras, penjaga pintu itu roboh.

"Jayden!" Teriakku lagi. Ia mencabut pisau yang menancap di punggungnya dengan satu sentakan keras. Tidak ada raut wajahnya yang menandakan ia kesakitan sama sekali. Aku yang melihatnya hanya mampu meringis, ngeri sambil terisak. Ia perlahan mendekatiku masih dengan tatapan murkanya, membuatku sangat takut.

Belum sempat ia sampai di depanku si brengsek itu bangun dan memukul punggung Jayden dengan balok kayu yang tidak aku ketahui berasal dari mana. Sekali lagi Jayden murka dan menghajarnya habis - habisan seperti orang kesurupan, tanpa memperdulikan luka punggungnya yang darahnya mengalir banyak sekali.

"Jayden udaaaahhhhh!!!!!" Lagi - lagi aku meneriakinya sambil menangis keras. Aku tidak bermaksud membela si brengsek itu, aku mengkhawatirkan luka tusukannya yang semakin berdarah banyak karena gerakan memukul terus - menerus.

"Bos uda bos dia bisa mati!" Teriak Tito yang akhirnya datang berjalan pincang dengan tiga teman berandalannya, berusaha memegangi Jayden yang sudah kalap seperti orang kesetanan.

"Godverdomme!!!" Bentakknya entah pada siapa.

"Jayden stop!!! Jayden!!!" Teriakku. Kali ini keras sekali dan berhasil menghentikannya.

"Kalo bukan Mel yang minta gue berhenti, uda gue tarik usus lo hidup - hidup!" Bentakknya. Tiga teman berandalan berusaha menjauhkannya dari si brengsek yang sudah babak belur dan terkapar di lantai. "Urus cecenguk ini!" Titahnya pada tiga teman berandalannya.

Jayden berbalik arah mendekatiku yang masih terisak keras. Tatapan matanya masih seseram tadi, aku juga masih takut, tapi sama sekali tidak tahu harus berbuat apa selain menangis seperti bayi sambil memegangi kakiku yang sangat sakit.

"Bodoh!" Makinya ketika sudah di depanku, Jayden juga mengusap air mataku dengan tangannya yang bau anyir darah. "Ngapain sih kesini?!" Makinya lagi, aku malah semakin keras menangis. "Biar gue hajar sekalian si Tito itu!!" Ucapnya tegas masih sambil mengusap air mataku.

"Jangan, gue yang maksa kesini!"

"Bahaya tau!!"

"Terus gue harus diem aja liat lo di pukulin sampe mati?!!!" Aku sudah tidak takut lagi, malah sekarang aku yang memakinya, marah, dengan air mata yang masih mengalir, juga memegangi kakiku yang sangat sakit. Saat itulah ketegangan wajahnya sudah tidak ada lagi, ia malah menciumku dengan mulut yang berdarah. Aku sampai dapat merasakan rasa darahnya. Saat aku memeluknya, tanganku tidak sengaja menyentuh darah dari luka tusukannya.

"J-Jayden punggung lo, punggung lo." Kataku gelagapan. "Ayo ke rumah sakit," Ajakku panik.

"Ck, godverdomme," ucapnya pelan.

"Apa?" Tanyaku tidak paham ucapannya. Ia malah melihat kakiku yang dari tadi kupegangi lalu menggendongku ala bridal style dengan punggungnya yang masih berdarah - darah.

"Jayden punggung lo, punggung lo!!!" Pekikku.

"Berisik!" Katanya dengan suara berat, lalu mendekati Tito dan seorang berandalan. "Telpon dokter biasanya, kita ke basecamp!" Titahnya pada Tito, sedangkan si brengsek Jordan sudah hilang entah kemana dengan dua orang berandalan tadi.

Tatapan Jayden beralih ke aku. "Lo kesini naik apa?"

"Mini cooper kuning," jawabku pelan.

"Mana kuncinya?"

Aku merogoh kantung hot pantsku dalam gendongannya dan meberikan itu ke Jayden.

"Lih, lo yang nyetirin Tito ke basecamp pake mobil cewek gue!" Perintahnya sambil melempar kunci mobilku ke berandalan yang di panggil Lih itu.

"Kenapa kita nggak ke rumah sakit aja? Kenapa kita nggak lapor polisi aja? Tolong teken luka punggung lo, iket pake jaket kulit ini!" Omonganku sudah ngelantur ketika ia mendudukanku ke mobil hummernya tanpa memperdulikan luka tusukan di punggungnya sendiri.

"Jaydeh bodoh!!!!" Teriakku tidak kuat lagi dengan Jayden yang sama sekali tidak meresponku dari tadi, baru ia menoleh. "Siniin jaket lo nggak ada protes!!"

Ia malah meimicingkan mata, "Gue semenggoda itu ya sampe lo nggak tahan minta lepasin jaket gue?"

"Oon!!!! Bisa - bisanya lo becanda!! Gue mau ngiket luka lo itu, biar darahnya nggak keluar terus, lo uda mulai pucet oon!!!"

"Hhmm ternyata gue nggak semenggoda itu di mata lo," katanya datar, seolah - olah sedih yang mendalam. Lalu mulai melajukan mobilnya ke basecamp tanpa melakukan apa yang kuminta tadi.

"Terserah lo deh!!!" Teriakku seperti orang frustasi bersendekap tangan sepanjang jalan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top