Chapter 21
Those who act no different than the others are fake
•Simone Nobilli•
______________________________________
Jakarta, 13 Januari
07.55 p.m
Mulai dari minta maaf Mel, mulai dari minta maaf, rapalku untuk menyemangati diri sendiri. Tapi ketika pintu apartementnya terbuka, perempuan sexy itu lagi yang muncul, semangatku luntur seketika.
"Lo lagi?" Kata perempuan itu sambil bersedekap tangan menatapku tidak suka. "Gue yakin lo nyari Jayden, dia nggak ada." Tambahnya lagi sambil melihat kukunya yang di cat merah tua.
See? datang kesini merupakan sebuah kesalahan. Bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah sakit hati saja. Lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain pergi?
"Lo suka sama Jayden?"
Aku sudah balik badan bersiap pergi, tapi pertanyaan perempuan itu berhasil menghentikan langkahku, membuatku berbalik ke arahnya lagi dan tersenyum hambar.
"Sudah gue duga," ucapnya. "Cewek kayak lo suka sama Jayden gue?" Remehnya melihatku dari atas sampai bawah lalu kembali bersedekap tangan. "Mending lo jauh - jauh deh." Kata perempuan itu santai dan datar sambil mengibas - ngibaskan tangannya. Padahal ia sama sekali tidak mencakar atau menjambakku tapi entah kenapa kata - katanya malah membuatku tertampar, bahwa itu benar? Kenapa nyaliku jadi ciut? Beda dengan kak Novem dulu ketika berkelahi setelah pulang sekolah gara - gara rebutan kak Jordan. Bukankah situasi ini mirip?
"Iya lo bener, gue harusnya tau diri," kataku implusif dengan sendu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, kalimat ini meluncur begitu saja. Itu malah membuat perempuan di depanku lebih tersenyum meremehkanku.
"Lo bener, jika di bandingin sama lo, gue nggak ada apa - apanya." Tambahku lagi. Air mata yang sudah beberapa hari ini kutahan, entah kenapa malah mengupul jadi satu siap tumpah.
"Baguslah kalo lo sadar diri, terus ngapain lo masih suka sama Jayden?" Tanya perempuan itu seperti mendesakku.
"Falling in love with him wasn't my plan, gue juga nggak tau kenapa bisa cinta sama Jayden, bukannya cinta emang nggak butuh alasan ya?" lagi - lagi aku mengatakan apa yang ada di pikiran dan hatiku. Entah apa yang ada di dalam perempuan ini, seolah - olah ia punya kekuatan magis untuk terus membuatku menjawab semua pertanyaannya. Padahal itu sama sekali tidak berguna, tidak penting lagi, toh Jayden sudah bersama dengannya. Aku sudah terlambat untuk mengakuinya pada Jayden, maka dari itu lebih baik aku menyerah dan pergi sekarang.
Menyadari bahwa saat inilah waktunya aku menyerah, dadaku rasanya nyeri dan sesak. Tangisku sudah akan tumpah, ketika tawa perempuan itu pecah.
"Pppppppppffffffffffttttttttt hahahahahahahaha, Jay, uda denger kan? Keluar nggak lo, sumpah gue nggak kuat, nggak tega liat muka polosnya!" Kata perempuan itu sambil membuka pintu lebih lebar dan yah, Jayden dari tadi berdiri di balik pintu sambil merokok mendengarkan obrolan kami. Seketika aku langsung mati gaya.
"Ya ampun liat mukanya Jay, uda ah gue ogah akting judes terus kek gini." Kata perempuan itu masih sambil tertawa melihatku dan Jayden bergantian. Tunggu! Akting?
Ia mendekat ke arahku dan mengulurkan tangan dengan tololnya kusambut lalu berkata, "kenalin, gue Jameka, kakak kandungnya Jayden, hahahaha." Tawanya sekali lagi.
What? Kakak kandung? Perempuan sexy yang membuatku cemburu tidak jelas ini kakak kandung Jayden? Memang sih tertawa mereka mirip, getstur tubuhnya juga mirip. Sepertinya memang kakak kandung. Ya Tuhan tenggelamkan saja aku di Antartika. Percuma aku sedih, galau tidak jelas, sampai di bentak kakakku sendiri, hanya untuk cemburu pada kakak kandungnya? Hilangkan saja aku dari muka bumi ini wahai Thanos, jentikan jarimu yang sudah ada infinity stone lengkap itu.
"Ya ampun liat mukanya uda mewek gitu Jay, bagian lo nih, utang gue pokoknya uda lunas ya, sekarang gue cabut dulu, bye Melody sayang, selamat nananina, kapan - kapan kita makan bareng." Pamitnya pergi begitu saja.
Kak Jameka bahkan tahu namaku? Dan apa katanya tadi? Nananina? Seketika alisku berkerut, aku tersingkut ciut, air mata yang tadi sudah terkumpul hilang entah kemana, aku baru akan melipir pergi tapi deheman keras Jayden mengagetkan dan menghentikanku.
"Apa itu bener?" Tanyanya dengan suara itu, suara yang beberapa hari ini kurindukan. Ia juga sudah mematikan rokoknya, tanda keseriusannya untuk berbicara denganku.
"Iya," jawabku pelan, masih mati gaya.
"Nggak salah orang?"
Ah kenapa mendengar pertanyaannya yang ini jadi melow ingat drama di pesta ulang tahun Karina? Tapi bukankah ini satu - satunya kesempatanku untuk menjelaskan semuanya sebelum sepenuhnya menyerah? Mungkin Kak Brian benar, aku harus menjelaskannya sekarang atau menyesal karena tidak melakukannya sama sekali. Entah bagaimana hasilnya nanti. Yang penting aku sudah menuntaskan penjelasanku.
"It was," kataku pelan dan lirih, rasanya seperti menelan batu kali ketika mengatakannya. Tapi aku harus! "Tapi entah sejak kapan, lo bikin gue jatuh cinta, dan niat g'akan cerita masalah itu ke lo karena gue pengen sama lo terus, takut lo pergi kalo tahu kebenarannya, maaf lo malah harus denger dari orang lain soal itu." tambahku masih dengan nada yang sama.
Lama kami saling diam, karena aku merasa Jayden tidak menjawab, aku perlahan berbalik badan berniat pulang.
"Then stay by my side." Ucapnya dalam.
Aku berhenti melangkah dan berbalik ke arahnya. Berusaha mencerna apa yang ia katakan. Apa aku salah dengar atau tidak.
"I said, stay by my side." Ulangnya.
Lalu detik itu juga aku berlari menghambur ke pelukannya, menghirup aroma mint tubuhnya dalam - dalam, aroma yang kurindukan. Semua yang ada pada diri Jayden yang kurindukan. How I miss him so much.
Jayden menciumku, seperti mencurakan semua kasih sayangnya untukku. Aku juga membalasnya. Lucunya lagi aku juga merindukan sensasi rasa pahit rokok dalam ciumannya yang memabukkan itu.
"Ehem, dasar anak muda jaman sekarang, nggak tahu malu ya, ckckckck."
Seketika kami melepas ciuman dan tertawa karena mendengar orang lewat berbicara seperti itu. Kami baru sadar jika masih di koridor depan pintu apartement Jayden yang bahkan masih terbuka.
Jayden menarikku masuk, menutup pintu kasar dan menciumku kembali. Aku hanya menurut ikut melingkarkan tangan pada lehernya dan membalas ciumannya.
"So Jayden, ceritain tentang kak Jameka," pintaku ketika duduk di pangkuannya di sofa depan tv setelah ciuman di depan pintu tadi. Ia memeluku dari belakang.
"Oon, oneng!" Jayden menowel kepalaku menggunakan telunjukanya, pelan tapi dengan dorongan kuat.
"Aw, sakitlah."
"Makanya, jangan keburu kabur dulu oneng! Uda gitu pake acara ngilang, hp nggak aktif! Mau hubungin Brian takut dia tambah khawatir!" Omelnya masih dengan menowel - nowel kepalaku.
"Sakit tau, abisnya kan kak Jameka gitu sih, sapa yang nggak salah paham coba, lagian lo ngomong kayak gitu apa nggak ngaca? Pake acara kabur lagi waktu di pesta Karina, bikin drama aja tau nggak." Protesku sambil menghindari towelan telunjukanya.
"Oh iya ya, kok bisa sih gue ketularan keoonan lo?" Katanya setengah mengejek.
"Makanya jangan suka ngatain, ketularan kan, syukurin." Balasku tidak ingin kalah.
Bukannya menjawab Jayden memalingkan wajahku ke arahnya siap menciumku lagi, tapi ponsel dalam tasku bergetar.
"Ck, ganggu aja," kata Jayden.
"Itu kakak, dia tadi yang nganter gue kesini, pasti khawatir gue belum ngabarin, kakak lagi nungguin di parkiran sekarang.
Jayden mengambil ponsel yang masih bergetar itu dan mengangkat telpon dari kakak dan berkata, "pulang aja lo, adek lo nginep sini." Dan telponnya pun di tutup.
"Jangan ngomong sembarang!" Protesku seraya memukul lengannya pelan.
"Emang bener gue nggak ada niatan nganter lo pulang," katanya datar yang kuhadiahi pelototan.
"Gue bisa naik taxy kalo nggak mau nganterin!" Ucapku sambil bersendekap tangan.
"Gue bahkan nggak ngijin lo keluar dari sini." Tambahnya lagi.
"Jang hhhmmmppp," Aku ingin protes tapi ia sudah membungkam mulutku dengan ciumannya.
"Bawel." Katanya setelah melepas ciumannya. Aku hendak protes lagi ia juga menciumku lagi. Setiap kali aku akan protes ia selalu menciumku. Baiklah akhirnya aku menyerah, membiarkannya menciumku lama kali ini, aku juga membalasnya.
"Tandanya uda ilang," Ucapnya saat melihat ke area leherku.
Saat ini aku memakai lace mini dress warna army milik Ky&Q yang bagian lengan dan leher bawah kerahnya transparan, jadi ia tahu. Sedangkan aku sendiri malah tidak sadar tanda itu sudah hilang, karena memang beberapa hari ini tidak fokus, mengabaikan hal - hal tersebut.
Jayden mulai menciumku lagi. Jantungku selalu berpacu cepat jika berciuman dengannya. Apa lagi ketika tangan Jayden perlahan mencari zipper punggungku dan menurukannya sambil terus menciumiku dengan lembut. Rasanya ada jutaan sengatan listrik yang menjalar di seluruh tubuhku ketika tangan hangatnya menyentuh kulit punggungku, dengan perlahan menurukan dressku setengah dada lalu menandaiku dimana - mana seperti ketika di rest room bioskiop dulu. Ia juga meremas dada datarku pelan, sedangkan aku menggigit bibir bawahku keras - keras, berusaha agar tidak mendesah.
Setelah menandai leher dan dadaku dengan rata, Jayden memakaikan dressku dengan benar dan menutup zippernya, sejenak aku meresa tidak rela. Ia lalu ke kamarnya, meningglakan aku yang masih berdebar tidak karuan. Sebentar kemudian kembali membawa jumper Alan Walker warna hitam kesukaannya dan memakaikannya padaku. Jumper itu ukuran Jayden, bisa kau bayangkan ketika aku memakainya? Seperti tenggelam, panjang badan jumpernya saja lumayan menutup pahaku.
"Lain kali jangan pakek baju kayak gini lagi," Katanya menunjuk lace mini dressku. "Gue nggak suka lo diliatin cowok lain. Paham?" Lanjutnya menatap mataku tajam, sedangkan aku hanya bisa mengangguk patuh.
Tok tok tok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top