Chapter 18
______________________________________________
Don’t cry when the sun is gone...
Because the tears won't let you see the stars
••Violleta Parra••
______________________________________________
Jakarta, 9 Januari
08.00 a.m
Sedang apa perempuan sexy ini di apartement lelaki itu sepagi ini? Apalagi hanya mengenakan handuk, rambutnya juga basah.
“Nyari sapa?”
tanya perempuan itu.
"Sapa?" Teriak lelaki itu dari dalam apartement, belum sempat perempuan di depanku menjawab, ia sudah berdiri di sampingnya, dan shirtless sambil memegang rokok yang asapnya mengepul.
Rasanya tubuhku seperti di siram es, dingin dan kaku, padahal matahari sedang hangat - hangatnya. Aku hanya bisa mematung, memandang lelaki itu dan perempuan di sebelahnya secara bergantian lalu berkata, "Maaf, salah alamat." Dan berlari pergi, berusaha mati - matian menahan air mata yang bisa tumpah kapan saja.
"Mel, tunggu," Teriak laki - laki itu, sepetinya ia mengejarku tapi aku tidak peduli, terus berlari ke arah lift yang kebetulan sedang terbuka dan menutup pintunya cepat. Aku memenekan semua nomor lantainya agar laki - laki itu tidak dapat mengejarku. Lalu berhenti di sembarang lantainya.
Aku berjalan ke taman kecil yang ada di lantai itu, beruntungnya taman itu sepi. Dengan duduk di bangkunya aku merapalkan mantra pada diriku sendiri,"jangan menangis Mel, jangan menangis, kau tidak boleh menangis, kau sudah menangisinya semalaman," tapi percuma, tidak mempan, aku malah semakin keras menangis. Mengeluarkan semua rasa sakit hati lewat air mata yang bahkan tidak kunjung habis walau aku sudah menangis semalaman.
Setelah tenang aku mencoba berpikir logis. Besok hari sabtu pesta ulang tahun Karina tapi aku sama sekali belum membeli kado untuknya. Sambil berusaha menghirup nafas dalam - dalam dan mengeluarkannya perlahan aku menelpon kak Bella.
"Hallo," Sapa suara lembut di seberang.
Sebelum menjawab aku berusaha menetralkan suaraku agar terlihat normal, tidak serak seperti habis menangis. "Halo kak Bel."
"Ya Mel, tumben pagi uda nelpon."
"Kak Bella uda beli kado buat Karina belom?"
"Uda sih kemaren sama Brian, kenapa Mel?"
"Aku lupa kak, temenin aku beli kado please."
"Hari ini aku ada KRS, harus ketemu dosen jam sembilan, abis itu aku free, abis itu gimana kalo kita ke PIM?"
"Boleh, aku juga belom mandi sama siap - siap kok kak, santai aja. kita langsung ketemu di sana aja ya." Bohongku.
Setelah menutup telpon kak Bella aku menyetel ponselku mode pesawat. Menatap taman kosong, memandang gedung - gedung pencakar langit di depannya. Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Itu artinya sudah sejam lebih aku berada di sini melamun, lalu mulai mengumpulkan tenaga untuk turun ke Loby. Tidak lupa ke rest room untuk mencuci muka, memoles bedak dan lip tint agar tampak lebih segar, walau pun mataku masih bengkak.
Saat perjalanan ke PIM aku meminta supir taxy berhenti di Circle K ingin beli air mineral dingin dan kapas untuk mengompres mata bengkakku. Aku hanya tidak ingin saat bertemu kak Bella nanti di tanyai macam - macam. Rasanya aku masih belum mampu menjawabnya. Aku hanya akan pura - pura tidak terjadi apa - apa yang selalu laki - laki itu lakukan setiap saat. Ah, kenapa aku memikirkannya lagi.
"Adanya Indomart non, gimana?" Tanya supir taxy itu membuyarkan lamunanku.
"Oh ya sudah nggak papa pak," jawbaku lalu turun tidak lupa meminta supir taxy itu menungguku.
Beberapa menit kemudian setelah melanjutkan perjalanan aku sampai di PIM. Aku mencari nursery room yang kebetulan sedang sepi, tidak lupa mengunci pintunya aku duduk bersandar di sofanya.
To Peri Bella :
Di mana kak? Aku uda di PIM
From Peri Bella :
Otw, lima belas menit lagi sampe
To Peri Bella :
Tar kalo uda sampe langsung ke food court aja ya, aku di sana beli jajan.
From Peri Bella :
Oke
Dan aku langsung menyetel mode pesawat lagi. Lalu mengompres mataku dengan air mineral dingin sambil rebahan di sofa hingga lima belas menit dan bertemu kak Bella.
Kami berjalan seperti biasanya, mencari kado yang cocok untuk Karina dan bercanda, juga makan siang bersama setelah mendapat kado itu. Aku membeli beberapa baju agar kak Bella tidak curiga jika aku sedang sedih, padahal aku sama sekali tidak mood, baju yang kupilih juga asal - asalan.
"Mau makan apa kak biar aku pesenin, aku traktir deh, itung - itung buat ucapan terima kasih uda nemenin ke sini." Tanyaku setelah kami duduk di food court atas dan meletakkan beberapa paper bag di kursi sebelahku.
"Kamu ini kayak apa aja, nggak usah Mel." Tolak kak Bella dengan halus.
"Idih mesti kak Bella nih, jangan nolak ya kupesenin Rib eyenya papper lunch." Tawarku tanpa menunggu jawaban kak Bella.
"Kamu ini suka banget ya makan daging?" Tanya kak Bela ketika kami makan.
"Iya biar cepet tinggi kayak kak Bella."
"Haha ada - ada aja, btw tadi Brian uda aku kasih tau kalo kamu lagi sama aku, kayaknya dia sempet khawatir hpmu nggak aktif."
"Makasih kak, btw hpku aktif kok, coba aku cek dulu deh,"
Aku mengeluarkan ponsel di clutch bag ku dan pura - pura kaget. "Yah pantes aja, orang kepencet mode airplane."
Setelah makan kami hendak jalan - jalan lagi tapi cepat - cepat aku mengeluarakan ponsel. "Hallo," kataku lalu menutup ponsel menggunakan tangan sebelah dan mengkode kak Bella bahwa yang menelpon itu Karina.
"Kak, kakak pulang duluan aja, Karina kayaknya mau minta tolong buat pesta besok." Bisikku lalu kembali ke ponselku lagi dengan suara keras ,"Hallo Kar, iya bentar lagi gue ke situ."
Saat kak Bella melambaikan tangan pamit pulang aku segera menurunkan ponselku yang mati. Ya aku hanya pura - pura.
Aku menghembuskan nafas perlahan, air mataku rasanya akan jatuh lagi. Dengan cepat aku mengelapnya dan pergi jalan - jalan sendiri, menenangkan pikiran sendirian. Memainkan beberapa game, karaoke teriak - teriak tidak jelas selama tiga jam hingga tenggorokanku sakit. Lalu setelahnya aku melempar microphone asal dan menangis keras dengan alunan musik yang kusetel keras sekali agar tidak terdengar orang.
Hari ini, hidupku penuh kepalsuan. Rasanya aku bisa jadi actress terbaik pemenang nobel sekalian. Rasanya aku tidak ingin pulang. Jika pulang aku akan bertemu daddy dan teringat Amanda, lalu ujung - ujungnya teringat laki - laki itu lagi.
Patah hati ternyata sesakit ini, apa lagi untuk anak usia enam belas tahun sepertiku. Apa aku terlalu muda saat ini untuk sedang jatuh cinta dan berakhir patah hati? Apa jika aku jatuh cinta pada umur dewasa akan sesakit ini juga rasanya? Aku tidak tahu.
Jam sebelas malam tepat aku turun dari taxy depan rumahku dengan menenteng beberapa paper bag yang menurutku sama sekali tidak berguna. Di foyer depan kak Brian sudah siap dengan wajah marahnya.
"Dari mana aja lo? Hp mati, nggak bisa di hubungi! Jam sebelas malem baru pulang? Huh?!" Bentak kak Brian tepat selangkah aku masuk rumah. Aku hanya bisa menunduk, rasanya air mata ini akan keluar lagi.
"Maaf hpku lowbat," jawabku pelan sambil menunduk.
"Duit jajan lo bisa beli hp sepuluh, beli charger atau beli hp baru kenapa nggak bisa cuma buat ngasih kabar gue?!!!"
"Maaf."
"Dan lo malah belanja?!!"
Rasanya baru kali ini aku melihat kakakku semarah ini. Biasanya kak Brian selalu jahil. Melihat dan mendengar makiannya membuat sakit hatiku bertambah berkali - kali lipat. Aku ingat terakhir kali kakak marah, waktu itu umurku masih sepuluh tahun. Itu pun hanya karena gara - gara aku tidak sengaja menginjak dan mematahkan robot gundamnnya. Dulu masih ada mommy yang menenangkanku, juga mendamaikan kami. Sekarang mommy sudah di surga, bagaimana caranya ia bisa menenangkan keadaan kacau ini?
Mengingat mommy aku jadi tidak kuat lagi, aku menangis sekencang - kencangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top