Bab 9

Reiki menggigit lolipop di mulutnya. Kemudian membuang tangkainya ke tong sampah. Kerumunan siswa di depan mading kelas membuat langkahnya semakin cepat. Ia menyelip di antara kerumunan. Ia tak peduli pekikan, bahkan umpatan yang dilontarkan siswa lain saat ia tanpa sengaja menginjak kaki mereka.

Reiki mengamati dua lembar kertas putih berisi tabel nama dan nilai hasil ulangan Bahasa Indonesia kelas X5. Ia tak berniat membaca semua nama yang ada di sana untuk mencari namanya. Ia sudah tahu, nama Reiki Savian pasti ada di urutan terakhir. Benar saja, namanya ada di kolom terakhir pada lembar kedua. Angka 0 tertera pada kolom nilai.

Ia berbalik dengan wajah malas. Meski sudah tahu ini akan terjadi, tetap saja ia merasa sedih bahkan kecewa pada dirinya sendiri melihat nilai itu. Memang, selama ini namanya selalu ada di posisi terbawah. Paling bagus jika ada dua nama di bawah namanya. Namun, baru kali ini ia mendapat nilai nol.

Evano yang baru tiba langsung menerobos kerumunan. Reiki tak memedulikannya. Cowok itu langsung masuk ke kelas, duduk di kursinya. Beberapa saat kemudian, Evano menghampirinya dengan wajah berseri.

"Gue dapat nilai tujuh puluh, Ki," ucap Evano. Cowo itu duduk di kursi di depan meja Reiki.

Reiki menatap malas.

"Selamat Evano! Lo luar biasa. Lo mau gue ngomong gitu kan?" tanya Reiki. "Jangan harap."

Evano langsung menatap sinis.

"Idih, siapa juga yang minta dipuji sama lo," ucap Evano.

Reiki tertawa kecil, kemudian wajahnya berubah serius.

"Kok nilai ulangan lo menurun?" tanya Reiki. "Biasanya nilai ulangan Bahasa Indonesia lo bagus. Paling rendah delapan lima."

Evano menggaruk kepala. Matanya melirik ke kiri-kanan.

"Itu, soal ulangan kemarin lumayan susah, Ki," jawab Evano. "Gue juga enggak belajar malam sebelumnya."

Reiki merasa ada yang aneh dengan sikap Evano. Bukan hanya hari ini. Beberapa hari terakhir, sejak Evano tahu Reiki dijadwalkan belajar bersama dengan Xavera, Evano mulai berubah. Ia terlihat antusias setiap kali membahas tentang Xavera.

"Lo kenal Xavera?"

Evano terpelongo. Ia terkejut atas pertanyaan dari Reiki yang tiba-tiba. Jelas Reiki tahu kalau Evano mengenal Xavera. Evano tahu, ada maksud lain dari pertanyaan Reiki. Hal itu pula yang membuatnya tidak nyaman. Pasti Reiki sudah menaruh curiga padanya. Seharusnya ia bisa lebih mengontrol diri.

"Ya, gue kenal. Kan kita satu sekolah," jawab Evano sesantai mungkin. Ia berusaha menjaga ekpresinya agar tidak panik. "Emang ada apa?"

Reiki meletakkan kedua tangan di meja. Tubunya dicondongkan ke arah Evano. Cowok yang diajaknya bicara itu semakin khawatir.

"Kenal di mana?"

"Ah, gue kenal dia pas ospek dulu. Kebetulan kami satu kelompok," jawab Evano sembari memutar otak untuk mencari jawaban. Ia berusaha berpikir setenang mungkin agar tidak memberikan jawaban yang justru akan menyudutkannya.

"Oh, gitu." Reiki memundurkan badan. Punggungnya disandarkan ke punggung kursi. "Sedekat apa lo sama dia?"

Evano merasakan keringat mulai mengucur di dahinya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Mereka tidak pernah memperdebatkan cewek, tetapi hal itu pula yang membuatnya khawatir.

"Nggak usah panik gitu, Van," ujar Reiki kemudian terbahak.

Evano yang nyaris kencing di celana menyengir. Ia mencoba menjawab sesantai mungkin.

"Ih, siapa yang panik," jawab Evano berdalih.

"Lo kenal dia di luar sekolah?" tanya Reiki serius.

Evano diam sejenak. Ia ragu untuk menjawab. Namun, saat Reiki menaikan alis untuk menagih jawaban darinya, ia buru-buru menjawab.

"Eng-enggak, kok," kata Evano terbata-bata. "Gue sama Xavera cuma kenal di sekolah doang. Itu pun gak begitu dekat. Kan lo lihat sendiri."

Reiki mengangguk beberapa kali. Ia tersenyum lebar, membuat Evano sedikit lebih tenang.

"Gue harap persahabatan kita tetap terjalin, ya, Van," ujar Reiki. "Meskipun gue merasa nggak lama lagi bakal ada yang bikin kita memilih jalan masing-masing."

***

"Ya, Sayang. Semua yang kamu minta, pasti Abang penuhi, kok," ujar Feo pada wanita di seberang telepon. Wajah lelahnya sehabis bekerja tersamarkan oleh senyumnya yang tak kunjung luntur sejak ia melangkah masuk dari pintu depan. Setelah melepas sepatu, ia duduk di sofa. Tas kerjanya diletakkan di meja. Pria berkumis tipis itu melonggarkan dasi yang melilit lehernya.

Wanita di seberang telepon terdengar merengek.

"Abang kapan, sih, cerainya?" tanya wanita itu dengan suara yang dibuat seperti anak kecil. "Dari dulu bilang secepatnya."

Feo mendesah, kemudian menoleh pada Reiki yang baru saja melintas di ruang tamu.

"Dari mana saja kamu?" Tiba-tiba saja Winia berteriak dari balik tembok kamar Reiki. Entah sejak kapan wanita itu berdiri di sana. Saat Reiki masuk, ia hanya melihat ayahnya yang sibuk mengobrol dengan wanita di telepon. Sementara ia tak melihat ibunya di sana.

Reiki nyaris melompat karena terkejut. Feo yang juga tidak menyadari keberadaan Winia, menghentikan sementara perbincangannya dengan kekasihnya itu. Winia berjalan ke ruang tamu. Matanya menatap tajam pada Reiki, sesekali melirik Feo yang mengamatinya dan Reiki secara bergantian.

"Kenapa jam segini baru pulang?"

Reiki melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul 18.30. Ia masih mengenakan seragam sekolah. Ranselnya menggantung di lengan kanan. Pakaiannya tampak lusuh.

"Iki abis nongkrong sama temen, Ma," jawab Reiki sembari menunduk. Ia tak pernah berani menatap langsung mata ibunya.

"Bukannya belajar, malah keluyuran kamu, ya," bentak Winia. Kemarahannya semakin memuncak saat ia melirik pada Feo yang kini kembali mengobrol dengan kekasihnya di telepon. "Kamu tahu, tadi wali kelas kamu telepon Mama. Katanya nilai ulangan Bahasa Indonesia kamu nol."

Winia meletakkan kedua tangannya di pinggang. Dadanya terasa panas saat Feo terkikik di sofa ruang tamu. Kemarahannya semakin memuncak, memenuhi kepalanya hingga ubun-ubun.

"Udah enggak niat sekolah kamu, ya?" Winia meninggikan volume suaranya. Selain karena luapan emosi, ia juga ingin wanita yang mengobrol dengan Feo mendengar teriakannya. "Kalau mau jadi anak jalanan, bilang sekarang. Mama bahagia kalau kamu pergi dari rumah ini, lepas dari tanggung jawab Mama."

Reiki masih diam. Ia mengusap tangannya ke celana. Telapak tangannya basah. Diperlakukan seperti ini membuatnya lemah. Meski ia terlihat kuat, seperti anak jalanan yang dinilai tak punya pemikiran yang sehat, tetapi Reiki punya hati yang rapuh. Ia hanya anak yang butuh kasih sayang.

"Mama capek ngurus kamu sendirian. Mama banting tulang buat sekolahin kamu, dan ini balasan kamu?" Winia mengacungkan tangan. Telunjuknya menunjuk Reiki. "Reiki, jawab Mama."

"Iki minta maaf, Ma," jawab Reiki. Kini buliran air mata membasahi pipinya. Beberapa saat kemudian, ia mulai terisak pelan. Feo menoleh, mengamati putranya saksama. Ini pertama kali ia melihat Reiki menangis.

"Winia, udah deh. Kalau mau mendidik anak enggak usah teriak-teriak, malu didengar tetangga," ujar Feo.

Winia merasa setitik kemenangan menelusup ke dadanya. Ini yang ia tunggu. Akhirnya, Feo terpancing.

"Kenapa harus malu, Mas?" tanya Winia menantang. "Aku lebih malu punya anak yang enggak patuh kayak dia. Tapi, biar Mas tahu. Aku lebih malu punya suami yang enggak becus jadi kepala rumah tangga. Clevo dan Reiki tanggung jawab kita berdua, Mas."

Feo bangkit berdiri. Ia meletakkan ponselnya ke meja. Namun, wajahnya masih terlihat tenang.

"Winia, kamu jangan nyalahin aku, dong," ucapnya. "Kalau dia yang salah, ya salahkan dia. Emang dasar Reiki yang bandel, kan?"

Winia merasa dadanya perih. Melihat Reiki menangis di hadapannya, tak dipedulikan sedikit pun oleh Feo membuat batinnya teriris. Sebenarnya ia tak tega memperlakukan Reiki seperti itu. Terlebih setelah sekian lama ia mendidik Reiki dengan keras, baru kali ini ia melihat anak bungsunya itu menangis.

Nalurinya sebagai ibu tak bisa berbohong. Ia ingin menangis, tetapi berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Setidaknya tidak di depan Feo. Ia ingin menunjukkan pada Feo bahwa ia bisa membesarkan dan mendidik kedua putranya dengan baik tanpa bantuan suami. Namun, ia tak bisa mengontrol emosi setiap kali Feo menelepon kekasihnya, berbincang mesra, ditambah kelakuan Reiki yang tidak mendukung upayanya.

Reiki melihat bagaimana ibunya berusaha. Reiki tahu Winia tak sepenuhnya membencinya. Namun, ia juga tak suka diperlakukan kasar seperti itu. Ia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Hanya saja, terbaik menurutnya belum tentu baik bagi orang lain.

Reiki meninggalkan ruang tamu. Ia menutup telinga saatkedua orang tuanya kembali adu mulut. Ia tak ingin mendengar sepatah kata puntentang perceraian yang mereka perdebatkan, juga perihal dirinya yang masihsaja dioper layaknya bola.




TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.

SALAM MANIS SALAM GEMOY..!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top