Bab 8
"Lo kok bisa-bisanya sih ngosongin kertas jawaban tadi?" Evano bertanya sembari mengunyah bakso kecil di mulutnya. Air liurnya melompat ke mana-mana, membuat Reiki bergeser ke kiri, semakin rapat dengan Arvin. Cowok lemot itu menoleh, kemudian bergeser ke kiri.
"Anak kadal, lo kenapa ikutan bergeser?" tanya Reiki.
Arvin menelan bakso yang ia kunyah, kemudian menyeruput es jeruk di gelas.
"Gue belum yakin, Ki, kalau lo enggak suka sama gue," jawab Arvin santai. Kemudian ia menusuk bakso kecil di mangkuk dengan garpu, menyuapkannya ke mulut tanpa menoleh pada Reiki.
Reiki yang setengah jengkel, menelan ludah. Kali ini Evano yang menertawakan nasib sial Reiki.
"Sial banget, ya, gue hari ini." Reiki menyeruput teh obeng di gelas yang tersisa hanya setengah. "Enggak di kelas, enggak di kantin, tetap aja nemu orang begini."
Evano berhenti tertawa. Ia menopangkan kedua siku di meja. Kedua telapak tangannya menopang dagu. Hal yang selalu ia lakukan bila ingin berbicara serius.
"Coba deh, sesekali cerita sama kita," ucap Evano. "Eh, ke gue deh. Sama dia enggak usah." Evano menunjuk Arvin yang seolah tak peduli dengan lirikan matanya.
Evano mendesah.
"Gue enggak paham, Van sama video yang dikirim Xavera. Gue kan udah pernah bilang sama lo."
Evano memanyunkan bibir, terdiam sesaat. Kemudian ia menegakkan punggug. Kedua tangannya dilipat di dada.
"Serumit apa, sih, video yang dia kasih?" tanya Evano pensaran. "Ya kali, lo enggak paham apa yang dijelasin Xavera."
Reiki menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan.
"Mungkin buat lo itu bukan hal sulit, Van," ujar Reiki. Suaranya terdengar lirih, seolah ia sudah lelah dengan hidupnya sekarang. "Lagian gue kadang kesal. Waktu gue chat dia buat nanya beberapa hal yang gue nggak paham, eh dia nggak respon. Kan gue jadi malas buat lanjutin belajar."
Evano mengangguk. Ia paham letak permasalahannya. Ia sudah berteman dengan Reiki sejak SMP. Ia paham bahwa sahabatnya ini orang yang mudah bosan dan cenderung pasrah akan keadaan. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Meski nilainya tidak pernah di bawah rata-rata, tetapi ia juga bukan siswa yang pintar. Bisa dapat nilai pas-pasan saja sudah syukur.
"Mending lo coba deh minta ke Xavera biar lo diajarin langsung," saran Evano untuk kesekian kali.
Reiki memandang malas. Ia mengusap rambutnya ke belakang dengan kedua tangan. Punggungnya disandarkan ke punggung kursi.
"Eh, ada cewek cantik tuh," ujar Arvin yang sedari tadi sibuk menikmati baksonya.
Evano dan Reiki menoleh ke arah yang ditunjuk Arvin. Seorang cewek berambut panajang sepinggang tengah berdiri di meja kasir. Meski posisinya membelakangi mereka, Reiki tahu itu Xavera. Cewek itu selalu mengenakan hoodie dengan warna yang sama.
"Itu Xavera, kan?" tanya Evano merasa tak yakin. Ada sesuatu yang lain di matanya saat melihat cewek itu.
"Ya, dia Xavera," ujar Reiki. Kemudian terpikir olehhnya untuk menemui cewek itu sekarang. Reiki tidak pernah melihatnya ke kantin. Ini kesempatan baik untuk mengajaknya mengobrol tanpa harus memancing kemarahan penjaga perpustakaan.
Reiki bergegas saat Xavera hendak berbalik ke kelas. Ia menarik tangan gadis itu secara tiba-tiba. Xavera mengaduh sembari menahan sakit di lengannya. Ia berbalik, menatap keji pada cowok yang tiba-tiba menarik paksa tangannnya.
Xavera menarik paksa tangannya dari genggaman Reiki. Namun, ia tidak cukup kuat untuk melepas genggaman cowok itu. Reiki membiarkannya meronta beberapa kali sampai akhirnya cewek itu menyerah.
"Lo mau apa, sih?" bentak Xavera. "Lepasin tangan gue!"
Reiki tersenyum penuh kemenangan melihat cewek itu tak berdaya di hadapannya. Kali ini, ia bisa sedikit memaksa agar cewek itu mau mengajarinya secara langsung.
"Gue bakal lepas kalau lo mau ngomong sama gue dan lo harus janji, lo bakal nurutin semua yang gue bilang."
Xavera menatap tak percaya pada cowok yang sudah dibantunya itu. Ia semakin jengkel saat tahu cowok yang katanya gemoy itu suka memaksa.
"Itu bukan perjanjian tapi pemaksaan," ketus Xavera. "Bisa gue laporin lo ke guru."
Reiki tersenyum, merasa gemas pada cewek di hadapannya. Melihat Xavera tak berdaya sembari berusaha kabur membuatnya merasa bangga. Ia tidak pernah merasa sebahagia itu. Seolah-olah, inilah yang ia butuh.
"Laporin aja," ucap Reiki menantang."S-E-K-A-R-A-N-G."
"Tapi lepasin dulu," pinta Xavera.
"Enak aja. Lo jawab dulu permintaan gue. Ngobrol sama gue dan lo harus nurutin apa kata gue."
Xavera merasa ngeri akan perjanjian itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan cowok itu padanya. Mereka bahkan belum saling mengenal sebelum akhirnya Pak Surya mempertemukan mereka.
Xavera menarik napas. Ia tahu, tidak ada artinya mencoba kabur.
"Ya, udah gue mau," ujar Xavera akhirnya. "Lepasin tangan gue."
Reiki melepas tangan Xavera. Cewek itu mengusap lengannya yang digenggam kuat oleh Reiki. Cowok itu merasa tak enak memperlakukan Xavera seperti itu. Ia tidak suka dianggap kasar, terlebih oleh cewek yang sukses membuatnya penasaran. Namun, ia tak punya pilihan. Masa depannya dipertaruhkan.
"Apa mau lo?" tanya Xavera.
Reiki tersenyum ramah sebelum menjawab.
"Gue mau lo ngajarin gue secara langsung sepulang sekolah," ujar Reiki.
Xavera memelotot. Ia tidak menyangka kalau cowok itu akan tawar-menawar lagi dengannya.
"Kan gue udah bilang, gue enggak bisa," tegas Xavera. "Lagian gue udah kasih video pembelajaran sama lo. Dan itu enggak susah buat dipahami."
"Ya, mudah kalau itu lo," bantah Reiki. "Lo tahu kan, setiap orang punya daya tangkap yang berbeda?"
Xavera terkejut mendengar jawaban pembelaan Reiki. Ia tak menyangka cowok itu bisa berbicara layaknya oarang dewasa.
"Pokoknya gue enggak bisa," ucap Xavera. "Gue ada kerjaan."
Reiki mengangguk beberapa kali, menatap aneh pada Xavera. Melihat itu Xavera merasa khawatir. Ia takut Reiki berbuat nekat lagi padanya.
Benar saja, tiba-tiba Reiki menyambar lengan kanannya. Cowok itu menggenggamnya lebih kuat dari sebelumnya. Xavera mengaduh. Namun, ia tak bisa menuruti kemauan Reiki. Ia tidak punya waktu untuk mengajari cowok itu secara langsung. Ia punya kesibukan setelah pulang sekolah. Hal yang tak bisa ia tinggalkan.
Merasa tak punya jalan lain, Xavera menjerit.
'Tolong!"
Semua orang di kantin menatap ke arah mereka. Reiki yang terkejut akan reaksi Xavera lengah. Cewek itu memanfaatkan keadaan untuk melarikan diri. Reiki yang kaget membiarkan Xavera pergi.
Reiki kembali ke meja di mana kedua temannya terbahak. Puluhan pasang mata mengawasi sampai ia duduk.
"Lo abis ngapain, sih, sampai bikin anak orang minta tolong," ujar Evano sembari menahan tawa.
"Nggak usah ketawa, lo," ketus Reiki. "Semua ini gara-gara saran lo."
Evano menatap tak terima.
"Kok jadi gue?"
"Kan lo yang bilang ke gue minta Xavera ngajarin gue secara langsung."
Evano tersenyum tipis.
"Tapi enggak pakai kekerasan juga, Ki," ujar Evano membela diri. "Xavera enggak suka dipaksa gitu."
Reiki menatap curiga pada Evano.
"Kok lo tahu?"
Evano bergumam, lalu mengusap kepala. Kentara ia menyembunyikan sesuatu.
"Ah, gue nebak aja, sih. Kan namanya cewek emang enggak suka dipaksa."
Reiki mendengus. Menyeruput sisa teh obeng di gelas.
"Serah lo aja, deh, Van."
***
"Kayaknya gue emang harus terima nasib aja, Ka."
Reiki menopangkan dagu ke lutut. Kedua lengannya memeluk lutut. Malam ini ia memilih bolos belajar. Sore tadi, Xavera mengirim video pelajaran Bahasa Inggris. Namun, ia sama sekali tak menonton video itu. Ia sudah jenuh. Jika harus belajar, maka Xavera harus mengajarinya secara langsung.
Hari ini tepat satu bulan sejak ia belajar dari video yang diberikan Xavera. Namun, ia tak merasa lebih pintar sedikit pun. Cowok itu menarik napas. Angin malam menelusupkan kesedihan ke hatinya. Raka yang duduk di sampingnya mengusap pelan punggung Reiki.
"Kalau dia enggak mau, lo enggak bisa maksa gitu, Ki," ujar Raka.
"Tapi gue nggak punya pilihan lain, Ka. Kalau nggak gitu, ya gue harus terima kalau tahun ini gue tinggal kelas."
Raka mendesah. Ia diam sesaat, begitu juga Reiki.
"Ki, kita enggak tahu apa alasan Xavera menolak belajar bareng sama lo," kata Raka. "Lo pernah enggak tanya alasan dia enggak mau?"
Reiki mengingat kembali.
"Pernah sih, tapi dia nggak mau ngasih tahu alasannya," ucap Reiki.
Raka menepuk pundak Reiki.
"Ki, gue cuma mau ingatin satu hal. Kalau kita tahu rasanya dipaksa melakukan hal yang kita enggak bisa, harusnya kita juga enggak bisa maksa orang buat ngelakuin apa yang mereka enggak bisa."
Reiki membuang napas kasar. Ucapan Raka menyadarkannya, sekaligus membuatnya tertampar. Ia menanamkan dalam hati, ia takkan memaksa cewek itu lagi. Barangkali seperti dirinya, Xavera juga punya alasan.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.
SALAM MANIS SALAM GEMOY!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top