Bab 5

Reiki menyambar botol air mineral di meja. Ia baru saja menghabiskan satu permen lolipop sejak bel istirahat berbunyi. Ia menenggak air di botol hingga tersisa setengah. Setelahnya, ia meletakkan kembali botol itu sembari menyengir pada pemiliknya. Evano mendengus, merasa jengkel akan kebiasaan Reiki yang suka mengambil sesuatu tanpa izin.

Reiki duduk di sebelah Arvin, sementara Evano duduk di seberang meja. Arvin terus saja mengunyah bakso di mulutnya, seakan tak terganggu oleh kehebohan di sekitar. Suasana kantin cukup ramai, nyaris semua meja terisi penuh. Bahkan beberapa siswa membawa makanan mereka ke kelas. Reiki menggeleng saat seorang siswi berjalan pelan meninggalkan kantin dengan semangkuk bakso di tangannya. Pantas aja ada mangkok dan sendok di laci meja, pikir Reiki.

"Eh, lo ke mana aja, sih? Dua hari ini enggak kelihatan?" tanya Evano.

Reiki merogoh saku celana, meraih setangkai lolipop warna-warni. Tanpa memedulikan pertanyaan Evano, ia membuka bungkus plastik yang menutupi makanan kesukaannya itu. Evano menopangkan pipinya ke satu tangan yang disandarkan ke meja, menunggu dengan keterpaksaan sampai cowok yang katanya gemoy itu menjawab pertanyaannya. Reiki memasukkan lolipop ke mulut, kemudian menariknya keluar. Setelahnya, ia baru menyadari tatapan tajam dari Evano.

"Lo kok tanya gitu, sih? Emang lo enggak liat gue duduk di kelas saat belajar?"

Evano yang sejak tadi mengumpulkan kesabarannya untuk menunggu jawaban, kini semakin jengkel.

"Jadi orang, bisa normal dikit enggak, sih?"

"Emang Reiki enggak normal?" Arvin yang sudah menghabiskan bakso di mangkuknya menimpali, membuat Reiki nyaris terkekeh. Evano mengusap wajah. Kini kekesalannya semakin parah.

"Ki, lo enggak normal? Jangan bilang kalau lo suka sama gue?" tanya Arvin pada Reiki. Ia bergeser sedikit, agak menjauh seolah-olah ia merasa jijik berada dekat dengan Reiki.

Reiki mengeluarkan lolipop dari mulutnya.

"Eh, anak biawak, kalo pun gue enggak normal, ya kali gue suka sama lo. Gue juga milih-milih kali."

"Ki, mending lo jawab pertanyaan gue deh. Ngapain ladenin dia, sampai besok juga dia enggak bakalan paham," sela Evano.

Evano tahu, percuma menjelaskan panjang lebar pada Arvin. Cowok itu memiliki selera humor yang rendah, dan sedikit lambat dalam berpikir. Satu hal yang membuat ia berteman dengan Reiki dan Evano hanya karena Arvin anak orang kaya. Daya pikirnya yang kurang, dimanfaatkan oleh Evano untuk membayarinya makan di kantin. Namun, Reiki tidak tahu hal itu. Evano selalu berdalih kalau ia membantu mengerjakan tugas Arvin sehingga ia ditraktir di sekolah.

Arvin melayangkan tatapan mengejek pada Evano. Sebelah alisnya terangkat, kemudian tersenyum aneh. Evano balas menatapnya. Heran.

"Lo cemburu, ya, Van?" ujar Arvin.

Evano mengusap wajahnya beberapa kali. Ia berusaha meredam kekesalannya yang sudah mencapai puncak. Reiki yang melihat penderitaan Evano, kini terbahak.

"Puas lo ngetawain gue," bentak Evano.

"Udah deh, jawab aja. Ke mana aja lo dua hari ini? Gue enggak pernah lihat lo ke kantin. Bahkan setelah bel, lo langsung kabur entah ke mana."

Reiki menarik napas. Karena terbahak, ia merasa kelelahan. Sekali lagi, ia menyambar botol air mineral di meja. Namun, telat. Evano yang sudah mempelajari kebiasaan Reiki, buru-buru meraih botol plastik itu sebelum Reiki berhasil menyentuhnya. Arvin dengan polosnya memberi botol air mineralnya pada Reiki. Cowok itu meraih botol dari tangan Arvin.

"Makasih, ya, Vin. Meski kadang bikin kesel, tapi hati lo baik. Enggak kayak dia," ujar Reiki sembari melirik ke arah Evano.

Evano tak menjawab. Ia menunggu jawaban Reiki tanpa sedikit pun berniat untuk membalas ledekannya. Sepertinya Reiki sudah tertular kebiasaan buruk Arvin.

"Oke. Jadi dua hari yang lalu gue dipanggil Pak Surya," ujar Reiki dengan suara yang dipelankan. Ia melirik ke arah Arvin yang hendak membuka mulut. "Oh, ya, Vin. Kali ini, tolong jangan ngomong dulu, ya. Biarin gue sama Evan dulu yang ngobrol," tambah Reiki.

"Pak surya bilang kalau gue terancam tinggal kelas karena nilai gue hancur, gue sering telat datang ke sekolah, dan tidur di kelas. Nah, Pak Surya minta gue buat belajar bareng sama Xavera. Kenapa lo enggak lihat gue di kantin, ya, itu karena gue ke perpustakaan buat nemuin Xavera," sambung Reiki.

Ia memasukkan kembali lolipop ke mulut.

"Xavera anak X1?"

Evano bertanya seolah-olah ia tengah didiagnosis mengidap penyakit mematikan oleh dokter.

"Huum," jawab Reiki tanpa mencabut tangkai lolipop dari mulutnya.

"Terus gimana? Kapan kalian belajar bareng?"

Evano terlihat begitu antusias saat mengetahui Reiki akan dimentori oleh Xavera. Reiki menyadari perbedaan pada nada bicara temannya itu. Namun, ia mengabaikannya.

"Kami enggak belajar bareng," ujar Reiki santai. Ia menaikkan kaki kanannya ke kursi. "Dia bilang bakal kirim video pembelajaran ke gue lewat WA."

Evano bergumam sesaat, kemudian bertanya, "Kenapa enggak belajar langsung? Kan, lebih efektif."

Reiki mengedikkan bahu.

"Gue enggak tahu, Van. Katanya sih dia banyak kerjaan di rumah, jadi enggak sempat kalau ngajarin gue langsung."

Semangat Evano yang membara kian menyusut. Reiki merasa curiga, tetapi tetap bersikap sesantai mungkin seolah-olah ia tidak menaruh curiga pada Evano.

"Lagian, menurut gue lewat video lebih menguntungkan buat gue, Van," ujar Reiki sesaat setelah keheningan menyelusup di antara mereka. Arvin yang tak diizinkan berdiskusi memilih untuk memainkan ponselnya. "Gue bisa nonton videonya kapan pun dan di mana pun. Dan gue bisa mengulang berapa kali pun gue mau."

Evano mendengus, kemudian memaksakan senyum.

"Mana baiknya aja deh, Ki."

***

Reiki menggaruk kepalanya yang tak gatal untuk kesekian kali dengan punggung pena. Ia sudah menonton video berdurasi 15 menit yang dikirim Xavera beberapa saat yang lalu. Namun, ia sama sekali tidak memahami rumus dan cara pengerjaan yang dijelaskan Xavera dalam video itu.

Merasa tak sanggup, Reiki memutar kembali video itu. Berulang kali sampai ponselnya kembali berdering. Satu notifikasi pesan masuk. Tertera nama Xavera sebagai pengirim. Reiki menarik napas frustrasi. Ia sudah menghabiskan waktu nyaris dua jam untuk mengulang video pertama, tetapi tak kunjung mengerti. Dan sekarang, Xavera sudah mengirimkan video pembelajaran untuk mata pelajaran biologi.

Reiki Savian

Gue gak paham sama video yang lo kirim. Ini cara ngerjainnya gimana, sih? Gue udah coba kerjain soal di buku, tapi hasilnya malah salah.

17.18

Xavera (bukan safira)

Itu udah cara paling mudah. Enggak usah banyak alesan. Bilang aja lo belum nonton videonya.

17.22

Reiki tak membalas pesan WhatsApp Xavera. Kepalanya kini penuh dengan angka dan soal rumit yang entah bagaimana dibilang mudah oleh cewek itu. Padahal jelas soal-soal dan rumus itu kini membuat kepala Reiki panas. Barangkali beberapa detik lagi telinganya akan mengeluarkan asap.

Reiki meletakkan ponselnya di meja belajar. Ia mendorong kursi mundur, kemudian mengusap wajah frustrasi sembari berjalan ke tempat tidur. Ia menjatuhkan diri ke benda empuk itu dengan posisi tengkurap. Ia merasa dirinya memang tidak bisa diandalkan. Bahkan untuk mengerjakan soal matematika saja ia tidak mampu. Jangankan mengerjakan soal, memahami rumus saja kepalanya sudah mengepul.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Deretan angka yang memenuhi kepalanya kini berganti dengan wajah kaku Feo, kemarahan Winia, juga semua kalimat menyakitkan yang pernah ia dengar dari wanita itu.

"Apakah aku tidak punya satu saja kelebihan? Kenapa Tuhan menciptakan manusia buruk sepertiku?"

Air matanya semakin deras. Semakin ia mengingat semua masa lalunya, dadanya semakin sesak. Ia tidak tahu, sampai kapan ia mampu bertahan dengan kondisi seperti ini. Berpura-pura bahagia di depan teman-temannya, mengamen untuk menghibur diri, tidur di kelas, telat bangun pagi. Sejujurnya ia sudah muak.

Apakah bunuh diri termasuk pilihan?


Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top