Bab 3
Reiki Savian
Selamat malam, Pak.
Tadi saya sudah temui Xavera. Tapi dia malah kabur kayak liat setan.
18.45
Surya
Kok bisa kabur?
Emang kamu apain dia?
Jangan aneh-aneh kamu, Reiki!
18.56
Reiki Savian
Enggak diapa-apain, Pak. Saya cuma ajak kenalan, pas dia lihat saya makan lolipop, dia malah kabur. Mana dia teriak lagi, sampai-sampai penjaga perpus marahin saya.
Saya ganti mentor aja, ya, Pak.
18.57
Surya
Tidak bisa. Kamu ini sudah dibantu malah banyak maunya. Tidak ada alasan. Kamu harus belajar bersama Xavera. Harusnya kamu bersyukur ada yang mau bantuin kamu belajar.
18.57
Reiki terkejut akan kecepatan mengetik pesan balasan wali kelasnya itu. Tidak seperti kebanyakan guru lainya. Pak Surya bukan orang yang suka mengabaikan siswanya, terlebih menyangkut hal penting seperti ini.
Reiki ingin sekali membalas kalau ia juga tidak meminta untuk diajari. Apalagi ketika ia diperlakukan seperti penjahat di perpustakaan. Namun, Reiki berusaha meredam kekesalannya.
Reiki Savian
Baik, Pak. Besok saya coba lagi.
19.00
Butuh lebih banyak oksigen yang masuk ke paru-parunya untuk mengirim pesan itu. Kekesalannya akibat teriakan Xavera dan pelanggarannya membawa lolipop ke perpustakaan belum hilang sampai sekarang. Ia diberi sanksi berupa peringatan kalau ia ketahuan membawa makanan ke perpustakaan, ia akan berhadapan dengan guru BK. Selain sanksi peringatan., Reiki terpaksa membersihkan semua toilet pria yang baunya seperti tempat sampah. Beruntung, Evano dan Arvin membantunya. Satu hal yang selalu disyukuri Reiki, dua sahabat yang selalu menjadi alasannya tetap datang ke sekolah.
Reiki menghubungi temannya mengamen. Namanya Raka. Cowok berusia 17 tahun yang putus sekolah di usia 13 tahun karena orang tuanya bercerai. Ia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang tak pernah suka dengannya. Reiki yang memiliki hobi yang sama dengan Raka, akhirnya mengamen bersama untuk menghibur diri. Biasanya uang yang mereka dapat dipakai untuk membeli makanan ringan dan sisanya mereka kumpulkan untuk disumbangkan.
Setelah memutuskan tempat bertemu, Reiki mengambil jaket di lemari. Kemudian meraih gitar yang terbungkus tas hitam di sudut kamar. Ia berdiri sejenak di depan cermin, merapikan rambut, kemudian mengambil helm. Tas gitar ia sandang di bahu kanan.
Ia berjalan mengendap-endap ke ruang tamu, kemudian berhenti saat mendengar suara televisi. Ia mengintip dari balik tembok. Clevo duduk di sofa cokelat bermotif bunga. Salah satu tangannya terangkat ke sandaran sofa. Reiki menarik napas, kemudian memberanikan diri untuk mendekat.
"Papa sama Mama belum pulang, Kak?"
Clevo menoleh, sejenak mengamati penampilan Reiki. Cowok berambut gondrong itu mendengus. Melihat gitar di punggung Reiki sudah cukup memberinya jawaban tanpa harus menanyakan ke mana adik kesayangannya itu akan pergi. Satu-satunya orang yang benar-benar peduli pada Reiki di rumah ini hanya Clevo. Ia yang selalu menjadi tempat bagi Reiki mengadu setiap kali kedua orang tuanya memberi nasihat yang entah kenapa selalu sama.
"Belum, sih." Clevo melirik arloji di tangan kirinya, kemudian menoleh ke arah Reiki. "Tapi kayaknya bentar lagi mereka pulang, deh."
Reiki merasa sedikit lega. Ia bisa pergi tanpa harus melalui pertengkaran hebat dengan ibunya lebih dulu.
"Ya, udah, Iki pergi sekarang, ya, Kak."
Reiki mendekat ke sofa, hendak menyalam kakaknya sebelum pergi.
Clevo mengulurkan tangan.
"Kamu yakin mau pergi lagi, Ki?" Wajah Clevo menggambarkan betapa ia mengharapkan Reiki tidak pergi malam ini. Pertengkaran tadi pagi masih membayangi pikiran Clevo. Meski ia tak pernah diperlakukan demikian, Clevo selalu merasa bersalah atas ketidakadilan yang terjadi pada adiknya itu.
"Iki malas di rumah, Kak."
Clevo menarik napas panjang, kemudian tersenyum tipis. Lesung pipi di kedua pipinya terlihat jelas, membuatnya semakin manis. Ia memang tak begitu mirip dengan Reiki, tetapi mereka sama-sama digemari banyak cewek.
"Ya, udah kamu boleh pergi, tapi sebelum jam sepuluh kamu harus udah sampai rumah, ya."
Reiki tersenyum, kemudian membungkuk untuk memluk kakaknya.
"Hati-hati, ya. Nanti Kakak bakal bilang kalau kamu kerja kelompok sama temen. Semoga aja papa sama mama udah tidur pas kamu balik."
Reiki tidak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya. Matanya berkaca-kaca. Untuk kesekian kalinya, Clevo berbohong untuk keselamtan dirinya.
***
"Lo masih doyan aja ngemut, tuh, lolipop," ujar Raka. Ia menoleh pada cowok berjaket hitam yang duduk di sebelahnya. Cowok yang diajak bicara tak menyahut. Entah karena melamun atau tengah berpikir.
"Lo nggak usah heran, Ka. Gue dan lolipop gak bisa lagi dipisahkan," sahut Reiki tanpa menoleh. Ia kembali memasukkan lolipop ke mulut. Angin malam meniup poninya yang jatuh ke kening.
Beberapa saat lalu, mereka duduk di tepi lapangan ini. Suasana di sini tidak begitu ramai. Memang, tempat ini hanya ramai di akhir pekan. Karena tidak ada yang bisa dihibur, Reiki dan Raka hanya duduk di sini, bermain gitar sembari live di Instagram. Setelah live selama satu jam, mereka menghabiskan sisa waktu dengan mengobrol.
"Gimana orang tua lo? Jadi cerai?"
Pertanyaan itu mengejutkan Reiki. Ia terbatuk dengan lolipop tersumpal di mulutnya. Harusnya ia tidak bereaksi berlebihan seperti itu. Kabar itu bukan suatu hal yang baru ia ketahui. Bahkan seharusnya ia sudah muak mendengar perbincangan itu di meja makan. Namun, mendengar itu dari mulut orang lain menyayat hatinya. Perceraian. Apakah ia akan bernasib sama dengan Raka? Tinggal dengan salah satu orang tuanya? Namun, bagaimana jika mereka tidak mau membawa Reiki bersama mereka?
Reiki bukan anak yang pintar. Dibilang baik dan penurut juga tidak. Nyaris tidak ada yang bisa dijadikan alasan untuk mempertahankan hak asuh atas dirinya. Reiki menyadari hal itu. Namun, tetap saja ia tidak bisa menerima jika harus terbuang di jalanan. Reiki bukan anak nakal, hanya saja ia butuh perhatian lebih. Sejak kecil, kedua orang tuanya lebih banyak menaruh perhatian pada Clevo. Selain karena dulunya Reiki hyperaktif, Reiki juga suka merebut mainan kakaknya.
Seharusnya menjadi hal yang wajar. Reiki tak pernah mendapat mainan baru. Ia selalu saja diberi mainan bekas kakaknya. Reiki tak bisa menerima perlakuan itu hingga ia tumbuh besar. Perlakuan yang masih saja terjadi hingga sekarang.
Reiki menarik napas. Ia mendongak, kemudian menggigit lolipop yang sudah mengecil di mulutnya. Ia melempar tangkai permen itu ke parit di dekat jalan.
"Gue nggak tahu, Ka. Udah hampir tiga bulan mereka bahas perceraian tapi sampai sekarang belum cerai juga. Gue sih enggak pengen mereka bercerai, meski gue juga nggak tahu apa untungnya buat gue. Ada atau enggaknya mereka, rasanya gue tetap aja terabaikan."
Raka menepuk pundak Reiki, kemudian mengusapnya pelan. Sebagai anak yang lebih dulu mengalami masalah pahit seperti itu, Raka cukup paham perasaan Reiki. Ia cukup sering mendengar keluhan Reiki perihal ketidaknyamanannya di rumah.
"Gue cuma bisa bilang sabar, Ki." Raka memandang lurus ke depan, kemudian membuang napas. Sesak di dada Reiki seakan ikut menular ke dadanya. "Apa pun yang nanti terjadi sama keluarga lo, ingat, gue selalu ada buat lo. Lo bisa tinggal di rumah gue kalau lo mau."
Reiki merasa dadanya semakin sesak. Ia benci situasi ini. Siapa yang menginginkan perceraian kedua orang tuanya? Bahkan Reiki yang membenci kecerewetan ibunya, juga sikap dingin ayahnya yang selalu tak acuh, tak membuat Reiki bisa menerima semua itu. Bagaimana pun, mereka orang tuanya. Mungkin saja, memang Reiki yang harus berubah. Keadaan tak selalu bisa disalahkan.
Reiki mengusap matanya yang berkaca-kaca. Kemudian menarik napas panjang.
"Makasih, ya, Ka." Reiki tak bisa menutupi kesedihannya lewat suara parau yang keluar dari mulutnya. Ia bukan anak cengeng, ia tidak suka menangis. Kali ini, ia membenci dirinya sendiri.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.
SALAM MANIS DAN SALAM GEMOY...!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top