Bad Bey 9
Gaduh. Para siswa di dalam Masjid saling melirik satu sama lain. Berbisik hati-hati sambil menatap awas Bey yang duduk sila di barisan paling akhir. Ia duduk di samping Akmal yang tak hentinya melotot ketika mendapati dirinya diperhatikan. Risi.
Hamzah yang baru datang dengan Pak Anwar ke dalam Masjid dibuat keheranan dengan kegaduhan itu. Mereka yang biasanya menutup mulut, mendadak banyak bicara ketika Pak Anwar datang. Saat menemukan keberadaan Bey, ia sendiri tak kalah terkejut. Apalagi ketika Bey melambai dengan senyuman mengembang dari tempat duduknya pada Hamzah, ketua IMAJI itu tak bisa menampakkan ekspresi apa pun.
"Wah ... ada Bey ternyata di sini." Pak Anwar tersenyum saat hendak duduk di tempat imam biasa memimpin shalat. Duduk membelakangi kiblat, menghadap para siswa yang sudah duduk rapi. Pusat perhatiannya juga ikut teralihkan pada Bey seperti yang lainnya. "Gimana kabarnya?"
Sapaan dari Pak Anwar ditingkahi Bey dengan anggukan kepala cepat. "Alhamdulillah, Pak!" balasnya lantang. Tanpa rasa sungkan. Ia tampak tak peduli akan reaksi yang lain terhadap keberadaannya di sini. "Kabar bapak sendiri gimana?"
Semua yang di sana kembali gaduh. Saling melemparkan tatapan sengit pada Bey yang tengah terkekeh setelah melemparkan tanya demikian pada Pak Anwar.
"Alhamdulillah, Bey. Insya Allah sehat." Pak Anwar menimpali dengan ramah, ada senyuman di wajahnya yang sedari tadi enggan meredup. Cukup membuat para siswa di sana harus menahan rasa getir ketakutan. "Ngomong-ngomong, kamu ada di sini untuk apa yah kalau boleh Bapak tahu? Karena kayaknya ... murid-murid Bapak di sini penasaran dengan keberadaan kamu, Bey."
"Pengen aja, Pak. Ikut kajian kayak yang lain. Gak dilarang, kan?" balas Bey sekenanya.
"Oh ... boleh dong. Gak ada yang larang. Siapa pun boleh ikut kajian di sini, tak terkecuali tetangga kamu juga. Boleh kamu ajak satu RT sekalian."
Gelak tawa pecah setelah Pak Anwar yang lebih dulu tertawa. Tak terkecuali Bey yang juga ikut tertawa setelahnya.
Suasana sedikit mencair. Setelah berbasa-basi dengan Bey, Pak Anwar kini menjadi pusat perhatian. Suaranya menggema memenuhi area dalam Masjid sementara para siswa fokus mendengarkan, tak terkecuali Bey dan juga Akmal.
Tapi, baru beberapa menit berlalu, perhatian Bey sudah teralihkan oleh Akmal yang menguap. Ia menyikut cowok yang hampir terlelap itu agar tetap terjaga.
"Ngantuk banget, Bey ...." Akmal beralasan. Jujur. Ia yang sudah tak tahan berulang kali mengucek matanya, mencoba tetap sadar meski rasanya sulit.
Bey sendiri sebenarnya sedang mati-matian menahan rasa kantuk. Kalau bukan karena memerhatikan Atqi yang duduk cukup jauh dari tempat duduk laki-laki, bisa saja Bey bernasib sama seperti Akmal yang kini sudah duduk dengan kepala tertunduk dalam.
Sorot mata Atqi dari kejauhan cukup membuat Bey tak berhenti melemparkan senyum miring pada gadis itu. Ia bahkan sempat melambaikan tangan diam-diam saat bersitatap secara tak sengaja dengan Atqi yang dibalas cewek itu dengan kerutan di wajah.
Bey merogoh saku, mengeluarkan ponsel, menggerakkan ibu jarinya di atas keypad, sambil sesekali melirik Atqi dengan senyuman penuh arti. Sementara yang ditatap hanya bisa membuang muka saat tak sengaja memergoki Bey memerhatikannya.
[Habis ini langsung pulang gak?] tulis Bey di pesannya yang ia kirim untuk Atqi.
Sayang, tak ada balasan dari Atqi. Cewek itu tampak fokus mendengarkan Pak Anwar yang berbicara di depan sana.
"Baik. Kita tutup pertemuan kita hari ini dengan mengaji terlebih dahulu."
Suara Pak Anwar membuyarkan perhatian Bey. Ia sampai menyikut Akmal yang hampir kehilangan keseimbangan agar segera sadar ketika para siswa merangsek membentuk lingkaran. Akmal yang belum sepenuhnya tersadar hanya bisa merangkak pasrah ditarik oleh Bey ke sisi Masjid.
"Apa sih, Bey? Mau ke mana lo? Kajiannya udah beres nih?" Akmal menggerutu, menguap, lalu memejamkan matanya lagi saat duduk bersandar di dinding Masjid. Satu jitakan keras yang diberikan Bey cukup membuat Akmal mau membuka matanya lagi. "Sakit, woy!"
Semua orang menatap Akmal sengit, terkecuali Bey yang tersenyum ke arahnya sambil berbisik, "ngaji, Mal. Bukannya tidur, bego!"
Akmal masih menggerutu ketika matanya mulai menangkap tatapan orang lain terhadapnya. Dalam se per sekian detik cowok cempreng itu menarik dua ujung bibirnya, tersenyum, demi menghilangkan rasa malu. Bey yang melihat hal itu hanya bisa terkikik.
Saat suara taawuz menggema, Bey dan Akmal serempak mengikuti. Masing-masing membuka mushaf yang dibagikan secara estafet. Bey dan Akmal celingukan ketika yang lain fokus menundukkan kepala pada mushaf yang terbuka.
Bey mendekati siswa yang duduk di sampingnya sambil berbisik, "ngapain sih ini?" tanyanya bingung.
Si cowok melirik penuh tatapan waspada. "Ngaji, Bey. Buka aja surat Al-an'am," katanya singkat.
"Hah? Gimana?"
Melihat Bey yang tampak kebingungan, siswa itu menarik mushaf yang ada di pangkuan Bey. Ia membuka lembarannya sebelum kemudian menyerahkannya pada Bey kembali.
"Kita baca estafet dari sini. Nanti tiap orang baca per-ayat aja," kata si cowok sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah mushaf.
"Oh ... ya, ya, ya. Eh? Apa?" Bey terkejut sendiri sampai membuat siswa tadi batal mengalihkan perhatiannya dari Bey. "Baca Qur'an per ayat maksudnya? Semua ke bagian?"
Si siswa mengangguk. "Iya."
Mampus!
Bey melirik Akmal yang ternyata tengah bersandar di dinding dalam keadaan mata terpejam. Mushaf yang ada di pangkuannya sudah tergeletak di lantai begitu saja. Terbuka di bagian tengah.
Atqi dan teman-temannya menertawakan. Pak Anwar berdehem memperingatkan. Tapi, Akmal tetap bergeming. Sikutan Bey sama sekali tak mempan, ia malah kena tinju Akmal sebagai balasan. Aksi keduanya sontak kembali menimbulkan gaduh.
Bey meraup wajah. Kesal. Malu bukan main. Ia beringsut menjauh dari Akmal saja. Pura-pura tak tahu. Abai. Ia memilih fokus memandangi tulisan ayat Al-Qur'an yang membuat matanya menyipit dan membola.
Mampus! Lagi, Bey mengumpat dalam hati ketika siswa di sampingnya mendapatkan giliran membaca. Jantung Bey nyaris saja copot. Matanya semakin terbuka lebar, kepalanya tertunduk dalam, dengan dua tangan yang memegang sisi mushaf sangat erat.
"Silakan, Bey!"
Bey mendongak menatap sekeliling. "Oh—" Ia tergagap. Ia garuk-garuk kepala saat mulai bertaawuz. Suaranya nyaris tak terdengar sampai-sampai Pak Anwar mengerutkan dahi.
"Q—qul ... sii ... ruu ...."
Hening. Bey mendongak dengan mulut perlahan terkatup rapat. Matanya bergerilya ke segala arah, awas, penuh waspada.
Bisik-bisik terdengar. Samar-samar namun mengusik. Bey bisa mendengar jelas pembicaraan orang di sampingnya, kecuali Akmal yang masih betah memejamkan matanya karena terlalu lelap.
"Kayak orang gagap bacanya."
"Anak geng motor gak bisa ngaji. Gak heran sih!"
"Astagfirullaah ...."
Bey menutup mushaf dengan kasar. Suara yang ditimbulkan berhasil membuat bisik-bisik yang tadi gaduh menjadi hening seketika. Pak Anwar yang sedari diam dengan tatapan serius mendadak memasang mata melotot, lurus ke arah Bey yang kini tengah berdiri dengan rahang mengeras.
"Kalau mau ngomongin gue, sini langsung! Gak usah bisik-bisik di belakang kayak pengecut. Kalian mau ngatain gue? Sini kalau berani!" tantang Bey dengan tangan terkepal erat.
Semua orang bungkam. Termasuk Atqi yang tengah menatapnya lekat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top