Bad Bey 8

Bey bukan cowok bodoh yang tak paham tindak-tanduk Hamzah saat membicarakan Atqi dengannya. Siapa pun bisa menerka maksud dari kata-kata cowok itu.

Ya! Hamzah pasti tertarik pada Atqi.

Untuk apa juga dia repot-repot melarang Bey menjauhi Atqi kalau memang tak suka?

Karena dia ketua IMAJI dan Atqi sekretarisnya?

Tidak mungkin!

Hamzah pasti menyukai Atqi.

Hanya saja, masalahnya saat ini adalah tentang perasaan Atqi sendiri pada Hamzah. Kalau dari cara penilaian Atqi terhadap sosok ketua IMAJI itu, Bey yakin kalau Atqi tak punya perasaan yang sama dengan Hamzah.

Bey yakin! Sangat yakin!

Bey menyesap rokok di tangannya yang tersisa sedikit dengan senyuman di wajah yang mulai mengembang. Membayangkan percekcokan singkat dirinya tadi siang dengan Hamzah, Bey tak bisa berhenti tersenyum. Karena baru kali ini ia menghadapi cowok yang menyukai Atqi, dengan berani menunjukkannya di depan Bey.

Atqi memang tak secantik Mei. Bukan juga cewek yang terkenal kaya raya seperti Putri. Tapi, tak sedikit yang tertarik pada gadis berhijab penyuka bola Voli itu. Gigi gingsulnya terkenal di kalangan teman-teman sekelasnya yang menyebut Atqi memiliki senyum yang manis.

Jika sebagian cewek akan bangga ketika dikejar-kejar cowok, maka berbeda dengan Atqi yang akan langsung memasang tameng "penolakan". Tak mudah mendekatinya meski hanya sekedar menjadi "teman". Bey yang sudah berjuang hampir dua tahun lamanya saja belum pernah bisa meluluhkan tameng "penolakan" itu.

Entah dengan cara apa lagi Bey harus berjuang untuk merobohkan benteng pertahanan Atqi yang bersikeras tak mau pacaran karena pacaran tak ada dalam Islam.

"Mikirin apa kamu, Bey?"

Suara Gio cukup membuat Bey tersadar dari lamunannya. Ia membuang sisa puntung rokok di tangan dan melemparnya ke sebarang arah.

"Biasa." Bey merogoh ponsel di saku. "Cewek yang susah digapai."

Gio berjalan menghampiri Bey dengan membawa segelas kopi panas di tangan. Wajahnya yang dipenuhi noda kehitaman mengundang tawa Bey.

"Cuci muka dulu, Yo! Muka lo kayak trotoar!" ledek Bey.

Gio tak menggubris. Ia tetap duduk di samping Bey sambil menyeruput kopinya perlahan. "Kenapa lagi emang dia? Ada kemajuan atau malah kemunduran?"

"Jalan di tempat yang ada."

"Berhenti aja."

"Gak bisa dong! Gue bukan cowok yang gampang nyerah."

"Mau sampe kapan?"

Bey membisu cukup lama. Ini bukan kali pertama Gio menyuruhnya untuk berhenti mengejar Atqi dan ini ke sekian kalinya Bey menolak pendapat itu. Selama masih ada keyakinan untuk berjuang dan mendapatkan sesuatu, Bey tak akan menyerah sebelum mendapatkannya atau gagal mendapatnya.

Bisa dibilang, sejauh ini Bey belum bisa dikatakan berhasil mendapatkan keinginannya atau pun gagal. Bey berada di antara keduanya. Masih belum pasti. Itu artinya, belum saatnya Bey menyerah, bukan?

"Ada cowok lagi yang kayaknya suka sama Atqi." Bey mengalihkan topik. Sengaja. Ia tak mau menjawab pertanyaan Gio yang jawabannya tak pernah ia ubah. Bey yakin Gio bisa menerka hal itu.

"Siapa?"

"Ketua IMAJI, namanya Hamzah. Anak XII IPA yang dikenal banyak prestasinya sama pinter."

"Ganteng?"

"Hmm ... biasa aja. Wajah-wajah pasaran."

Gio tergelitik. "Atqi tahu dia suka sama dia?"

"Kayaknya enggak."

Wajah Gio merengut. "Loh? Dia aja gak tahu kalau si Hamzah suka, kok kamu bisa punya kesimpulan kalau cowok itu suka sama si Atqi?"

"Tadi siang itu ...."

Bey tak bisa menutup mulut di depan Gio. Saudara kandungnya ini harus selalu tahu apa yang terjadi padanya, termasuk perasaan pribadinya dengan Atqi. Gio-lah tempat pertama ia berbagi cerita, berbagi segalanya, berbagi banyak hal, dari yang baik sampai buruk sekali pun. Bey tak ingin menyembunyikan satu hal sedikit pun dari Gio.

"Hmm ... berani juga cowok itu. Tadi ... siapa namanya?" Gio membanting punggungnya ke badan kursi kayu yang ia dan Bey duduki.

"Hamzah, Yo."

"Terus, kamu mau jauhin si Atqi?"

"Enggak lah!" kata Bey penuh nada penekanan. "Buat apa juga jauhin si Atqi cuma gara-gara omongan cowok itu?"

"Gimana kalau ternyata si Hamzah bisa dapetin si Atqi?" tantang Gio penuh nada mengejek.

Wajah Bey mendadak kusut. "Gak mungkin Atqi mau sama cowok kayak dia."

"Gak ada yang gak mungkin, Bey. Dari kata-katamu tadi, Atqi kayaknya malah muji-muji tuh cowok."

"Itu karena si Hamzah cuma cowok bermuka dua! Cuma baik di depan si Atqi sama—" Bey tiba-tiba berhenti bicara. Ia melirik Bey dengan kening bertaut.

"Kenapa?" tanya Gio heran dengan diamnya Bey.

"Cowok itu gak boleh deketin Atqi apalagi dapetin dia, Yo!" kata Bey penuh ambisi. "Aku tak akan pernah membiarkan itu terjadi. Selangkah pun, cowok itu tak boleh mendekati Atqi lagi."

Gio membisu. Diam tanpa ekspresi. Ia menatap lurus Bey yang perlahan meraih gelas kopi miliknya sebelum kemudian menyeruputnya perlahan.

***

"Apa lo bilang?" Suara cempreng Akmal membuat Bey spontan menendang lelaki yang tengah berjongkok di sampingnya. Akmal hampir terjengkang kalau saja ia tak berhasil menahan diri dengan tangannya.

"Berisik woy! Gak perlu teriak segala, bego!" umpat Bey kesal. Meski sudah terbiasa berbicara dengan Akmal, tetap saja ia cukup kaget mendengar teriakan si pemuja Mbak Wela situ.

"Lo gila, Bey!" Yuta geleng-geleng kepala. Ia menyikut Bey yang berada di sampingnya dengan tatapan serius. "Lo yakin mau masuk IMAJi? Mau tobat atau gimana nih?"

"Yakin!" Bey membuang napas pendek. "Gue harus lakuin sesuatu di sana."

"Apaan emang? Lo gak bakalan ngajak gue buat ikutan IMAJi itu, kan?" Akmal terkikik sambil menepuk telapak tangannya yang kotor, sisa menahan tubuhnya yang tadi ditendang Bey secara tiba-tiba.

"Buat nunjukkin ke si Atqi kayak siapa si Hamzah itu." Bey merangkul dua temannya itu secara bersamaan. Yuta dengan ogah-ogahan mendekatkan tubuhnya, sementara Akmal dengan mata berbinar menunggu Bey melanjutkan kalimatnya. "Gue harus buka kedok cowok bermuka dua itu di depan Atqi!"

Yuta menepis kasar tangan Bey yang sudah terlanjur mengalung di bahunya. "Menurut gue sih gak perlu, Bey."

Bey menoleh bingung. "Kenapa?"

"Menurut gue juga." Akmal ikut-ikutan yang mendapat delikan tajam dari Bey.

"Biarin aja si Atqi tahu sendiri. Toh sebusuk-busuknya bangkai, suatu saat nanti pasti bakalan kecium baunya juga, kan? Lo gak percaya sama pribahasa itu?" Yuta berpendapat.

"Gimana kalau bangkai itu dikubur di dalam tanah? Lo yakin baunya bakalan ada yang cium?"

Yuta melirik sinis. "Lo gitu amat sama si Hamzah, Bey? Bukan cuma dia doang yang pernah suka sama si Atqi. Gak usah berlebihan!"

"Kali ini beda, Yut. Gue yakin! Perasaan gue gak enak setelah ketemu sama tuh cowok. Auranya gelap!"

Akmal menopang dagu melirik Yuta dan Bey yang tengah cekcok sengit.

"Tahu ah! Terserah lo aja deh!" Yuta merogoh ponsel di saku. Tak mau lagi adu pendapat dengan Bey yang tampaknya sangat bersikeras dengan keputusannya itu. "Gio tahu soal keputusan lo ini?" tanyanya.

Bey menggeleng pelan. "Belum. Tapi, nanti gue pasti bakalan kasih tahu dia." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top