Bad Bey 6
“Mau ngapain kita masih di sini sih, Bey?”
Akmal menyikut Bey yang tengah bersandar di tembok luar Masjid, asyik menekan tombol 2, 4, 6, dan 8 yang sudah memudar dengan dua ibu jarinya secara bergantian. Cekatan. Layar ponsel kuningnya menampilan sebuah garis bergerak yang meliuk-liuk, bergerak ke kiri-atas-bawah-kanan secara sebarang, di mana ukurannya semakin lama semakin memanjang.
“Bey! Woy! Lo di sini cuma selonjoran sambil maen game, kan? Mending balik basecamp aja!”
“Yah … lo pulang aja kalau emang mau pulang! Sana! Sana!” usir Bey tanpa sedikit pun menoleh pada Akmal yang tengah menatapnya jengkel.
“Yeeehhh … seenaknya aja lo minta gue pulang. Lo nyuruh gue pulang jalan kaki? Kan tadi pagi gue nebeng sama elo. Gimana sih?”
“Tinggal naek angkot aja apa susahnya sih!”
Akmal manyun. “Gak asyik lo! Gua pulang! Harusnya gue gak ikut jum’atan aja sekalian.”
Bey biarkan Akmal pergi dengan sesekali memerhatikan temannya itu melangkah menjauh dari Masjid. Seiring suara ramai yang berasal daru Masjid mulai terdengar.
Bey menguap tak lama setelahnya. Rasa kantuk yang tiba-tiba merongrongnya sekuat tenaga ia tepis dengan fokus bermain game. Telinganya ia pusatkan mendengar keramain dari arah dalam Masjid, terkadang terdengar nyaman di telinga, namun tak jarang ada suara-suara ganjil yang mengganggu.
Tak kurang dari dua jam lamanya Bey bertahan di luar Masjid. Sendirian. Ketika ia melihat beberapa siswa keluar dari Masjid, Bey langsung bersedekap. Dua tangannya ia angkat ke udara; menggeliat beserta erangan keras. Ada senyum di wajahnya terurai ketika melihat Atqi juga keluar dari sana.
Dengan cepat Bey bangkit, ia hampiri Atqi yang sedang duduk berjejer dengan tiga temannya di luar Masjid. Masing-masing sibuk mengenakan sepatu.
Menyadari Bey berdiri depan mereka, Maya dan Airin langsung memasang mata waspada. Lebih tepatnya melotot tajam. Mereka perlahan beringsut mendekatkan diri satu sama lain. Airin yang berada tepat di samping Atqi langsung menyikut.
“Tuh! Tuh!” bisik Airin. “Pengawal hatinya nyamperin,” godanya dengan suara pelan. Takut jika Bey sampai mendengar ucapannya dengan jelas.
Atqi hanya menggeleng. Kepalanya menunduk ke arah sepatu yang tengah dikenakannya. Tampak tak peduli oleh peringatan Airin tentang keberadaan Bey karena ia sudah mengetahuinya sejak awal.
“Aku mau ngobrol sama Atqi. Kalian bisa pulang duluan.”
Pengusiran Bey berhasil membuat tiga teman Atqi memandangnya sengit. Kerutan di wajah mereka tak sedikit pun membuat Bey goyah, apalagi sampai menarik kata-kata pengusirannya.
“Kita ada tugas kerja kelompok bareng.” Airin mengangkat sedikit kaca matanya. “Di rumahnya Atqi. Jadi, kita gak bisa pulang duluan gitu aja. Ngobrolnya penting gak? Kalau gak penting, apalagi kalau cuma nembak Atqi doang, mending besok-besok aja deh. Karena sampe kapan pun, Atqi gak bakalan mau nerima kamu, Bey. Ingat itu!” ketus Airin panjang lebar yang diangguki Maya dan Hanan pertanda sepakat. Kata-kata Airin sudah mewakili isi hati ketiganya.
“Bukan,” elak Bey. “Ini obrolan soal Hamzah.”
Tiga temannya saling melirik satu sama lain, bingung. Atqi yang mendengar perkataan Bey pun tak kalah bingung. Ia jadi teringat kejadoan hari kemarin saat Bey mencegatnya dan Hamzah. Atqi hanya bisa menerka kalau ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin.
“Hamzah?” Maya yang tadinya ingin mengabaikan keberadaan Bey justru tersulut rasa penasaran. Ia sengit menatap Atqi penuh tanda tanya besar.
“Hamzah emang kenapa, Atqi?” tanya Hanan.
“Ada urusan apa kalian berdua ngobrolin si Hamzah?” Airin menatap Bey dan Atqi bergantian.
“Gak ada apa-apa kok.” Atqi terbata-bata. Berpikir keras mencari pembelaan diri. “Kalian tunggu di parkiran aja. Ngobrolnya gak akan lama kok!”
Cengiran yang terbit di wajah Atqi begitu ganjil di pandang tiga temannya. Saat Atqi demgan sengaja mendorong Hanan yang sudah selesai mengenakan sepatunya, tiga temannya tak bisa protes selain memandang Atqi penuh curiga. Dengan berat hati mereka meninggalkan Atqi dan Bey.
Atqi menggigit bibir bawahnya gemas. “Ada apa lagi sih, Bey?” serbunya tak sabaran.
“Ikut aku!”
Bey sudah balik badan. Tapi, Atqi masih bertahan di tempat duduknya. Ia sampai melipat dua tangannya. “Udahlah. Di sini aja.” tolak Atqi.
Bey menoleh dan melihat Atqi yang sedang memeluk tasnya. Wajahnya merengut. Matanya melirik ke sana kemari ketika para siswa yang baru keluar dari Masjid turut duduk tak jauh darinya. Tersenyum canggung.
“Oke. Kalau itu mau kamu.”
Bey tak protes banyak. Ia segera duduk di samping Atqi dengan memberikan jarak beberapa senti meter darinya. Seperti biasa. Ia tahu harus menjaga jarak dari Atqi jika mau percakapan ini terus berlanjut.
“Hubungan kamu sama si Hamzah itu beneran cuma sekretaris dan ketua?” serbu Bey tanpa ragu.
Mendengar pertanyaan tersebut, tentu saja Atqi langsung menoleh. “Nanya apa sih, Bey?”
“Jawab aja. Benar atau salah. Simple kok. Aku kasih kamu pertanyaan yang jawabannya simple.”
Atqi nyaris melayangkan kepalan tangannya ke arah Bey kalau saja sebuah panggilan tak mengalihkan perhatiannya. Begitu juga dengan Bey.
“Atqi!”
Hamzah berjalan dari arah dalam Masjid, menghampiri keduanya dengan senyuman lebar. Ia bahkan sampai menepuk pundak Bey beberapa kali sebelum kemudian berdiri di belakang mereka sambil berkaca pinggang.
“Jangan pacaran depan Masjid gini dong!” protes Hamzah.
Cepat-cepat Atqi menyilangkan tangan pada Hamzah yang menanggapinya dengan kerutan dahi. “Kita gak pacaran kok!” Atqi menendang kaki Bey dengan ujung sepatunya. “Iya kan, Bey?”
Bey hanya melirik sekilas. Itu juga hanya lewat ujung matanya. Tak benar-benar menggerakkan kepalanya pada Atqi.
“Emang apa masalahnya duduk bareng gini di depan Masjid?” sahut Bey menantang. “Apa cowok-cewek yang duduk-duduk di depan Masjid berduaan itu disebutnya pacaran?”
Atqi spontan mengangguk. Beberapa detik setelahnya ia baru sadar bahwa tindakannya ini keliru. Di sisi lain Atqi setuju dengan kalimat Bey barusan. Tapi di sisi lain, ia merasa ada yang ganjal. Ada yang salah dengan tindakannya sendiri yang membenarkan perkataan Bey.
“Oh … kirain … kalian lagi pacaran.” Hamzah berjalan ke sisi Atqi. Ia duduk tak jauh dari gadis itu, lalu mengenakan sepatunya. “Kalau enggak sih gak apa-apa. Takutnya kan …,” Hamzah melirik Bey dengan seringai tipis, “kalian pacaran di Masjid. Selaku ketua IMAJI, sudah jadi tugasku mengawasi orang-orang yang beraktivitas di sekitar sini. Buat jaga-jaga aja. Takutnya tempat suci ini disalahgunain kan?”
Atqi tak berani menoleh pada Hamzah. Ia tertunduk. Berbeda dengan Bey yang meskipun enggan menoleh pada Hamzah, ia masih berani mendongakkan kepalanya. Menganggukkan kepala seolah mengerti perkataan Hamzah.
Mendapati Atqi dan Bey sama-sama diam, Hamzah seolah tak punya pilihan lain selain buru-buru pergi dari sana. Tanpa mengatakan apa pun.
Bey yang melihat kepergian lelaki itu spontan menghela napas panjang. “Gak jelas banget tuh cowok!” dengkusnya. “Apa sih menariknya dia nyampe populer di kalangan para siswa? Orang gak jelas gitu kok diidolain sih!”
Atqi melirik pada Bey dengan sesungging senyuman miring. “Jadi ini yang mau kamu obrolin ke aku soal si Hamzah?”
Bey membalas lirikan Atqi, ia sampai menopang dagu. Lurus mengarahkan pandangannya hanya pada Atqi.
“Ada banyak! Bukan hanya ini!” kata Bey penuh nada penekanan. Banyak yang harus Bey tanyakan agar tidurnya malam ini nyenyak tanpa gangguan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top