Bad Bey 33

Lolongan teriakan menggema ke seisi sudut sekolah. Para siswa yang kebetulan masih berada di area sekolah merangsek ke sumber jeritan. Tanpa aba-aba membentuk lingkaran dengan pergukatan Bey dan Hamzah menjadi tontonan.

Entah sejak kapan.

Seingat Atqi, ia dan Bey terburu-buru turun dari atap sekolah. Tentu bukan Atqi yang ingin. Ini semua karena Bey mendesaknya untuk segera pulang setelah meninju Hamzah sekali hingga tersungkur.

Tahu-tahu saat ia dan Bey sudah sampai di lapangan bola Voli, tepat berada di tengah area sekolah, Bey tiba-tiba terjatuh. Seseorang mendorongnya dari arah belakang. Saat Atqi melirik, ia dapati Hamzah sedang berada tak jauh di belakangnya.

Belum sempat Atqi bereaksi, Bey lebih cepat membalas dorongan Hamzah. Adu jotos tak bisa dielakkan. Masing-masing saling menyerang. Tak ada yang mau mengalah meski wajah mereka sudah dipenuhi lebam.

Semakin nyaring teriakan histeris para siswa yang langsung berkerumun, pergulatan Bey dan Hamzah malah semakin memanas. Baju putih abu mereka koyak, kotor dicorengi tanah.

"Berhenti! Hentikan, Hamzah! Bey!"

Teriakan Pak Anwar berhasil menyela perkelahian. Guru itu tak segan menghampiri, menahan dua dada anak didiknya yang tengah dikerubungi emosi. Terlihat jelas dari tatapan mata dan gerakan dada mereka yang turun naik dalam tempo cepat. Dua tangan mereka juga sama-sama terkepal, seolah bersiap menyerang jika lawannya hendak melayangkan balasan.

"Ada apa ini?" teriak Pak Anwar ingin tahu. Ia melirik Bey dan Hamzah bergantian untuk menuntut jawaban.

Tak ada yang buka suara. Termasuk Atqi yang hanya mampu berdiri mematung dengan tangan gemetar. Ia menjadi satu-satunya saksi perkelahian mereka yang bermula dari insiden di atap.

"Si Bey tuh yang duluan mukul, Pak!" seru seseorang lantang.

"Si Bey didorong duluan tadi!"

"Halah! Gak mungkin! Lo pasti salah lihat."

"Mereka berdua salah, Pak!"

"Hamzah cuma ngebela diri dia sendiri."

Pak Anwar dibuat repot mendengarkan tanggapan para siswa. Masing-masing memiliki argumen yang berbeda.

"Ikut Bapak ke kantor sekarang juga!"

Tak ada yang tahu setelahnya. Bey dan Hamzah digiring oleh Pak Anwar ke ruang Guru. Diintrogasi secara tertutup, tak satu pun siswa bisa mengetahui apa yang terjadi. Semua hanya menerka. Membuat dugaan yang semuanya menyudutkan Bey. Mereka berkumpul di depan ruang guru karena masih penasaran akan apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Pasti si Bey bikin onar lagi."

"Hamzah gak mungkin bikin masalah kalau si Bey gak duluan bikin masalah."

"Tapi, gara-gara apa coba?"

"Yang pertama kali lihat mereka berantem siapa?"

Atqi yang berbaur dengan kerumunan para siswa di depan ruang Guru mendadak tak enak hati. Ia merangsek, menerobos kerumunan dengan kaki lungkah. Ia masuk ke dalam ruang Guru tanpa memedulikan teriakan para siswa lain yang menegurnya agar tak masuk ke dalam sana jika untuk mengganggu.

Kemunculan Atqi membuat Pak Anwar berhenti memijit pelipisnya di depan Bey dan Gio yang tengah berdiri dengan kepala tertunduk. Atqi melangkah ke arah keduanya, mengambil jarak untuk berdiri di dekat mereka.

"Semua gara-gara Hamzah, Pak," kata Atqi tiba-tiba.

Hamzah dan Bey spontan menoleh. Kaget bukan main mendengarkan perkataan gadis itu. Tak terkecuali Pak Anwar yang kini memilih membanting tubuhnya ke badan kursi.

"Maksud kamu apa, Atqi?"

Pak Anwar menatap gadis itu sengit. Tak berharap jika masalah Bey dan Hamzah dicampuri oleh orang lain setelah Pak Anwar susah payah membujuk keduanya agar berdamai.

"Bey mukul Hamzah duluan, Pak. Di atap. Terus Hamzah mukul Bey di lapangan bola Voli. Udah itu ...," Atqi menjeda kalimatnya sebentar, "mereka saling pukul."

"Bener, Pak." Hamzah cepat mengiyakan.

"Saya minta maaf," sambung Bey tiba-tiba, "saya yang mukul duluan. Tapi—"

Lega tapi juga jengkel. Sejak mengintogasi Bey dan Hamzah tadi, dua anak didiknya ini malah sengit saling menuduh. Protes. Tak mau mengalah satu sama lain. Tapi ketika Atqi menjelaskan semuanya secara singkat, mereka malah membenarkan tanpa protes.

"Masalahnya apa kalian jadi saling pukul? Huh!" sengit Pak Anwar. Berlanjut menanyai dua anak didiknya setelah mengetahui sedikit duduk perkaranya.

"Saya gak terima kalau Hamzah jelek-jelekkin temen geng motor saya, Pak."

Bey menjabarkan semuanya, alasan sebenarnya kenapa ia memukul Hamzah di atap. Bagaimana semuanya bermula karena ulah Hamzah sendiri yang berani menyulut emosinya.

Siapa juga yang tak berang ketika ada orang asing menjelek-jelekkan teman sendiri?

Bey jelas tak akan terima. Sejak awal Hamzah sudah menilai buruk teman geng motornya.

Benar kata Atqi (seperti yang sempat ia curi dengar tadi saat gadis itu berbicara berdua dengan Hamzah), kalau Hamzah tak mengenal dengan baik teman geng motor Bey. Hanya Akmal dan Yuta saja tentu belum cukup. Tapi cowok itu berlagak sok tahu, sok mengenal teman Bey hingga menilai mereka buruk.

Memangnya berteman dengan geng motor itu buruk? Selama ini Bey merasa tak dirugikan sama sekali karena berteman dengan mereka, apalagi sekarang yang jadi ketua geng motor WZR adalah abangnya sendiri.

"Lo ketua IMAJI tapi jagonya jelek-jelekin orang yang gak lo kenal?" Bey tersenyum tipis. "Rasulullaah bahkan menganjurkan kita untuk selalu berprasangka baik terhadap saudaranya, kan?"

Mendengar hal itu Pak Anwar spontan mengangguk. Membenarkan.

"Itu yang pernah Pak Anwar sampaikan di kajian. Gue cuma ngutip."

Pak Anwar nyaris tertawa mendengar perkataan terakhir Bey. Sayangnya suasana saat ini bukan untuk ditertawakan, terlebih perkataan Bey tadi.

"Jangan nilai orang cuma dari cangkangnya aja. Kalau main tuh yang jauhan dikit! Jangan cuma temenan sama orang yang menurut lo baik aja. Biar mata dan hati lo terbuka kalau di dunia ini gak cuma keliatan putih nyatanya malah hitam, karena yang keliatan hitam bisa jadi sebenarnya putih."

"Gue temenan sama siapa pun!" Hamzah menyela. "Tapi gue punya batasan sendiri harus berteman sama orang sejauh apa. Kalau temenan sama orang yang prilakunya buruk, gue tentu harus bisa jaga jarak biar prilaku buruk temen gue gak ngerugiin gue. Gue bukan orang yang gampang dipengaruhi orang!"

"Sudah. Sudah." Pak Anwar menyela. "Bapak sekarang mengerti masalah kalian sebenarnya apa." Atqi, Bey dan Hamzah diam, menunggu Pak Anwar melanjutkan kalimatnya.

Selain petuah, Pak Anwar bersikeras meminta Bey dan Hamzah saling meminta maaf dan memaafkan. Dimulai dari Bey yang tanpa ragu mengulurkan tangannya pada Hamzah.

"Maaf," kata Bey singkat. "Lain kali jangan asal menilai orang yang gak lo kenal." Cengiran sinisnya berhasil membuat Hamzah batal membalas ukuran tangan itu. Hamzah malah berpaling dari Bey.

"Hamzah," panggil Pak Anwar. Mencoba memperingatkan hanya dengan memanggil namanya saja.

Dengan berat hati Hamzah membalas uluran tangan Bey. Sebentar saling merapatkan tangan. Tanpa sepatah kata pun terucap.

"Dia gak minta maaf, Pak," adu Bey.

"Hamzah!" Lagi. Pak Anwar memberikan teguran hanya lewat panggilan singkat itu.

Hamzah mendesah berat. "Sorry."

Bey menghampiri Pak Anwar lebih dulu. Ia menyalami tangannya, lalu pergi dari ruang itu.

Bey disambut tatapan sinis para siswa yang ternyata masih berada di luar ruang Guru. Bisik-bisik tak menyenangkan terdengar. Semua menyudutkan Bey yang baru saja keluar tanpa mengatakan apa pun, apalagi menanggapi pertanyaan mereka yang penasaran akan penyebab perkelahian Bey dan Hamzah.

Apalagi ketika Hamzah tak beberapa lama kemudian muncul. Mereka langsung menyerbu Hamzah dengan tanya. Berbeda dari Bey, Hamzah meladeni setiap pertanyaan mereka. Menjawab semua rasa penasaran yang ingin diketahui.

Hamzah mengatakan seadanya. Sejujurnya. Bahkan tentang ia yang salah telah menilai buruk Bey. Tapi, tanggapan mereka sungguh di luar dugaan.

"Bukan cuma kamu kok yang berpikir kayak gitu! Ya emang ada geng motor yang baik?"

"Sebaik-baiknya anak geng motor, tetep aja banyak gak baiknya."

Bey mempercepat langkahnya. Pergi dari sana. Menjauh dari desas-desus yang terdengar telinganya. Dadanya bergemuruh. Bey semakin mempercepat langkahnya. Berlari. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top