Bad Bey 31
Satu kelas gaduh bukan karena Bey lagi-lagi terlambat masuk kelas. Bukan hanya itu maksudnya.
Cowok berlesung pipi itu muncul dari balik pintu dengan wajah dan tangan tampak ditempeli plester cokelat di beberapa bagian. Mirip seperti orang habis kecelakaan.
Tapi, tampaknya bukan. Semua orang bisa menerka luka yang dimiliki Bey itu luka apa. Terlebih, kondisi Akmal dan Yuta pun hampir sama mengerikannya. Lebih mengerikan sebenarnya.
Desas-desus di dalam kelas tak bisa dielakkan. Setiap Guru yang masuk ke kelas itu, arah pandangan mereka pertama kali pasti tertuju pada Bey dan teman-temannya. Bukan tatapan menyenangkan yang pasti. Semua bisa menilai kalau tatapan para Guru hari itu tak lebih dari tatapan sinis.
Atqi yang biasanya harus bosan melihat wajah Bey lagi dan lagi berada tak jauh dari pandangannya, saat istirahat tiba, Atqi tak melihat wajah cowok berlesung pipi itu di mana pun. Di kelas, di kantin, atau bahkan ketika Atqi sedang bermain Voli. Padahal biasanya Bey yang paling semangat menjadi penyemangat dari pinggir lapangan, satu-satunya penonton setianya selama dua tahun terakhir ini.
Saat waktunya pulang pun, Bey yang biasanya selalu pulang paling akhir hanya demi mengekorinya, kali ini melangkah lebih awal keluar dari kelas. Diekori Akmal dan juga Yuta. Pemandangan aneh yang dilakukan tiga orang siswa itu berhasil menarik perhatian dan rasa penasaran. Tak terkecuali Atqi. Tindak-tanduk Bey begitu ganjil, terutama luka-luka lebam yang dimilikinya.
Atqi tahu penyebabnya apa sebenarnya. Bukan hanya dia, semua orang juga tahu luka-luka yang dimiliki Bey dan teman-temannya itu akibat apa. Ada hal aneh yang tiba-tiba menelusup di hati Atqi.
Khawatir.
Rasa sedih.
Dan rasa takut.
Padahal biasanya Atqi tak mau terlalu peduli akan apa yang terjadi pada Bey. Mau dia kena hukum Guru kesiswaan sekalipun, Atqi tak pernah mau peduli. Tapi semenjak cowok itu lebih banyak menghabiskan waktunya di IMAJI, Atqi merasa Bey bukan hanya sekedar cowok yang berambisi menjadikannya pacar.
Teman satu organisasi.
Ya. Itulah yang Atqi rasakan saat ini. Rasa peduli pada teman satu organisasi.
Sayangnya, Atqi tahu batasan harus mengapakan rasa pedulinya pada Bey seperti apa. Sama halnya seperti ia tak ingin digosipkan hal aneh karena dekat dengan Hamzah, maka Atqi memilih untuk pura-pura tak peduli dan menjaga jarak. Hanya memendam rasa penasarannya sendiri atas apa yang menimpa Bey.
Atqi pulang ke rumah dengan cepat. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan demi mengalihkan perhatiannya dari memikirkan Bey. Ia harus membatasi diri dari memedulikan seseorang, terutama Bey.
Tapi, Atqi dibuat terkejut akan kehadiran Bey di depan rumahnya saat ia baru pulang dari sekolah. Ia tak mengira Bey akan pergi ke rumahnya seperti ini. Untung saja Atqi masih memiliki kesadaran untuk menghentikan motornya dengan cara aman.
"Ngapain kamu di sini, Bey?" serbu Atqi. Ia celingukan memandang sekitar. Mencari keberadaan Akmal dan Yuta yang biasanya bersama cowok itu juga. "Kamu sendirian?" terkanya.
Bey yang duduk di atas motornya mengangguk. Wajahnya begitu kusut. Sekilas menatap Atqi, lalu berpaling lagi. Tapi ia tak beranjak dari tempat itu seolah sengaja menunggunya.
"Menurut kamu, aku orangnya gimana?"
Tiba-tiba saja Bey bertanya demikian yang tentu saja membuat Atqi terdiam cukup lama. Bingung harus menanggapi situasi ini seperti apa.
"Posesif," jawab Atqi tegas, "gak tahu malu, keras kepala, dan aneh."
Bey terkekeh spontan. Raut wajah kusutnya yang tadi ia tampakkan perlahan menerbitkan seulas senyuman.
"Posesif?" Ia melirik Atqi dengan mata menyipit. "Gak tahu malu? Keras kepala? Aneh? Aneh apanya?"
Atqi mengedikkan bahu. "Kamu tadi nanya dan udah aku jawab. Masa gak ngerti sih sama jawabannya?"
Bey menggeleng. "Kalau soal pergaulanku sama geng motorku?" tanya Bey lagi.
Atqi kembali diam. Cukup lama. Berulang kali ia sempat membuang napasnya.
"Gak tahu." Atqi menggelengkan kepalanya. "Karena aku gak tahu temen geng motor kamu itu kayak apa sebenarnya. Aku tahunya cuma sekedar 'katanya' aja. Kalau aku berpendapat, nanti jatohnya salah atau malah fitnah, kan?"
Bey tersenyum lebih lebar dari yang tadi. "Kamu gak berubah yah, Qi. Baik dulu maupun sekarang."
"Emang dulu aku gimana?"
"Pikiran kamu gak sama kayak yang lain kalau bahas soal aku. Kesannya malah berkomentar positif. Dan kamu tahu? Cara kamu membicarakanku itu yang bikin aku tertarik sama kamu."
Kening Atqi merengut keras. "Emang aku kayak gitu yah? Bukannya kita sering cekcok?"
"Itu lain hal, Atqi sayang ...."
"Diem!" Atqi mengangkat tangan terkepalnya mengarah ke muka Bey. Meski jaraknya lumayan jauh, namun ancaman yang ia berikan cukup membuat Bey mengangguk patuh.
"Maksudku, kamu gak gampang menilai orang, Atqi. Itu yang buat kamu berbeda dan menarik dari yang lain. Gak kayak si Hamzah." Kepala Bey tertunduk lesu.
"Kenapa emang si Hamzah? Jangan fitnah aku sama dia yang aneh-aneh lagi kayak waktu itu yah!" Atqi memperingatkan.
Bey membuang napas berat. "Dia minta aku gak bergaul lagi sama Akmal, Yuta, dan anak-anak geng motor yang lain. Karena menurutnya, mereka bisa memberikan pengaruh buruk padaku. Lucu banget." Bey terkekeh. "Dia nilai aku dan temen-temenku punya pengaruh buruk itu gara-gara apa coba? Dasarnya apa? Buktinya apa? Gak ada, kan? Bukannya itu malah jatohnya jadi fitnah?"
"Hamzah bilang gitu?"
"Iya."
Atqi terdiam sejenak. Cukup lama.
"Ini ke sekian kalinya dia bilang kayak gitu soal aku dan anak geng motor. Dulu mintanya jauhin kamu karena takut aku kasih kamu pengaruh buruk. Sekarang, dia minta aku yang jauhin anak-anak geng motor yang udah jadi temenku lima tahun terakhir ini. Menurut kamu, aku harus apa sekarang?"
Atqi masih diam. Mendengar cerita Bey yang tampaknya belum usai. Dengan sabar Atqi mendengarkannya.
"Mau tetep di IMAJI, rasanya kayak ada yang mengganjal. Bikin gak nyaman karena mereka memandang buruk temen-temenku sendiri. Padahal, mereka sendiri gak saling mengenal. Anak-anak IMAJI gak kenal temen geng motorku, begitu juga sebaliknya. Tapi kok ... si Hamzah bisa menilai demikian buruk soal teman-temanku yang bahkan gak dikenalnya?
"Untuk keluar dari IMAJI pun ... aku enggan. Udah jalan sejauh ini. Meski ngerasa belum diterima dengan baik di sini, tapi aku coba untuk bertahan. Kamu tahu apa yang membuat aku bertahan tetap di sini itu apa?"
Atqi menggeleng. Tak berani mengeluarkan sepatah kata pun selain bahasa tubuhnya.
"Kamu dan Pak Anwar," jawab Bey singkat. "Kamu, sebagai orang yang aku suka dan ingin aku jaga. Pak Anwar, sebagai guru yang mau menerimaku di tempat ini, tentu menjadi orang yang akan aku hormati. Selama di sini, aku merasa hanya kalian berdua saja yang menerima keberadaanku. Beda aja. Dari tatapan, tindakan, sampai kata-kata. Hanya kalian yang membuat aku merasa diterima di sini dengan baik di sini tanpa pernah menyinggung masalah pertemananku di luar sana."
Hening. Jeda cukup lama menyelinap di antara keduanya. Bey sudah usai membagi apa yang ingin ia ceritakan sampai perasaannya terasa sedikit lega. Ia tenang sekarang meski sedikit.
"Kamu tak perlu mendengarkan omongan orang lain tentang kamu, Bey." Atqi bersuara. Begitu hati-hati. "Fokus saja pada apa yang menurutmu kamu benar. Tak perlu ikut-ikutan apa kata orang, entah mereka menilaimu sebagai orang baik atau buruk. Itu kan hal biasa! Kita, manusia, punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing, kan?"
Bey mengangguk setuju.
"Dan ... jangan bertahan di IMAJI demi aku, Bey," kata Atqi lagi. Lebih serius. Bey sampai menoleh padanya dengan tatapan tajam. Menatap lekat dua manik mata yang kini tengah menatapnya lurus. Lengkap dengan seulas senyum kecil. "Pikirkan tentang dirimu saja. Kamu gak perlu repot melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain karena yang menjalaninya adalah kamu sendiri."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top