Bad Bey 26
Pria di depan gerbang rumah Atqi itu begitu gagah, begitu pikir Bey. Sejak menyukai Atqi, Bey secara langsung juga memerhatikan Ayah dan Ibunya. Meski tak berani menyapa atau bertemu langsung. Hanya memerhatikan dari kejauhan.
Tapi, sekarang?
Ya Tuhan! Kalau bukan karena harga diri sebagai cowok, mungkin Bey akan memilih memutarbalikkan arah motornya dan pergi saja. Sayangnya ia tak bisa melakukan hal itu karena di belakang kemudi ada Atqi. Tujuannya datang ke kompleks perumahan ini pun bukan iseng-isengan, tapi untuk mengantar Atqi sampai rumahnya.
"Bey, stop! Stop!"
Maunya! Bey juga maunya menghentikan laju motornya saat itu juga. Ia bahkan sudah siap menginjak rem.
"Nanti Ayah kamu bakalan nganggep aku cowok apaan kalau turunin kamu di tengah jalan kayak gini coba, Qi?"
Akan Bey taruh di mana mukanya nanti kalau menurunkan Atqi di depan orang tua gadis yang dicintainya? Bisa malu tujuh turunan! Dan yah, satu hal yang pasti, Bey akan semakin kesulitan mendapatkan Atqi.
Tidak! Sekuat tenaga Bey memberanikan diri bahwa ia harus terus melajukan motornya ke depan rumah Atqi. Tanpa peduli ocehan Atqi, tanpa peduli ributnya isi kepala Bey saat ini.
Kacau! Bey merasa sekelilingnya begitu gelap. Tunggu? Memang sedang malam hari, kan?
Ya Tuhan ... pokoknya semuanya gelap bagi Bey. Hanya ada sosok Ayah Atqi yang dapat ia lihat. Mata nyalang lelaki itu saat ia berada di depannya membuat Bey nyaris kabur dengan motornya. Ngebut. Lari sejauh mungkin.
Tapi, tidak. Bey masih punya nyali meski sedikit. Ia turun dari motor setelah memastikan Atqi sudah turun juga. Ketika menapaki aspal, dua kaki Bey terasa mati rasa. Lumpuh seketika. Untung saja ia berpegangan pada motornya, sedikit menyadarkan Bey bahwa ia sedang salah tingkah di depan Ayah Atqi.
"Assalamu'alaikum, Om."
Bey menyapa Ayah Atqi ramah. Menarik punggung tangan lelaki itu dan menciumnya. Canggung. Ia paksakan diri menarik dua ujung bibirnya. Tersenyum. Tenang. Tetap tenang ....
"Ini Bey, Yah," kata Atqi yang kini berdiri di samping sang Ayah.
"Bey?" Kening Ayah Atqi saling bertaut. Nama itu terdengar familiar di telinganya. Ia menoleh pada anaknya untuk memastikan bahwa ia tak salah dengar. "Bey?"
Atqi mengangguk. Berulang kali. "Kita habis dari panti asuhan, Yah. Acara IMAJI itu loh ...."
Bey diam saja. Memerhatikan Atqi yang tengah menjelaskan keadaan. Maunya sih Bey menyela, tapi mulutnya mendadak terkunci rapat. Ia kehilangan keberanian mengungkapkan kata-kata yang sudah bercokol di kepalanya.
"Oh ...."
Bey mulai tak tenang. Tanggapan singkat Ayah Atqi cukup mengusik. Entah pertanda baik atau buruk, Bey tak tahu. Diamnya ia di sana semakin tak bertujuan. Ingin sekali Bey berpamitan dan lekas pulang. Tapi ...."
"Masuk dulu! Masuk dulu!" ajak Ayah Atqi. Tiba-tiba. Seguras senyum di wajahnya sampai terbit. Senyuman yang begitu lebar.
Bey melongo. Kaget. Salah tingkah. Hatinya sih ingin mengikuti perkataan Ayah Atqi, namun kakinya begitu kuat menapaki tanah. Tak bergerak satu inci pun. Ya Tuhan!
"Bey pulang langsung aja, Om. Udah malem soalnya. Nanti ada yang nyariin kalau keluar lama-lama." Bey tak berbohong. Ini alasan yang jujur, kan? Ada Gio yang tengah mencarinya.
"Oh, ya, ya, ya. Terima kasih sudah mengantarkan Atqi pulang yah, Bey." Sekali lagi Ayah melemparkan senyum pada Bey.
Bey terpukau. Terperangah. Mulutnya sampai menganga sedikit dalam waktu yang cukup lama.
"Oh. Iya, Om. Sama-sama."
Sama-sama apanya? Ya ampun, Bey tak tahu, Yang terbesit di kepalanya, ia hanya bersyukur karena Ayah Atqi tak memarahinya karena muncul membonceng Atqi. Bey bersyukur karena Ayah Atqi telah memiliki anak secantik gadis itu. Apa lagi? Ah, entahlah. Semua hal yang menyangkut Atqi terasa harus Bey syukuri saja.
"Permisi. Assalamu'alaikum."
Satu dua meter, laju motor yang Bey kendarai pelan. Bey bertahan tak menoleh ke belakang, melihat apakah Ayah Atqi dan Atqi masih memerhatikannya atau tidak. Barulah setelah jarak dari rumah Atqi terasa jauh, Bey mempercepat laju motor. Berteriak lantang.
"Wooo!!!"
***
Senyuman Bey lenyap. Dugaannya benar. Gio sedang duduk di ruang tamu. Menungggui kedatangannya. Dengan langkah berat, Bey masuk ke dalam rumah. Tak ada tegur sapa. Bey ingin buru-buru masuk kamar, mengunci diri, baru besok ia akan bicara pada Gio yang sebenarnya. Malam ini, Bey mau menikmati sisa kebahagiaannya setelah bertemu dengan Ayah Atqi.
Tapi ....
"Kamu masih ikut IMAJI?" serbu Gio. Tanpa basa-basi.
Bey menggigit bibir bawahnya. Harapannya sia-sia. Ia balik badan, menghadap Gio ogah-ogahan.
"Iya," jawabnya jujur.
Gio membuang napas pendek. "Sudah aku bilang jangan lagi ikut—"
"Aku hanya ikut kajian saja, Yo. Tidak ada aktivitas aneh-aneh di sana. Sungguh!"
"Bagaimana dengan Hamzah? Bukankah kamu bilang dia itu orang bermuka dua? Kamu sudah memberitahu Atqi soal ini yang menjadi tujuanmu ikut IMAJI?"
Bey bukannya lupa akan tujuan awal ia masuk IMAJI. Tapi, perlahan niatannya berada di IMAJI berubah-ubah. Mulanya memang karena ingin mengungkapkan sikap Hamzah yang bermuka dua itu agar Atqi menjauh. Namun rupanya, Atqi sudah bertindak cepat dengan mengundurkan diri dari posisi sekretaris IMAJI.
Sudah cukup lama juga Bey tak melihat Atqi dan Hamzah kedapatan berdua. Malah malam ini, Bey diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk membonceng Atqi. Ia merasa usahanya mendekati gadis itu mengalami perubahan. Meksipun memang untuk melangkah menuju hubungan serius masih sangat lama.
Yah ... memang. Bey masih belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan IMAJI, terutama di bagian kajian membaca Al Qur'an yang merupakan agenda rutin paling menyebalkan untuk Bey.
Sudah hampir dua bulan ia di sana, Bey merasa tak mengalami perubahan yang pesat. Belum lagi masalah kajian-kajian lain yang di sampaikan Pak Anwar. Kalau boleh jujur, apa yang ia dengar masuk ke telinga kiri lalu keluar lagi lewat telinga kanan. Berlalu begitu saja.
Meski perkembangan dirinya di IMAJI bisa terbilang seperti siput, tapi Bey tak bisa memungkiri bahwa kedekatannya dengan Atqi terasa lebih baik. Buktinya malam ini ia bisa membonceng Atqi untuk pertama kalinya. Ia bertekad untuk terus berada di IMAJI demi Atqi. Demi menunjukkan pada Atqi bahwa meskipun ia anak geng motor, ia tak seburuk yang orang lain kira. Atqi harus melihat hal itu.
"Gue capek, Yo. Ngobrolnya dilanjut besok saja."
Bey segera balik badan. Tak mau memperpanjang perdebatan dengan Gio yang menurutnya tak penting.
Sementara itu, Gio masih bertahan di ruang tamu ketika Bey memutuskan masuk ke dalam kamarnya. Ia biarkan adiknya itu berlalu begitu saja. Meski inginnya, Gio terus mencecar Bey dengan beragam tanya untuk meyakinkan Gio bahwa Bey memang tak melakukan hal yang aneh-aneh di IMAJI.
Tapi, kebohongan Bey sudah menunjukkan semuanya. Kajian yang diikutinya malah membuat Bey melakukan tindakan yang keliru.
Bagaimana bisa adiknya itu berani menyembunyikan sesuatu darinya? Ada apa di IMAJI sampai membuat adiknya seperti itu? Apa hebatnya IMAJI sampai Bey begitu betah di sana sampai harus sembunyi-sembunyi bergabung di komunitas itu?
Benarkah demi Atqi? Benarkah karena Hamzah? Tapi, haruskah Bey bertindak sejauh ini sampai berani berbohong darinya? Bukankah selama ini ia selalu mendengarkan cerita Bey soal Atqi? Kenapa kali ini Bey harus berbohong darinya?
Kenapa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top