Bad Bey 25

Bey menggigit bibir. Ponsel di tangannya terus menyala. Nama Gio tertera di sana. Kadang ada nama Akmal, Yuta, dan teman geng motor lainnya juga. Bey tahu. Mereka pasti tengah mencarinya.

Awalnya Bey ingin mengabaikan saja. Nanti saat tiba di rumah ia akan menceritakan semuanya pada Gio. Tapi pada akhirnya, Bey tak cukup tenang terus berbohong. Suara tinggi Gio di seberang sana menyerbunya dengan beragam tanya. Bey sampai menjauhkan ponselnya beberapa senti dari telingnya.

"Gue lagi ...," Bey tergagap, "di sebuah panti asuhan, Yo."

"Bey! Buruan!" Terdengar seruan memanggil namanya dari kejauhan. Bey melambai sekenanya. Mencoba tak peduli pada anak-anak IMAJI yang merangsek keluar panti. Entah menuju ke mana.

"Nanti gue jelasin semuanya. Gue harus pergi sekarang, Yo!"

Buru-buru Bey menutup panggilan saat melihat hampir semua rombongan meninggalkan area panti. Padahal mereka baru saja tiba, tapi sudah mau pergi lagi dari tempat ini.

Bey dengan cepat menyusul dari belakang. Ternyata mereka hendak pergi ke sebuah Masjid yang tak jauh dari panti. Ada banyak orang di sana, dengan pakaian lengkap untuk mengerjakan shalat.

Para perempuan berada di area belakang dan luar Masjid, sementara laki-lakinya memenuhi area dalam. Sesaat setelah adzan berkumandang, Jemaah berbaris rapi. Membentuk saf rapi. Termasuk juga Bey berada di sana.

Ia celingukan memandang sekitar. Tampak canggung. Ia tak banyak bertanya selama mengerjakan shalat yang jumlahnya cukup banyak. Tapi, satu hal yang pasti, Bey tahu ia tengah mengerjakan shalat apa. Kalau diingat-ingat, sudah lama ia tak mengerjakan shalat tarawih berjamaah seperti ini. Mungkin ... sekitar tiga tahun yang lalu?

Ada perasaan ganjil menyeruak. Sekelebat bayangan tentang Ibu dan Bapak di masa lalu lagi-lagi mengusik isi tempurung kepala Bey. Ia kesulitan. Shalatnya tidak khusyuk. Air mata malah keluar dari dua matanya gara-gara teringat ramadannya beberapa tahun lalu saat keluarganya masih utuh.

Ledakan petasan, suara takbir, ibu-ibu ngerumpi, anak-anak yang bekejaran, sinar bintang dan bulan, buah kurma, bedug bertalu-talu, hampir setiap malam di depan rumahnya begitu ramai.

Ibu yang selalu paling heboh kalau soal tarawih. Berangkat paling awal, pulang paling akhir. Dalihnya sih karena diajak ngobrol bareng bu RT dan tetangga sebelah.

Kalau Bapak akan menjadi orang paling akhir meninggalkan rumah dan paling awal datang. Saat Bey dan Gio tiba di rumah, ia selalu mendapati Bapak tengah menyesap rokok. Tiduran di sofa dengan posisi nyaman.

Bey tak bisa menahan air matanya mengingat hal itu. Sekelabat masa lalu yang harusnya tak muncul ketika ia tengah shalat. Jengkel sekaligus menyakitkan hati. Usai melaksanakan shalat, saat yang lain tengah berdzikir dengan suara lantang, Bey malah tertunduk dalam karena tak kuasa bersuara. Terlalu sesak dadanya.

Selepas dzikir usai, ketika Jemaah mulai membubarkan diri, Bey juga cepat keluar dari Masjid. Ia pergi ke toilet, diam di salah satu kamarnya, dan menangis di sana sampai semua rasa sedihnya reda.

Baru setelah itu ia kembali bergabung dengan anggota IMAJI lain yang sudah kembali ke panti. Ada yang tengah asyik bermain-main dengan anak-anak panti, ada juga yang memilih duduk-duduk di beranda panti sambil bermain ponsel. Beda halnya dengan Pak Anwar yang tampak serius berbincang dengan salah satu wanita paruh baya bertubuh tambun di dalam panti.

Bey melihat Atqi tengah duduk sendirian di beranda panti, tampak memerhatikan anak-anak panti yang tengah berlarian dengan wajah riang. Bey mendekat. Tak mencoba duduk, tapi hanya berdiri tak jauh dari cewek itu. Ikut memerhatikan anak-anak panti yang tengah berlarian saling kejar-kejaran.

"Jadi, agenda kita di sini cuma shalat tarawih?" tanya Bey.

"Iya. Untuk hari ini sepertinya hanya shalat tarawih. Mulai besok, kita akan ke sini tiap habis ashar. Nanti ada pembagian jadwal per harinya untuk kegiatan rutin di sini selama Ramadhan."

"Oh ... untuk apa?"

"Ngajarin mereka baca tulis, baca Al-Qur'an, buka bersama, lalu tarawih. Nanti ada juga yang mengerjakan program kerja lain yaitu bantuan sosial yang akan dibagikan menjelang idul Fitri."

"Lalu, tugasku di bagian mana?"

Atqi angkat bahu. "Coba aja tanya Hamzah. Dia yang memutuskan anggotanya akan mendapatkan tugas apa."

"Males ah!"

Bey duduk dipagar pembatas panti, duduk di sana dengan tetap menjaga jarak agar dekat dengan Atqi.

"Tugasku nemenin kamu aja," sambung Bey enteng.

Untung saja saat itu malam hari. Atqi jadi tak perlu risau akan perubahan raut wajahnya yang terasa panas dilihat oleh Bey atau yang lain.

Melihat Atqi yang diam saja, Bey sudah bisa menebak kalau gadis itu pasti bosan mendengar gurauan dan gombalannya. Sudah untung gadis itu tidak menyerbunya dengan amukan atau pukulan seperti di jalan tadi.

"Kapan mau pulang? Acaranya udah beres, kan?" tanya Bey kemudian. Mencoba memecah kecanggungan agar Atqi tak sampai marah karena perkataan terakhirnya tadi.

"Nunggu Pak Anwar beres ngobrol sama pengelola panti asuhan ini." Atqi menanggapi singkat.

"Oh ... kalau pulang duluan gimana?" tawar Bey. "Aku janji bakal anterin kamu pulang sampai rumah kok."

"Nanti aja bareng yang lain." Atqi menolak cepat. Ia tentu tak mau sampai pulang hanya berdua dengan Bey.

Tepat saat itu Atqi melihat Bey memeriksa ponselnya. Pantulan cahaya dari ponsel itu sedikit bisa menampakkan raut wajah Bey yang tampak kusut mesut. Keningnya saling bertaut keras.

"Emang kenapa? Kamu ada keperluan lain setelah ini?" tanya Atqi penasaran. "Izin dulu sama Pak Anwar atau Hamzah kalau mau pulang duluan. Terus ajak yang lain juga buat nemenin. Emang kamu berani pulang sendiri lewat hutan tadi?"

Bey turun dari tempat duduknya. Mendesah pendek. Memasukkan kembali ponsel ke sakunya. "Berani dong! Kenapa juga sampai gak berani lewat hutan sendirian?"

"Kamu gak takut?"

"Hantu maksud kamu?"

Atqi mengangguk pelan. "Sejenisnya mungkin?"

Bey terkekeh. "Ajak kenalan sekalian ajak pulang aja. Kali aja mereka butuh tumpangan, kan?"

"Bey!" Raut wajah Atqi tampak ketakutan. "Hati-hati kalau ngomong!"

"Tenang aja. Setan gak lebih menakutkan dibanding kamu!"

"Bey!" Atqi murka. Ia tahu Bey tengah menyindirnya. Sama sekali bukan hal lucu, apalagi yang dibicarakan adalah makhluk halus. Malam-malam begini lagi.

Atqi berjalan menjauh dari Bey. Ia tak mau mendengar ocehan Bey lagi. Atqi bergabung dengan anggota IMAJI lain yang tengah bermain bersama anak-anak panti, bercanda tawa di halaman panti. Disinari cahaya lampu. Cukup membuat penglihatan tak terlalu buta.

Sementara itu, Bey tetap di tempat. Memerhatikan Atqi dari kejauhan. Niatnya untuk mengajak Atqi pulang duluan batal dilakukan. Baru sekitar pukul sembilan, ia dan anggota IMAJI lain akhirnya memutuskan pulang.

Sisa perjalanan menuju rumah Atqi, Bey ternyata harus mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya sendirian. Semua terjadi begitu saja. Rombongan memutuskan berpencar ke tempat masing-masing saat di tengah jalan. Bey tentu saja tak keberatan, ia dengan senang hati menerima keputusan mendadak itu. Berbeda dengan Atqi yang tentunya harus dilanda risau. Harus pulang hanya dengan Bey.

Berdua saja.

Di malam hari.

Dan Atqi dapat melihat Ayahnya dari kejauhan sedang mondar-mandir di depan gerbang rumah.

Pasti sedang menunggunya pulang.

"Bey, stop! Stop!" Atqi rusuh. Menepuk-nepuk punggung Bey keras dan cepat.

"Kenapa? Rumah kamu di depan. Tuh Ayah kamu lagi nungguin juga. Kenapa harus berhenti di sini?" protes Bey. Tak terima. Ia mau mengantarkan Atqi dengan selamat sampai rumah, bukan menurunkannya di tengah jalan seperti ini. Meski hanya berjarak beberapa meter dari rumah Atqi.

Tidak! Bey harus mengantarkan Atqi sampai depan rumah gadis itu.

"Nanti Ayah kamu bakalan nganggep aku cowok apaan kalau turunin kamu di tengah jalan kayak gini coba, Qi?" dumel Bey. Terus melajukan motornya mendekati rumah Atqi.

Terlambat. Motor Bey sudah lebih dulu berhenti di depan rumah Atqi. Ayah sudah berkaca pinggang. Melotot pada keduanya yang muncul berboncengan.

Ya Allah ... semoga Ayah gak ngapa-ngapain si Bey, gumam Atqi dalam hati. Perasaannya tak karuan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top