Bad Bey 22

Bey dan Gio duduk berdampingan di atas ranjang, bersandar pada dinding kamar dengan kaki lurus. Tak ada yang berbicara satu orang pun untuk waktu yang cukup lama sejak Bey mendapati Gio meringkuk dengan wajah babak belur. Ia tak merasa perlu menanyai Gio apa yang terjadi padanya.

"Kalau Bapak gak kena PHK, mungkin kehidupan kita gak bakalan kayak gini, yah?" Bey terkekeh kecil seolah perkataannya barusan adalah hal yang lucu dan patut ditertawakan.

"Gak usah mikirin yang udah lalu, Bey. Lo gak bisa mutar balik waktu!"

Bey menekuk dua lututnya, menyangganya dengan dua tangan. Kepalanya sedikit tertunduk. Senyuman kecil di wajahnya tak mampu menghalau air mata yang perlahan luruh. Satu per satu.

"Lo inget gak dulu, Yo?" Bey tampak tak menggubris peringatan Gio. Pikirannya sudah dipenuhi oleh kenangan keluarganya dulu. "Waktu kita liburan idul fitri ke pantai, Ibu ngotot pengen nangkep ikan bareng nelayan. Karena dia pengen banget makan ikan hasil tangkapan sendiri. Padahal kan dia bisa tuh mancing aja ke tempat pemancingan Pak Abdul. Iya, gak?"

Gio enggan menggubris cerita Bey yang lagi-lagi membahas tentang masa lalu mereka. Yang berlalu biarlah berlalu. Mau itu kenangan manis apalagi pahit, harusnya tak perlu diingat-ingat lagi, kan? Untuk apa? Gunanya apa? Toh tak akan ada perubahan apa pun hanya dengan mengingat masa lalu terus menerus.

Melihat Gio diam saja, rupanya Bey pantang menyerah untuk mengajak kakaknya itu membicarakan tentang hal yang menurut Bey menyenangkan. Mengingat tentang Ibu, tentang kenangan manis, tentang sosok Ayah yang hangat, meski hanya dalam ingatan, Bey cukup merasa senang.

"Dulu Bapak sering bawain makanan kalau pulang kerja." Bey lagi-lagi bercerita. Bernostalgia. Membuka kembali kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan. "Bakwan goreng, nasi goreng, kwetiau kuah, bakso, pecel lele, bubur ayam, ...."

Selagi Bey berceloteh, lambat laun Gio pun malah ikut hanyut dalam ingatan masa lalu yang ada di ingatan Bey. Sesungging senyuman terbit di wajahnya yang buru-buru ia lenyapkan. Takut jika Bey menyaksikan bahwa dirinya juga tak bisa melupakan kenangan-kenangan itu.

Siapa juga yang mau orang tua sampai bercerai? Tak ada satu anak pun ingin, termasuk Bey dan Gio. Tapi, apakah Bey dan Gio bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Dengan cara apa mereka harus mengubahnya?

Kenangan manis 17 tahun lamanya seketika sirna hanya karena sebuah perceraian yang prosesnya tak lebih dari satu bulan lamanya. Semua terjadi secara tiba-tiba. Perpisahan yang tak diinginkan siapa pun harus Bey dan Gio alami di usia yang baru beranjak remaja.

Bey dan Gio tak cukup mengerti. Kenapa perceraian itu harus terjadi?

Jika karena Bapak yang kehilangan pekerjaan, apa hubungannya dengan perceraian?

Jika karena Bapak mabuk, apa hubungannya dengan perceraian?

"Harusnya Ibu ajak kita pergi. Kenapa dia pergi ninggalin kita? Apa mungkin kasih sayang seorang Ibu pada anaknya memang bisa hilang?"

Ini yang Bey tak mengerti sampai detik ini. Tentang keputusan Ibu yang pergi meninggalkannya tanpa ucapan maupun kata-kata. Dari yang Bey ketahui, kasih sayang seorang Ibu tak lekang oleh waktu. Tapi, sepertinya itu tak berlaku untuk Ibunya yang memilih pergi.

Mungkin Ibu tak menyayangi kami lagi, begitu pikir Bey. Tapi, aku merindukannya.

"Entahlah." Gio ogah-ogahan membalas celotehan Bey. Lama kelamaan ia jengkel juga jika hanya diam saja mendengarkan. "Cuma nyokap yang tahu alasannya kenapa dia pergi ninggalin kita. Dan lagi, orang yang ninggalin kita belum tentu dia gak sayang, Bey. Lo lihat aja Bapak! Dia yang gak ninggalin kita tapi sukanya mukulin anaknya sendiri, apa lo pikir Bapak sayang sama kita? Sayangnya bokap sama bokap ke kita tuh menurut lo kayak gimana? Huh!"

Bey terdiam cukup lama. "Kayak dulu, Yo. Kayak Bapak dan Ibu yang dulu itu! Lo pasti inget kan gimana mereka dulu ke kita? Gimana mereka sering peluk kita, ajakin kita ngobrol, bangunin kita tiap pagi, beliin kita apa pun yang kita mau, pokoknya ... yang kayak dulu, Yo!"

Bey sulit menggambarkan apa yang ada di pikirannya dengan kata-kata. Hanya sebatas itu. Terlalu banyak yang Bey ingat, tapi terlalu sedikit yang mampu Bey katakan. Dadanya sesak setiap kali menyebut nama Ibu atau Bapak. Tapi, ia juga tak bisa berhenti menyebut nama mereka yang menggiringnya pada sebuah kerinduan.

Bey terisak. Frustrasi sendiri. Kesal karena apa yang ia rasakan sepertinya Gio tak merasakan hal yang sama. Hanya dia yang memiliki angan-angan ingin kembali ke masa lalu. Cukup dengan mengingatnya saja. Apa susahnya?

Bey juga tahu kalau waktu tak bisa diputar kembali. Bey tahu kalau yang sudah terjadi tak akan pernah bisa diulang lagi. Tapi, salahkah jika mengingatnya saja? Tak bisakah Gio meladeni rasa rindunya akan masa lalu itu?

Gio dan Bey kembali saling diam. Gio yang mati-matian menahan diri untuk tak ikut terisak seperti Bey. Sementara Bey yang tak mampu lagi menyembunyikan keinginannya untuk menangis. Berulang kali ia menyeka wajahnya. Berharap tangisnya ini segera berhenti.

"Gimana hubungan lo sama Atqi? Ada perubahan?"

Bey mendongak. Cukup terkejut mendengar pertanyaan dari Gio barusan. Tak biasanya abangnya itu mau membahas Atqi duluan karena biasanya Bey yang paling rajin bercerita lebih dulu.

"Kenapa nanya-nanya dia? Lo naksir Atqi?" balas Bey ketus.

Tangis Bey perlahan mereda. Mendengar nama Atqi disebut, ia jadi teringat percakapannya dengan Atqi tadi pagi yang berujung tak menyenangkan. Sama tak menyenangkannya dengan mengobrol bersama Gio barusan.

"Kalau iya, lo mau apa?" tantang Gio.

Bey melotot tajam. "Awas lo kalau berani nikung saudara sendiri!"

"Kalau Atqi mau sama gue, mau gimana lagi, kan?" Gio tak hentinya terus menyudutkan Bey. Menggodainya. Hal ini ternyata cukup ampuh membuat Bey berhenti menangis.

"Boro-boro sama elo, Yo. Sama gue aja dia gak mau! Sama modelan kayak si Hamzah aja kayaknya dia nolak tuh!"

"Alesannya kenapa?"

"Yah ... karena dia yang gak mau pacaran itu. Yang dalam Islam itu kan gak ada pacaran."

"Terus dia maunya apa?"

"Nikah."

Gio terbelalak. "Masih kecil udah niatan pengen nikah?"

Bey angkat bahu. "Tahu tuh si Atqi! Masa iya gue meski nikahin dia di umur masih belasan begini? Pengen nikah muda kali dia. Saking ogah banget pacaran karena gak mau berbuat dosa lah, zina lah, maksiat lah, itu lah, ini lah, ... rumit banget alesannya."

"Tinggal nikahin aja apa susahnya, Bey ...."

"Gila lo, Yo! Kejauhan! Gak kepikiran gue kalau harus nyampe sana! Enggak! Enggak! Gue masih mau sekolah dan tamatin sekolah."

"Tumben pikiran lo positif?" Gio menjitak belakang kepala Bey cukup keras.

Adiknya mengerak kesakitan sambil memegang belakang kepalanya. Mendelik tak suka pada Gio yang malah terkekeh puas. "Lo pikir otak gue isinya hal negatif semua?"

Bey hendak membalas Gio dengan jitakan yang sama. Namun, Gio berhasil menghindar. Tentu saja Bey tak mau mengalah. Ia mengejar abangnya itu yang terus menghindar darinya. Biar pun wajahnya penuh lebam, nyatanya Gio masih sanggup menghindar dari Bey. Berlari ke sana ke mari dengan gesit.

Aksi kejar-kejaran itu berujung tawa. Suara tawa yang terdengar sampai keluar rumah mereka. Tetangga yang lewat sampai berhenti sejenak di depan rumah. Mendengarkan dengan saksama tawa dua bersaudara yang sedang dilanda bahagia beserta duka. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top