Bad Bey 19

Bey dan Gio berseru lantang. Motor semakin melaju cepat. Jalanan begitu lengang. Di dua sisi mereka hanya ada hamparan kebun teh tak bertuan. Bey dengan sengaja bangkit dari duduknya. Dua tangannya menyentuh bahu Gio, berteriak keras tanpa peduli tatapan orang-orang yang mereka lewati.

Bey terdiam sejenak, mengendusi angin yang menerpanya. Ia menatap punggung Gio sampai sebuah senyum terbit di wajahnya.

"Udah lama nih kita gak jalan berdua, Yo!" teriak Bey. Setengah menggoda. Dengan sengaja ia melingkarkan dua tangannya pada tubuh Gio sambil bersandar dengan nyaman.

"Ngapain lo?" Gio menggerakkan tubuhnya. Ia coba melepaskan tangan Bey yang sedang memeluknya. Risi bukan main. "Lepasin! Gue bukan penyuka sesama."

"Ya ampun, Yo! Peluk kasih sayang dari adik sendiri nih. Lo gak sayang sama gue?"

"Jijik, anjir! Lepas! Lepas!"

Bey semakin mengunci rapat pelukannya, tak peduli ia kena pukul Gio atau sikutannya. Karena semakin lama, Gio berhenti juga berusaha melepaskan diri darinya. Tampaknya ia hanya bisa pasrah saja dengan kelakukan adik semata wayangnya ini.

Wajah Bey tampak kusut ketika ia perlahan melepas pelukannya yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Namun, demi membuat Gio tak risi, Bey mau tak mau melakukannya. Ia sudah cukup senang dengan aksi penolakan Gio tadi. Cukup baginya mengusili abangnya yang sedang mengemudi dengan laju cepat.

Kalau diingat-ingat, sudah lama Bey tak bersama Gio seperti ini. Maksudnya, jalan hanya berdua saja. Biasanya kan kawan-kawan mereka ikut. Itu juga di malam hari.

"Gue besok sekolah, Yo. Kita balik subuh, yah?" bisik Bey mengingatkan.

Hanya anggukan yang ia dapat. Gio diam saja. Mengemudikan motor dengan fokus. Berbeda dengan Bey yang pikirannya mulai tak tentu arah. Apa yang harusnya tak ia ingat, malah perlahan menyeretnya untuk mengingat sesuatu.

Semakin lama Bey menatap punggung Gio, semakin lama Bey menyadari kebersamaannya dengan Gio ini adalah hal yang langka, pikirannya semakin tak terkendali. Kilatan masa lalu yang ia pikir sudah terkubur dalam-dalam perlahan menyelinap.

Sebuah tawa dari seorang wanita dengan bibir gincu merah terang seketika menggema di seisi kepalanya. Tawanya begitu lantang, renyah, dan menenangkan. Bahkan ketika Bey berada dalam rangkulan tangan wanita itu, Bey juga tak bisa berhenti tertawa.

Oh, yah! Ada Gio di sana. Dengan wajah kusut ia menarik-narik tangan Bey agar terlepas dari pelukan sang wanita.

"Giliranku, Bey! Awas kamu! Dia Ibuku!" Gio berteriak jengkel. Sekuat tenaga menarik Bey yang sudah mengaduh kesakitan karena tangannya ditarik paksa.

"Gak! Ini Ibuku!" Bey menolak melepaskan diri dari pelukan sang wanita. Ia lingkarkan dua tangannya persis seperti ia melingkarkan dua tangannya pada Gio.

"Sudah. Sudah. Kok jadi berebut kayak gini?" Suara si wanita menggema. Memenuhi indera pendengaran Bey. "Ibu punya kalian berdua!"

Bey memejamkan matanya. Dalam. Kilatan ingatan yang tiba-tiba muncul membuat matanya terasa perih. Bey spontan menjawail baju Gio, menggenggamnya erat.

Merasa aneh dengan tindak-tanduk Bey, Gio mengurangi laju motor. Pegangan sang adik padanya malah semakin erat. Tangan Bey terkepal, urat-urat nadinya bermunculan.

"Lo kenapa? Mual, Bey? Mabok?" tanya Gio. Bukan khawatir, tapi heran. Bisa-bisanya sang adik bertingkah aneh saat dibonceng.

"Jalan terus aja, Yo!"

Suara Bey terdengar ganjil, tapi Gio juga tak punya pilihan selain menuruti. Jalanan yang tengah melewati begitu sepi. Hanya ada pepohonan di sisi kiri dan hamparan kebun teh di sisi kanannya.

"Di depan ada warung makan. Kita berhenti di sana!" Gio memberikan aba-aba. Berharap Bey berhenti menggenggam bajunya sedemikian erat. Aneh saja rasanya untuk Gio.

Sampai di sebuah warung yang berada tepat di sisi tebing, Bey dan Gio langsung memesan paket nasi kumplit. Duduk di kursi bagian luar sambil memerhatikan aksi kerumunan anak muda yang asyik berswafoto.

"Rasanya aneh cuma berdua gini yah, Bey. Biasanya barengan sama anak-anak."

Gio merasa tergelitik melihat kerumunan anak muda seusianya begitu sibuk bergaya dan berfose di depan kamera. Tak seperti ia dan teman-temannya ketika sedang berkumpul. Kalau ada yang sengaja ingin mengambil foto, pose yang dibuat tak lebih dari sekedar menunjukkan jari tengah.

Gio terkekeh tipis. Namun, kekehannya terhenti ketika ia menoleh pada Bey dan mendapati adiknya itu hanya diam saja. Kepalanya sedikit tertunduk, matanya lurus menatap piring berisi nasi dan ayam goreng yang ternyata masih utuh.

"Kenapa lo? Gak nafsu makan?" sindir Gio. Ia menarik piring milik Bey tiba-tiba. "Sini! Buat gue aja!"

Bey mendelik sinis dengan tangan memegang ujung piring kuat-kuat. Gio tersenyum kecil. Ia batal mengambil paksa piring milik Bey.

"Inget nyokap, Yo."

Gio kehilangannya senyumannya dalam sedetik. Ia melirik Bey dengan tatapan sinis. "Ngomong apa sih lo? Makan!"

Intonasi bicara Gio meninggi. Bey tahu kalau pemicunya adalah apa yang baru saja ia katakan. Tapi, Bey enggan menarik kata-katanya lagi atau berhenti membicarakan hal yang sama. Karena isi kepalanya rasanya seperti akan meledak jika Bey diam saja.

"Gue serius, Yo." Bey tak takut jika Gio bisa saja meninjunya agar menutup mulut. "Ibu gimana kabarnya yah?"

"Kita udah gak punya Ibu!"

Bey menggigit potongan daging. Ia tak mau makanannya direbut oleh Gio. Mereka juga bukan lagi diusia saling berebut sesuatu, seperti ketika mereka berebut Ibu. Dulu.

"Gue kangen Ibu, Yo."

Dada Bey sesak. Sekali mengingat kenangan manis malah harus berakhir pahit. Masa lalu yang sudah terjadi tak bisa ia ubah. Sebuah pertemuan yang berakhir perpisahan harus menjadi takdirnya.

"Kita gak punya Ibu!!!"

Kembali Gio berteriak. Tak kalah lantang dari yang tadi. Hal itu malah membuat Bey semakin tak bisa mengendalikan isi pikiran dan juga hatinya. Ia melahap makanan di piring dengan rakus. Seolah-olah ingin menelan semua kenangan pahit agar yang tersisa hanyalah kenangan manis saja.

Tak pernah ada seorang anak pun mau berpisah dengan orang tuanya. Secara tiba-tiba maupun terencana.

Siapa juga yang suka perpisahan dengan orang yang dicintai?

Tidak ada, bukan?

Kalau boleh Bey mengutuk, ia ingin mengutuk takdir yang berputar. Bey tak suka ketika takdir menyeretnya ke bawah, dalam lubang penuh tangisan, penuh duka, juga perpisahan. Maunya, penuh kebahagiaan saja terus menerus. Tanpa henti. Kebahagiaan sebuah keluarga utuh dan sempurna. Penuh tawa dan juga canda.

"Lo inget gak Yo rutinitas kita dulu setiap hari sabtu sama minggu?"

Bey pantang menyerah meluapkan isi kepalanya. Gio sendiri pun akhirnya mengalah, membiarkan adiknya berceloteh panjang lebar.

"Nyokap bangun subuh-subuh, masak banyak, yang katanya buat bekel. Padahal ... kita maunya jajan di luar aja karena bosen makanan nyokap."

Bey terkekeh tipis. Suapannya semakin besar. Dua sisi pipinya mengembang sempurna.

Gio yang ternyata mau mendengarkan ceritanya juga tampak menikmati makanannya. Meskipun raut wajah abangnya itu kusut mesut.

"Gak tahunya, sekarang gue malah kangen masakannya nyokap," sambung Bey dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Meskipun makanan buatan nyokap selalu keasinan?"

Bey menoleh pada Gio yang baru saja menyela. Tersenyum kecil. Sedikit tenang karena sepertinya ia tak akan kena marah lagi kalau terus bercerita tentang seseorang yang sudah pergi.

Tentang masa lalu yang harusnya tak perlu diingat lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top