Bad Bey 10
"Teman-teman, tolong tenang! Jaga bicara kalian. Kita sedang membaca Al Qur'an di sini. Di mohon untuk menyimak dengan baik. Dan hanya Pak Anwar yang boleh bersuara untuk mengkoreksi bacaan kita."
Peringatan Hamzah berhasil membuat semua orang menganggukkan kepala. Diam. Tak lagi kasak-kusuk membicarakan Bey. Tapi, hal itu justru tak membuat Bey merasa lebih baik. Tindakan Hamzah justru membuat Bey semakin diliputi perasaan jengkel.
Kepalang emosi!
Bey berjalan keluar dari area dalam Masjid dengan emosi meluap. Ia sampai lupa pada Akmal yang langsung terbangun dari tidurnya, terburu-buru menyusul Bey yang berjalan keluar dalam kondisi belum sepenuhnya sadar.
"Bey! Bey!" Akmal memanggil Bey dengan penuh kebingungan, mengekori cowok itu sambil menerka-nerka maksud dari tatapan orang-orang di sana pada mereka.
Sampai tiba-tiba Hamzah muncul, mencegat langkah Bey tepat di ambang Masjid. Si ketua IMAJI itu langsung mendapatkan delikan tajam dari Bey.
"Tenang dulu, Bey. Kamu mau ke mana? Kajian kita belum selesai. Ayo kita duduk lagi!" ajak Hamzah ramah. Saat ia hendak menyentuh bahu Bey bermaksud menenangkannya, tangannya langsung ditepis kasar.
"Minggir lo!" usir Bey kesal.
"Bey," Hamzah merentangkan tangan tepat di depan Bey yang hendak melangkah pergi lagi, "tolong ... hormati Pak Anwar," bisik Hamzah penuh hati-hati. "Kalau kamu ada masalah tadi, kita bisa bicarakan setelah selesai kajian ini baik-baik. Tolong jangan pergi dengan cara seperti ini."
"Maksud lo apa? Huh!" Mata Bey memicing tajam. Sengit. Penuh curiga. "Lo mau pura-pura gak tahu masalahnya apa?"
Hamzah mengecap salivanya. Ia sudah melirik Pak Anwar yang bertahan di dalam area Masjid, melanjutkan kajian baca Al Qur'an seolah apa yang dilakukan Bey bukanlah masalah. Meski begitu, Hamzah tahu kalau ia tak boleh tinggal diam dan membiarkan Bey pergi begitu saja.
"Oke. Maafkan kesalahan teman-temanku jika ucapan mereka menyinggungmu. Tapi, kamu tak perlu pergi dengan cara seperti ini, kan? Kita bisa membicarakan hal ini jika memang kamu mau, tapi setelah selesai pengajian."
"Gak perlu!" Bey menolak keras. Ia bahkan mendorong tubuh Hamzah hingga cowok itu beringsut mundur.
Bey tetap keluar dari area Masjid diiringi tatapan tajam para siswa dari dalam sana. Mereka tak bicara, tak saling berbisik, namun dari sorot mata pun semua bisa memaknai arti tatapan mereka pada tindakan Bey.
"Semuanya ... silakan fokus ke Al Qur'an masing-masing." Pak Anwar memperingatkan, tahu jika perhatian para muridnya sudah teralihkan.
***
Yuta melambai dengan semringah dari arah gerbang sekolah saat melihat Bey muncul dengan Akmal.
"Gue pikir bakalan lama nungguin kalian! Udah beres tobatnya? Di terima kagak?" legek Yuta dengan tawa meledak-ledak.
Akmal yang duduk di belakang Bey menggelengkan kepala, memberikan isyarat pada Yuta agar segera menutup mulutnya dan berhenti tertawa. Secara otomatis tawa Yuta yang tadinya meledak perlahan meredup saat ia menyadari raut wajah kusut Bey yang tak ubahnya bagai singa yang siap menerkam mangsanya. Mata nyalangnya tak mampu ditatap Yuta lama-lama.
"Kita jalan sekarang, Bey?" tanya Yuta penuh hati-hati. Tak lagi ada wajah semringah di wajanya. Ia kini malah ketakutan bukan main.
"Ya."
Bey memutar gagang setir, suara deru mesin terdengar keras. Akmal yang berada di belakangnya spontan memegang pundak Bey. Bey melajukan motornya dengan cepat, melaju ke area jalan raya disambut bunyi klakson dari para pengendara lain karena terkejut oleh kemunculannya yang tiba-tiba.
Akmal hanya bisa menggerutu sendirian dengan berjuta penyesalan, berharap ia tertidur nyenyak saja tadi di Masjid dan tak mengekori Bey. Tak perlu terbangun lagi sampai esok hari.
Aksi ugal-ugalan Bey menjadi bahan pembicaraan Yuta dan Akmal saat berkumpul dengan teman geng motor mereka. Tak ada dari mereka yang bisa menjelaskan secara rinci penyebab Bey berani melakukan aksi berbahaya itu di siang bolong. Gio yang mendengar itu tentu saja tak bisa diam. Ia langsung mencari Bey yang tak biasanya memilih pulang ke rumah ketimbang menunggui Gio di bengkel.
***
Rumah bercat kuning kusam itu berada tak jauh dari gerbang sebuah gang kecil. Pintunya memiliki lubang di beberapa bagiannya. Saat Gio mendorong pintu itu, suara deritannya terdengar mengusik. Tak nyaman di telinga.
Sofa usang yang memiliki robekan di beberapa sudut menyambutnya. Kosong. Bey yang terbiasa duduk di sana tak ada.
Gio berjalan ke salah satu kamar yang tepat berada di depan sofa. Ia mengetuk beberapa kali, menunggu jawaban dari Bey jika memang ia ada di dalam sana. Cukup lama Gio menunggu. Tepat ketika ia hendak membuka pintu itu tanpa mendapatkan persetujuan dari sang pemilik, Bey muncul dari arah belakang rumah dengan rambut basah dan handuk tersampir di leher.
Gio menghela napas lega. "Kenapa kamu?" tanyanya sengit. "Ngapain ugal-ugalan di jalan raya siang-siang? Kamu lupa aturan kita kalau mau ugal-ugalan kayak gimana?"
Bey menggosok rambut basahnya dengan handuk, berjalan menuju sofa dan duduk di sana dengan posisi kaki silang.
"Anak-anak cerita?" terkanya meski tahu hal itu memang benar.
Gio ikut duduk. Lurus menatap Bey dengan raut wajah khawatir. "Kenapa lo? Ada masalah? Bilang aja kalau ada masalah. Jangan dipendem sendirian. Dan jangan sekali-kali lo rahasiain apa pun dari gue, termasuk soal lo yang ikut IMAJI. Ngapain lo ikut kajian-kajian kayak gitu? Buat apa? Apa manfaatnya buat lo?"
Cecar tanya dan peringatan Gio sudah bisa diprediksi Bey sebelumnya. Ia sudah siap menghadapi Gio di saat seperti ini. Bey tetap tenang. Berpikir cukup lama untuk menyusun jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran abangnya ini.
"Enggak ada apa-apa, Bang," kata Bey pada akhirnya. Ia tak cukup sanggup menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sedikitnya ia bersyukur karena Akmal sepertinya memang tak tahu apa yang terjadi tadi.
"Gak usah bohong, Bey." Gio mendesak. Pantang menyerah. "Soal Atqi? Kenapa lagi dia? Nolak elo lagi?"
"Bukan, Bang ... ini bukan soal Atqi."
"Terus soal apa?"
Bey membuang napas berat. Tak tahu harus berkata jujur atau tidak kalau tadi siang ia malu bukan kepalang karena terbata-bata ketika membacakan Al-Qur'an di kajian IMAJI. Di hari pertamanya. Di depan Atqi. Ditertawakan. Digunjing oleh para siswa yang ada di sana!
Malu bukan main! Kesal bukan kepalang!
Bey tak tahu lagi kata-kata apa yang bisa mewakilkan perasaannya kala itu. Belum lagi dengan sikap Hamzah yang begitu memuakkan bagi Bey. Ia bersikap seolah-olah hendak membantu dan menenangkannya. Namun bagi Bey, sikap manisnya itu tak lebih dari sekedar omong kosong belaka.
Bey tak akan pernah melupakan penilaian Hamzah terhadap dirinya tempo hari.
Tak akan!
Hamzah tak lebih dari sekedar cowok bermuka dua yang sikapnya hanya manis di depan banyak orang, tapi di belakang lain lagi.
"Ini soal si Hamzah," kata Bey dengan berat hati.
"Kenapa emang si Hamzah?"
Bey mengepalkan tangan dengan sekuat tenaga. "Si Atqi harus tahu seperti apa si Hamzah sebenarnya yang dia bilang baik dan pinter itu. Kalau si Hamzah gak lebih dari sekedar cowok bermuka dua yang manis di mulut lain di hati!"
"Caranya?"
"Dengan gabung di IMAJI," ujar Bey mantap. Ia seolah lupa apa yang telah terjadi padanya tadi siang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top